Tuesday, December 28, 2010

Munawir Sjadzali: "Saya Tak Akan Membuat Kejutan"

Tempo, 1996

Foto Munawir SjadzaliDI usia 71 tahun, Munawir Sjadzali masih tampak sehat. Sudah hampir sepuluh tahun tak berada di lingkungan kabinet, Munawir sama sekali tak menderita post power sindrome seperti umumnya bekas pejabat. Barangkali karena dia memang sejak awal tak mendambakan menjadi seorang menteri. Maka, sesaat setelah diangkat menjadi Menteri Agama pada Maret 1983, dia bergurau, "Mudah-mudahan saya memang akan menjadi kiai." Menanggapi tugas memimpin departemennya, dia juga berujar santai, "Saya tak membawa misi baru," ujar orang Klaten, Jawa Tengah, yang lahir 7 November 1925. "Juga tak akan membuat kejutan, saya kan bukan jenderal."

Orangnya lugu dan pandai mendongeng. Di depan para ulama Jawa Barat, September 1985, ia mengisahkan persahabatan antara beruang dan petani. "Suatu ketika," ceritanya, "beruang marah lantaran seekor lalat mengganggu tidur petani." Beruang lantas mengambil batu besar, dan menghunjamkannya ke dahi petani yang dihinggapi lalat. "Siapa pun tidak meragukan kesetiaan beruang," ujarnya. "Tapi ketololannya membuat petani mati." Yang mirip beruang tolol, menurut Menteri, banyak terdapat di masyarakat. Berlagak membela agama, padahal mementingkan diri sendiri.

Kepada para santri di Pondok Pesantren Kebarongan, Banyumas, Jawa Tengah, ia pernah mengungkapkan masa kecilnya. "Dulu, saya bersekolah tak mengenal sarapan, apalagi sepatu," katanya. "Tapi tak pernah lalai." Selesai SMP, ia masuk Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum di Solo, 1943.

Untuk menebus ijazah, suatu ketika ibunya menjanjikan akan menjual gelugu (batang pohon kelapa) di depan rumahnya. Setelah ia menebus ijazah, tiba di rumah ia kaget: gelugu masih tetap tegak berdiri. Sang ibu ternyata menjual kainnya. "Lalu bagaimana kalau Ibu mau ganti kain?" Ibunya tenang menjawab, "Kan bisa memakai sarung punya Ayah." Anak sulung dari tiga bersaudara ini tidak kuat membendung air matanya. Ia tersedu, bersimpuh di pangkuan ibunya.

Munawir bercita-cita masuk Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Tetapi, ayahnya, Kiai Mughaffir--pemimpin pesantren kecil di Klaten, seorang ahli nahwu (tata bahasa Arab)--tidak mampu mengongkosi. Ia lantas mengajar di SD Islam Gunungjati, Ungaran, 1944. Pecah revolusi kemerdekaan, ia prajurit penghubung antara markas pertempuran di Salatiga dan badan- badan kelaskaran Islam.

Sehabis Revolusi, ia pindah ke Jakarta. Rajin keluar masuk perpustakaan, ia kemudian menulis buku Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam? Pada 1950 itu, rupanya Bung Hatta membaca buku tersebut, dan memanggilnya. "Menurut beliau," kata Munawir, "secara kualitas buku saya perlu dikembangkan--berani menentang klise."

Lewat Bung Hatta pula ia beroleh pekerjaan di Seksi Arab/Timur Tengah Departemen Luar Negeri. Dari sini harapannya belajar di luar negeri terkabul. Tetapi bukan di Kairo, melainkan di Inggris. Ia mendalami ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas Exeter, 1953.

Ketika menjabat sekretaris III KBRI di Washington DC, ia menjadi part timer student di Universitas Georgetown. Meraih gelar M.A. untuk filsafat politik dengan tesis Indonesia's Moslem Parties and Their Political Concepts, 1959. Sejak itu karier diplomatnya menanjak mulus.

Lewat berbagai jabatan di Deplu, ia pernah menjadi Dubes RI untuk Emirat Kuwait, merangkap Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab, sejak 1976. Lantas ia bersiap untuk kembali ke dunia kitab, tetapi urung karena diangkat sebagai Dirjen Politik Deplu, 1980. Tiga tahun kemudian, ia menjadi menteri agama.

Menikah dengan Murni, ayah enam anak dan kakek lima cucu ini, senang mendengarkan musik. Meskipun memiliki rekaman Tchaikovsky dan Beethoven, "Saya merasa lebih at home dan in betul bila menikmati gambus," tutur penggemar biduanita Mesir, Ummi Kalsum, ini.

Olah raganya, segera setelah salat subuh, berjalan-jalan di belakang rumahnya. "Kadang-kadang saya melakukan exercise bersepeda dalam kamar."

http://www.tempo.co.id/ang/pro/1996/munawir_sjadzali.htm

Friday, December 24, 2010

Islam Nusantara (Tashwirul Afkar 26)

No 26/2008, 25.000

Hadirnya Islam Nusantara memiliki implikasi besar dan mendalam terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ini ditandai dengan, pertama, kuatnya hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang dipijak. Oleh karena, Islam Nusantara sejak awal gigih menolak kehadiran imperialisme atau penjajahan bangsa asing. Bahkan pesantren dijadikan basis perlawanan terhadap imperialisme: baik imperialisme politik maupun imperialisme kebudayaan.

Kedua, sejak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela kemerdekaan, mendirikan negara, termasuk ikut menyusun konstitusi yang bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi, sehingga lahirlah Pancasila sebagai konsensus bersama menjelang bangsa ini merdeka. Ketiga, dengan kecintaaannya pada tradisi dan tanah air, Islam Nusantara terbukti dalam sejarah tidak pernah memberontak terhadap pemerintah yang absah, karena pemberontakan ini dianggap pengkhiatan terhadap negara yang telah dibangun bersama.

Dengan kenyataan ini ada baiknya saat ini jaringan Islam Nusantara yang telah terbentuk selama beberapa abad diaktualisasikan kembali. Ini akan lebih kuat ketika seluruh organisiasi Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah yang memangku Islam Nusantara bersatu melakukan kerja sama. Ini bukan sebagai langkah mundur justru sebagai pijakan untuk maju ke depan. Semakin jauh rancangan kita ke depan dituntut untuk mencari pijakan yang kuat agar loncatan kita sampai pada arah yang dituju. Dengan memiliki akar dan legitimasi tradisi, program yang kita rencanakan untuk membangun Islam yang toleran dan apresiatif terhadap budaya lokal serta peduli terhadap nasib masyarakat setempat akan tercapai. Islam yang diperkenalkan bukan Islam yang mengancam, tetapi Islam yang memberikan pengharapan, memberikan perlindungan dan memberikan dorongan serta motivasi untuk kehidupan, baik dunia dan akhirat.

NU Vs Gerakan Trans-Nasional

Abd Moqsith Ghazali

Baru-baru ini PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) mengeluarkan seruan penting, sebagaimana dilansir NU Online pada tanggal 24 & 25 April 2007. PBNU meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan transnasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan ini dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan bukan sebagai jalan hidup. Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator dari gerakan mereka itu. Padahal, tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama.

Kiai Hasyim Muzadi pun mulai gerah terhadap tindakan mereka yang menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU. Tak berhenti sampai di situ, mereka itu, tandas Hasyim, telah mengambil alih mesjid-mesjid yang didirikan warga NU dulu. Hasyim meminta agar warga NU menjaga mesjid-mesjid tersebut agar tak dijadikan pangkalan untuk menyerang NU dan republik. Untuk menghalau gerakan mereka, demikian Hasyim, sekurangnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemantapan ideologi negara Pancasila. Dan semua gerakan politik di negeri ini harus berasaskan dan berdasarkan Pancasila, bukan yang lain. Kedua, perlunya mengukuhkan sendi-sendi Islam moderat hingga ke level bawah masyarakat. Yaitu, sejenis Islam yang berpandangan toleran ( tasamuh) terhadap pluralitas yang ada di Indonesia.

Sebagai orang yang terlahir dari kultur NU, saya memahami kegelisahan dan kewaspadaan yang disampaikan PBNU tersebut. Taushiyah itu kiranya tidak mengada-ada. Ia disusun pasti setelah PBNU memperhatikan data-data empiris, bukti-bukti otentik, dan mendengar laporan dari para kiai NU di daerah-daerah. Dan kewaspadaan NU tersebut cukup beralasan, karena kaum nahdiyyin tak rela Indonesia dalam petaka. Sebab, semua kita tahu bahwa NU adalah salah satu ormas keagamaan yang ikut mendesain berdirinya republik ini. Indonesia tegak, salah satunya, karena darah dan air mata para kiai NU dan warga nahdiyyin. Kaum nahdiyyin berjuang memanggul bambu runcing dan tongkat untuk mengenyahkan para penjajah di negeri ini. Kaum nahdiyyin bukan hanya berkorban harta benda bahkan jiwa mereka pertaruhkan untuk sebuah rumah bernama ” Indonesia”.
Demikian besarnya pengorbanan para kiai dan warga NU demi tegaknya Indonesia. Karena itu, wajar kalau NU geram terhadap perilaku sejumlah organisasi yang baru muncul seumur jagung untuk kemudian mengubah ideologi negara ini. Berkali-kali para kiai NU menegaskan bahwa Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya merupakan keputusan final. Bagi NU, Pancasila bukanlah ideologi transisi yang terpaksa diterima karena keadaan politik belum memungkinkan untuk menegakkan ideologi definitif, ideologi Islam misalnya. Sudah ada konsensus di kalangan NU, bahwa ideologi Pancasila bagi negara Indonesia adalah qath’i. Jelas, barangsiapa yang berkeinginan untuk mengubah Pancasila dan NKRI, maka baik langsung maupun tidak langsung akan berhadapan dengan ormas keagamaan terbesar itu. Keinginan Hizbut Tahrir untuk membentuk khilafah islamiyah misalnya suka atau tidak suka akan bertubrukan dengan para kiai NU. Begitu juga kehendak ormas-ormas kecil untuk menyulap Indonesia menjadi negara Islam tak akan luput dari penentangannya.

Sebagaimana NU, kita menghendaki agar Indonesia sebagaimana dikehendaki para founding father & mother akan tetap berlanjut. Untuk tujuan itu, komitmen kebangsaan dan ketundukan semua warga negara terhadap ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI mutlak diperlukan. Sebab, pengabaian terhadap ideologi negara hanya akan mengantar Indonesia ke proses balkanisasi yang mengerikan. Jika itu yang terjadi, maka Indonesia sebagai Indonesia bukan hanya akan tersisa dalam buku-buku sejarah, karena sosoknya sudah ilang kerta ning bumi, tapi sebelum itu perang saudara antar-anak-anak negeri menjadi tak terelakkan, dan kita jelas tak menginginkannya. Itu sebabnya, taushiyah PBNU patut diperhatikan

Abd Moqsith Ghazali, Peneliti the WAHID Institute dan Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar.

Sumber Tulisan, www.gusdur.net

http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/130/nu-vs-gerakan-trans-nasional

NU dan Tradisi Islam Nusantara

Sebentar lagi, Nahdlatul Ulama (NU) akan memasuki usia yang ke-82. Usia yang tidak muda lagi sebagai organisasi Islam. NU yang lahir 31 Januari 1926 di Suarabaya silam telah melahirkan banyak generasi. Generasi pertama yang telah dilalui oleh pendiri NU, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, telah berhasil meneruskan generasi Islam Nusantara yang cemerlang. Yakni, tradisi Islam yang telah diwariskan oleh para ulama Nusantara dengan karakternya yang berdialog dan berakomodasi dengan kebudayaan masyarakat. Sehingga tradisi Islam yang didakwahkan NU banyak dipraktikkan oleh masyarakat Islam Indonesia di berbagai pelosok.

Fachry Ali di tahun 1980-an pernah menyatakan, betapa besarnya potensi NU untuk memberikan corak umat Islam Indonesia sebagai kelompok alternatif dari ragam keislaman Indonesia yang belum menemukan bentuknya yang tetap. Pernyataan ini sebenarnya hanya menegaskan kenyataan yang ada betapa tradisi NU telah dipraktikkan oleh masyarakat Islam Indonesia. Hal ini bisa kita lihat bagaimana masyarakat Islam Indonesia, terutama di desa-desa yang mempraktikkan ritual-ritual keagamaan khas NU, seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, slametan, dan lain sebagainya. Inilah yang sejatinya disebut
sebagai tradisi Islam Nusantara yang telah diwariskan oleh para ulama pendahulu.

Tantangan NU

Namun, dalam periode sekarang, Islam Nusantara yang menjadi tradisi masyarakat telah mendapat tantangan baru dari gerakan-gerakan Islam trans-nasional yang berasal dari Timur Tengah. Paling tidak ada tiga tantangan yang sedang dihadapi NU dalam upayanya meneguhkan tradisi Islam Nusantara.
Pertama, gerakan Islam trans-nasional melakukan upaya-upaya untuk mengubah Islam Nusantara menjadi Islam Arab. Kekuatan tradisi yang mampu bertahan ratusan tahun sejak sebelum lahirnya NU, kini menghadapi gugatan dari gerakan Islam trans-nasional, yang dibungkus dalam gerakan antitahlil, antibid’ah, dan kembali ke purifikasi Islam. Meski secara umum, masyarakat Muslim Indonesia masih menggunakan tradisi Islam Nusantara, tetapi mereka tidak memiliki ikatan yang kuat dengan NU. Mereka hanya menjadi tradisi NU, bukan orang NU. Kecenderungan yang ada sekarang adalah banyak yang mempraktikkan tradisi NU tetapi mereka tidak mau mengaku menjadi orang NU.

Kedua, merekrut kader-kader dan jamaah NU. Gerakan ini telah berhasil memikat kader dan jamaah NU di beberapa daerah. Lompatnya kader dan jamaah NU ke gerakan Islam trans-nasional tidak dapat dilepaskan dari tidak terawatnya mereka dalam struktur dan sistem sosial NU. Merasa tidak dirawat dan cenderung dibiarkan, sehingga mereka berkiprah di tempat lain. Inilah problem serius organisasi Islam besar seperti NU, karena jumlah jamaahnya yang begitu banyak, sehingga cenderung tidak mempedulikan jamaahnya agar tetap terjaga dan militan.
Ketiga, banyaknya amal usaha NU yang mendapat pesaing baru. Kalau dulu masyarakat menyerahkan pendidikan agamanya ke pesantren, sekarang mereka menyekolahkan ke Sekolah Islam Terpadu, yang banyak dikelola oleh orang-orang non-NU. Dulu masyarakat mengikuti pengajian kiai, sekarang mereka pergi ke kursus-kursus agama. Dulu kiai menjadi panutan masyarakat, sekarang banyak pilihan baru.

Ketiga tantangan NU di hari ulang tahun yang ke-82, mestinya dapat direspons secara kreatif oleh elite-elite NU agar bergerak cepat membenahi problematika dan tantangan ke depan sesuai perkembangan sosial masyarakat. Tidak lagi terjebak pada soal politik kekuasaan yang pada gilirannya berisiko pada menurunnya tingkat apresiasi masyarakat. Keterlibatan para ulama NU dalam politik kekuasaan setidaknya ikut mempengaruhi apresiasi masyarakat yang masih memegang tradisi.

Tradisi Nusantara

Dalam Pidato Iftitah pada Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU, 27 Juli 2006 di Surabaya 2006, Rais Aam, KH MA Sahal Mahfudh menegaskan, sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap yang toleran terhadap nilai-nilai lokal. Terbukti dalam sejarah, NU tidak memberangus seluruh nilai-nilai lokal masyarakat, melainkan merangkul dan mengisi kebudayaan masyarakat. Karakter Islam Nusantara inilah yang menjadi tradisi masyarakat Islam Indonesia sejak penyebaran Islam yang pertama hingga sekarang.

Sejak lahirnya, NU memang memiliki keteguhan untuk menjaga tradisi Islam Nusantara atas pengaruh gerakan anti bid’ah di Indonesia yang dipengaruhi oleh Wahabi. Titik tolak ini telah membangkitkan ulama untuk menjaga tradisi Islam Nusantara agar tidak kehilangan orientasi Islam keindonesiaan yang menjadi corak tradisi Islam masyarakat. Para ulama yang telah meletakkan dasar-dasar Islam Nusantara kemudian diterjemahkan oleh NU dalam fikrah nahdliyyah (Garis Pemikiran NU). Yakni, garis pemikiran dan paradigma yang moderat (fikrah tawashutiyyah), toleran (fikrah tasamuhiyyah), seimbang (fikrah tawazuniyyah), reformatif (fikrah islahiyyah), dan metodik (fikrah manhajiyyah). Dalam kerangka ini, NU ingin memperteguh tradisi Islam Nusantara sebagai kerangka dasar Islam Indonesia.

Tradisi Islam Nusantara ini akan tetap terjaga ketika terjadi gerakan sosial dalam diri NU yang berorientasi pada jam’iyyah (organisasi) dan jamaah (umat/warga). Jika jam’iyyah tidak dikelola dan jamaah tidak dirawat dengan baik, maka potensi melompatnya jama’ah tak terhindari dan sistem keorganisasi akan semakin rapuh. Karena itulah, tradisi Islam Nusantara dalam kerangka fikrah nahdliyyah akan memberi sumbangan paling berharga bagi corak Islam Indonesia. Sebab, Islam keindonesiaan tidak akan berdiri kokoh selama tradisi Islam Nusantara rapuh, bahkan punah digantikan oleh tradisi Islam Arab yang dibawa oleh kelompok-kelompok Islam trans-nasional. Inilah pentingnya NU membangun dan meneguhkan tradisi Islam Nusantara yang telah diwariskan para ulama terdahulu.

Dimuat di Suara Pembaruan, Kamis 31 Januari 2008
h3. Khamami Zada
Penulis adalah Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan PP Lakpesdam NU

NU "Vis a Vis" Transnasionalisme

Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan kaum nahdliyin adalah “transnasionalisme”. Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun, dalam konteks NU, istilah “transnasionalisme” diacu dan dirujukkan pada ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada Kata Pengantar buku KH Masdar Farid Mas’udi, Membangun NU berbasis Masjid dan Umat (2007), mengatakan: “Sejak tahun 90-an masjid-masjid di negeri kita semakin banyak yang disatroni oleh kelompok-kelompok dakwah yang dipengaruhi bahkan menjadi perangkat dari poros-poros ideologi transnasional yang asing bagi bangsa Indonesia yang majemuk, seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, Jaula dan Hizbut Tahrir. Masjid yang menjadi basis utama kelompok-kelompok ini pada awalnya adalah masjid-masjid kampus milik publik yang diakuisisi. Namun, belakangan mereka juga masuk ke masjid di kampung-kampung yang sebagian besar merupakan masjid dan basis nahdliyin.

Maka dari itu, beberapa tahun terakhir, NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok-kelompok Islam transnasional tersebut. Usaha ke arah itu sudah dirintis oleh keluarga besar kaum nahdliyyin setidak-tidaknya sejak 2006 sampai sekarang melalui penyadaran dan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PW NU Jawa Timur, 2-4 November 2007, yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU.

Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah NU tersebut. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang mengharuskan pembentukan khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dan dasar hukum negara. Ketiga, apakah strategi integralisasi syariah Islam secara substantif menyalahi prinsip tathbiq (penerapan) syariah menempuh pola tadrij (bertahap).

Para ulama NU sepakat bahwa pembentukan khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan mengubah bentuk dan dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.

Tentu, itu harus dibaca secara kritis sebagai respons NU Vis a Vis transnasionalisme yang sudah terbukti dan teruji menjadi “bahaya laten” bagi NU. Bahkan lebih luas skopnya dari NU, yaitu bagi Indonesia yang mengubah sistem pemerintahan yang berujung pada penggulingan pemerintahan. Di beberapa negara Timur Tengah, semisal di Saudi Arabiyah yang berpaham Islam puritan Wahab dan di Mesir yang berpaham Islam Moderat, sama-sama melarang ideologi dan gerakan Islam transnasional tersebut.

Padahal, NU dan Indonesia, kata KH Muchith Muzadi, memiliki hubungan yang sangat erat. Menjadi NU otomatis menjadi Indonesia. Keduanya melebur dan menyatu seperti mata uang logam yang hanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Bila dikelola dengan baik dan mengacu pada prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) akan berbuah dividen kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran yang merupakan inti dari tujuan didirikannya negara.

Tujuan Negara

Para teoritikus Fiqih Siyasah, semisal, al-Juwaini, a-Ghazali, al-Baidhawi, dan lain sebagainya, menetapkan tujuan negara sebagai institusi yang bertujuan untuk hirasati al-dini (memelihara agama), dan siyati al-dunya (mengelola negara) dalam rangka menerapkan syariat Islam, menolak kerusakan, mewujudkan kemaslahatan umum, menegakkan keadilan dan menggapai kesejahteraan dan kemakmuran lahir-batin, dunia-akhirat. Sementara soal bentuk pemerintahan, bukan yang esensial dari pendirian negara. Yang esensial adalah tujuan negara, bukan bentuk pemerintahan. Sebab, bentuk pemerintahan itu sekadar sarana untuk mencapai tujuan negara. Sistem demokrasi adalah sarana, bukanlah tujuan. Demikian pula dengan sistem negara teokrasi, hanya sekadar sarana, bukanlah tujuan.

Jadi, sebagai sarana, antara sistem demokrasi dan teokrasi di atas sudah sepantasnya dikontestasikan dalam mencapai tujuan negara. Mana yang paling visible dan prospektif? Pasar dan sejarah yang akan menentukan. Sebab sarana itu “bebas nilai” dan “netral”, ia tidak terikat dan diikat oleh nilai dan norma apa pun, pemakai sarana yang diikat dan terikat. Oleh karena itu, sangat tidak relevan dan kontekstual melabelisasi sebuah sistem dengan label Islam ataupun kufur.

Dengan demikian, memobilisasi dukungan umat terhadap sebuah sistem murni management marketing sama sekali tidak berhubungan dengan agama, apalagi menentukan keberimanan, keberislaman, dan keberihsanan seseorang. Sama halnya dengan identitas dan kualitas agama tidak dapat diukur dari ia mengendarai apa? Apakah pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus, kendaraan umum atau mobil pribadi, sepeda motor, dan lain sebagainya? Sehingga tidak masuk akal, bila menakar identitas dan kualitas agama seseorang dengan alat transportasi apa yang dipakai. Seseorang tidak lantas menjadi Islam lantaran naik pesawat terbang. Ataupun seseorang tidak lantas menjadi kafir lantaran naik kendaran pribadi.

Sudah bukan zamannya lagi memobilisasi dukungan umat dengan mempropaganda bahwa sistem ini paling Islami, dan sistem itu kufur. Sebab sistem itu seperti kendaraan. Karena itu, siapa pun yang berkepentingan harus menjual keunggulan masing-masing dalam memberikan pelayanan, kepuasan, jaminan keamanan, dan kepastian mencapai tujuan bagi umat-bangsa. Dan, apa pun yang dipilih oleh umat-bangsa dari sekian alternatif sistem, itu yang paling meyakinkan hati, menenangkan jiwa, dan sesuai dengan selera publik.

Publik nusantara memilih sistem demokrasi daripada sistem teokrasi, lagi-lagi, ini soal selera masyarakat Indonesia, dan the living law (hukum yang hidup) di tengah-tengah masyarakat lokal dan nasional. Karena itu, kita harus mengesampingkan perdebatan wacana sistem negara, dan berkonsentrasi pada pencapaian tujuan negara. Semangat yang dibangun antara komunitas umat adalah fastabiqul-khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) (QS al-Maidah/4:48).

Perbedaan respons keindonesiaan antara NU dan Islam transnasional dalam konteks ini bisa dipahami. Masing-masing memiliki akar sejarahnya sendiri-sendiri. NU berurat-akar di Tanah Air, sedangkan Islam transnasional berurat-akar di Timur Tengah. Perbedaan akar kesejarahan tersebut berimplikasi pada pandangan, sikap, dan tindakan terhadap eksistensi Indonesia. Makanya, kita bisa mafhum, apabila sense of belonging NU lebih besar daripada Islam transnasional. Hal itu lantaran, NU mempunyai investasi besar dalam membidani, merawat, dan membesarkan Indonesia dengan segala dinamika dan romantika kehidupannya. Berbeda dengan Islam transnasional, yang sama sekali tidak “berkeringat” dalam pembangunan Indonesia. Ia datang setelah Indonesia melewati tiga dekade sejarah kehidupannya.

Mungkin beda andai kondisinya terbalik, Islam transnasional memiliki akar keindonesiaan, dan NU memiliki akar Timur Tengah. Bisa dibayangkan, boleh jadi, yang mati-matian membela Indonesia adalah Islam transnasional tersebut. Nyatanya, Islam transnasional datang belakangan, sehingga kita sudah semestinya ikut membantu mereka untuk beradaptasi dengan kondisi Indonesia yang majemuk ini.

Dimuat di harian SUARA PEMBARUAN Senin, 4 Februari 2008

KH Muhyiddin Abdusshomad

Penulis adalah Ketua PCNU dan Pengasuh PP NURIS Antirogo Jember

Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara

Abd. Mun’im DZ

Ada berbagai versi mengenai tahun datangnya Islam ke wilayah Nusantara, tetapi yang jelas ia datang setelah agama besar yang lain seperti Hindu, Budha datang. Tetapi Islam bisa memperluas pengaruhnya di kawasan ini dengan sangat luas dan mendalam dibanding dua agama sebelumnya. Hal itu selain karena Islam mengajarkan kesetaraan dan pembebasan, juga karena strategi penyebarannya. Islam disebarkan melalui perangkat budaya dan bahkan warisan agama lama yang masih ada, yang kemudian diislamisasi yang dalam ushul fiqihnya disebut dengan al-‘adah muhakkamah (adat yang ditetapkan sebagai hukum Islam) sebagaimana banyak dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw.

Sebenarnya proses ini tidak bersifat sepihak dan satu arah, tetapi dua arah atau bahkan multi arah. Proses Islamisasi budaya Nusantara oleh para wali sejak dan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Nusa Tenggara hingga Maluku, sebenarnya dibarengi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya tidak hanya ketemu, tetapi melebur menjadi entitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Jawi atau Islam Nusantara. Dari situ lahir berbagai kitab, serat, seni dan sebagainya. Dalam pengertian itulah Islam Nusantara dipahami dan dijadikan istilah dalam gerakan Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dewasa ini, sebagai pewaris Islam yang dibentuk oleh para wali dan para ulama besar yang datang sesudahnya.

Pengukuhan identitas ini penting karena kelompok Islam Ahlus Sunnah bermazhab ini tidak banyak berkesempatan mencitrakan diri, sebaliknya selalu dicitrakan orang lain secara buruk dan semena-mena dan cenderung pejoratif seperti Islam tua, Islam kolot, Islam tradisional, Islam desa, Islam sinkretik dan sebagainya. Dengan penamaan Islam Nusantara ini mengembalikan Islam pada ciri awalnya yang positif, adaptif dan apresiatif terhadap masyarakat serta adat dan kebudayaannya, baru setelah itu diperkenalkan Islam sesuai dengan tarap berpikir dan kesiapan mental mereka.

Sebagai suatu istilah, Islam Nusantara juga sangat memudahkan untuk didefinisikan, karena Istilah Nusantara itu selain bersifat jami’ (mencakup), juga mani (menegasi dan membedakan). Jami’ dalam arti bahwa Islam Nusantara ini meliputi kaum Muslimin yang ada di kawasan Asia Tenggara, baik di Indonesai, Thailand, Malaysia, Brunei, Kamboja, Laos, Vietnam dan Filipina. Sedang mani’ dalam arti bahwa Islam Nusantara berbeda dengan Islam Timur Tengah atau Islam Maghribi dan sebagainya. Mereka ini memiliki akidah, dan tradisi yang sama, karena memiliki jaringan intelektual yang sama, sehingga madzhabnya sama, kitab yang dibaca sama, dan seluruh ekpresi tadisinya juga menunjukkan banyak kesamaan.

Eksistensi Islam Nusantara ini berangsur pudar ketika kolonialisme Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, dan Belanda memecah kawasan ini menjadi tanah jajahan mereka. Mereka tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi juga menjarah sumber-sumber kebudayaan. Bahkan setelah merdeka, masing-masing menjadi negeri sendiri, sehingga hubungan mereka tersekat oleh teritori, sementara jaringan mereka tetap utuh dan berjalan secara intensif, meski disekat secara administratif oleh negara bangsa. Sehingga menjadi jaringan antar negara.

Tetapi tantangan yang lebih parah adalah hadirnya Islam radikal dan Timur Tengah dewasa ini yang merasuk ke pusat Islam Nusantara yang ada di kawasan ini. Tradisi kenusantaraan semakin pudar. Nuansa Timur Tengah yang dipaksakan, belum lagi upaya mereka membawa konflik Timur Tengah ke kawasan ini, sehingga memicu berbagai ketegangan bahkan konflik di kalangan pengikut Islam sendiri dan dengan penguasa setempat. Ini terjadi ketika Islam yang baru datang ini mengubah strategi para wali sehingga kehilangan kemampuan beradaptasi.

Dalam konteks inilah Islam Nusantara diperkenalkan kembali dengan merajut kembali jaringannya serta memperkukuh jangkarnya dalam budaya setempat, agar Islam kembali tampil sebagai sumber inspirasi dan motivator bagi perkembangan peradaban di kawasan. Tanpa pengukuhan karakter dasar ini Islam tidak akan bisa berbuat banyak menghadapi gelombang modernitas dan globalisasi yang tidak kenal kompromi. Dengan memperkuat jaringan dan memperteguh jangkar Islam Nusantara tidak akan larut dalam kehidupan yang serba pragmatif, permisif dan serba kompetitif. Bahkan diharapkan Islam Nusantara memberikan alternatif bagi proses perjuangan peradaban ini.

Pembentukan Islam Nusantara

Sebagaimana sering disingung dalam buku sejarah bahwa Islam datang ke Nusantara disiarkan oleh para saudagar dari Gujarat dan Kurdistan, bahkan dari Champa dan Cina, bukan langsung dan Arab. Kenyatan ini sering disalahtafsiri, dianggap Islam yang datang ke Nusantara tidak murni bahkan dekaden, karena tercemar oleh berbagai tradisi yang dilalui. Demikian pandangan menyesatkan dari para orientalis dan akademisi pada umumnya. Sebaliknya, dalam pandangan kelompok Ahlus Sunnah, Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai negara tersebut merupakan Islam yang sangat matang, Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang dilewati seperti tradisi Persia, India, Cina dan sebagainya, sehingga ketika masuk ke Nusantara mereka bisa menyusun strategi dakwah yang pas. Karena itu, nyaris tidak ada konflik dalam penyiaran agama, bahkan agama baru ini bisa diterima di berbagai pusat kekuasaan.

Dalam penyiaran agama yang pertama kali perlu dikenali terlebih dulu adalah adat masyarakat setempat. Demikian menurut Syekh Abdurauf Sinkel (Syah Kuala) memberi nasehat kepada para santrinya. Hakim Agung pada masa Sultan Iskandar Muda (1607) itu memang ulama yang ahli dalam budaya. Tradisi itu kemudian dikembangkan oleh para muridnya antara lain Syekh Burhanuddin Ulakan dalam menyiarkan Islam di Minangkabau, dengan membiarkan tradisi berkembang walaupun tradisi mereka bertentanagan dengan syariat. Dengan dalih bahwa yang menjadi target hanya kelompok mudanya, dengan metode bermain. Dengan strategi itu, Islam Ahlus Sunnah yang bermadzhab Syafi’i ini berkembang pesat di ranah Pagaruyung itu. Berbeda dengan beberapa kawannya yang menolak nasehat gurunya akhirnya diusir warga dan gagal menyiarkan Islam.

Bahkan jauh sebelumnya pada abad ke-15 ketika Sunan Bonang dan Sunan Derajat pergi hendak berguru ke Mekah, ia betemu dengan ayahnya Maulana Maghribi di Pasai, Aceh, setelah berguru di sana dan ilmunya dianggap cukup disarankan pulang untuk berguru di Jawa saja. Karena justeru mengenal tradisi lebih penting dalam menyiarkan Islam. Demikian juga di Kalimanatan, Syekh Arsyad Al-Banjari menyiarkan Islam dengan penuh bijaksana, demikian Syekh Abdus Shamad Al-Palimbangi di Sumatera Selatan atau Syekh Khatib Sambas di Kalimantan Barat. Strategi dan tradisi mereka relatif sama karena antar para ulama Ahlus Sunnah itu memiliki jaringan yang sama dan mereka bahu-membahu dalam mengembangkan ajarannya.

Para wali di Jawa demikian juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan, dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian ritual dan seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.

Kita saksikan juga para wali dan ulama di Sulawesi dan di Maluku, mereka menulis berbagai gubahan syair, tidak hanya mengenai ajaran Islam, tetapi juga tentang tradisi. Berbagai naskah ditulis untuk mendekatkan masyarakat dengan Islam. Bahkan berbagal ajaran Islam diidentifikasi sebagai produk lokal, sehingga mereka tidak merasa asing. Setelah itu baru dperkenalkan dengan Islam yang sesungguhnya. Langkah strategis itu menunjukkan keberhasilan yang luar biasa, sehingga para pemeluk agama lama bersedia pindah ke Islam, karena Islam melindungi bahkan turut memajukan tradisi mereka.

Tradisi ini bukan tanpa legitimasi dari pusat Islam di Mekah. Dalam kenyataannya para ulama Nusantara banyak belajar dan bahkan mukim di Tanah Suci. Mereka menjadi imam dan syekh yang sangat terhormat di Haramain, sehingga didatangi santri dari seluruh penjuru dunia. Namun demikian mereka tidak lupa mengemban tugas menjaga kelestarian Islam Nusantara. Setelah para santri belajar dengan berbagai ulama di sana, mereka menyepuhkan (mematangkan) ilmunya dengan para ulama Nusantara, sehingga ketika kembali ke nusantara tidak berbenturan dengan umat dan tradisi yang ada.

Para alumni Mekah itu kemudian kembali membuat jaringan Islam Nusantara, mereka saling mengarang kitab dan saling mengajakan di pesantren masing-masing. Misalnya kitab karangan Syekh Burhanuddin Ar-Raniri dikembangkan oleh Syekh Arsyad Al-Banjari, yang kemudian kitab itu dicetak secara luas oleh Syekh Salim Al Fathani di Mekah, dan diajarkan pada muridnya di Patani, Brunei, Malaysia, dan Pilipina.

Pemangku Islam Nusantara

Tradisi keagamaan dan keilmuan Nusantara itu dikembangkan di pesantren yang ada di Nusantara. Melalui jaringan keulamaan dan kepesantrenan itulah tradisi Islam Nusantara dikembangkan. Langkah ini membuat seluruh masyarakat Nusantara menjadi pendukung tradisi Islam Ahlus Sunnah bermazhab empat. Kalangan ini tidak eksklusif dan pasif. Terbukti ketika Portugis, Belanda, dan Inggris datang menjajah kawasan ini dengan memaksakan sistem pendidikan Eropa dengan merongrong pendidikan lokal, maka kalangan ulama pesantren dengan tegas mempertahankan sistem pendidikan mereka sendiri. Pesantren bersikap non koperatif, menolak segala bentuk kerjasama dengan kolonial untuk melegitimasi penjajahannya. Dan pendidikan pesantren itulah jaringan keilmuan Nusantara berkembang semakin intensif, sehingga bisa mengatasi segala tekanan kolonial, bahkan akhirnya bisa menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan.

Untuk merespon bebagai perkembangan yang ada di masyarakat, baik karena berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat, adanya pengaruh kuat dan kebangkitan nasional, maupun menghadapi tantangan kolonialisme, kalangan pemangku Islam Nusantara yang lekat dengan tradisi ini berkembang secara luas di kawasan Nusantara dan Indonesia khususnya, menghimpun diri dalam berbagai organisasi. Masyarakat Islam Sumatera Barat mendirikan Persatuan Tarbiyah; masyarakat Aceh, Sumatera Utara mendirikan Al-Washliyah; masyarakat Islam Jawa mendirikan Nahdlatul Ulama; masyarakat Sulawesi mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad; masyarakat Nusa Tenggara mendirikan Nahdlatul Wathon; dan masyarakat Sulawesi-Maluku mendirikan Al-Khairat, dan masih banyak lagi. Mereka itulah pendukukung dan penyangga Islam Nusantara yang militan hingga saat ini. Konsolidasi ini penting terutama setelah kelompok Wahabi yang menguasasi Mekah tahun 1924-1925 mengusir mukimin Nusantara yang ada di Tanah suci. Kelompok ini tercerai-berai, sehingga mereka terpaksa sebagian kembali ke tanah air dan mengkonsolidasi dalam bentuk organisasi untuk mempertahankan paham keagamaan mereka.

Dengan adanya organisasi yang solid dan tersebar secara luas dengan dukungan yang sangat kuat dari masyarakat, Islam Nusantara berkembang sangat pesat dan berhasil mengambangkan tradisinya hingga terus berkembang dan lestari hingga saat ini. Dengan adanya keislaman seperti ini, kehidupan di Nusantara tetap rukun dan damai. Karena itu mengukuhkan jangkar Islam Nusantara yang berupa pengembangan tradisi ini merupakan jangkar penting bagi terlaksananya kehidupan damai di kawasan ini.

Islam Jenis ini tidak hanya membawa keamanan, tetapi turut memberikan kontribusi besar bagi tumbuhnya peradaban Nusantara. Bebagai seni arsitektur, seni sastra (filsafat), budaya, dan berbagai ekspresi kebudayaan yang lain. Ekspresi keislaman ini yang membedakan keislaman Nusantara dengan Islam di Timur Tengah dan Islam Maghribi pada umumnya.

Perbedaan ini bukan untuk mengekslusi, tetapi untuk memperkaya ekspresi keislaman. Berbeda dengan Islam puritan dan kelompok Islam radikal yang menolak keanekaragaman ekspresi keagamaan, yang hanya menghendaki satu ekpresi yaitu ekspresi Timur Tengah bahkan hanya ekspresi Arab atau Afganistan saja. Apalagi tanpa disertai proses seleksi dan asimilasi, sehingga Islam tampil asing di tengah masyarakat Islam sendiri, sehingga mengalami ketegangan dengan masyarakat setempat.

Di sinilah Islam Nusantara sebagaimana dirintis dan dikembangkan para wali dan para ulama terdahulu, penting untuk dikukuhkan kembali agar Islam kembali menjadi agama yang dekat dan akrab dengan masyarakat Nusantara. Selain itu, sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem pendidikan khas Nusantara, merupakan sistem pendidikan paling penting dalam proses ini, dan ia merupakan salah satu jangkar Islam Nusantara. Dengan adanya pesantren, Islam Nusantara yang dimaksudkan itu ada dan bisa berkembang. Di pesantren itulah nilai-nilai kesusastraan diwariskan dan diajarkan. Hingga saat ini, hanya di pesantren salaf yang tetap mengajarkan berbagai kitab klasik dan melahirkan ulama. Ini sama sekali tidak bisa digantikan oleh pendidikan modern model sekolah.

Karakter Dasar Islam Nusantara

Islam Nusantara disebut sebagai suatu entitas karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke sini juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan tetapi mencoba diapresiai kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.

Dengan kenyataan ini maka bisa disaksikan agama Islam dipeluk oleh seluruh penjuru Nusantara, tidak hanya di kota, tetapi sampai ke pelosok desa bahkan ke daerah pedalaman paling dalam sekalipun yang susah dijangkau. Bagi yang memperoleh pengetahuan keagamaan memadai mereka menjadi Islam santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang pemperoleh pengatahuan keagamaan, yang disebut dengan Islam abangan, mereka secara ritual tidak taat, tetapi mereka kukuh memegang tradisi, yang semuanya itu telah bernuansa Islami. Bagi kalangan Islam Nusantara, mereka ini telah dianggap sebagai Muslim, sementara kelompok Islam yang lain menganggap mereka sebagai orang belum muslim. Ketegangan Islam dengan kelompok abangan ini tercermin dalam ketegangan kelompok Islam dan nasionalis.

Bagi kalangan Islam Nusantara, perbedaan itu tidak signifikan, sebab yang membedakan hanya tradisi, sementara secara akidah relatif sama. Karena itu, mereka diterima sebagai komunitas atau umat Islam yang sesungguhnya. Memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, maupun dalam berbangsa dan bernegara, tanpa sedikit pun mendiskriminasi, hanya karena beda tradisi keislamannya.

Makna Keberadaan Islam Nusantara

Hadirnya Islam Nusantara ini memiliki implikasi besar dan mendalam terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ditandai antara lain: pertama, dengan kuatnya hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang dipijak (tanah air) maka sejak awal Islam ini gigih menolak kehadiran imperialisme atau penjajahan bangsa asing. Bahkan pesantren dijadikan basis perlawanan terhadap imperialisme: baik imperialisme politik maupun imperialisme kebudayaan berupa hedonisme dan konsumerisme.

Kedua, sejak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela kemerdekaan, mendirikan negara termasuk ikut menyusun konstitusi yang bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi, sehingga lahirlah Pancasila sebagai konsensus bersama menjelang bangsa ini merdeka. Ketiga, dengan kecintaaannya pada tradisi dan tanah air, Islam ini terbukti dalam sejarah bahwa Islam ini tidak pernah memberontak terhadap pemerintah yang absah, karena pemberontakan ini dianggap pengkhiatan terhadap negara yang telah dibangun bersama.

Dengan kenyataan ini ada baiknya saat ini jaringan Islam Nusantara yang telah terbentuk selama beberapa abad itu diaktualisasikan kembali. Ini akan lebih kuat ketika seluruh organisiasi Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah yang memangku Islam Nusantara ini bersatu melakukan kerja sama. Ini bukan sebagai langkah mundur justru sebagai pijakan untuk maju ke depan. Semakin jauh rancangan kita ke depan dituntut untuk mencari pijakan yang kuat agar loncatan kita sampai pada arah yang dituju. Dengan memiliki akar dan legitimasi tradisi itu program yang kita rencanakan untuk membangun Islam yang toleran, dan apresiatif terhadap budaya lokal serta peduli terhadap nasib masyarakat setempat akan tercapai. Islam yang diperkenalkan bukan Islam yang mengancam, tetapi Islam yang memberikan pengharapan, memberikan perlindungan dan memberikan dorongan serta motivasi untuk kehidupan, baik dunia dan akhirat. Di situlah peran para rohaniawan para ulama itu sangat dibutuhkan agar kehidupan yang dibangun Iebih berisi dan Iebih bermakna. []

Abdul Mun’im DZ

Ketua LajnahTa’lif wan Nasyr (LTN)NU dan Direktur NU Online.
Ia juga Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar

Lakpesdam.or.id. 27/01/2009

http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/308/mengukuhkan-jangkar-islam-nusantara

Friday, December 17, 2010

Salahkah Jika Dipribumikan?

Oleh Abdurrahman Wahid


Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.

Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’.Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.

Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, multi, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.

Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.

Kalau di bidang politik - termasuk doktrin kenegaraan - dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam .

Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya wali songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.

Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Alqur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan Ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’ ; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’l Al Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah.

Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab - yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.

Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, Untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif - yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.

Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana : bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola Gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?

Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?

Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.

Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?

(Sumber: TEMPO, 16 Juli 1983)

Thursday, December 16, 2010

Representasi Islam “Madzhab” Indonesia

Representasi Islam “Madzhab” Indonesia

(Resensi dan catatan kritis untuk buku : Mengindonesiakan Islam, karya Dr. Mujiburrahman)

“Bangsa-bangsa lain tidak akan tegak berdiri
menyambut sebuah ‘kebangkitan’ dengan berpijak pada tradisi orang lain,
tetapi mereka harus berpijak pada tradisinya sendiri.
Namun bukan tentu bukan dalam kerangka tradisi
di mana kita melebur di dalamnya dengan segenap gerak dan gelombangnya,
tetapi lebih diperlakukan sebagai ‘produk kebudayaan’ manusia ,
sebagai produk ilmiah yang senantiasa berkembang.
Dari sini kita belajar berpijak pada tradisi kita sendiri
secara sadar, kritis dan rasional”.
(Muhammad ‘bid al- Jabiri)

Cita-cita dan proyeksi “kebersatuan” dan “kebersandingan” antara ‘nilai-nilai Islam’ dan nilai dasar kebangsaan, sejatinya merupakan ketegangan gagasan yang hari ini semakin kian menarik untuk dibaca. Medan ketegangan ini secara ‘epistemologis’ merupakan cara dari bagaimana kedua nilai tersebut bereksistensi dan bertahan dalam gerak peradaban ke depan yang semakin cepat. Tidak memungkiri, di banyak hal, perbincangan tentangnya kadang syarat dengan tendensi-tendensi ‘politik’ dan ‘ideologi’ yang dibawa oleh masing-masing nilai tersebut. Sejarah politik Indonesia yang terepresentasikan dalam ruang-ruang kontestasi partai politik tidak jauh-jauh juga masih membawa dimensi perbincangan ini. Katagori Clifford Geertz dalam memandang dan membaca representasi kekuatan keagamaan islam Indonesia seperti ‘priyayi’, ‘abangan’ dan ‘santri’ beberapa hal masih cukup membantu untuk membaca beberapa dinamika sosial politik kekinian. Tentu saja katagori Geertz perlu dilengkapi dan ditambahi dengan bebeberapa analisis perkembangan kontemporer. Dalam kergaman gerak perubahan, setiap katagori adalah alat bantu sekaligus batasan untuk membantu merepresentasikan sesuatu hal. Fakta yang semakin kompleks akan mendorong setiap katagori perlu mendialogkan dengan realitas yang berjalan. Seperti halnya diskursus katagori tentang ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ harus juga dibaca dalam titik pangkal prinsip ini.

Kontestasi politik Pemilu 2009 tetap menyisakan tarik-menarik ketegangan di antara nilai tersebut. Meskipun sudah mengalami berbagai evolusi perkembangan, ‘diskursus’ tentang bagaimana ‘state’ harus dibangun dan ditata apakah melalui dasar-dasar ‘kebangsaan’ yang lebih menghargai pluralitas keberagaman dan visi modern negara atau nilai-nilai religiusitas Islam tetap menjadi persoalan yang menarik. Dengan berbagai dinamikanya, kutub pendikotomian kadang semakin menunjukan batasan yang semakin tipis dan terbuka. Entah memang karena keniscayaan politik atau cara strategi berpolitik, masing-masing ‘kutub’ seolah tidak mau terjebak pada ‘identitas’ yang ‘kaku’ dan ‘dingin’. Menarik sebagai contoh adalah betapa partai-partai Islam sekarang tidak lagi memposisikan semata sebagai ‘representasi islam’ tetapi sekaligus juga ingin mengusung ‘jawaban” atas kebutuhan nasional secara lebih besar. Tidak menjadi asing bahwa ‘diskursus’ tentang ‘nasionalisme’ atau ‘keindonesiaan’ tidak lagi hanya menjadi ‘klaim’ dari ‘partai-partai politik yang berdasar atas azas dan ideologi “nasionalisme’. Tak pelak hadir pertanyaan kritis berikutnya, apakah ‘nasionalisme’ atau ‘keislaman’ yang kini menjadi ‘orientasi’ yang sedang diperebutkan? Apakah ia justru sebenarnyalah hanya terhenti pada “diskursus mengapung” yang lebih berorientasi pada ‘komodifikasi politik’ semata ketimbang ‘proyeksi ideologis’ yang lebih jauh?

Islam, nasionalisme dan berbagai ketegangan ‘dikursus’

Pada dinamika sejarah keislaman Indonesia secara lebih luas, mencatatatkan prinsip pandangan yang beragam dalam meletakkan ‘keberagamann’ yang diyakini tepat dan cocok di Indonesia. Dua kutub besar sebagai cara pandang tentangnya mengakar dan megerucut pada diskursus di antara ‘universalisasi’ dan ‘partikularisasi’ Islam diletakkan pada ‘ruang hidup keindonesiaan’. Sebagian meyakini bahwa nilia-nilai kearifan dan keberagaman konteks lokal amatlah menjadi modal dasar penting bagaimana mengembangakan ‘keberagamaan’ dalam nilai-nilai keindonesiaan. Pada prinsip yang lebih besar, Islam dan nilai keindonesiaan tidak diposisikan dalam hubungan yang antagonistik. Berbagai potensi nilai keindonesiaan diyakini merupakan fondasi dan ruang hidup penting bagaimana “Islam Indonesia bisa menunjukan wajahnya’. Relasi ‘universalitas keislaman’ dan ‘partikularitas kebangsaan’ Indonesia tidaklah dilihat sebagai dua wajah nilai yang saling ‘meniadakan’. Keduanya merupakan nilai komplenter yang saling memperkaya satu dengan yang lainnya. Transformasi dan evolusi keagamaan tidaklah harus dibanguin melalui ekspresi ‘kekuasaan’, ‘penaklukan’, dan ‘formalisasi’ yang meniadakan ruang hidup pada bumi yang dipijaknya sendiri. Dalam perspektif yang lebih maju, ia dipandang sebagai pencerminan Islam yang lebih transformatif ketimbang formalis semata. Upaya ‘mengkontekstualisasikan’ nilai-nilai Islam dalam nafas dan kebutuhan ‘keindonesiaan’ merupakan mandat yang harus dijalankan. Titik terpentingnya adalah mengembangkan dan menghidupkan Islam dalam ranah kearifan ‘madzhab’ Indonesia.

Pandangan yang meletakkan aspek ‘dialogis’ sekaligus ‘akomodatif’ sebagai cara untuk membentuk ‘pola-pola keberagamaan’ cenderung banyak dianut oleh prinsip bahwa ‘sejatinya sebagai ekspresi keagamaan, ia tidak bisa melepaskan dengan pertemuannya dengan ekspresi nilai-nilai yang melingkupinya. Menutup diri atasnya justru merupakan sikap ‘ahistoris’ yang akan melemahkan agama secara jangka panjang. Kebertahanan Islam tentu akan sangat ditentukan bagaimana ia bisa menyelaraskan dan mensinergikan dengan nilai-nilai dasar yang bertumbuh dalam jantung bumi Indonesia. Meminjam thesis Berger dalam tulisannya di “The Desecularization of the World”, strategi membangun ‘kebertahanan’ dan eksistensi keagamaan mempunyai tiga kecenderungan pola yang digunakan 1)`Stratregi penaklukan atau revolusi keagamaan; 2) pengasingan diri; 3) dialog. Setiap kecenderungan ini memberikan bentuk ekspresi keagamaan berbeda dan masing-masing pilihan akan mengandung beberapa konsekuensi pengaruh yang berbeda pula pada usaha mendialogkan ‘universalitas’ dan ‘partikularitas’ dalam wujud praktiknya. Fenomena perkembangan ‘modernitas’ dan segala laju perubahan yang dibawanya turut menyumbang sekaligus mendorong berbagai gesekan dan persentuhan yang tidak bisa dihindari dalam dinamika Islam.

Dunia dengan segala entitas kebudayaannya mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pandangan meyakini bahwa perubahan dunia adalah keniscayaan wajah yang tidak terhindari. Tetapi problem seriusnya tidak semata pada titik keyakinan ini. Problem yang menggelayut adalah “kemana perubahan itu akan menuju” dan bagaimana setiap nilai, pandangan dan tradisi Islam melihat ‘perubahan’ dalam kacamatanya masing-masing. Pluralitas pada titik inilah yang tidak jarang melahirkan posisi diskursus yang berbeda pada setiap ekspresi keberagamaan yang satu dengan yang lainnya. Sebagian menerima dan berdiri menjadi ‘loyalis buta’ yang setia terhadap sikap terbukanya pada perubahan. Ia semata dilihat sebagai “keniscayaan abadi” yang tidak bisa dicegah. Mengingkarinya adalah sebuah kesia-siaan. Lebih ekstrimnya, setiap perubahan seperti yang terbawakan dalam episode globalisasi, neoliberalisme dan semacamnya dilihat sebagai harapan baru yang menjanjikan. Diujung yang lain, berdiri sekian pandangan yang begitu sangat ekstrim mencurigai, menentang dan bahkan meletakkan perubahan sebagai ‘monster’ yang harus dibinasakan. Perubahan adalah ‘mengganggu status quo tradisi’. Ia selalu dipandang sejatinya hanya akan meluluhlantahkan ‘kesakralan nilai’ dan menghancurkan bangunan diri keislaman. Dari sekian dikotomi ekstrim ketegangan itu, tidak sedikit pula yang lebih realistis dan rasional meletakan ‘perubahan’ sebagai entitas yang harus dibaca secara ‘adil’ dan sekaligus penuh dengan kritik kedalaman. Dialektika kebudayaan akan selalu bisa ditemukan di ruang dan di tempat manapun. “Ikut” tetapi tidak ‘hanyut” adalah sebagian prinsip dipegang untuk menhadapi setiap perubahan.

Diskursus tentang tema-tema ‘pembaharuan Islam’ tidak bisa melepaskan diri dari keniscayaan modernisme. Sebagian yang lain menatap penuh optimistis terhadap misi pembaharuan namun tidak sedikit pula yang begitu resistensi terhadap segala ide-ide apapun tentang pembaharuan Islam. Perspesi yang dimunculkan oleh ide gerakan ini tidak jarang juga melahirkan banyak perdebatan. Tentu pertanyaannya selalu diarahkan pada kecurigaan adanya inflitrasi ide-ide barat dalam gerakan pembaharuan Islam. Modernisasi dan kecurigaan sekularisisasi atas ide-ide Islam yang pernah ditujukan kepada pemikir muslim seperti Nurcholish Madjid merupakan salah satu gambaran dinamika perkembangan persepsi tentang ide-ide pembaharuan. Tidak selalu didekatkan dengan ide-ide sekularisasi, kecurigaan dan resistensi ini juga pernah diarahkan pula pada sosok oemikir seperti Kiai Ahmad Dahlan tentang anggapan ide-ide ‘rasionalisasi’ dan ‘purifikasi’ Islam. Diskursus ketegangan lebih terletak pada kesangsian dan sekaligus ketidakpercayaan bahwa ‘pembaharuan Islam’ bersumber dari ‘epistemologi’ dasar-dasar nilai Islam. Walaupun tidak jarang, para pemhabaru Islam lebih meyakinkan bahwa justru ‘mandat dari gerakan ini’ adalah untuk mengembangkan Islam dari berbagai ruang stagnasi dan kemandegan akibat berbagai penetrasi kebudayaan-kebudayaan yang merugikan Islam. Perubahan tidak perlu dibaca secara tendensius dan prasangka membabi-buta. Ia perlu disentuh sekaligus disikapi secara kritis. Apakah ia akan menghasilkan dialog yang ‘afirmatif’ atau ‘kontradiktif’ tentu akan sangat ditentukan dengan dinamika objektif yang berlangsung.

Mencari ‘ekspresi keberagamaan’ yang ‘dialogis’

Tidak bisa dipungkiri sekian polemik yang berhadapan di antara diskursus seperti ‘barat’ dan ‘islam’, ‘fundamental’ dan ‘liberal’, ‘perubahan’ dan ‘tradisi’, ‘universalisme’ dan ‘partikularusme’, ‘sinkretisme’ dan ‘pemurnian’, ‘pluralisme’ dan ‘sentralisme’, ‘modernis’ dan ‘tradisionalis’ merupakan ekspresi tidak terhindari dari buah pembacaan dan interpretasi tentang perubahan dan masa depan Islam yang ingin diletakkan. Dalam realitas ketegangan entitas-entitas nilai ini, ia tidak bergerak dalam ‘ruang’ dan ‘medan’ yang kosong. Variabel dan konteks ‘politik’, ‘sosiologis’, ‘antropologis’ dan dimensi ‘historis’ menyumbang sekian pengaruh yang cukup penting dalam dinamika diskursus ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ tersebut.

Beberapa tema menarik di atas, yang mengkaitkan kesalinghungan antara spirit perkembangan Islam dan konteks keindonesiaan cukup kompleks dan menarik diangkat oleh Dr. Mujiburrahman dalam bukunya “Mengindonesiakan Islam”. Buku yang merupakan hasil pengumpulan karya tulisnya tentang Islam dan Indonesia lebih ingin menunjukan ruang kompleksitas tentang diskursus keislaman di Indonesia. Di struktur isi penulisannya, Mujiburrahman menorehkan beberapa ide kontroversi yang saat ini masih terus bergulir terutama tentang diskursus pluralisme, negara, islam dan sekaligus beberapa isi kontemporer tentang agama dan demokrasi. Ada beberapa catatan yang sengaja diangkat penulis ini untuk memberi bobot karya lebih berkualitas terutama perihal pembacaan teoritik dan beberapa perspektif pengkajian keislaman kontemporer yang harus dipegang sebagai pisau analisis.

Apa yang terlihat fokus dalam deretan bab yang telah disusun oleh penulis buku ini secara eksplisit ingin mengurai berbagai tautan fenomena dan problem penting di dalamnya di sekitar persoalan ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’. Terhadap dua bahan penting ini, Mujiburrahman membangun landasan perspektif yang berangkat dari keyakinan teoritis bahwa entitas keduanya tidak bisa dilihat secara dikotomis dan berhadapan. Islam dan ‘nasionalisme ’ justru membingkai dan merias wajah kekhasan yang dimiliki oleh Islam Indonesia. Dengan keragaman, pluralitas, dan khasanah bangsa yang unik maka Islam Indonesia akan sangat sulit untuk dibentuk menjadi islam yang monolitik dengan melepaskan aspek ruang hidup yang plural. Memaksakan ekspresi keagaman dengan satu sentralitas tunggal keberagamaan dan menghindar dari nilai-nilai dan bumi tradisi yang dipijaknya justru secara prinsip kontraproduktif. Membuka diri secara demokratis mempertemukan berbagai posisi pandangan keislaman akan lebih membangun kualitas keberagamaan itu sendiri. Optimisme terhadap hal itu selalu terlihat ditekankan dalam tiap kesimpulan bab. Meskipun bukan sebuah proses yang begitu saja mudah, tetapi Mujiburrahman meyakini bahwa ‘ketegangan-ketegangan dialog’ , pada prinsipnya akan membantu melahirkan nilai-nilai baru yang saling melengkapi.

Sebagai karya yang berusaha memotret problematika diskursus keislaman dan problem-problem kontemporer tentang islam dan keindonesiaan, karya ini perlu mendapatkan apresiasi. Spirit terhadap perlunya ruang ‘kebertemuan’ terhadap berbagai keragaman nilai dengan segala etos penghargaan menjadi poin yang meanrik untuk dicermati. Tampanya, menurut Mujiburrahman akan selalu berujung pada ‘konflik’ dan ‘pertentangan’ yang tidak akan pernah usai. Kearifan dan keberanian untuk berdialog adalah kunci. Selaras dengan potensi dan karakteritik keberagaman ekspresi keislaman di Indonesia , maka poin ‘penghargaan’ yang saling melengkapi dan tidak meniadakan satu sama yang lain haruslah digarisbawahi. Keyakinan prinsip ini pula yang memberi garis tegas pada pandangan Mujiburrahman yang sangat yakin terhadap khasanah nilai-nilai ‘keindonesiaan’ yang bisa mengembangkan masa depan Islam di nusantara ini. Tentu secara normatif pula masih harus digenapi dengan usaha serius dan komitmen kerja keras untuk mewujudkannya.

‘Keindonesiaan’ yang selalu ‘berproses’

Masih ada catatan kritis yang tertinggal untuk karya buku ini. Menelusuk dalam ‘logika imanen’ premis dasar dalam karya ini terasa masih meninggalkan ‘ruang kosong’ yang belum begitu dalam disentuh oleh Mujiburrahman terutama tentang pendalaman lebih detail tentang dinamika internal dalam entitas nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip pandangannya belum meninggalkan jauh dari model dan realitas keindonesiaan yang masih dibaca dalam kerangka pandangan “nation state’. Sebuah ikwal tentang cara pandang yang cukup berkembang dalam fase-fase paskakemerdekaan bangsa-bangsa. Jika kita kontekskan dengan realitas sekarang, justru ada spirit berbeda yang dibawa dalam pergerakan dan perkembangan diskursus ‘nasionalisme’. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa bukankah ‘nasionalisme’ adalah bagian diskursus politik yang lebih merupa dalam ‘politik identitas’ ketimbang dinamika lebih kongkrit yang sekarang sedang bergulir. Definisi politiknya lebih menggambarkan ‘masyarakat’ yang dibayangkan sebagai mekanisme membangun dasar pijakan keindonesiaan. Tentu sifatnya bisa jadi lebih berdimensi politis ketimbang kultural yang dibayangkan oleh penulis buku ini sejak awal. Jika melihat perubahan keindonesiaan yang begitu pesat dengan laju gerak ‘imperialisme’ pasar yang begitu berpengaruhnya, maka jangan-jangan “keindonesiaan’ yang sedang diperbincangkan menjadi lebih hanya menjadi ‘bayangan’ yang sudah tidak kokoh lagi. Orang bahkan akan cukup kesulitan untuk merumuskan secara lebih detail dan utuh tentang apa yang disebut “nilai keindonesiaan’. Artinya pula, spirit “mengindonesiakan islam” juga menjadi premis yang masih ‘mengapung’ dan masih belum terlalu kokoh dasar pijakannya. Tentu ada satu catatan yang artinya pula perlu ditampilkan. Jika ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ adalah ‘entitas diskursif’ yang terus bergerak, maka apapun yang kemudian kita sebut sebagai “mengindonesiakan islam’ bisa jadi adalah gerak sejarah yang terus ‘mencari’ dan tentu tidak terburu untuk disimpulkan sebagai sebuah bentuk dan wajah ‘keislaman’ yang final.

Retrieved from: http://risangpribadi.blogspot.com/2009/05/representasi-islam-madzhab-indonesia.html (Dec 17, 2010)

Wednesday, December 15, 2010

Meng-Indonesia-kan Islam

Judul Buku: Islam Universal
Penulis: Prof Dr Nurcholish Madjid, Dkk
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2007
Tebal: xii + 342 halaman
Peresensi: Yanuar Arifin*

Dalam perjalanan sejarah Islam Indonesia, perdebatan tentang Islam selalu memberi warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perdebatan-perdebatan tersebut biasanya bermula dari perbedaan interpretasi terhadap ajaran Islam yang seakan tidak pernah menemukan titik temu. Pada satu sisi, terdapat pemahaman yang memandang Islam sebagai agama yang ajarannya wajib diterapkan secara literal di Indonesia. Sedangkan pada sisi yang lain, juga terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa ajaran ke-Islam-an harus berintegrasi dengan ke-Indonesia-an. Pemahaman tersebut seakan selalu berada pada tempat yang saling berseberangan. Pada akhirnya, perbedaan semacam itu, menuntut kita untuk lebih arif dalam memposisikan diri terhadap suatu pemahaman ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.

Terdapat dua kelompok besar yang lahir dari rahim perdebatan tentang Islam di atas. Dua kelompok ini pada dasarnya adalah hasil dari respon umat Islam terhadap kebijakan pemerintah dalam persoalan politik Islam. Kelompok pertama, lebih dikenal sebagai kelompok skriptural-ideologis, yakni kelompok yang menghendaki keutuhan (kaffah) dalam memahami Islam. Kelompok ini terwakili oleh kelompok fundamentalis Islam (Islam garis keras).

Kedua, kelompok kulturalis, yaitu, kelompok yang menghendaki terjadinya integrasi antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Kelompok ini lebih kita kenal lewat gerakannya yang moderat dan toleran (kooperatif). Di antara tokoh-tokoh kelomok ini adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dua cendekiawan muslim Indonesia yang latar belakang pendidikannya cukup berbeda, namun mampu mengintegrasikan Islam dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dalam menafsirkan Islam, kedua tokoh ini dianggap memiliki kesamaan paradigma berpikir. Dan, oleh beberapa kalangan, mereka dianggap sebagai sosok muslim moderat yang tidak terlalu berkehendak untuk menjadikan Islam sebagai dasar atau ideologi tunggal negara Indonesia.

Dalam membahas ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, Nurcholis mengatakan bahwa ajaran Islam memiliki nilai-nilai universal. Artinya, Islam sebagai sebuah ajaran moral, dapat dipraktikkan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Di samping itu juga, Cak Nur—panggilan akrabnya—memberikan catatan bahwa dalam pelaksanaannya, umat Islam harus mempertimbangkan kenyataan sosiologis masyarakat sekitarnya, termasuk dalam hal negara-bangsa.

Fakta sosiologis memberikan klarifikasi bahwa bangsa Indonesia memiliki masyarakat yang heterogen, baik ras, suku, budaya, bahasa, dan agama. Heterogenitas tersebut adalah sesuatu yang bersifat alamiah (natural). Heterogenitas inilah yang harus dipertimbangkan umat Islam dalam berdakwah. Kesadaran tentang sifat heterogen masyarakat harus benar-benar ditumbuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Implikasinya adalah lahirnya kesadaran pluralistik dalam masyarakat, yang pada gilirannya akan melahirkan sikap toleran, saling menghargai antarsesama manusia, baik dalam persoalan beragama maupun bernegara.

Namun, ironisnya, kesadaran tersebut belum banyak ditampilkan oleh rakyat Indonesia. Tak ayal, acap kali terjadi konflik antarumat, baik konflik antarsuku atau antarumat beragama, misalnya, konflik di Poso, Maluku, Irian dan di Kalimantan. Rentetan konflik tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Dan, sebagai umat yang mayoritas, penganut Islam Indonesia seharusnya mampu merangkul umat agama lain untuk kembali membangun keharmonisan antarumat, dalam rangka menyelamatkan eksistensi dan keutuhan negara Indonesia. Di sinilah banyak ditekankan oleh Cak Nur bahwa dalam kerangka politik kenegaran, ajaran Islam hendaknya dijadikan landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Buku berjudul "Islam Universal" yang ditulis Nurcholis Madjid, Dkk ini, merupakan kumpulan artikel yang membahas berbagai diskursus dan interpretasi atas ajaran Islam dan ide nasional Indonesia secara komprehensif dan kritis. Sebagai seorang cendekiawan muslim Indonesia yang lahir dengan model pendidikan modern Barat dan sekuler, bersamaan dengan kondisi negara Indonesia yang sedang dalam masa peralihan kekuasaan, dari Orde Lama ke Orde Baru. Kehadirannya dapat dikatakan telah membawa misi pembaharuan pemikiran Islam Indonesia yang sebelumnya dikenal cukup konservatif.

Kehadiran Cak Nur lewat karya-karya dan pemikirannya yang liberal dan cenderung sekuler oleh banyak kalangan ulama salaf, dianggap sebagai bentuk perlawanan atas tradisi keilmuwan Islam Indonesia yang sudah mapan. Namun, tidak sedikit kalangan yang menaruh simpati atas karya-karyanya. Hal ini mengidentifikasikan adanya ruang demokrasi dalam persoalan interpretasi agama atau keyakinan di Indonesia.

Kelahiran buku setebal 342 halaman ini, setidaknya turut memperkaya tradisi keilmuan Islam Indonesia. Buku ini sangat layak untuk dibaca dan dikaji oleh siapa pun, baik dari kalangan akademis, agamis maupun kalangan awam. Dengan harapan, selanjutnya, dalam mengkaji buku ini kita akan mempunyai pemahaman baru tentang ajaran Islam yang lebih terbuka.

Retrieved from: http://greescjdw.blogspot.com/2009/08/barat-juga-pernah-miskin.html (Dec 17, 2010)

Tuesday, December 14, 2010

Tradisi, Kebudayaan Moderen, dan Birokratisasi

Oleh Abdurrahman Wahid


Sudah lebih dari 50 tahun yang lalu Polemik Kebudayaan berlangsung, tapi masih juga di pertentangkan antara tradisi dan kebudayaan moderen. Sutan Takdir Alisjahbana masih juga menggebu-gebu dalam hal itu, dan lawan polemiknya dahulu juga masih tetap pada persoalan yang sama. Mereka masih ada yang menolak kebudayaan moderen, dan tetap mengagung-agungkan masa lampau Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram sebagai ‘ukuran baku’ kebesaran masa lampau bangsa kita.

Yang mengherankan, perdebatan itu terjadi tanpa satu pun yang mencoba melakukan proyeksi substansi yan mereka pertikaikan pada kenyataan lapangan yang sama sekali berbeda. Baik mereka yang mempromosikn modernisasi maupun yang menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinjak pada kenyataan yang berkembang. Dialog seperti itu terasa tragis. Di satu pihak, kita menghabiskan energi dan waktu untuk berdebat hanya pada masalah dasar belaka. Tidak pernah beranjak ke tingkat lebih kongkret, seperti menyimak operasionalisasi nilai-nilai tradisional kepada lahan kehidupan yang dituntut untuk ‘serba moderen’. Di pihak lain, perkembangan keadaan berjalan terus tanpa mahu tahu apa yang diributkan pendukung modernitas dan pecinta tradisionalisasi.

Dalam kenyataan, perubahan yang terjadi sudah berlangsung sangat jauh. Aspek-aspek seremonial dari kebudayaan traisional telah ‘dimodernisasikan’ dengan jalan dieksploitasikan oleh industri pariwisata. Pesantren tidak lagi repot dengan hanya kajian rutin acuan ‘kitab kuning’ belaka, melainkan menggunakannya sebagai sumber inspiratif untuk modernisasi hidup pedesaan. Bukan sekedar menjadi lembaga pendidikan agama dalam artian tradisional, melainkan menjadi pangkalan untuk mendirikan dan melestarikan lembaga swadaya masyarakat LSM. Dalam fungsi tersebut, banyak pesantren telah memasuki era kehidupan baru, yaitu sebagai lembaga pengembangan swadaya masyarakat. (LPSM).

Demikian pula, apa yang dinamai kebudayaan modern telah menyadari pentingnya integrasi organik antara nilai-nilai lama dan visi budaya yang baru. Dengan cara meraba-raba, melalui berbagai kesalahan dan uji coba, sebuah proses kontekstualisasi visi budaya kita sedang berlangsung. Masalah pokoknya bukan lagi seperti rasionalitas haruskah diterima atau tidak, melainkan bagaimana ia dipergunakan untuk mendorong munculnya kreativitas dari tradisi. Tantangannya adalah bagaimana mencegah rutinisasi kehidupan budaya kita.

Namun, sebuah bentuk rutinisasi lain justru yang mulai melanda kehidupan budaya kita. Rutinisasi dalam bentuk peranan birokrasi pemerintahan yang semakin hari semakin menentukan. Hingga hari ini memang masih belum menjadi birokratisasi kebudayaan kita, tetapi sudah cukup untuk membuat pengap suasana kehidupan budaya. Kreativitas bukan menurun oleh tarik urat antara tradisionalisme dan modernitas budaya, melainkan oleh meningkatnya peranan birokrasi pemerintahan dalam kehidupan budaya.

Bagaimana memacu kreativitas dalam kelesuan suasana, itulah masalah utama kita saat ini. Mampukah kita menembus kelesuan itu?

(Sumber: TEMPO, 31 Mei 1986)

Monday, December 13, 2010

Kerudung dan Kesadaran Beragama

Oleh Abdurrahman Wahid


Kerudung adalah 'pemandangan' biasa di kalangan kaum muslimin yang taat beragama.Tidak semua wanita muslim dikenal dengan sebutan muslimat, menggunakannya. Namun porsi pemakainya cukup besar guna melekatkan predikat 'biasa' di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid maupun pesta dan upacara, pendeknya ke semua keperluan di luar rumah , kerudung selalu di pakai, begitu juga dirumah, kalau sedang ada tamu.

Ada yang berwarna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah: ada juga yang polos, hanya pinggirnya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata keseluruh sanggul di 'sasak' lebar-lebar, dengan diameter tidak kurang dari ban sekuter Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas: tidak berani meninggalkan identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.

Tidak disangka tidak dinyana,penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan yang mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung dapat menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.

Padahal, tadinya masalah penggunaan kerudung dianggap masalah sepele saja. Yang masih kuat bertahan pada identitas 'kesantrian' terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah meninggalkannya. Juga ada peragu yang menggunakannya di atas bahu sewaktu ada pesta atau upacara.

Apakah gerangan yang membuat pemakaian kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia 'dibiarkan' pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat?

Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini , simbol tersebut, yaitu simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol 'kekampungan' bagi yang tidak mengenakannya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang didunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak pernah ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau di seminarkan.

Masalahnya menjadi berbeda, ketika berkembang sebuah kesadaran baru di kalangan kaum remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketika seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh merumuskan 'kebenaran agama' memerintahkan remaja asuhannya untuk memelihara 'aurat' berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran itu diikuti, termasuk oleh siswi SMA lalu mengenakan kerudung dilingkungan sekolah. Sudah tentu ini 'pemandangan' tidak , jauh dari 'kebiasaan' berseragam sekolah tanpa tutup kepala sama sekali.

Dua hal 'dilanggar' oleh perbuatan itu. Pertama, 'konsensus' selama ini, yang juga tidak begitu didasari dahulu, bahwa kerudung bukanlah pakaian yang 'layak' untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecenderungan kepada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk 'ditegakkan' oleh lingkungan pendidikan nasional kita. Dari pesuruh sekolah sampai Menteri P dan K, besar sekali nampaknya kecenderungan untuk menyeragamkan pandangan sikap dan perilaku 'keluarga besar pendidikan nasional'

Sudah tentu 'konsensus' dan kecenderungan di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa siswi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu. Dapat di terka, senjata utama yang digunakan pihak pimpinan sekolah adalah 'pelanggaran disiplin'. Benar saja, atas dalih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.

Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak 'penegak disiplin' dan pihak-pihak lain di luar. Berarti dalam kasus-kasus di mana ada kejelasan bahwa si 'pelanggar disiplin' memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.

Kesulitannya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandung baru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri 'siswi berkerudung' itu. Pelanggaran hak pribadi sang siswi untuk mengenakan pakaian yang disenanginya, tuduhan pimpinan sekolah bersikap 'memusuhi Islam' dan lain-lain tuduhn lagi dilemparkan seenaknya.

Apa yang dilupakan kebanyakan orang adalah penglihatan global terhadap masalah kerudung itu. Ia tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya tuntutan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilaksanakan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan 'sikap Islam' terhadap berbagai masalah, dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasi sebagai 'pandangan-pandangan sekularistis' di kalangan kaum muslimin sendiri. Kasus kerudung itu adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini. Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu pengetahuan modern , yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perubahan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas peroalan-persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan 'pihak luar' terhadap Islam.

Dapat di mengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya atas perilaku para remaja muslim di mana-mana termasuk mereka lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan Islam sebagai 'jalan hidup'. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.

Kalau tidak diperhitungkan 'tindakan disipliner' atas 'pelanggaran gadis berkerudung' di salah satu SMA di Bandung itu dari sudut kesadaran beragama ini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan persoalannya saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul, dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.

(Sumber: TEMPO, 29 Januari 1983)

Saturday, December 11, 2010

Fiqh Madzhab Indonesia; Pemikiran Hukum Hasbi ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali

Fiqh Islam, sejak pertama kali lahir telah berinteraksi dengan realitas sekitar masyarakat di mana fiqh dirumuskan dan diterapkan, dan realitas ulama yang memikirkan dan merumuskan. Dalam sejarah perkembangannya, dikenal ada fiqh Irak, fiqh Madinah, fiqh Syam dan fiqh Maghrib. Ada fiqh ahl ra’yi dan fiqh ahli hadits. Ada fiqh Abu Hanifah (w. 150H), Fiqh Malik bin Anas (w. 179H), Fiqh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204H) dan ada fiqh Ahmad bin Hanbal (241H). Di Indonesia pun, sejak pertama Islam masuk di Indonesia, telah dikenalkan berbagai aliran pemikiran fiqh yang lahir dan berkembang di Indonesia. Ada pemikiran Syekh Abdurrauf Singkel (1643-1693M), Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh Nawawi Banten (1230H/1813M-1314H/1897M), KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947M), KH. Ahmad Dahlan dan banyak lagi yang lain. Di antara pemikir hukum kontemporer yang tercatat memberi andil besar pada madzhab fiqh Indonesia, adalah M.T. Hasbi ash-Shiddiqi (1905-1975), Hazairin (1906-1975), Ibrahim Hosein, Munawir Syadzali (1925-...), KH. Sahal Mahfudz (1937-...) dan KH. Ali Yafie (1923-...), Masdar F. Mas’udi (1954-...). Untuk mengenal lebih jauh perkembangan dan dinamika fiqh madzhab Indonesia, di bawah ini dibicarakan beberapa pemikir hukum.

Untuk membaca artikel selengkapnya, click di sini untuk mendownload file pdf.


Sumber: "Fiqh Madzhab Indonesia; Pemikiran Hukum Hasbi ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali", di KH. Husein Muhammad, Faqihuddin Abdul Kodir, Lies Marcoes Natsir dan Marzuki Wahid, Dawrah Fiqh Concerning Women - Modul Kursus Islam dan Gender, Fahmina Institute, Cirebon, 2007.

http://www.fahmina.or.id/pemikiran-fahmina/fiqh-perempuan/701-fiqh-madzhab-indonesia-pemikiran-hukum-hasbi-ash-shiddiqi-hazairin-dan-munawir-syadzali.html

Friday, December 10, 2010

Persepsi Gerakan Islam tentang Kebudayaan: Sebuah Tinjauan Dini tentang Perkembangannya di Indonesia

Oleh Abdurrahman Wahid


Kebudayaan adalah bidang yang digarap secara ambivalen oleh gerakan-gerakan Islam di negeri ini. Di satu pihak, keprihatinan justru dirasakan di bidang ini. Setelah aspirasi formal di bidang politik mengalami gempuran demi gempuran hebat, dirasakan bidang kebudayaan sebagai “wilayah pertahanan” kritis, medan laga yang akan menentukan masa depan Islam di Indonesia. Keluhan dan peringatan para pemimpin Islam tentang “bahaya penetrasi kebudayaan Barat” adalah contoh dari keprihatinan tersebut, yang juga sejak cukup lama sudah terasa di kawasan-kawasan lain dunia Islam, terutama di Timur Tengah. (Gibb. 1962: 232-4).

Tetapi, dipihak lain justru sedikit sekali dirumuskan secara institusional pemikiran-pemikiran tuntas tentang bidang kebudayaan di negeri ini oleh gerakan-gerakan tersebut. Pendapat resmi mereka sulit dicari, kacuali pernyataan bahwa warna keagamaan (dalam hal ini Islam) haruslah menjiwai kebudayaan bangsa. Dari pernyataan-pernyataan seperti itu tampak jelas bahwa pemikiran tentang kebudayaan belum mencapai perkembangan jauh dalam lingkungan gerakan-gerakan Islam di sini. Di kawasan-lawasan lain dunia Islam berbeda sekali keadaannya, seperti dapat dilihat dari produk pemikiran gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Beberapa hal dapat diperkirakan menjadi sebab keadaan itu, tetapi yang terpenting mungkin adalah watak responsi “golongan Islam” di negeri ini terhadap tantangan modernisasi semenjak lebih seabad yang lampau. Keragaman sangat tinggi dalam responsi yang diberikan, sehingga tampak sporadis secara keseluruhan, tidak memungkinkan pengambilan keputusan formal yang diikuti bersama, dan dengan demikian tidak memunculkan kebutuhan akan perumusan sebuah sikap bersama terhadap modernisasi. Dengan demikian keadaan itu membawa kepada langkanya kebutuuhan akan sebuah “politik kebudayaan” yang jelas dan terpadu. Pendekatan yang diambil lalu berwatak kultural, bukannya strategis,: kesadaran “umat” dituntut untuk menghindari pengaruh buruk kebudayaan yang tidak bernafaskan semangat keagamaan Islam , tanpa adanya konstitusi yang bertugas khusus menangani dasar-dasar pengembangan sebuah “kerangka kebudayaan Islam”. Perkembangan kebudayaan yang akan diberi nama “kebudayaan Islam” lalu berlangsung tanpa ada gambaran jelas tentang apa yang diinginkan akan tercapai, kecuali patokan umum bahwa ia tidak akan “melanggar ajaran agama Islam”.

Implikasi dari hasil perngamatan di atas adalah keharusan menggali bukan dari keputusan-keputusan formal berbagai gerakan Islam yang terorganisir, kalau ingin diketahui persepsi mereka tentang kebudayaan, melainkan dengan melakukan telaahan atas pendangan para pemikir dan pemuka gerakan yang beraneka ragam corak dan bobotnya. Dengan melakukan inventarisasi pendapat dan pandangan mereka, akan dibuat proyeksi tentang “persepsi gerakan Islam” tentang kebudayaan, baik dalam lingkup parsial maupun global. Sudah tentu tidak dapat dihindari besarnya keragaman pandangan antara pendapat-pendapat yang dikumpulkan. Walaupun demikian, beberapa bagian yang sama dari pendapat yang sangat beragam itu sudah cukup untuk memungkinkan pembuatan persepsi proyektif yang dimaksudkan di atas.

Dapat dikemukakan sebagai contoh pengertian mereka atas kata “kebudayaan”, yang memperlihatkan kesamaan dasar. Hamka memandangnya sebagai perpaduan antara keimanan seseorang dan apa yang dikerjakannya (Hamka & Saimima, 72-3). Sidi Gazalba memandangnya sebagai “kebulatan konsep tentang sosial, ekonomi, politik, pengetahuan , teknik, seni, dan filsafat”. Karenanya, “kalau masjid menjadi tempat yang hanya didatangi oleh sebagian kecil umat Islam di sekitarnya, maka yang wujud hanyalah masyarakat orang-orang Islam, yaitu orang-orangnya Islam karena beragama Islam, tetapi masyarakatnya bukan Islam karena tidak berkebudayaan Islam dan tidak mengamalkan cara hidup Islam” (ibid, 181). Menurut Haji Agus salim, kebudayaan berarti “himpunan segala usaha dan daya upaya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan” (Salim, 1954:300).

Jelas dari gambaran yang mereka berikan bahwa mereka menggunakan pengertian “kultur” yang berarti totalitas kehidupan manusia dalam konsep mereka tentang kebudayaan. Yang sedikit berbeda dalam arti tidak merumuskannya secara jelas adalah Nurcholis Madjid, yang berbicara tentang keharusan “meninggalkan gagasan-gagasan tradisional yang dianggap ukhrowi, walaupun sebenarnya merupakan bagian dari pola-pola kebudayaan belaka” (Boland, 1971: 222). Kalau Hamka, Gazalba, dan Haji Agus Salim menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang berpadu dengan agama atau keimanan, maka Nurcholis Madjid menganggapnya sebagai sesuatu yang berdiri di luar keimanan agama.

II

Para pemikir dan pemuka gerakan Islam memiliki pendapat yang hampir bersamaan tentang tempat kebudayaan dalam kehidupan, yaitu sebagai bagian sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat, melalui berbagai pranata dan lembaga. Pranata dan lembaga yang tak terbilang itu merupakan manifestasi dari sebuah kerangka umum kehidupan, yang akan menentukan corak dan warna kehidupan, arah dan orientasinya, serta lingkup dan wawasannya. Dengan demikian menuntut pandangan mereka, kesemua prasangka dan lembaga yang ada dalam sebuah masyarakat adalah subsiten dari sebuah sistem besar yang bernama kebudayaan. Ekonomi, politik, kesenian, ilmu pengetahuan, dan seterusnya adalah deretan subsistem yang secara total membentuk entitas yang baru yang dinamai kebudayaan itu, walaupun pada dirinya masing-masing adalah sebuah sistem tersendiri yang lengkap dengan pranata dan kelembagaanya yang kompleks pula.

Adalah menarik untuk melihat tempat pendidikan dalam “tata istem” di atas. Pendidikan sekaligus adalah sebuah subsistem bagi kebudayaan dan sistem tersendiri yang berada di luarnya, yang menunjang pembentukan, pengembangan, dan pelestarian kebudayaan. Sebagai sebuah subsistem, pendidikan adalah bagian terpenting dari kebudayaan, berfungsi sebagai pengarah kebudayaan dan sekaligus mekanisme pewarisan nilai-nilai budaya sesuatu masyarakat dari satu ke lain generasi. Sebaliknya, sebagai sebuah sistem tersendiri ia ditunjang oleh kebudayaan untuk membantu perkembangan hidupmanusia, baik perorangan maupun kelompok, ke arah yang dikehendaki oleh ajaran islam. Dengan demikian, antara pendidikan dan kebudayaan terjadi hubungan simbolik – mutualistis. Secara eksplisit hal ini dinyatakan berulangkali oleh sejumlah pemikir dan budayawan muslim, suatu hal yang tidak begitu mereka tuntut dari subsistem lainnya terhadap kebudayaan. Memang Islam menganggap politik memiliki arti pengarah bagi kebudayaan, apabila ia berfungsi mnciptakan keputusan yang dapat mengarahkan jalur kegiatan mereka dalam pandangan mereka. Namun fungsi pengarahan itu tidak lalu menjadikan subsistem politik sebagai sesuatu yang terlepas dari kebudayaan. Mungkin ini datang dari pandangan mereka yang cukup unik tentang politik: ia adalah unsur penunjang yang memiliki moralitas yang harus ditentukan wawasan dan lingkupnya oleh sebuah sistem lain lagi. Dalam Islam tidak diakui independensi total bidang politik, dalam arti diperkenankan mengembangkan nila-nilainya sendiri. Politik adalah bagian dari moralitas kaum muslimin, karenanya ia harus tunduk pada sistem yang membentuk cakrawala kehidupan sebuah masyarakat muslim. Pendidikan dan kebudayaanlah yang justru memiliki peranan pengarahan bagi politik itu.

Hubungan simbiotik mutualistis antara pendidikan dan kebudayaan itu tumbuh dari persepsi Islam yang tersendiri mengenai pendidikan. Baik secara historis (karena ada landasannya sendiri dalam tradisi kenabian) maupun secara kultural, Islam menekankan pentingnya arti pendidikan, terutama karena melalui pendidikanlah berkembang dua hal yang paling diinginkan dalam pribadi seorang muslim: pemahaman yang benar tentang sendi-sendi keimanannya, dan moralitas benar (right morality) yang menjadi pengejawantahan pemahaman benar tersebut. Tekanan pada penumbuhan watak “serba benar” dari keimanan dan moralitas itu sudah tentu tidak bisa lain dari pemberian tempat begitu penting kepada pendidikan, sebagai sesuatu yang secara sistematik memiliki keberadaan di luar kebudayaan.

Dapat disimpulkan dari hubungan antara kebudayaan dan pendidikan seperti digambarkan di atas, bahwa para pemikir pemuka gerakan Islam membagi kerja penumbuhan moralitas dan pemahaman keimanan yang benar itu ke dalam dua wilayah utama: wilayah konsepsional dalam arti luas di bawah tanggungjawab sistem kebudayaan dan wilayah penerapan konsepsi itu di bawah tanggugnjawab sistem pendidikan. Pemberian sarana saling melengkapi antara kedua sisitem itu dengan sendirinya menunjukkan perlakuan Islam yang unik atas kedua bidang itu: di satu pihak diberi keluasan untukberfungsi di luar sistem lainnya, di pihak lain telah dibatasi ruang geraknya oleh pembagian tersebut.

III

Kesejajaran dalam hubungan antara kebudayaan dan pendidikan justru tak terlihat dalam hubungan antar ajaran Islam dan kebudayaan. Kebudayaan dalam pandangan gerakan Islam sebagaimana diwakili pandangan para pemikir dan pemukanya, adalah sesuatu yang subordinat kepada kebenaran ajaran agama. Di sini “kebenaran” berfungsi kebar selaku obyek yang dijadikan sasaran hidup berbudaya itu sendiri dan sekaligus elemen operasional yang menjamin keberhasilan pencapaian usaha tersebut. Karena fungsi kembarnya itu, ajaran agama memiliki kedudukan “superordinat” terhadap kebudayaan: ia sekaligus menjadi salah satu unsur kebudayaan, namun juga menjadi penentu watak dan corak kebudayaan yang akan dikembangkan. Dalam arti inilah para pemikir dan pemuka gerakan Islam mengajukan rumusan mereka, yaitu “Islam harus menjiwai kebudayaan”.

Fungsi agama terhadap kebudayaan dengan demikian merupakan gumpalan dua fungsi lain: fungsi inspiratif bagi kebudayaan dalam arti memberikan kekuatan pendorong bagi hidup berbudaya, dan fungsi normatif dalam artian mengatur dan mengarahkan hidup berbudaya itu sendiri ke jalur yang dibenarkan oelh keimanan seorang muslim. Dalam fungsi inspiratifnya, Islam menyediakan sejumlah nilai dasar maupun nilai derivatif yang melandasi deretan subsistem yang membentuk kebudayaan. Nilai-nilai itu ada yang diserap oleh masing-masing subsistem dalam bentuk abstrak (seperti kewajiban, elan, dan sumber pemikiran) maupun kongkret (kelembagaan, moralitas, dan sebagainya).

Pada titik sebagai sumber inspiratif dan sekaligus batasan normatif dari ajaran inilah muncul sebuah konsep menyeluruh tentang Islam sebagai Ad-Din (Agama, huruf besar yang menunjukkan klaim kebenaran yang tunggal bagi dirinya, yang juga menjadi pengertian kalau digunakan istilah The Religion of Islam). Islam sebagai sang Agama adalah satu-satunya kerangka umum kehidupan yang benar, dan oleh karenanya harus dilaksanakan secara total tanpa adanya aspek yang tertinggal satupun. Islam sebagai keimanan, hukum agama (Syari’at), dan pola pengembangan aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia.

Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan, dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan antar kaum muslimin dan yang bukan muslim diatur di dalamnya. Dalam totalitas seperti itu tidak ada perbedaan natara aspek duniawi dan aspek ukhrawi dari hidup manusia, karena semuanya saling menunjang dalam geraknya. Dalam keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak berwawasan keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain sudah tidak ada perbedaan lagi.

Dalam fungsi mengikat dan amenjalin keserasian antara semua wilayah kehidupan, Islam sebagai Ad-Din dengan sendirinya menolak sekularisme yang masih membeda-bedakan corak kegiatan masyarakat antara yang “berwarna agama” dan “yang berwarna duniawi”. Ini berarti penolakan pula atas kebenaran klaim adanya “kebudayaan” dalam pola kegiatan yang terlepas dari wawasan keagamaan (dalam hal ini Islam). Kata “kebudayaan” hanya patut dipakai oleh pola kehidupan yang bersumber pada aspirasi keagamaan (dalam totaltasnya, yang menyangkut apa yang berada di luar wawasan sempit keagamaan selama ini) dan mengikuti batasan-batasan normatifnya.

Terlepas dari variasi sangat beragam dalam perincian persoalan yang dirumuskannya, pola Islam sebagai Ad-Din itu adalah pola yang diikuti oleh kebanyakan para pemikir dan pemuka gerakan Islam di negeri ini, walaupun cukup kuat pula kedudukan mereka yang mempertanyakan keabsahan eksposisi kebenaran agama secara demikian itu. Masa depan sajalah yang akan menunjukkan kecenderungan mana yang benar-benar mewakili persepsi gerakan Islam tentang kebudayaan.

(Makalah dalam Seminar Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan, LRKN-LIPI, Jakarta, 13-15 September 1982)