Wednesday, June 19, 2013

Akulturasi Agama Dalam Ritual Sedekah Laut di Cirebon dan Cilacap

 Bayu Kreshna Adhitya Sumarto
Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Diponegoro
Abstract
The culture of community  sometimes can be change when there are some cultures from the outside come for mixed. Without aware, we have been  on the change. Religion acculturation in Indonesia is very effect on the culture inside, An example “Sedekah Laut” a culture from Indonesia is a part of the religion acculturation, beginning of the history of development, to the sustainability of current activities. Acculturation of “Sedekah Laut” in Indonesia especially in the Cirebon and Cilacap come from mixing of the culture animism and dynamism, the Hindu-Buddhist and Islamic.
Key Words : Religion Acculturation , Culture, Sedekah Laut, Cilacap, Cirebon.

1.    Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan agama yang sangat besar (heterogen), seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang pada setiap pulaunya memiliki kultur yang berbeda-beda, dan hal ini sering disebut sebagai multi etnis dan agama.
Dalam hal ini, Budaya dan Agama sangat berkaitan erat, dikarenakan dalam studi antropologi istilah culture (budaya) secara etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti “cultus” dan “culture”, sehingga budaya tercipta dari hasil pengaruh agama terhadap diri manusia (Izebigovic, 1992).
Keberagaman kultur budaya dan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia, tentunya tidak datang secara tiba-tiba yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, namun melalui beberapa tahapan perkembangan sejarah Negara. Mulai dari sejarah warisan budaya pribumi masa lampau, hingga kedatangan pedagang-pedagang dari luar yang membawa kebudayaan dan agama bangsa mereka (kultur luar) ke wilayah Nusantara (khususnya Maluku dan Jawa).
Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling kental tentang akulturasi keagamaannya, terkait dengan adat istiadat pribumi pada saat itu hingga penyebaran agama (yang mulai mengubah membaur dalam budaya) oleh bangsa-bangsa dari luar yang melakukan aktivitas perdagangan di Indonesia.
Pada awal sejarah Indonesia, Tanah Jawa di kenal dengan faham animisme dan dinamisme-nya, dimana sebagain besar masyarakat Jawa pada saat itu melakukan pendewaan dan pemitosan pada ruh-ruh nenek moyang yang kemudian menjadikannya sebagai dewa pelindung pemiliki kekuatan gaib yang melindungi keluarga yang masih hidup (Ridwan, 2005).
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib pada saat itu, dipandang sebagai dewa atau bahkan Tuhan yang dapat menolong, ataupun sebaliknya yang dapat mencelakakan. Hingga mulai timbul-lah inisiatif pembuatan kegiatan ritual-ritual yang mendatangkan arwah nenek moyang atau dewa, kemudian mengucapkan mantra, memberikan sesaji dan sebagainya di dalam upacara ritual tersebut. Dalam hal ini, W. Robertson Smith memandang bahwa upacara yang dilakukan pada saat itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak hanya berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, namun juga karena mereka menganggap melaksanakan ritual keagamaan adalah bagian dari kewajiban sosial (Koentjarajakti, 1992).
Sedekah laut merupakan bagian ritual “keagamaan” pada saat itu yang masih tertinggal hingga kini dalam lingkup keberlangsungan hidup nelayan. Ritual sedekah laut sangat kental terasa di wilayah Jawa khususnya Pantai Selatan Jawa. Ritual sedekah laut dikenal pada masyarakat awam Jawa dengan definisi pemberian macam-macam sesaji kepada yang mbau rekso atau yang menguasai laut selatan yang dikenal dengan sebutan kanjeng ratu kidul, sebagai bentuk rasa syukur (berterima kasih) atas rejeki laut dan keselamatan yang telah diterima saat melaut.
            Di daerah Cirebon dan Cilacap tradisi sedekah laut diadakan setiap setahun sekali yaitu pada bulan Sura (nama salah satu bulan pada tanggalan jawa) atau Muharam (nama salah satu bulan pada tanggalan islam) bertepatan dengan hari Jum’at kliwon atau Selasa kliwon.
2.    Akulturasi Agama di Indonesia  
Akulturasi menurut Koentjaraningrat (1999) dapat diartikan sebagai bentuk percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi disuatu kawasan atau lingkungan masyarakat, atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, yang terserap secara selektif, sedikit ataupun banyak.
Akulturasi agama itu sendiri berarti dapat diartikan sebagai masuknya agama (kepercayaan) dari luar (asing) kesuatu daerah yang sebelumnnya telah memiliki kepercayaan, kemudian berinteraksi dan membaur sehingga lambat laut akan terjadi percampuran kepercayaan didalamnya. Akulturasi agama (kepercayan) di Indonesia, dimulai pada abad pertama masehi hingga abad ke 6 masehi dimana agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia oleh para pedagang-pedagang di Pesisir Nusantara, yang dalam sejarah bangsa Indonesia ditandai dengan berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara, Mataram dan Majapahit (Hindu),  kemudian Syailendra dan Sriwijaya (Budha). Keseluruhannya adalah kerajaan-kerajaan besar Hindu-Budha dijamannya yang kemudian memberikan kontribusi atau kemajuan tersendiri bagi keberlangsungan kepercayaan masyarakat Indonesia yang beraliran animisme dan dinamisme  pada saat itu, yang kemudian lahirlah yang namanya Hindu-Budha yang kejawen. Di dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi yang kemudian pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa, yang berarti rakyat harus tunduk kepada raja untuk mencapat keselamatan dunia-akhirat (Onghokham. 1991). Hal ini yang nantinya berpengaruh pada otoritas sultan atau raja dalam pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan masyarakat pada saat itu.
Pada abad ke 12 masehi islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang Gujarat yang mendarat di Pesisir Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, hal tersebut ditandai dengan adanya kerajaan Perlak, Samudera Pasai, Aceh, Demak dan sebagainya.
Di Jawa, Islam menghadapi suasana yang kompleks yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya.  Pertama, budaya nelayan dan petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas (Simuh, 1995).
Akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa yang telah dimasuki budaya Hindu-Budha dapat ditemukan dalam wujud gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah genealogis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam konsep  nur-roso dan  nur-cahyo. Menurut silsilah keraton,  nur-roso dan  nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah  nur-roso dan  nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad (Kuntowijoyo, 1996).
Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai berikut: 
“Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang berputrakan SisSis berputrakan  Nur-cahyonur-cahyo berputrakan  nur-rasanur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu) (Olthof, 2008).
Dalam Perkembangannya pengaruh islam pada masyarakat Indonesia tidak lepas dari peran para wali yang dikenal oleh orang Jawa sebagai Wali Songo (Sembilan Wali). Para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit.
   Hal inilah bentuk akulturasi yang sampai sekarang masih terasa melekat dalam tradisi “Sedekah Laut” saat ini, Aliran animisme dan dinamisme dalam tujuan ritual, kemudian pelaksanannya yang masih tergantung dari kebijakan pihak keraton atau raja, dan terakhir isi mantra-mantra yang dibacakan menggunakan bahasa arab atau bahkan sebagian menyunting dari ayat dalam kitab suci umat islam yaitu Al-Qur’an. Ketiga budaya keagamaan tersebut melebur dalam satu ritual masyarakat yang bernama “Sedekah Laut”.
3.    Sedekah Laut
Tradisi sedekah laut merupakan membuang sesaji ke laut dengan maksud memberikan makan kepada yang mbaurekso atau penguasa laut.
 Sedekah Laut di Cirebon
Sumber : erwini.files.wordpress.com
   
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sedekah laut pada dasarnya diadakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat nelayan kepada Tuhan, penguasa laut, hantu laut, ruh-ruh nenek moyang dan sebagainya (menurut kepercayaan masing-masing). Tradisi ini dilakukan juga sebagai bentuk permohonan keselamatan, permohonan ijin melaut sepanjang tahun, dan kesejahteraan laut yang menjadi ladang mencari rejeki.
Sedekah Laut di Cilacap
Sumber : jateng.tribunnews.com
Ritual sedekah laut umumnya dilakukan pada bulan Sura atau bulan Muharam di hari-hari yang telah di tetapkan, semisal jumat kliwon dan selasa kliwon di bulan tersebut. Bulan Muharam adalah bulan yang sakral bagi umat islam bahkan menjadi salah satu bulan suci bagi umat islam sebagai bentuk evaluasi diri, pengutaraan rasa syukur kepada Allah SWT  dan pergantian tahun pada kalender Hijriah. Begitupun dalam kacamata orang jawa yang telah terakulturasi kebudayan Islam dari animisme-dinamisme dan Hindu-Budha, hanya bedanya,, bagi sebagian masyarakat Jawa bulan Suro adalah bulan yang mistis atau keramat. Pada bulan ini, umumnya masyarakat Jawa tidak berani untuk melakukan kegiatan apapun, seperti pernikahan ataupun hajatan, dikarenakan takut menimbulkan petaka bagi keberlangsungan hidup mereka (Purwanti, 2010).
Kegiatan di bulan Sura biasanya adalah kegiatan selametan dan persembahan yang sering diikenal dengan istilah-istilah tirakatan (selametan) dan Sadranan atau Nadran (Pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi lauk pauk dan bermacam-macam kembang yang kemudian di Larung ke laut disertai dengan kepala kerbau) “Sedekah Laut”.
Menurut beberapa definisi etimologi nadran berasal dari bahasa arab yaitu nadar yang berarti “syukuran”, sesuai dengan akulturai dari pengaruh islam di Jawa yang menurut orang Jawa (Jawa Kejawen) sebagai bentuk rasa syukur kepada penguasa “halus” wilayah tertentu, menggunakan sesaji, dupa dan sebagainya,  sebagai perantara perlancar maksud seperti tradisi Hindu-budha.
3.1. Sedekah Laut di Cirebon
Sedekah laut di cirebon dikenal dengan sebutan “nadran”, seperti yang telah disebutkan diatas yang berarti “syukuran”. Sedekah laut di Cirebon dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rejeki laut yang telah diperoleh selama 1 tahun melaut dan memohon agar dimasa mendatang dapat menghasilkan lebih banyak lagi (ikan).
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu (yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta (Agustina, 2009).
Pada Nadran di Cirebon ada istilah Bedug Basu, yaitu tokoh (roh leluhur) yang menjadi cikal bakal adanya ikan di laut. Dalam ritualnya, sedekah laut juga meminta keselamatan agar terhindar dari gangguan roh-roh halus yang jahat.
Umumnya ritual nadran disertai  dengan penyajian tari-tarian, pegelaran wayang kulit, doa-doa dan mantra juga sesajen.
Pada prosesi pelaksanaannya, nadran atau sedekah laut di Cirebon biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat sesajen lainnya dilarung ke tengah laut lepas dan kepala kerbau tersebut ditenggelamkan. Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagi-bagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut sebagai bancaan atau berkah yang langsung dimakan ataupun dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga.
3.2. Sedekah Laut di Cilacap
Pada masyarakat Cilacap, sedekah laut lebih dikenal dengan istilah Larung sesaji, yang merupakan prosesi  menghanyutkkan sesaji ke laut sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penguasa laut pantai selatan, Nyai Roro Kidul. Sosok Nyai Roro Kidul sangat dihormati dikalangan nelayan Cilacap, mereka berpendapat bahwa Nyai Roro Kidul adalah Ratu Pantai Selatan yang menjaga, mengatur serta menghidupi kelangsungan kehidupan di Pantai selatan Jawa. Mereka juga berpendapat bahwa, penghasilan baik dan buruknya mereka melaut adalah tergantung dari bagaimana kebaikan dari Ratu Pantai Selatan, oleh sebab itu guna menarik mendapatkan ridho, berkah dan keselamatan dari sang ratu, maka setiap tahun masyarakat melakukan persembahan kepada Nyai Roro Kidul dalam bentuk “Sedekah Laut”   
Pada mulanya ditahun 1871, tradisi ini dilakukan pada masa pemerintahan Tumenggung cakrawerdaya III. Pada saat itu, ia memerintahkan kepada sesepuh pandanarang, Ki Arsa Menawi untuk melarungkan sesasji kelaut pada bulan Sura, yaitu pada hari selasa dan jum’at Kliwon, sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan Nyai Roro Kidul. Walaupun sempat terhenti, namun ritual sedekah laut kembali diangkat pada tahun 1982 oleh Bupati Poedjono Pranjoto hingga saat ini.
Secara keseluruhan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam proses pelaksaannya Sedekah laut di Cirebon maupun di Cilacap, hanya istilahnya saja yang banyak berbeda. Dalam sedekah laut di Cilacap, ada istilah jolen yang berarti tempat sesaji dan hiasan jolen yang bernama janur (daun kelapa). Jolen-jolen inilah yang nantinya akan di ­larung kelaut bersama dengan kepala kerbau di daerah Teluk Penyu sekitar Karang Bandung sisi Timur Pulau Nusakambangan.
Berikut adalah tahapan prosesi sedekah laut di Cilacap :
a.       Pemasangan baliho dan iklan oleh pihak pemerintah mengenai jadwal dan tempat pelaksanaan.
b.      Sebelum hari pelaksaan, dilakukan nyekar atau ziarah ke Pantai Karang Bandung (Pulau Majethi).
c.       Pengambilan air suci di sekitar Pulau Majethi, sebagai tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma.
d.      Malam harinya dilanjutkan dengan Tirakatan di Pendopo Kabupaten
e.       Pemotongan tumpeng, pembuatan sesaji dan jolen tunggul berbentuk rumah joglo, serta pernak-pernik  kelengkapan yang akan di larung, termasuk pemotongan kepala kerbau.
f.       Esoknya, pembawaan sesaji (jolen) ke laut di iringi jolen tunggul dan jolen pendamping.
g.      Pembawaan sesaji ke kapal nelayan yang telah dihiasi hiasan warna-warni untuk dilepaskan ke lautan.
h.      Pelepasan sesaji ke laut, dilaksanakan secara khidmat.
i.        Malam harinya, diadakan pertunjukaan wayang semalam suntuk dan acara berlangsung 2 hari penuh.
4.    Penutup
Tradisi Sedekah laut, Nadran, Larung Sesaji atau Sadranan memiliki landasan filosofi yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat, walau dibalik keberlangsungan sejarah ritual sedekah laut terdapat sedikit polemik tentang bagaimana  ritual tersebut terbentuk di masyarakat.
Mencoba mengangkat kembali bahwa ritual sedekah laut tidak serta-merta muncul mentah hasil warisan budaya jaman dahulu, namun peran serta sejarah terutama “akulturai agama” yang ada didalamnya turut memberikan torehan nilai-nilai budaya. Animisme-dinamisme yang menjadi akar awal adanya ritual ini, lalu tata cara dan tahapan yang mendapat sentuhan Hindu-Budha, serta nuansa islam yang ada pada isi haturan setiap bait kata syukur dalam prosesi tersebut. 
Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam ritual sedekah laut baik di Cirebon maupun di Cilacap termuat dibalik rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai filosofi yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk-tari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritus-ritus lainnya, terlepas darimana dan bagaimana kebudayaan itu terbentuk atau tercipta.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Heriyani. 2009. Nilai-nilai Filosofi Tradisi Nadran Masyarakat Nelayan Cirebon, Realisasinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan. Yogyakarta : Kepel Press.
Izebigovic, Alija. 1992. Membangun Jalan Tengah. Bandung : Mizan. Hal : 71
Koentjarajakti. 1992. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : UI Press.
Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
Kuntowijoyo, 1996. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Olthof, W. L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Narasi.
Onghokham. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES.
Purwanti, S., Wahyu., Dwi. 2010. Sedekah Laut dalam Masyarakat Nelayan Cilacap. Semarang : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Vol 5. No 1.Hal 52.
Ridwan. 2005. Dialek Islam dengan Budaya Jawa. Purwokerto: Ibda’. Vol 3. No.1. 18-32
Simuh. 1995. Sufisme Jawa, Transformasi Tasawwuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta : Bentang Budaya.
Http://erwini.files.wordpress.com/2008/11/sedekah-laut21.jpg. Pengambilan Foto 17 Januari 2008 Kamera : Nikon D50. Didownload pada tanggal 30 maret 2012 jam 12.45.
Http://jateng.tribunnews.com/foto/bank/im ages/sedekah-laut.jpg. Didownload pada tanggal 29 maret 2012 jam 20.33.
 
 Retrieved from: http://bayukreshnaadhitya.blogspot.com/2012/05/akulturasi-agama-dalam-ritual-sedekah.html