Kompas,
Kamis, 1 April 2010 | 01:15 WIB
Judul Buku : Samin Kudus; Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal
Penulis : Moh. Rosyid, M. Pd
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : 1, Desember 2008
Tebal : 247 Halaman
Peresensi : Ahmad Hasan MS*)
Salah satu komunitas lokal yang tergolong unik, khas dan langka di wilayah pesisir utara Jawa Tengah adalah Samin Kudus. Ditengah derasnya arus modernisasi yang berimbas pada gaya hidup materialis, individualis dan hedonis, komunitas samin Kudus mampu menjaga tradisi, identitas dan adat istiadat yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Komunitas pinggiran kota kretek ini merupakan potret masyarakat adat yang amat kuat dalam memegang prinsip budaya adiluhung dan berperilaku harmonis dengan alam (mamayu hayuning bawana).
Buku “Samin Kudus; Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal” berusaha membahas secara komprehensif ihwal identitas, prinsip dan kultur komunitas Samin Kudus dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Dalam buku ini, pe- nulis memfokuskan pada tiga objek lokasi penelitian; meliputi Desa Kutuk, Radiwongso dan Larekrejo. Ketiga-tiganya dikenal sebagai basis komunitas Samin Kudus yang masuk dalam wilayah Kecamatan Undaan, Kudus.
Dengan metode observasi partisipasi, penulis meneliti secara langsung asal muasal komunitas Samin Kudus lengkap dengan kondisi sosial, budaya, adat istiadat dan prinsip hidup mereka melalui wawancara beberapa tokoh adat di tiga lokasi komunitas Samin itu. Bagi penulis, setidaknya ada empat versi atau pendapat mengenai asal muasal komunitas Samin Kudus.
Pertama, Samin kudus berasal dari desa Klopodhuwur, Blora, Jawa Tengah yang dibawa oleh Sosar, Radiwongso dan Proyongaden setelah berguru dengan Raden surosentiko atau Suratmoko atau Raden Kohar, cucu Raden Mas Adipati Brotodiningrat (Bupati Wedono Blora) (Fathurrahman, 2003: 7). Kedua, Samin kudus berasal dari desa Randublatung, Blora Jateng yang dimotori oleh Surokidin tatkala bertemu dengan tiga warga desa; yakni Sosar (Desa Kutuk), Dukuh Kaliyoso (Desa Radiwongso), dan bapak Proyongaden (Desa Larekrejo).
Ketiga, menurut analisis Soerjanto (2003:19), ajaran samin Kudus datang di desa Kutuk melalui Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung Blora Jateng dengan membawa kitab “Serat jamus Kalimosodo” berbahasa kuno dan berbentuk sekar macapat dan prosa. Keempat, ajaran samin Kudus lahir atas ekspansi yang dilakukan oleh Raden Kohar untuk membangun pusat perlawanan terhadap belanda di Kudus (Winarno, 2003;57).
Secara lebih rinci, Samin Kudus tersebar dalam tiga wilayah, yakni Desa Kutuk, Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo dan Desa Larekrejo. Untuk Desa Kutuk, pelopornya adalah Sosar yang berguru pada Surowijoyo, Randublatung, Blora. Sosar memiliki istri bernama Rawi yang menghasilkan tiga putra; yakni Suparto, Sariyan dan Sawinah. Dari merekalah akhirnya komunitas Samin berkembang, khususnya di Desa Kutuk hingga sekarang.
Sementara Desa Kaliyoso, pelopornya adalah Radiwongso yang menimba ilmu pada Surosentiko(Blora), Suronggono(Blora), Surokidin (Blora) dan Surowijoyo(Blora). Dari Radiwongso diteruskan oleh generasi berikutnya, yakni Kelan, Sumar dan Wargono. Sedangkan Desa larekrejo, pelopornya adalah Bapak Proyongaden yang memperoleh ilmu dari Suronggono, Surosentiko dan Surokidin yang berasal dari Blora.
Prinsip Dasar
Berdasarkan penelitian di tiga lokasi basis komunitas Samin Kudus tersebut, penulis menyimpulkan bahwasanya ada delapan prinsip dasar beretika yang menjadi pantangan dan harus dijauhi. Diantaranya larangan untuk berbuat ; drengki (membuat fitnah), Srei (serakah), Panasten (mudah tersinggung), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati), nyiyo marang sepodo (berbuat nista terhadap sesama) dan bejot riyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku dulur ( menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, asal manusia adalah saudara, jika mau dijadikan saudara).
Disamping itu, menurut penulis berdasarkan wawancara dengan tokoh Samin Desa Larekrejo, Bapak santoso bahwa ada juga lima pantangan dalam berinteraksi sosial yang harus dihindari, meliputi ; larangan bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang dari alam), jumput ( mengambil barang dagangan), nemu wae ora keno (menemukan menjadi pantangan).
Sementara sewaktu penulis berwawancara dengan Bapak Gunondo, tokoh Muda Samin Desa Kaliyoso bahwa ada lima hal yang juga menjadi pantangan dasar bagi masyarakat Samin Kudus. Pertama, tidak diperbolehkan mendidik anak melalui pendidikan formal semisal sekolah maupun non formal semisal kursus. Sebab, dikhawatirkan anak akan terpengaruh budaya luar dan meninggalkan identitas budayanya sendiri.
Kedua, tidak diperbolehkan bercelana panjang. Tujuannya adalah untuk membedakan asesosi pakaian yang dipakai masyarakat umum dengan pengikut Samin yang mengenakan pakaian udeng (ikat kepala), suwall tokong (celana pendek tepat dibawah lutut), dan bhebet (sarung). Ketiga, tidak diperbolehkan berpeci. Keempat, tidak diperbolehkan berdagang. Keenam, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu.
Agar kebudayaannya tetap bertahan, Samin Kudus melakukan berbagai strategi. Diantaranya; memilih hidup berkomunitas, tinggal di Pedesaan, menikah dengan sesama pengikut samin dan mentradisikan ajaran kepada anak sejak kecil dengan teladan dari orang tua atau sesepuh adat.
Buku ini merupakan potret kearifan lokal komunitas lokal di wilayah pedalaman Kudus yang perlu dijadikan teladan, khususnya dalam hal berprinsip dan beretika hidup sehari-hari. Kelebihan buku ini terletak pada kekayaan datanya yang bersifat data primer. Namun, masih memiliki kekurangan berupa pembahasan yang kurang sistematis dan terlampau ilmiah. Akan tetapi, secara garis besar buku ini layak dibaca dan dikaji lebih lanjut dalam rangka mempertahankan khasanah budaya bangsa yang benar-benar adiluhung.
Judul Buku : Samin Kudus; Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal
Penulis : Moh. Rosyid, M. Pd
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : 1, Desember 2008
Tebal : 247 Halaman
Peresensi : Ahmad Hasan MS*)
Salah satu komunitas lokal yang tergolong unik, khas dan langka di wilayah pesisir utara Jawa Tengah adalah Samin Kudus. Ditengah derasnya arus modernisasi yang berimbas pada gaya hidup materialis, individualis dan hedonis, komunitas samin Kudus mampu menjaga tradisi, identitas dan adat istiadat yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Komunitas pinggiran kota kretek ini merupakan potret masyarakat adat yang amat kuat dalam memegang prinsip budaya adiluhung dan berperilaku harmonis dengan alam (mamayu hayuning bawana).
Buku “Samin Kudus; Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal” berusaha membahas secara komprehensif ihwal identitas, prinsip dan kultur komunitas Samin Kudus dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Dalam buku ini, pe- nulis memfokuskan pada tiga objek lokasi penelitian; meliputi Desa Kutuk, Radiwongso dan Larekrejo. Ketiga-tiganya dikenal sebagai basis komunitas Samin Kudus yang masuk dalam wilayah Kecamatan Undaan, Kudus.
Dengan metode observasi partisipasi, penulis meneliti secara langsung asal muasal komunitas Samin Kudus lengkap dengan kondisi sosial, budaya, adat istiadat dan prinsip hidup mereka melalui wawancara beberapa tokoh adat di tiga lokasi komunitas Samin itu. Bagi penulis, setidaknya ada empat versi atau pendapat mengenai asal muasal komunitas Samin Kudus.
Pertama, Samin kudus berasal dari desa Klopodhuwur, Blora, Jawa Tengah yang dibawa oleh Sosar, Radiwongso dan Proyongaden setelah berguru dengan Raden surosentiko atau Suratmoko atau Raden Kohar, cucu Raden Mas Adipati Brotodiningrat (Bupati Wedono Blora) (Fathurrahman, 2003: 7). Kedua, Samin kudus berasal dari desa Randublatung, Blora Jateng yang dimotori oleh Surokidin tatkala bertemu dengan tiga warga desa; yakni Sosar (Desa Kutuk), Dukuh Kaliyoso (Desa Radiwongso), dan bapak Proyongaden (Desa Larekrejo).
Ketiga, menurut analisis Soerjanto (2003:19), ajaran samin Kudus datang di desa Kutuk melalui Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung Blora Jateng dengan membawa kitab “Serat jamus Kalimosodo” berbahasa kuno dan berbentuk sekar macapat dan prosa. Keempat, ajaran samin Kudus lahir atas ekspansi yang dilakukan oleh Raden Kohar untuk membangun pusat perlawanan terhadap belanda di Kudus (Winarno, 2003;57).
Secara lebih rinci, Samin Kudus tersebar dalam tiga wilayah, yakni Desa Kutuk, Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo dan Desa Larekrejo. Untuk Desa Kutuk, pelopornya adalah Sosar yang berguru pada Surowijoyo, Randublatung, Blora. Sosar memiliki istri bernama Rawi yang menghasilkan tiga putra; yakni Suparto, Sariyan dan Sawinah. Dari merekalah akhirnya komunitas Samin berkembang, khususnya di Desa Kutuk hingga sekarang.
Sementara Desa Kaliyoso, pelopornya adalah Radiwongso yang menimba ilmu pada Surosentiko(Blora), Suronggono(Blora), Surokidin (Blora) dan Surowijoyo(Blora). Dari Radiwongso diteruskan oleh generasi berikutnya, yakni Kelan, Sumar dan Wargono. Sedangkan Desa larekrejo, pelopornya adalah Bapak Proyongaden yang memperoleh ilmu dari Suronggono, Surosentiko dan Surokidin yang berasal dari Blora.
Prinsip Dasar
Berdasarkan penelitian di tiga lokasi basis komunitas Samin Kudus tersebut, penulis menyimpulkan bahwasanya ada delapan prinsip dasar beretika yang menjadi pantangan dan harus dijauhi. Diantaranya larangan untuk berbuat ; drengki (membuat fitnah), Srei (serakah), Panasten (mudah tersinggung), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati), nyiyo marang sepodo (berbuat nista terhadap sesama) dan bejot riyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku dulur ( menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, asal manusia adalah saudara, jika mau dijadikan saudara).
Disamping itu, menurut penulis berdasarkan wawancara dengan tokoh Samin Desa Larekrejo, Bapak santoso bahwa ada juga lima pantangan dalam berinteraksi sosial yang harus dihindari, meliputi ; larangan bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang dari alam), jumput ( mengambil barang dagangan), nemu wae ora keno (menemukan menjadi pantangan).
Sementara sewaktu penulis berwawancara dengan Bapak Gunondo, tokoh Muda Samin Desa Kaliyoso bahwa ada lima hal yang juga menjadi pantangan dasar bagi masyarakat Samin Kudus. Pertama, tidak diperbolehkan mendidik anak melalui pendidikan formal semisal sekolah maupun non formal semisal kursus. Sebab, dikhawatirkan anak akan terpengaruh budaya luar dan meninggalkan identitas budayanya sendiri.
Kedua, tidak diperbolehkan bercelana panjang. Tujuannya adalah untuk membedakan asesosi pakaian yang dipakai masyarakat umum dengan pengikut Samin yang mengenakan pakaian udeng (ikat kepala), suwall tokong (celana pendek tepat dibawah lutut), dan bhebet (sarung). Ketiga, tidak diperbolehkan berpeci. Keempat, tidak diperbolehkan berdagang. Keenam, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu.
Agar kebudayaannya tetap bertahan, Samin Kudus melakukan berbagai strategi. Diantaranya; memilih hidup berkomunitas, tinggal di Pedesaan, menikah dengan sesama pengikut samin dan mentradisikan ajaran kepada anak sejak kecil dengan teladan dari orang tua atau sesepuh adat.
Buku ini merupakan potret kearifan lokal komunitas lokal di wilayah pedalaman Kudus yang perlu dijadikan teladan, khususnya dalam hal berprinsip dan beretika hidup sehari-hari. Kelebihan buku ini terletak pada kekayaan datanya yang bersifat data primer. Namun, masih memiliki kekurangan berupa pembahasan yang kurang sistematis dan terlampau ilmiah. Akan tetapi, secara garis besar buku ini layak dibaca dan dikaji lebih lanjut dalam rangka mempertahankan khasanah budaya bangsa yang benar-benar adiluhung.
Editor :
jodhi
Retrieved from: http://oase.kompas.com/read/2010/04/01/0115448/Ajaran.kearifan.Komunitas.Samin.Kudus
No comments:
Post a Comment