Wednesday, August 11, 2010

Menemukan Kembali Islam Autentik Indonesia

Waspada, Friday, 20 June 2008 08:16

Oleh Azhari Akmal Tarigan


Salah satu perkembangan Islam Indonesia yang menarik untuk dicermati, khususnya setelah era reformasi adalah kemunculan Islam radikal, Islam Fundamental, Gerakan Salafi Militan atau Islam garis keras. Islam radikal muncul tidak saja dalam bentuk pemikiran yang kaku (rigid) dan tekstualis, tetapi juga menjelma menjadi sebuah gerakan yang bersifat massal. Fenomena Islam radikal sesungguhnya tidak dikenal dalam sejarah perkembangan Islam Indonesia. Di dalam buku-buku teks sejarah Islam Indonesia –sepanjang yang penulis ketahui- kita tidak akan menemukan pembahasan berkenaan Islam radikal dengan segala variasinya. Berbeda tentunya dengan aliran sesat atau aliran yang diduga sesat, yang memang sejak lama telah muncul di Indonesia. Tidaklah mengherankan, jika banyak pengamat Islam terhenyak menyaksikan fenomena yang benar-benar baru ini.

Berangkat dari tela’ah historis, penulis ingin menyatakan, Islam radikal atau Islam garis keras sebenarnya bukanlah aliran yang tumbuh dari rahim peradaban Islam Indonesia. Berbagai penelitian yang telah dilakukan banyak ahli, Islam radikal merupakan gerakan dari luar (Timur Tengah dan Afghanistan) yang selanjutnya masuk ke Indonesia. Bahkan banyak gerakan Salafi militan (GSM)–istilah yang dipakai oleh M. Syafi’i Anwar- yang memiliki pusat organisasi bukan di Indonesia tetapi di luar negeri. Contoh yang cukup dekat di sini adalah HTI. GSM lebih tepat dilekatkan kepada HTI ketimbang sebutan Islam radikal apa lagi Islam garis keras. Tanpa disadari, ketimbang gerakan Islam lainnya, HTI lebih menunjukkan gerakan yang menarik bagi banyak orang. dalam hal-hal tertentu, HTI tampil dengan sangat simpatik.

Lepas dari itu, Penulis ingin menyebut dua penelitian penting berkenaan dengan geneologi Islam radikal Indonesia. Pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Greg Fealy dan Anthony Bubablo yang berjudul, Joining the Caravan: The Middle East, Islamism and Indonesia. Oleh penerbit Mizan buku ini diterjemahkan menjadi, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2007). Di antara kesimpulan yang diberikan oleh Greg Fealy adalah sebagai berikut: “Beragam aliran dalam Islamisme dan neofundamentalisme menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Sebagian besar gagasan ini sering diimpor oleh kelompok Islamis Indonesia dalam rangka mencari model pemikiran baru tentang hubungan antara Islam, politik, dan masyarakat atau model aktivisme yang betul-betul baru. Beragam mekanisme telah berfungsi sebagai vektor-vektor yang membawa gagasan-gagasan ini, dari mahasiswa Indonesia yang melakukan studi di Timur Tengah hingga kalangan Jihadis yang turut berjuang di Afghanistan pada era 1980-an dan 90-an, dan bahkan hingga sumber informasi Islamis yang berkembang di internet dan TV satelit. Namun vektor-vektor ini telah berfungsi memediasi transmisi beragam gagasan, dari pemikir ikhwan al-muslimin yang lebih mainstream hingga salafisme Jihadis Al-Qaeda”.

Pernyataan di atas menunjukkan paling tidak tiga hal penting. Pertama, Islam radikal, neo fundamentalis, Islam garis keras, Islam militan atau sederetan nama lainnya bukanlah gerakan asli Islam Indonesia. Gagasan yang membentuk warna Islam tersebut adalah sesuatu yang diimpor dari luar Indonesia. Kedua, jika ditelusuri geneologinya, maka setidaknya ada dua poros geneologi Islam Radikal; Timur Tengah khususnya gerakan ikhwan al-muslimin dan mantan pejuang di Afghanista era 1980-1990-an. Ketiga, proses transformasi ideologi Islam garis keras atau setidaknya inspirasi Islam garis keras juga diperoleh lewat jaringan tekhnologi, seperti internet dan TV satelit. Termasuk juga di dalamnya buku-buku yang menyuarakan Islam kaffah, jihad, kehebatan Islam dan sebagainya.

Buku kedua adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh M Zaki Mubarak yang berjudul, Genealogi Islam Radikal Di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008). Buku ini sesungguhnya berasal dari tesis penulis di Program Migister Ilmu Politik FISIP UI yang pada awalnya berjudul, “Islam Fundamentalis Radikal: Gerakan dan Pemikiran FPI, Laskar Jihad, Majlis Mujahidin dan Hizbut Tahrir Indonesia” Tahun 1998-2003. Senada dengan buku Greg Flealy di atas, bagi Zaki Mubarak, geneologi Islam Radikal juga dapat ditelusuri sampai ke Timur Tengah. Gerakan-gerakan ikhwanul Muslimin, Wahabiyah, Hizbul Islam, adalah organisasi yang memberikan isnpirasi bahkan motivasi bagi Islam Radikal di Indonesia. Tidak itu saja, muslim Indonesia yang ikut berjuang di Afghanistan juga memberi warna bahkan sangat dominan bagi terbentuknya Islam radikal dan Islam garis keras di Indonesia. Zaki malah mencatat, pengakuan Ja’far Umar Thalib sebagai Panglima Laskar Jihad sendiri mengakui kemampuan teknik kemiliteran yang dimilikinya adalah hasil didikan selama berada di Afghanistan bersama kelompok mujahidin. (hal. 351).

Dua buku di atas menurut penulis cukup memadai untuk menyebut gerakan Islam radikal atau Islam fundamental Indonesia sebagaimana yang kita saksikan saat ini adalah sebuah gerakan yang diimpor dari luar. Satu sisi, jika kita berbicara tentang Islam Indonesia, tentu tidak ada yang autentik. Alasannya, Islam itu sendiri adalah agama yang turun di Timur Tengah tepatnya di Makkah yang selanjutnya menyebar ke saentero dunia, termasuk di Indonesia. Namun jika kita bicara negara yang paling sedikit mengalami Arabisasi, Indonesia adalah jawabannya.

Dengan kata lain, penulis ingin mengatakan, Islam Radikan merupakan sebuah gerakan yang paling sedikit dipengaruhi oleh “alam dan kultur Indonesia” kendatipun ia tumbuh dan beraktivitas di sini. Berbeda dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama serta beberapa ormas lainnya, yang meskipun sedikit banyaknya dipengaruhi oleh Islam Timur Tengah, namun bentuk dan warnanya sangat bernuansa Indonesia. Pada NU misalnya, kita dapat melihat bagaimana Islam bertemu dengan budaya Jawa lalu akhirnya membentuk ciri khas sendiri. Demikian juga Muhammadiyah ketika bertemu dengan “alam Miangkabau” yang memiliki karakter dinamis. Bagi saya sulit menjawab, budaya Indonesia manakah yang mempengaruhi gerakan Islam Radikal di Indonesia?

Bagi penulis adalah penting untuk menemukan kembali Islam autentik Indonesia. Tentu saja tidak menafikan gerakan Islam radikal sekalipun. Islam Radikal sebagaimana ormas lainnya, memiliki hak yang sama untuk hidup di Indonesia. Namun bagi penulis, sangat berbahaya jika Islam Radikal yang mendominasi dan membentuk warna Islam Indonesia. Sebabnya hanya satu, Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang sangat plural baik dari segi suku, agama dan ras. Apa yang terjadi jika Islam radikal mendominasi bahkan menguasai gerakan Islam Indonesia. Penulis khawatir saja, mudah-mudahan salah, akan terjadi disharmonisasi antar kehidupan umat beragama. Bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan disintegrasi bangsa.

Oleh sebab itu, melihat Indonesia yang sangat pluralistik, gerakan Islam Indonesia yang relevan pada masa depan adalah gerakan yang selama ini diperankan oleh NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah dan ormas lainnya. Secara sederhana ormas-ormas ini mengusung Islam kultural, Islam yang damai dan sejuk namun dinamis. Sayangnya, hari ini semuanya tenggelam dalam buritan sejarah dan tidak lagi mampu menyuarakan seperti apa yang diperjuangkan Islam Radikal. Salah satu sebabnya adalah ormas-ormas Islam lebih tertarik untuk terjun pada “dunia politik” ketimbang memikirkan umat.

Mereka sibuk mengurusi diri sendiri dan melupakan masalah mendasar bangsa. Jangan heran, jika banyak orang yang melihat perjuangan Islam radikal lebih jelas dan tegas. Kalaupun kita ingin mengkritik Islam radikal itu hanya menyangkut cara yang mereka gunakan. Islam radikal kerap menggunakan cara-cara kekerasan dan cenderung memaksakan kehendaknya. Jika cara ini dirobah menjadi lebih santun dan sejuk, penulis yakin, organisasi Islam Radikal jauh lebih diminati ketimbang Ormas Islam yang “gagal” tersebut. Wallahu A’lam.

Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah IAIN-SU Medan dan Koordinator Tim Penulis Tafsir UTS Sumatera Utara.

Retrieved from: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=22733:menemukan-kembali-islam-autentik-indonesia&catid=33&Itemid=98 (August 11, 2010)

Monday, August 9, 2010

Ahmad Suaedy dan Ekspresi Islam Indonesia

Oleh M Zaid Wahyudi*

Islam di Indonesia memiliki ciri khas berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Lingkungan multikultur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya Islam Indonesia membuat Islam tampil menjadi nilai dan pandangan hidup yang erat dengan tradisi lokal.

Suaedy

Kondisi inilah yang melahirkan ekspresi Islam Jawa, Islam Banjar, Islam Minangkabau, Islam Ternate, dan berbagai ekspresi lainnya yang selaras dengan budaya setempat.

Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute, meyakini semua ekspresi Islam di seluruh dunia, termasuk di Arab Saudi, tidak dapat dipisahkan dengan budaya dan tradisi lokal daerah atau negara. Karena itu, Islam yang ada di Timur Tengah merupakan ekspresi Islam yang lekat dengan budaya Arab.

Munculnya Islam dengan ekspresi yang penuh kekerasan sehingga dicap sebagai Islam radikal atau Islam fundamental juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh radikalisme yang muncul di setiap negara. Garangnya citra Islam di Afganistan dan Palestina tidak terlepas dari konflik yang terus-menerus mendera kedua wilayah itu.

Ekspresi Islam Indonesia sendiri cukup beragam. Nilai-nilai Islam di Indonesia berpadu dengan tradisi lokal, sehingga melahirkan corak Islam yang khas pada setiap suku bangsa.

Damainya ekspresi Islam Indonesia, juga tidak terlepas dari proses penyebarannya yang melalui jalur perdagangan dan budaya. Di Jawa, Wali Sanga mengajarkan Islam dengan mengubah istilah-istilah yang kental nuansa Arab dengan anasir-anasir lokal yang mudah dipahami masyarakat tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam sendiri, seperti istilah puasa dengan shaum.

Islam di Indonesia selama ratusan tahun juga mampu hidup berdampingan dengan berbagai keyakinan yang ada, mulai dari berbagai jenis aliran kepercayaan lokal hingga agama-agama besar dunia lainnya. Kondisi multikultur ini melahirkan Islam yang terbuka dengan pengaruh dari negara-negara lain. Kondisi ini jelas terlihat dalam arsitektur sejumlah masjid tua di Indonesia, yang memadukan arsitektur gaya Hindu, Cina, India, Persia, maupun Arab.

Keterbukaan Islam Indonesia juga berlangsung hingga kini dengan bebas masuknya berbagai pemikiran keislaman ala Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Asia Selatan. Kondisi inilah yang seharusnya mendorong Muslim Indonesia untuk turut menyebarkan Islam khas Indonesia ke seluruh penjuru dunia.

”Islam Indonesia menjadi sangat kontekstual untuk dikembangkan saat ini. Sebuah ekspresi Islam yang damai, dialogis, dan multikultural,” kata Suaedy.

Islam Indonesia memang sangat kurang terpublikasi ke dunia internasional. Bahkan, di tingkat Asia Tenggara pun, publikasi tentang Islam Indonesia kalah dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura.

Literatur ekspresi Islam lokal Indonesia sangat jarang, termasuk dalam skripsi hingga disertasi mahasiswa jurusan agama. Jarang cendekia Indonesia yang mengungkap kearifan dan cara pandang pemimpin agama maupun tradisi lokal umat Islam Indonesia.

Dalam literatur global, Islam di Timur Tengah masih menjadi acuan utama. Para cendekia Barat masih memandang Islam dari penampilan formalnya sehingga ekspresi Islam non-Arab dianggap sebagai bagian dari kultur lokal, bukan bagian dari ekspresi Islam yang telah beradaptasi dengan nilai-nilai lokal.

”Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, ekspresi Islam justru tidak pernah diapresiasi,” katanya.

Kurangnya publikasi Islam Indonesia sebenarnya sejalan dengan perkembangan kondisi ekonomi, teknologi informasi, kualitas manusia, serta tingkat pendidikan masyarakat Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia cenderung lebih suka menjadi konsumen, termasuk dalam mengekspresikan keagamaannya dan membuat gerakan Islam.

Kondisi ini harus didobrak agar Indonesia tidak sekadar menjadi konsumen terhadap segala produk luar negeri, termasuk dalam pemikiran. Sikap rendah diri yang membuat segala sesuatu dari luar negeri dianggap lebih baik harus diubah.

”Islam Indonesia harus mampu menguasai teknologi dan kemodernan lainnya sehingga bisa mewartakan ekspresi Islam Indonesia ke seluruh dunia,” katanya.

Indonesia sebenarnya memiliki cukup potensi untuk menyebarkan ekspresi Islam Indonesia ke seluruh dunia. Pesantren, kelompok masyarakat madani, perguruan tinggi agama milik pemerintah, dan sejumlah ormas Islam merupakan sumber daya besar yang dapat digunakan untuk menggaungkan Islam Indonesia.

Namun, lembaga pendidikan dan kelompok masyarakat madani itu masih sangat sedikit yang menghasilkan karya-karya tentang Islam Indonesia. Mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Timur Tengah pun sulit mengembangkan Islam khas Indonesia. Hal itu terjadi karena selama di Indonesia mereka kurang dibekali dengan pemahaman tentang Islam Indonesia.

Akibatnya, saat belajar di Timur Tengah, mereka lebih banyak mengadopsi pemikiran Islam Timur Tengah. Pengadopsian itu—seperti juga yang dilakukan terhadap pemikiran Barat maupun Timur lainnya—takkan menimbulkan masalah jika dibarengi dengan kultur Indonesia.

Pemerintah perlu lebih serius menyikapi kondisi ini. Perkembangan pemikiran di Indonesia yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa dapat mendorong disintegrasi bangsa akibat diabaikannya multikulturalisme dan pluralisme.

”Sebagai bagian dari nilai budaya, pengekspresian Islam ala Timur Tengah yang tidak disesuaikan dengan tradisi Indonesia dapat mengganggu tatanan sosial yang ada,” lanjut Suaedy.

Tekanan
Selain sulit untuk mengampanyekan Islam ala Indonesia ke luar negeri, di dalam negeri pun Islam Indonesia banyak mengalami tekanan. Banyak kelompok umat Islam yang hanya menjadi distributor dari pemikiran dan ekspresi Islam di luar Indonesia untuk diterapkan secara mentah. Distribusi pemikiran dan ekspresi Islam luar negeri ini terentang luas, mulai dari Islam yang radikal fundamental hingga Islam yang liberal progresif.

”Yang liberal progresif ingin mengekspresikan Islam seperti di Eropa atau AS, sedangkan yang radikal fundamental ingin ber-Islam dengan gaya Timur Tengah atau Afganistan. Semua sama-sama menafikan nilai-nilai keislaman lokal,” ujar Suaedy.

Bagi sebagian kalangan, Islam Indonesia dianggap bukanlah Islam yang murni seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Islam Indonesia dianggap sudah terkontaminasi dengan berbagai tradisi lokal yang sudah telanjur dicap tidak Islami.

Menurut Suaedy, kondisi itu akibat adanya kesenjangan antara Islam sebagai gagasan yang ideal dan Islam yang menghadapi realitas sosial. Kelompok yang menganggap Islam Indonesia tidak murni selalu ingin menampilkan Islam ala Timur Tengah yang dianggap murni. Kampanye Islam yang dianggap murni itu tanpa disadari telah turut menyebarkan kultur budaya Timur Tengah yang berbeda dengan kultur di Indonesia.

Inspirator
Pandangan keagamaan Suaedy tak terlepas dari pemikiran mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Abdurrahman Wahid. Konsep ”pribumisasi Islam” yang senantiasa didengungkan Wahid dinilai Suaedy sebagai konsep Islam yang lengkap.

Pribumisasi Islam merupakan sebuah konsep Islam yang menyatukan Islam, masyarakat, dan negara bangsa. Padahal, dalam berbagai pemikiran dan literatur Barat yang ada, ketiga pilar itu sering diulas terpisah.

”Konsep inilah yang mengajarkan bagaimana menjadi orang Indonesia yang beragama Islam dan orang Islam yang asli Indonesia. Konsep ini juga memadukan berbagai nilai-nilai budaya modern, seperti HAM, sehingga tidak diperlukan istilah HAM Islam,” lanjutnya.

Suaedy besar di pesantren. Ia menamatkan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah di Pesantren Islahiyah Kediri. Setelah itu, ia kembali ke Kebumen dan mengulang pendidikannya mulai dari kelas I SMP. Ia melanjutkan ke madrasah aliyah di Kebumen sambil nyantri di Pesantren Lirap. Di kedua pesantren di Kebumen itu, ia khusus mempelajari Nahwu dan Shorof yang mengkaji tata bahasa Arab.

Dunia pesantren yang tradisional membuat Suaedy kecil tidak terlalu banyak mengenal bacaan dan literatur Islam modern. Perkenalannya dengan berbagai pemikiran Islam kontemporer dimulai ketika dirinya kuliah di Jurusan Tafsir Hadits Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Pemikir Islam lainnya yang ia kagumi antara lain almarhum Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, hingga Masdar F Mas’udi. Sedangkan pemikir mancanegara yang mengilhami pemikirannya antara lain Hassan Hanafi dari Mesir dan Fazlul Rahman dari Pakistan.[]

*Kompas, Sabtu, 8 Maret 2008

** Wartawan Kompas

Kosakata Arab dalam Bahasa Indonesia

Tempo, 09 Agustus 2010

Agung Y. Achmad

Wartawan

KEHADIRAN para saudagar Arab di bumi Nusantara, yang diperkirakan terjadi sejak abad pertama Masehi, telah meninggalkan jutaan kosakata. Kata-kata Arab ini di kemudian hari menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Sejarah panjang kontak dagang dan akulturasi antara para saudagar Arab dan masyarakat Melayu di bumi Nusantaralah yang membentuk kenyataan itu.

Asimilasi budaya selalu mengandaikan intensitas peristiwa linguistik. Dari sana, lahirlah kosakata, istilah, dan nomenklatur baru hingga akhirnya jutaan kosakata Arab berhasil memperkaya bahasa Melayu. Penetrasi damai kultur Arab, terutama melalui perkawinan di bumi Nusantara, merupakan penjelasan tak terpisahkan tentang bagaimana proses pengayaan nomenklatur Arab terhadap bahasa Melayu itu berlangsung secara mulus.

Hatta, ketika wilayah Nusantara menjadi sebuah negara modern pada 1945, nomenklatur Arab konon telah mengisi sekitar 30 persen khazanah kosakata Indonesia. Karena itu, wajarlah bila ada anggapan bahwa keberadaan bahasa Melayu merupakan bukti sejarah pengaruh bahasa dan kultur di Asia Timur. Kosakata seperti sultan, wajah, ikrar, kimia, dunia, dan zaman menjadi bagian dari bahasa Indonesia karena pengaruh bahasa Arab. Jutaan kosakata itu kini telah menjadi kesepakatan bersama masyarakat bahasa di negeri heterogen ini, tak hanya bagi kalangan muslim. Bahasa adalah salah satu unsur pembentuk peradaban yang mampu melintasi sekat-sekat identitas tertentu semisal agama.

Belakangan, kontak peradaban itu membawa nomenklatur Islam. Dalam catatan Azyumardi Azra (2002), kontribusi Islam cukup besar dalam memajukan perkembangan historiografi (baca: historiografi linguistik-pen.), karena ajaran agama tersebut mampu membangkitkan kesadaran sejarah masyarakat Nusantara. Tidak hanya menyerap kosakata baru, bahasa Melayu juga memperkaya bahasa Arab, setidaknya melalui terminologi kafur. Bahkan, dalam Al-Quran kata itu disebut, yakni pada surat Al-Insan ayat 5: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kapur."

Dalam suatu orasi ilmiah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 11 Desember 2001, Nurcholish Madjid menyebutkan, "... Yang dimaksud 'kafur' di situ adalah kapur dari Barus (Tapanuli Tengah-pen.), yang saat itu sudah merupakan komoditas yang sangat penting di Timur Tengah, bahkan ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman." Karena itu, adalah hal normal belaka bila kata kafur masuk ke kesadaran linguistik masyarakat Arab-basis bahasa Al-Quran-kala itu.

Namun fakta historis yang elok itu kini mengalami kemunduran dalam spirit kultural. Ada tren "puritanisme" dalam penggunaan kata serapan bahasa Arab-Islam. Kata "shalat", misalnya, sering ditulis orang sesuai makhraj dalam bahasa asalnya dan tidak kursif. Padanan "shalat" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah salat. Ada kesan bahwa penulisan adzan dan akhlaq-tidak miring-itu lebih utama secara makna ketimbang menyajikan kata azan atau akhlak.

Media massa Indonesia umumnya tidak melakukan koreksi yang berarti terhadap kekeliruan itu. Sulit dijumpai di surat kabar kosakata baku seperti bidah, insaf, zalim, musala, atau duafa. Hampir semua lembaga Islam juga mengukuhkan kecenderungan tersebut. BAZIS, umpamanya, lazim ditulis sebagai akronim Badan Amal Zakat Infaq Shadaqah (lihat www.bazisdki.go.id). Gejala tersebut tentu saja kontraproduktif bila mengingat pertemuan peradaban Arab-Melayu telah menghasilkan jutaan kosakata dan istilah yang mencerminkan simbol-simbol sosio-antropologis masyarakat Nusantara.

Simak penggunaan kata "silaturahim", dan bukan silaturahmi (KBBI), misalnya. Saya pernah bertemu seorang sarjana lulusan sebuah universitas di Madinah yang membenarkan penggunaan "silaturahim" itu. Cara berbahasa semacam itu bisa dijumpai pada hampir semua media atau buku Islam yang ditulis tidak dalam semangat kultural atau tinjauan akademik memadai.

Padahal, sang sarjana itu, sebagaimana jutaan masyarakat Indonesia penggemar sepak bola, permisif terhadap nama Zlatan Ibrahimovic. Semua mafhum, di dalam tubuh pemain di klub Barcelona itu mengalir darah (baca: kultur) Iran dan Cekoslowakia (Eropa Timur), sebagaimana Zainuddin Yazid Zidan yang, lantaran pertautan budaya Aljazair dan Prancis, disapa Zinedine Zidane, atau seperti Mohammed "Momo" Sissoko dan Franck "Bilal" Riberry lantaran latar belakang kultural mereka masing-masing.

Fenomena "Ibrahimovic" yang khas Indonesia dalam berbagai variasi pendekatan (fonetis dan morfologis) juga banyak, seperti Dawam Rahardjo, Thamrin Tamagola, Mochtar Lubis, Dul, Hanapi, atau Saepudin. Nama-nama tersebut sulit diingkari bukan hasil dari asimilasi budaya.

Sunday, August 8, 2010

Hermeneutika Otentisitas atau Politik Identitas?

[Laily Fauziyah, mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta]

Judul: Mencari Islam Autentik dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, Penulis: Robert D Lee, Penerjemah: Ahmad Baiquni, Penerbit: Mizan, Bandung, Edisi: Februari 2000, Tebal: 279 halaman termasuk indeks.

KETIKA kemajuan sebuah kebudayaan dituntut agar setia dengan karakter primordialnya, maka tema tentang "hermeneutika otentisitas" bergaung keras di situ. Sebuah problem tentang cara memahami tradisi dan kemampuan direktifnya bagi kehidupan masa kini.

Bagaimanakah menghadapi perubahan zaman berdasar konsepsi diri yang otentik, yang setia pada warisan tradisi? Bagaimana pula warisan tradisi harus diaktualisasi sebagai orientasi nilai bagi masa kini?

Persoalannya adalah (orang semacam M Arkoun paham betul hal ini) bahwa tradisi bukanlah sehimpun norma yang dapat dengan gampang ditunjuk. Ibarat rambu, tradisi adalah tanda yang acuannya tidak tentu, remang dan kabur. Makna dari tanda itu tergantung pada siapa yang menafsirkannya. Dan itulah soalnya: penafsiran. Maka, ketika ada banyak tafsir tentang tradisi, ada beragam versi tentang otentisitas Islam, manakah di antaranya yang paling benar? Apakah suatu tafsir dapat menjadi lebih unggul dibanding yang lainnya, dan apa kriterianya? Ataukah tradisi harus tetap terbuka dan biarlah muncul pluralitas tafsir tentangnya? Lalu, bila demikian, mana tafsir yang otentik dan mana yang tidak?

Sayangnya, setiap tafsir memiliki kecenderungan yang sama untuk menjadi otoriter dan intoleran. Penafsiran ternyata bukan cuma soal pemahaman dan rumusan; tetapi juga seleksi dan penyisihan. Dalam kata-kata Michel Foucault, penafsiran adalah proses yang mesti dijelaskan "melalui apa, atau siapa, yang ia kecualikan atau tidak dibenarkan masuk".

Dalam proses tersebut, sejumlah kemungkinan makna segera disingkirkan. Dan satu pengertian tertentu, yang menguntungkan, ditahbiskan sebagai kebenaran. Kwok Pui Lan, sebagaimana dikutip SJ Samartha (1994), menyebutnya sebagai "politik kebenaran". Sebuah hujah bahwa tentang tafsir landasannya tidak pernah terbatas pada level epistemologis semata, namun lebih pada konteks relasi-relasi kuasa yang ada dan beroperasi dalam masyarakat. Jadi jelasnya, ihwal penafsiran ini cenderung merupakan soal "siapa yang berkuasa menafsirkan" ketimbang soal "kebenaran penafsiran" itu sendiri.

Jika demikian, apakah damba akan keotentikan dan hasrat untuk realisasi diri, ini menjadi sesuatu yang sia-sia? Cuma soal pemaksaan kehendak pihak yang lebih kuat?

Apakah setiap pencarian otentisitas akan selalu berarti "politik identitas" yang berakhir pada pertentangan secara antagonistik? Ataukah ada sebuah hermeneutika tentang otentisitas yang membawa semua keragaman tafsir ini pada wilayah dialog dengan melalui pengkajian yang bersifat kritis dan reflektif?

***

BUKU Robert D Lee ini menarik karena berhasil menempatkan problem otentisitas di kalangan umat Islam sebagai problem yang bersifat universal dan plural; tidak khas Islam dan tidak pula tunggal dan linear. Dengan begitu, pengalaman Islam dapat ditempatkan sebagai bagian dari diskusi yang lebih luas tentang problem sejenis yang di Barat sendiri sudah dibicarakan semenjak dua abad lalu.

Hal ini sekaligus dapat meloloskan Lee dari stereotip konvensional Barat tentang Islam yang biasa memahami fenomena itu sebagai fenomena tunggal dalam kategori-kategori semacam tradisionalisme, fundamentalisme, bahkan reaksionisme.

Dalam bukunya Lee mengulas empat pemikir Muslim yang dianggapnya paling menonjol menyuarakan tema otentisitas ini, yaitu M Iqbal, Ali Syariati, Sayyid Qutb, dan M Arkoun. Keempat pemikir ini menurut Lee telah berupaya menegakkan kembali landasan-landasan religius untuk membangun kehidupan yang bermakna, efektif dan modern, serta mengonstruksi masyarakat.

Kendati begitu, keempatnya mendapati bahwa tak satu pun model Islam yang dominan saat ini, entah Sunni atau Syiah, mampu memenuhi tugas ini. Mereka semua mengkritik pemikiran arus utama itu karena kekolotan, fragmentasi, dan ketakacuhannya terhadap persoalan kehidupan modern.

Bagi Iqbal, otentisitas harus berpangkal pada kesadaran individu sebagai kesadaran yang unik. Keotentikan mengimplikasikan bahwa pencarian kebenaran harus dimulai dari pengalaman manusia dalam keunikannya yang tak berhingga. Penekanan pada keunikan ini justru dapat mengantarkan pada sumber semua individualitas, yakni Tuhan.

Kedua "iman" ini bagi Iqbal tidaklah bertentangan tetapi justru saling memperkuat: kebenaran Islam lahir dari kesesuaiannya dengan intuisi potensi diri untuk mengada secara otentik. Dengan kata lain, Islam merupakan jalan yang dengannya seseorang dapat menemukan keunikan dan universalitasnya. Dengan menemukan esensi "diri", seseorang menemukan wujud yang ia miliki bersama dengan Tuhan dan semua makhluk lainnya.

Sama dengan Iqbal, Qutb juga berpandangan bahwa penyelesaian problem otentisitas membutuhkan transformasi diri dan masyarakat. Bedanya, Iqbal berkonsentrasi pada bagian pertama permasalahan itu: pemulihan eksistensi diri dari bahaya kepasifan, stagnasi, ritualisme dan dominasi asing. Qutb, sebaliknya, atau kelanjutannya, menggarap masalah transisi dari pemulihan individu menjadi dominasi masyarakat. Dia berusaha mendorong kelompok untuk melakukan tindakan dan menjabarkan alasan rasional bagi kelompok untuk melakukan revolusi melawan masyarakat yang telah ada. Dengan demikian bagi Qutb titik tolaknya bukanlah keunikan diri atau ego tetapi "fitrah" manusia; keumuman kodrat dan bukan individuasi. Setiap orang cuma perlu kepekaan terhadap totalitas alam, bukannya pemahaman terhadap ego, untuk merasakan insting religius. Melalui fitrah yang seragam inilah manusia akan memberikan tanggapan yang serupa dengan menyerahkan kemampuannya untuk mengikuti kehendak Allah.

Sementara itu, posisi Syariati dalam memandang problem otentisitas penuh dengan ambiguitas dan kontradiksi --sesuatu yang bukan mencerminkan kekurangannya sebagai pribadi melainkan tingginya tingkat kesulitan upaya yang digelutinya. Sama dengan semua penganjur keotentikan, Syariati memandang pentingnya penelusuran terhadap akar-akar budaya sendiri sebagai dasar bagi pemahaman diri dan landasan bagi aksi massa.

Untuk itu Syariati melakukan telaah terhadap figur-figur sejarah Syiah dan peristiwa-peristiwa keagamaan seperti haji sehingga orang-orang Iran bisa memiliki model yang lebih detail, lebih bernuansa bagi perilaku "otentik". Metode Syariati adalah induktif tetapi hasilnya adalah pemikiran yang sangat abstrak dan umum tentang ihwal kondisi manusia.

Namun, di atas semua ini, Syariati mesti dipandang sebagai seorang internasionalis, seseorang yang karya-karyanya merupakan ajakan bagi penemuan kembali pertalian manusia melalui penjelajahan atas akar-akar kebudayaan yang berbeda. Meskipun penekanannya adalah tradisi Islam, khususnya warisan budaya Syiah, namun tujuan dan sasaran Syariati tetaplah pembebasan, bukan saja bagi Syiah atau Muslim pada umumnya saja, namun bagi umat manusia dari semua jenis, kebudayaan dan keimanan.

Dimensi "universal" ini semakin menonjol dalam model otentisitas yang ditawarkan Arkoun. Ketimbang mencari landasan otentisitas ini pada penggalan-penggalan historis Islam secara semena demi sebuah kenyamanan ideologis, Arkoun mengajak untuk kembali pada apa yang disebutnya "fakta Quran".

Dari sini Arkoun menunjukkan pada kerangka pemahaman yang lebih umum, yaitu kesamaan instingtif religius bukan saja di antara masyarakat-masyarakat Muslim namun dalam masyarakat-masyarakat Ahli Kitab secara keseluruhan. Jadi, Arkoun memandang wahyu sebagai hal yang fundamental, tetapi ia memaksa kita untuk tidak menelaah tradisi Islam secara ekslusif melainkan dalam konteks wahyu yang diterima Ahli Kitab dan dalam konteks fenomena wahyu pada umumnya.

***

MELALUI uraiannya atas konsep otentisitas menurut keempat pemikir Muslim tersebut, Robert D Lee berhasil menunjukkan geliat kaum Muslim dalam ikhtiarnya untuk tetap otentik dan pada saat yang sama menjadi modern. Lee juga berhasil menyusun tema-tema yang dibicarakan dalam konsep otentisitas itu secara rinci dan mengonstruksikannya sebagai sebuah dialog tentang problem kemanusiaan uniersal, bukan saja di antara umat Islam sendiri tetapi juga seluruh umat manusia.

Kendati begitu, ada beberapa persoalan yang dibiarkan tetap terbuka oleh Lee, misalnya, soal dilema esensialisme dan kecenderungan untuk menjadi landasan universal yang membayangi keempat konsep keotentikan tersebut. Padahal, klaim otentisitas menuntut keunikan ketimbang universalitas, kekonkretan daripada abstraksi, dan keragaman ketimbang kesatuan. Menurut Lee, pencarian keotentikan akhirnya terjebak pada paradoks pengesahan dimensi-dimensi yang bertentangan dengan tuntutan otentisitas itu sendiri. Dilema otentisitas adalah bagaimana bisa menjadi diri sendiri tanpa harus menolak pluralitas dan mengesampingkan "unsur lain". Apakah ini berarti bahwa otentisitas harus berakhir pada relativisme karena setiap orang adalah "anak haram sejarah", seperti kata Salman Rushdie. Apakah otentisitas harus menyediakan keragaman tanpa batas; sebuah (dalam kata-kata Rushdi lagi) "perayaan pemblasteran dan mempertakuti kemutlakan Kemurnian".

Setiap pencarian otentisitas rupanya selalu dibuntuti oleh dilema-dilema yang terus menggayut.

Retrieved from: http://media.isnet.org/islam/Etc/Otentisitas.html (August 8, 2010)