Oleh Budhy Kristanty
Kompasiana, 16 March 2012 | 16:01
Dalam kearifan budaya Samin, alam akan berlaku baik bila manusia memperlakukan lingkungan sama baiknya dengan apa yang diucapkan, dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh manusia, kata Mbah Hardjo Kardi, 71 tahun, sesepuh komunitas Samin menerangkan mengenai apa yang dirasakannya mengenai perubahan iklim.
Bojonegoro Teak Forest. Photo by Johanna Ernawati/ Bobo Magazine |
Dalam kearifan budaya Samin, alam akan berlaku baik bila manusia memperlakukan lingkungan sama baiknya dengan apa yang diucapkan, dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh manusia, kata Mbah Hardjo Kardi, 71 tahun, sesepuh komunitas Samin menerangkan mengenai apa yang dirasakannya mengenai perubahan iklim.
“Bila kami pikir hanya perlu satu pohon untuk
membangun satu rumah, kami hanya potong satu pohon saja. Tidak boleh
dua atau tiga. Itu dilarang,” kata mbah Harjo, tetua dari 50 kepala
keluarga petani komunitas Samin di Dusun Jepang, kabupaten Bojonegoro,
Propinsi Jawa Timur. “Bagi kami, ambil seperlunya dari alam. Jangan
tamak. Jujur saja, berapa yang diperlukan dan untuk apa,” ujar mbah
Harjo lugas seraya memberikan penjelasan akan filosofi komunitas Samin
akan kejujuran pikiran, hati dan perbuatan.
Di kehidupan sehari-hari, komunitas ini sangat percaya akan jatmiko (ajaran ilmu jiwa raga) untuk hidup selaras dengan lingkungan. “Alam mengerti bila kita sayang, begitu tutur pinutur
dari Ki Samin (pendiri komunitas Samin),” kata Bambang, cucu Mbah
Hardjo. Menurut mereka, karena manusia serakah menghabisi alam untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang tak pernah terpuaskan maka alam akan
mengimbangi dengan memberikan dampak buruk. “Alam sudah berubah karena
ulah manusia. Jika dulu hujan panas bisa diterka, sekarang tidak,” ujar
Mbah Hardjo.
Dalam praktik konservasi nyata, komunitas ini
ketat menerapkan aturan menjaga lingkungan, seperti tidak membiarkan
lahan tidur kosong tanpa pohon di wilayah desa serta melakukan ruwatan yaitu berdoa bersama untuk menghindarkan diri dari dampak yang ditimbulkan akibat kesalahan manusia.
Keunikan budaya Samin adalah kearifan mereka
berdasarkan pemikiran logis, berbeda dengan Kejawen. Yayan Rohman, camat
Margomulyo mengatakan bahwa kearifan Samin tidak berdasarkan mistis
seperti pohon tua warisan leluhur tidak boleh ditebang karena ada
penghuninya. “Jika perlu untuk pertumbuhan tanaman baru, mereka tak
segan menebang pohon.” Ujar Yayan.
Kerjasama menguntungkan dalam pengelolaan
lingkungan juga mereka lakukan dengan perum Perhutani. Secara rutin,
mereka melakukan ronda di hutan jati milik perkebunan milik negara ini.
Komunitas Samin menghormati wilayah perkebunan jati milik negara ini
dengan turut menjaga agar aman dari penjarahan liar. Sebaliknya perum
perhutani memperbolehkan komunitas melakukan pertanian wana tani tumpang
sari dan menebang kayu jati untuk pembangunan rumah mereka.
Catatan
Tulisan ini dibuat pada saat pembukaan konferensi anak nasional
majalah Bobo yang diselenggarakan pada hari Senin, 14 November 2011 di
gedung Gramedia Majalah di Jakarta. Mbah Harjo diundang sebagai tokoh
panutan anak-anak yang teguh memegang prinsip kejujuran, sesuai dengan
tema konferensi yaitu ‘Ayo Kita Jujur’
No comments:
Post a Comment