Thursday, December 19, 2013

Muslims, Hindus get together for ‘topat’ war in Lombok

Panca Nugraha, The Jakarta Post, West Lombok | Archipelago | Thu, December 19 2013, 8:38 AM
Praise God and pass the ammunition: Women from the Sasak Muslim community carry topat before the start of the topat war at the Pura Lingsar Temple complex in West Lombok on Tuesday. (JP/Panca Nugraha)

Hundreds of Muslim and Hindu residents engaged in the traditional Perang Topat or topat war at the Pura Lingsar Temple complex in Lingsar village, West Lombok, West Nusa Tenggara (NTB), on Tuesday.

The topat war has become a symbol of brotherhood and unity among residents of the different faiths. Topat, or ketupat, are parcels of rice cooked in coconut leaf.

An atmosphere of merriment filled the Pura Lingsar Temple complex on Tuesday afternoon, when hundreds of youths, men and women and even children were divided into two groups and positions, some of them at the Pura Gaduh Hindu Temple compound, while others gathered in front of the Kemaliq building, a place sacred to the indigenous Muslim Sasak community in Lombok.

After the whistle marking the commencement of hostilities was blown, both groups immediately attacked each other.

The atmosphere became more frenzied as they ran around to avoid topat being tossed at them by their opponents. They then returned to their positions to toss topat back at their rivals.

The tradition, which has been carried out for hundreds of years in Lingsar village, has strengthened ties among the Muslim and Hindu communities there.

The locals believe that the topat used in the war bring blessings.

“The tradition has been handed down by our ancestors. It is usually carried out after a good harvest, as an expression of thanks to God and with the hope that the coming planting season will be fertile. It also strengthens social ties with our Hindu friends,” Ramlan, 38, guardian of the Kemaliq building, told The Jakarta Post.

According to Ramlan, after the event, the remaining topat become a bone of contention and people will fight to bring them home.

They usually scatter the topat in their fields in the hope that their crops will be plentiful, or place them in their shops to boost business.

The Pura Lingsar complex is a temple built in 1759 during the era of Anak Agung Gede Ngurah, a descendant of the Karangasem king of Bali, who ruled parts of Lombok Island during the 17th century.

Pura Lingsar is located around 9 kilometers east of the NTB provincial capital Mataram.

The temple complex is unusual in that it is home to two buildings used by different faiths; the Pura Gaduh temple, a Hindu place of worship, and the Muslim Kemaliq building still used for a number of Sasak Muslim rituals.

The two buildings were built in a Balinese architectural style. The Pura Lingsar complex has been designated as a cultural heritage site by the government due to its uniqueness.

The community in Lingsar village always hold the ritualized topat war on the 15th day of the seventh month of the Sasak Lombok calendar, or the 15th day of the sixth month of the Balinese calendar.

This year, it fell on Tuesday (Dec. 17) precisely during a full moon. The topat war always commences at around 5 p.m.

On the day, members of the Hindu community celebrate the odalan, or the anniversary of the Pura Lingsar, by carrying out the Pujawali ritual to pay respect to Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung and Batara Lingsar, personifying God.

At the same time, members of the Muslim community hold an event to commemorate Raden Mas Sumulir, a Muslim cleric from Demak, Central Java, believed to have brought Islam to Lombok in the 15th century.

In the Pura Gaduh temple, Hindu followers, led by temple elders prepare offerings for Pujawali, while at Kemaliq, Sasak Muslims, prepare the kebon odek (small earth), or offerings in the form of various fruit and crops.

The item which cannot be left out, of course, is the topat made by members of both the Muslim and Hindu communities in the village.

The offerings are then paraded around the Kemaliq building accompanied by the playing of traditional musical instruments.

“Perhaps, this is the only event in which members of the Muslim and Hindu communities carry out their rituals at the same place and time simultaneously, although our versions are different,” said Lingsar village chief Muhammad Abdul Hadi.

The topat war has a spot on the NTB administration’s list of special events as part of its efforts to attract more tourists to the province.

On Tuesday, dozens of local tourists and foreigners swarmed the area to witness the unique event.

Besides the topat war, the visitors could also enjoy a number of other traditional performances.

http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/19/muslims-hindus-get-together-topat-war-lombok.html

Monday, July 29, 2013

Madrais, Menyemai Tradisi Menuai Diskriminasi

Beberapa tokoh nasionalis dipahami secara keliru. Bahkan oleh bangsanya sendiri. Sebagai akibat rekayasa penjajah Belanda yang menyebarkan cerita dan fakta keliru terhadap tokoh-tokoh nasionalis pribumi. Sebab keberadaan mereka membahayakan posisi kolonialis.

Oleh Ali Romdhoni
Kiai Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (m. 1939) dari Cigugur, Kuningan merupakan nasionalis. Namun karena sejarah ia pernah dipahami secara keliru dan dimusuhi oleh komunitasnya sendiri.
Awal September 2012 lalu penulis mendengar sosok Madrais melalui penuturan para penganutnya. Adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar ajaran—untuk tidak menyebutnya ‘agama’—Sunda Wiwitan (Sunda permulaan; lama).
Menurut cerita, Madrais masih memiliki hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Oleh ibunya, anak yang belum genap satu tahun itu kemuian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari kejaran Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia kemuian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan. Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.
Selama hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan kepada rakyat pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang popular di kalangan penganut Sunda Wiwitan adalah makan dan minumlah dari hasil keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.
Sadar Kebangsaan
Madrais hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, ketika seluruh kekayaan bangsa Indonesia: sumber daya alam, ilmu pengetahuan, agama, budaya, hingga akal sehat sudah hilang dari manusianya.
Dalam kondisi yang demikian, Madrais tampil sebagai putera pribumi yang sadar dan merasa harus bangkit dari kehancuran sebagai bangsa. Kritik yang disampaikan Madrais, yang selanjutnya menjadi ajaran yang ia tanamkan kepada para pengikutnya adalah: tidak adanya tatanan sosial untuk menciptakan keadilan di masyarakat, tidak berfungsinya agama-agama dalam melahirkan manusia yang saling menghargai kedaulatan sebagai bangsa, dan hilangnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang berdaulat di muka bumi.
Tiga hal ini, menurut saya, menjadi saka guru ajaran Kiai Madrais. Pangeran Madrais mengajarkan pentingnya kesadaran sebagai manusia dan bangsa yang mengenal cara dan ciri manusia, antara lain, welas asih (cinta) kepada sesama, tata kerama, berbudaya, berbahasa, beraksara dan wiwaha danaraga (mempertimbangkan segala keputusan dan perilaku dalam hidup). Sebagai manusia harus sadar atas keberadaannya sebagai ciptaan Sang Maha Kuasa. Cara-ciri ini, rupa, bahasa dan budaya tidak bisa dihindari. Karena merupakan karunia Tuhan, maka harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan.
Eksistensi Ajaran Madrais
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Di tempat ini juga terdapat gedung Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga adat dan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini.
Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu. Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek paseban. Salah satu kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya tahun baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini sebagian masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk iarak dalam satu episode pawai yang meriah.
Di komplek gedung Paseban TPT juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga.  Pangeran Jatikusuma, pimpinan ajaran Sunda Wiwitan saat ini juga membangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Perjalanan para penganut ajaran Sunda Wiwitan tidak selamanya mulus. Ada lembaran-lembaran kelam yang meninggalkan trauma tersendiri bagi warga adat dan penganut ajaran Kiai Madrais. Salah seorang anak Jatikusuma, Gumirat Barna Alam harus berurusan dengan pengadilan Jakarta Timur pada 1997. Gumirat ingin menikah dengan cara adat dan ajaran yang mereka yakini. Namun saat itu kantor catatan sipil tidak mengizinkan, sampai akhirnya harus diselesaikan di meja hijau.
Sejarah yang Kabur
Perjalanan sejarah terkadang bisa memutar-balik fakta. Pada satu waktu seseorang diproklamirkan sejarah sebagai sosok agung, dan pada masa berikutnya orang yang sama dijatuhkan—juga oleh sejarah itu sendiri—ke derajat pecundang.
Demikian yang terjadi pada Pangeran (Kiai) Madrais saat ini. Citra yang menempel pada sosok bangsawan keturunan keraton Gebang lama ini adalah seorang pemberontak, penyebar aliran sesat, orang yang tidak beragama, sampai anak haram. Selain itu juga ada masyarakat yang meyakininya sebagai bangsawan, kiai (agamawan), cendekia, tokoh pembela rakyat dalam menghadapi penjajah, sampai orang sakti yang rendah hati.
Menurut pendapat rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, Khozin Nasuha, misalnya, Madrais sejatinya seorang pimpinan pesantren. Bahkan nama Madrais, menurut salah seorang warga Cigugur, merupakan pengucapan dari nama muslim, Ahmad Rais. Namun komentar ini disanggah oleh para cucu Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang muslim. Memang ia pernah belajar keislaman di pesantren, tetapi itu karena minatnya yang besar dalam hal ajaran keagamaan dan kemanusiaan yang universal.
Kita patut bangga memiliki pendahulu seperti Pangeran Madrais. Wallahu a’lam bis-shawab.
-Ali Romdhoni MA, Peneliti dan dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati, Jawa Tengah.

From: http://amanat-online.com/madrais-menyemai-tradisi-menuai-diskriminasi/

Wednesday, June 19, 2013

Akulturasi Agama Dalam Ritual Sedekah Laut di Cirebon dan Cilacap

 Bayu Kreshna Adhitya Sumarto
Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Diponegoro
Abstract
The culture of community  sometimes can be change when there are some cultures from the outside come for mixed. Without aware, we have been  on the change. Religion acculturation in Indonesia is very effect on the culture inside, An example “Sedekah Laut” a culture from Indonesia is a part of the religion acculturation, beginning of the history of development, to the sustainability of current activities. Acculturation of “Sedekah Laut” in Indonesia especially in the Cirebon and Cilacap come from mixing of the culture animism and dynamism, the Hindu-Buddhist and Islamic.
Key Words : Religion Acculturation , Culture, Sedekah Laut, Cilacap, Cirebon.

1.    Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan agama yang sangat besar (heterogen), seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang pada setiap pulaunya memiliki kultur yang berbeda-beda, dan hal ini sering disebut sebagai multi etnis dan agama.
Dalam hal ini, Budaya dan Agama sangat berkaitan erat, dikarenakan dalam studi antropologi istilah culture (budaya) secara etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti “cultus” dan “culture”, sehingga budaya tercipta dari hasil pengaruh agama terhadap diri manusia (Izebigovic, 1992).
Keberagaman kultur budaya dan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia, tentunya tidak datang secara tiba-tiba yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, namun melalui beberapa tahapan perkembangan sejarah Negara. Mulai dari sejarah warisan budaya pribumi masa lampau, hingga kedatangan pedagang-pedagang dari luar yang membawa kebudayaan dan agama bangsa mereka (kultur luar) ke wilayah Nusantara (khususnya Maluku dan Jawa).
Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling kental tentang akulturasi keagamaannya, terkait dengan adat istiadat pribumi pada saat itu hingga penyebaran agama (yang mulai mengubah membaur dalam budaya) oleh bangsa-bangsa dari luar yang melakukan aktivitas perdagangan di Indonesia.
Pada awal sejarah Indonesia, Tanah Jawa di kenal dengan faham animisme dan dinamisme-nya, dimana sebagain besar masyarakat Jawa pada saat itu melakukan pendewaan dan pemitosan pada ruh-ruh nenek moyang yang kemudian menjadikannya sebagai dewa pelindung pemiliki kekuatan gaib yang melindungi keluarga yang masih hidup (Ridwan, 2005).
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib pada saat itu, dipandang sebagai dewa atau bahkan Tuhan yang dapat menolong, ataupun sebaliknya yang dapat mencelakakan. Hingga mulai timbul-lah inisiatif pembuatan kegiatan ritual-ritual yang mendatangkan arwah nenek moyang atau dewa, kemudian mengucapkan mantra, memberikan sesaji dan sebagainya di dalam upacara ritual tersebut. Dalam hal ini, W. Robertson Smith memandang bahwa upacara yang dilakukan pada saat itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak hanya berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, namun juga karena mereka menganggap melaksanakan ritual keagamaan adalah bagian dari kewajiban sosial (Koentjarajakti, 1992).
Sedekah laut merupakan bagian ritual “keagamaan” pada saat itu yang masih tertinggal hingga kini dalam lingkup keberlangsungan hidup nelayan. Ritual sedekah laut sangat kental terasa di wilayah Jawa khususnya Pantai Selatan Jawa. Ritual sedekah laut dikenal pada masyarakat awam Jawa dengan definisi pemberian macam-macam sesaji kepada yang mbau rekso atau yang menguasai laut selatan yang dikenal dengan sebutan kanjeng ratu kidul, sebagai bentuk rasa syukur (berterima kasih) atas rejeki laut dan keselamatan yang telah diterima saat melaut.
            Di daerah Cirebon dan Cilacap tradisi sedekah laut diadakan setiap setahun sekali yaitu pada bulan Sura (nama salah satu bulan pada tanggalan jawa) atau Muharam (nama salah satu bulan pada tanggalan islam) bertepatan dengan hari Jum’at kliwon atau Selasa kliwon.
2.    Akulturasi Agama di Indonesia  
Akulturasi menurut Koentjaraningrat (1999) dapat diartikan sebagai bentuk percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi disuatu kawasan atau lingkungan masyarakat, atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, yang terserap secara selektif, sedikit ataupun banyak.
Akulturasi agama itu sendiri berarti dapat diartikan sebagai masuknya agama (kepercayaan) dari luar (asing) kesuatu daerah yang sebelumnnya telah memiliki kepercayaan, kemudian berinteraksi dan membaur sehingga lambat laut akan terjadi percampuran kepercayaan didalamnya. Akulturasi agama (kepercayan) di Indonesia, dimulai pada abad pertama masehi hingga abad ke 6 masehi dimana agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia oleh para pedagang-pedagang di Pesisir Nusantara, yang dalam sejarah bangsa Indonesia ditandai dengan berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara, Mataram dan Majapahit (Hindu),  kemudian Syailendra dan Sriwijaya (Budha). Keseluruhannya adalah kerajaan-kerajaan besar Hindu-Budha dijamannya yang kemudian memberikan kontribusi atau kemajuan tersendiri bagi keberlangsungan kepercayaan masyarakat Indonesia yang beraliran animisme dan dinamisme  pada saat itu, yang kemudian lahirlah yang namanya Hindu-Budha yang kejawen. Di dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi yang kemudian pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa, yang berarti rakyat harus tunduk kepada raja untuk mencapat keselamatan dunia-akhirat (Onghokham. 1991). Hal ini yang nantinya berpengaruh pada otoritas sultan atau raja dalam pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan masyarakat pada saat itu.
Pada abad ke 12 masehi islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang Gujarat yang mendarat di Pesisir Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, hal tersebut ditandai dengan adanya kerajaan Perlak, Samudera Pasai, Aceh, Demak dan sebagainya.
Di Jawa, Islam menghadapi suasana yang kompleks yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya.  Pertama, budaya nelayan dan petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas (Simuh, 1995).
Akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa yang telah dimasuki budaya Hindu-Budha dapat ditemukan dalam wujud gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah genealogis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam konsep  nur-roso dan  nur-cahyo. Menurut silsilah keraton,  nur-roso dan  nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah  nur-roso dan  nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad (Kuntowijoyo, 1996).
Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai berikut: 
“Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang berputrakan SisSis berputrakan  Nur-cahyonur-cahyo berputrakan  nur-rasanur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu) (Olthof, 2008).
Dalam Perkembangannya pengaruh islam pada masyarakat Indonesia tidak lepas dari peran para wali yang dikenal oleh orang Jawa sebagai Wali Songo (Sembilan Wali). Para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit.
   Hal inilah bentuk akulturasi yang sampai sekarang masih terasa melekat dalam tradisi “Sedekah Laut” saat ini, Aliran animisme dan dinamisme dalam tujuan ritual, kemudian pelaksanannya yang masih tergantung dari kebijakan pihak keraton atau raja, dan terakhir isi mantra-mantra yang dibacakan menggunakan bahasa arab atau bahkan sebagian menyunting dari ayat dalam kitab suci umat islam yaitu Al-Qur’an. Ketiga budaya keagamaan tersebut melebur dalam satu ritual masyarakat yang bernama “Sedekah Laut”.
3.    Sedekah Laut
Tradisi sedekah laut merupakan membuang sesaji ke laut dengan maksud memberikan makan kepada yang mbaurekso atau penguasa laut.
 Sedekah Laut di Cirebon
Sumber : erwini.files.wordpress.com
   
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sedekah laut pada dasarnya diadakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat nelayan kepada Tuhan, penguasa laut, hantu laut, ruh-ruh nenek moyang dan sebagainya (menurut kepercayaan masing-masing). Tradisi ini dilakukan juga sebagai bentuk permohonan keselamatan, permohonan ijin melaut sepanjang tahun, dan kesejahteraan laut yang menjadi ladang mencari rejeki.
Sedekah Laut di Cilacap
Sumber : jateng.tribunnews.com
Ritual sedekah laut umumnya dilakukan pada bulan Sura atau bulan Muharam di hari-hari yang telah di tetapkan, semisal jumat kliwon dan selasa kliwon di bulan tersebut. Bulan Muharam adalah bulan yang sakral bagi umat islam bahkan menjadi salah satu bulan suci bagi umat islam sebagai bentuk evaluasi diri, pengutaraan rasa syukur kepada Allah SWT  dan pergantian tahun pada kalender Hijriah. Begitupun dalam kacamata orang jawa yang telah terakulturasi kebudayan Islam dari animisme-dinamisme dan Hindu-Budha, hanya bedanya,, bagi sebagian masyarakat Jawa bulan Suro adalah bulan yang mistis atau keramat. Pada bulan ini, umumnya masyarakat Jawa tidak berani untuk melakukan kegiatan apapun, seperti pernikahan ataupun hajatan, dikarenakan takut menimbulkan petaka bagi keberlangsungan hidup mereka (Purwanti, 2010).
Kegiatan di bulan Sura biasanya adalah kegiatan selametan dan persembahan yang sering diikenal dengan istilah-istilah tirakatan (selametan) dan Sadranan atau Nadran (Pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi lauk pauk dan bermacam-macam kembang yang kemudian di Larung ke laut disertai dengan kepala kerbau) “Sedekah Laut”.
Menurut beberapa definisi etimologi nadran berasal dari bahasa arab yaitu nadar yang berarti “syukuran”, sesuai dengan akulturai dari pengaruh islam di Jawa yang menurut orang Jawa (Jawa Kejawen) sebagai bentuk rasa syukur kepada penguasa “halus” wilayah tertentu, menggunakan sesaji, dupa dan sebagainya,  sebagai perantara perlancar maksud seperti tradisi Hindu-budha.
3.1. Sedekah Laut di Cirebon
Sedekah laut di cirebon dikenal dengan sebutan “nadran”, seperti yang telah disebutkan diatas yang berarti “syukuran”. Sedekah laut di Cirebon dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rejeki laut yang telah diperoleh selama 1 tahun melaut dan memohon agar dimasa mendatang dapat menghasilkan lebih banyak lagi (ikan).
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu (yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta (Agustina, 2009).
Pada Nadran di Cirebon ada istilah Bedug Basu, yaitu tokoh (roh leluhur) yang menjadi cikal bakal adanya ikan di laut. Dalam ritualnya, sedekah laut juga meminta keselamatan agar terhindar dari gangguan roh-roh halus yang jahat.
Umumnya ritual nadran disertai  dengan penyajian tari-tarian, pegelaran wayang kulit, doa-doa dan mantra juga sesajen.
Pada prosesi pelaksanaannya, nadran atau sedekah laut di Cirebon biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat sesajen lainnya dilarung ke tengah laut lepas dan kepala kerbau tersebut ditenggelamkan. Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagi-bagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut sebagai bancaan atau berkah yang langsung dimakan ataupun dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga.
3.2. Sedekah Laut di Cilacap
Pada masyarakat Cilacap, sedekah laut lebih dikenal dengan istilah Larung sesaji, yang merupakan prosesi  menghanyutkkan sesaji ke laut sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penguasa laut pantai selatan, Nyai Roro Kidul. Sosok Nyai Roro Kidul sangat dihormati dikalangan nelayan Cilacap, mereka berpendapat bahwa Nyai Roro Kidul adalah Ratu Pantai Selatan yang menjaga, mengatur serta menghidupi kelangsungan kehidupan di Pantai selatan Jawa. Mereka juga berpendapat bahwa, penghasilan baik dan buruknya mereka melaut adalah tergantung dari bagaimana kebaikan dari Ratu Pantai Selatan, oleh sebab itu guna menarik mendapatkan ridho, berkah dan keselamatan dari sang ratu, maka setiap tahun masyarakat melakukan persembahan kepada Nyai Roro Kidul dalam bentuk “Sedekah Laut”   
Pada mulanya ditahun 1871, tradisi ini dilakukan pada masa pemerintahan Tumenggung cakrawerdaya III. Pada saat itu, ia memerintahkan kepada sesepuh pandanarang, Ki Arsa Menawi untuk melarungkan sesasji kelaut pada bulan Sura, yaitu pada hari selasa dan jum’at Kliwon, sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan Nyai Roro Kidul. Walaupun sempat terhenti, namun ritual sedekah laut kembali diangkat pada tahun 1982 oleh Bupati Poedjono Pranjoto hingga saat ini.
Secara keseluruhan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam proses pelaksaannya Sedekah laut di Cirebon maupun di Cilacap, hanya istilahnya saja yang banyak berbeda. Dalam sedekah laut di Cilacap, ada istilah jolen yang berarti tempat sesaji dan hiasan jolen yang bernama janur (daun kelapa). Jolen-jolen inilah yang nantinya akan di ­larung kelaut bersama dengan kepala kerbau di daerah Teluk Penyu sekitar Karang Bandung sisi Timur Pulau Nusakambangan.
Berikut adalah tahapan prosesi sedekah laut di Cilacap :
a.       Pemasangan baliho dan iklan oleh pihak pemerintah mengenai jadwal dan tempat pelaksanaan.
b.      Sebelum hari pelaksaan, dilakukan nyekar atau ziarah ke Pantai Karang Bandung (Pulau Majethi).
c.       Pengambilan air suci di sekitar Pulau Majethi, sebagai tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma.
d.      Malam harinya dilanjutkan dengan Tirakatan di Pendopo Kabupaten
e.       Pemotongan tumpeng, pembuatan sesaji dan jolen tunggul berbentuk rumah joglo, serta pernak-pernik  kelengkapan yang akan di larung, termasuk pemotongan kepala kerbau.
f.       Esoknya, pembawaan sesaji (jolen) ke laut di iringi jolen tunggul dan jolen pendamping.
g.      Pembawaan sesaji ke kapal nelayan yang telah dihiasi hiasan warna-warni untuk dilepaskan ke lautan.
h.      Pelepasan sesaji ke laut, dilaksanakan secara khidmat.
i.        Malam harinya, diadakan pertunjukaan wayang semalam suntuk dan acara berlangsung 2 hari penuh.
4.    Penutup
Tradisi Sedekah laut, Nadran, Larung Sesaji atau Sadranan memiliki landasan filosofi yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat, walau dibalik keberlangsungan sejarah ritual sedekah laut terdapat sedikit polemik tentang bagaimana  ritual tersebut terbentuk di masyarakat.
Mencoba mengangkat kembali bahwa ritual sedekah laut tidak serta-merta muncul mentah hasil warisan budaya jaman dahulu, namun peran serta sejarah terutama “akulturai agama” yang ada didalamnya turut memberikan torehan nilai-nilai budaya. Animisme-dinamisme yang menjadi akar awal adanya ritual ini, lalu tata cara dan tahapan yang mendapat sentuhan Hindu-Budha, serta nuansa islam yang ada pada isi haturan setiap bait kata syukur dalam prosesi tersebut. 
Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam ritual sedekah laut baik di Cirebon maupun di Cilacap termuat dibalik rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai filosofi yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk-tari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritus-ritus lainnya, terlepas darimana dan bagaimana kebudayaan itu terbentuk atau tercipta.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Heriyani. 2009. Nilai-nilai Filosofi Tradisi Nadran Masyarakat Nelayan Cirebon, Realisasinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan. Yogyakarta : Kepel Press.
Izebigovic, Alija. 1992. Membangun Jalan Tengah. Bandung : Mizan. Hal : 71
Koentjarajakti. 1992. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : UI Press.
Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
Kuntowijoyo, 1996. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Olthof, W. L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Narasi.
Onghokham. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES.
Purwanti, S., Wahyu., Dwi. 2010. Sedekah Laut dalam Masyarakat Nelayan Cilacap. Semarang : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Vol 5. No 1.Hal 52.
Ridwan. 2005. Dialek Islam dengan Budaya Jawa. Purwokerto: Ibda’. Vol 3. No.1. 18-32
Simuh. 1995. Sufisme Jawa, Transformasi Tasawwuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta : Bentang Budaya.
Http://erwini.files.wordpress.com/2008/11/sedekah-laut21.jpg. Pengambilan Foto 17 Januari 2008 Kamera : Nikon D50. Didownload pada tanggal 30 maret 2012 jam 12.45.
Http://jateng.tribunnews.com/foto/bank/im ages/sedekah-laut.jpg. Didownload pada tanggal 29 maret 2012 jam 20.33.
 
 Retrieved from: http://bayukreshnaadhitya.blogspot.com/2012/05/akulturasi-agama-dalam-ritual-sedekah.html

Tuesday, May 7, 2013

Meneliti Orang-Orang Sesat di Lombok

Dr.Widodo, Dr.Kari dan saya (Yusuf Tantowi) disebuah rumah makan di Cakranegara


Suatu siang pertengahan April lalu, saya ditelpon oleh kawan saya, Fathul Rahman –redaktur muda Harian Lombok Post (Jawa Pos Group). Dia mengabarkan bahwa nama saya diusulkan oleh dia untuk ditemui oleh seorang peneliti perempuan dari Norwegia. Ia mengaku merekomendir karena saya dianggap memiliki perhatian tentang isu-isu agama di NTB.

“Namanya Kari, orangnya enak diajak bicara. Dia juga bisa bahasa Indonesia” katanya meyakinkan saya via telpon. Saya mengiyakan saja dan bisa ditemui asalkan ada perjanjian bertemu terlebih dahulu. Mengenai waktu dan tempat menyusul.

Tidak ada alasan saya untuk menolak. Apa lagi saya juga sering melakukan wawancara kepada banyak narasumber akan satu masalah yang ingin saya tulis. Selama itu bermanfaat bagi orang, whay not. Lebih-lebih orang yang minta bertemu itu berasal dari belahan bumi yang sangat jauh. Norwegia – bukankah itu udah masuk kawasan Eropa.

Singkat cerita, Dr.Kari Telle, Ph.D - antropolog dan peneliti senior CHR.Michelsen Institute, Bergen Norwegia sengaja datang ke Lombok untuk meneliti ‘orang-orang sesat’. Baginya di Lombok sekarang banyak muncul orang-orang sesat. Lebih tepatnya orang-orang yang disesatkan. Baginya itu sesuatu yang menarek ditengah masyarakat Lombok yang dikenalnya sangat religius dan komunal. Apakah ini tanda-tanda masyarakat yang sudah sangat religius atau sebaleknya ?

Kita mungkin berpikir, apa manfaatnya meneliti orang-orang sesat ? Orang sesat kok diteliti ? Emang kenapa, kalau ada yang tertarek meneliti, masalah buat loh ?

Sebelum menjelaskan manfaat meneliti orang-orang sesat, tidak salah kita mengajukan pertanyaan sebaleknya. Sebenarnya, apa manfaatnya orang-orang itu menyesatkan orang lain ? Sudahkah tindakan itu dikaji secara masak dari berbagai perspektif ? Apa dia akan dianggap sebagai pahlawan kalau menyesatkan orang? Apakah dia sendiri sudah merasa melaksanakan perintah agama secara baik dan sempurna ? Apakah mereka sudah menerima perintah Allah SWT secara langsung melalui Malaikat Jibril untuk memberikan cap sesat kepada orang lain ?

Setahu saya orang tertarek meneliti orang-orang sesat bukan saja ingin mengetahui apanya yang sesat. Lebih dari itu, ia ingin mengetahui siapa yang sesat ? Siapa yang menyesatkan ? Bagaimana mereka disesatkan ? Apa dampaknya bagi mereka yang disesatkan ? Bagaimana kondisi orang yang disesatkan ? Bagaimana pengaruh orang yang disesatkan dan orang yang menyesatkan ? Bagaimana sikap pemerintah (negara) terhadap orang yang disesatkan ?

Hasil pantauan kami di Lembaga Studi Kemanusiaan (LenSA) NTB, sejak 2008 sampai sekarang, muncul 1-3 tiga kasus orang atau kelompok yang disesatkan di NTB. Mereka bukan hanya mengalami diskriminasi tapi juga dikriminalkan karena dianggap monodai agama. Seperti kasus yang dialami oleh seorang kakek berusia puluhan tahun bernama Amaq Bakri yang tinggal disekitar Lereng Rinjani - wilayah Sukamulia, Lombok Timur. Ia divonis satu tahun penjara oleh pengadilan tinggi Selong karena dianggap pernah mengaku sebagai nabi. Hal serupa pernah dialami oleh orang dan kelompok lain di Lombok meski tidak sampai meja pengadilan.

Fenomena orang atau kelompok menyesatkan orang bukan hanya terjadi di Lombok. Hal seperti itu juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Bukan hanya individu (person) yang suka menyesatkan tapi juga oleh lembaga yang dibentuk secara kultural (masyarakat) dan struktural (pemerintah).

Anehnya lembaga-lembaga tersebut menjalankan kegiatannya sehari-hari menggunakan dana operasional dari pajak (retribusi) yang disetor masyarakat. Dan masyarakat didalamnya itu juga termasuk orang-orang yang disesatkan itu. Menggunakan dana orang-orang yang disesatkan itu apakah bukan tindakan sesat (salah) dan menyesatkan?

Bagi saya menyesatkan orang itu adalah tindakan luar biasa yang sangat berani. Orang atau lembaga tersebut sudah mengambil alih hak prerogatif Tuhan sebagai pemegang kuasa atas diterima atau tidaknya amal seseorang diatas jagad raya ini. Mereka sudah menjadi Tuhan dibumi bagi orang lain yang lemah dan tidak berdaya. Dan realitanya orang-orang yang disesatkan itu bukan hanya korban tapi juga dikorbankan.

Itu pendapat saya tentang orang-orang yang disesatkan dan orang-orang yang menyesatkan. Saya berharap pembaca bisa membedakan siapa korban dan siapa yang dikorbankan dalam konteks ini. Dan saya rasa anda sangat cerdas membedakan korban dan pengorban –siapa yang patut dibela ?

Baik saya sambung lagi cerita tentang Kari. Ia mengatakan ini bukan pertama kalinya ia ke Lombok. Tahun 1998, selama satu setengah tahun ia pernah live in di Desa Bunjeruk, Lombok Tengah. Disana ia meneliti tradisi dan prosesi masyarakat ketika ada anggota keluarga meniggal.

Hasil risetnya ia tuangkan dalam sebuah tulisan dengan judul Feeding the Dead Reformulating Sasak Mortuary Practices dengan kata kunci Death, Food And Prayer. Selama disana Kari bukan hanya menghasilkan tulisan panjang dan mendalam tentang budaya orang Bonjeruk dan budaya orang Sasak secara umum - ia juga mendapatkan banyak kenalan dan sahabat di Bonjeruk.

“Waktu itu saya belum bekerja, jadi saya bisa lama di Lombok. Ingin sebenarnya lama di Lombok tapi tidak bisa” katanya sambil tersenyum.

“Saya sebenarnya juga tertarek meneliti pamswakarsa disini, tapi cakupannya terlalu luas. ketemu narasumbernya juga agak susah” ucapnya sambil sedikit mengangkat kedua bahunya. Meksi sudah cukup mahir berbicara dengan bahasa Indonesia, dialek bulenya tidak bisa hilang.

Saya bertemu dengan dia tiga kali. Dua kali di Lesehan Kemuning bersama teman saya Ahyar Rosyidi. Pertemuan ketiga disebuah warung makan Jawa dikawasan Cakranegara bersama Dr.Widodo Dwiputro, SH.M.Hum - dosen dan aktivis dari Fakultas Hukum Universitas Mataram. Kari mengaku sangat puas. Data dan bahan yang dibutuhkan untuk peneliti orang-orang yang disesatkan sangat lengkap. Mulai dari rekaman tertulis sampai video orang yang disesatkan.

Dan saya ingin menutup cerita ini dengan mengatakan, “Kalau kita pernah mewawancarai orang, tunggu waktunya kita akan diwawancarai. Kalau pernah menceritakan seseorang, suatu saat kita akan menjadi bahan cerita oleh orang lain. Itulah siklus hidup seorang pencerita, penulis dan peneliti”.

http://yusufbaru.blogspot.com/2013/05/meneliti-orang-orang-sesat-di-lombok.html

Monday, May 6, 2013

Nationalism, Minority Rights and Citizenship in Indonesia

Written by Lauren Gumbs   
Monday, 06 May 2013

Unity in Diversity or Unity in Similarity?
As many as 170,000 Indonesians were forced to flee their homes in 2012 because of ethnic and religious tensions, according to a Global Overview of forced migration published by authors with the US Department of State, the UNHCR and the Research Institute Without Walls.

That is an indication of how Indonesia's dynamism means that while it is growing into a major economic power, it is also struggling to deal effectively with issues such as ethnic conflict, religious intolerance, corruption, and inequality.

The country's diversity, including at least 14 major and minor ethnic groups spread across 17,000 islands, has been and still is being squeezed into something that is recognizable and manageable across all corners of the republic.

Ethnic and religious conflict remain a significant hindrance to nation building. State responses to minority claims on rights and mass homogenization have swung between military repression, accommodation, coercion and even transmigration.

Some of these strains stem from nationalist projects of the late strongman Suharto's New Order regime (1966-1998), when aggressive nation building was a key theme and often involved violent military force against non-conformist subjects.

Citizenship has changed meaning over time and is no longer as rigid as in the New Order era, yet at this point Indonesia is neither convincingly plural nor multicultural.

The legacy of forced homogeneity is difficult to shake off, as are the pressures that manufacture conformity. Contemporary nationalist projects adopt differing approaches toward diverse ethnic and religious groups. Some approaches are constructive, others are not.

The social and political situation for minorities continues; particularly as recent events illustrate that the capacity for violent conflict in Indonesia has not been restrained.

Nationalism remains a persistent theme but it is an artificial solidarity that masks divisions and hinders solutions.

The state philosophy, Pancasila is meant to capture the principle of 'unity in diversity'. It is a euphemistic mantra for an explosive environment of inclusion and exclusion that often results in human rights abuses and a contingent notion of citizenship that entails highly unequal social contracts.

East Timor is a comparative success story, having gained self-determination, but only after a protracted and bloody civil war. Acehnese and Papuan autonomy has been accommodated to a certain extent.

However Aceh can now subject the Indonesian citizens that live in the province to controversial Shariah governance that elsewhere in Indonesia would undermine basic human rights as well as cause democratic backpedalling.

Papua is still swarming with Indonesian military due to sustained movements for sovereignty. Deadly clashes in the restive provinces between pro- independence members and military are commonplace.

Unresolved issues lead to disputes even though Aceh for example is far more comfortable with its current situation than Papua is. A fracas this week over whether the Aceh regional flag is unlawful because it too closely resembles the former GAM (Free Aceh Movement) flag, showed that Indonesia will not easily relinquish control over its territory or its citizens' ideological beliefs. Remembering the decades-long armed insurgency that nearly lost Indonesia the resource-rich area, Jakarta is probably concerned that GAM symbols reference lingering sentiment for independence. On the other hand, Jakarta is right to be wary. Conservative Islamists adopt competing nationalist ideologies that impose even more polarization into mainstream norms. Majority rights still trump minority ones and even non-conformists in the majority are quickly shut down.

This year an attempt by a 75 year old grandfather in Aceh, who sought a court order for a mosque to turn the volume down on the call to prayer, was interpreted as a challenge to Islamic dominance. His attempt failed and he became the subject of death threats.

Indonesians reconcile Islamic belief with democracy in their own way, which is arguably either good for democracy or good for Islam. This week a Pew report stated that seven in 10 Indonesians want Shariah law implemented in the legal code, even though many social scientists and Islamic scholars have found that most Indonesians are moderate and secular.

In this bipolar environment of democratization and Islamization, the pressure of competing forces is contradictory. Conservative Islamic aspirations are broadly accommodated, through bylaws (new Shariah based bylaws are added each year, not removed) and legislation. This mainstreams such things as bans on homosexuality and outside faiths needing permits.

Such norms produce indifference to intolerant activities as these activities are seen as protecting the status quo and contributing to the nationalist project of unifying citizens. It also over emphasises the ethno-cultural-nationalist focus.

Christians in some parts of Indonesia, particularly West Java, suffer under discriminatory laws and by-laws that suppress their religious identity or reduce it to specific limits of acceptance. Other areas such as Malang city in East Java are comparably tolerant. Christian and ethnic communities such as Chinese and Hindus are undisturbed.

However, the fact that arbitrary conditions can be mandated for Christian places of worship and to restrict proselytising, signifies insecurity and a lack of enforcement of minority rights. It is testament to state apathy and consent that in particularly tense regions, sites of worship are policed by thug-like Islamist groups with little police objection.

Many churches find that they cannot secure necessary permits due to an impasse with residents, local leaders, and regional heads of government. Churches that are accused of operating without a permit become the targets of harassment and intimidation from Islamists or are shut down by authorities.

Diversity does not apply to just anyone. Some identities are completely unrecognized. Last year Alexander Ang was beaten up at work by colleagues for his atheist beliefs (discovered on Facebook) and subsequently jailed under the blasphemy law.

Even unity in diversity cannot override blasphemy, and yet neither Pancasila nor the state establishes a defence for such injustice. Atheist identities are anonymous, both in the national ideology of Pancasila, whose first article is belief in the one and only God, and when individuals are systematically categorised by the many identification documents that require them to list a religion.

The state approves just six acceptable religions?not including atheism, Judaism, Animism and polytheistic beliefs. Sim cards, cable television, even hairdressers and beauty salons, request an individual's religion on their registration lists. Supposedly secular schools contain mission statements acknowledging devotion to God as first priority, assuming unanimous belief in a monotheistic God.

Students are taught a deity-neutral prayer that they parrot before classes and meals. What is worse than adults having to constantly decide who and what they are, is children being categorized before they even understand what it means to own a hereditary identity. Systematic categorisation and documentation of potentially discriminatory aspects of identity reinforces social and political margins of belonging.

The tug of war between diversity and homogeneity has rarely conferred legally certain equal minority rights. Religious groups such as the Ahmadiyah and Shia, who live among mainstream Muslims, have been attacked, oppressed and exiled from their communities. Such is their stigma that West Lombok regional heads have even suggested Ahmadis be relocated to an island for their own protection.

At this time, for instance, 20 Ahmadiyah followers are waiting in their mosque, sealed by local government, for the West Java Bekasi administration to allow them to practice their religion freely, without having to remove 'Islam' and their connection to it from all references or from having their Imams chosen for them.

A 2008 joint ministerial decree and West Java gubernatorial decree banned Ahmadis from propagating their beliefs, in spite of the 1945 Constitution guaranteeing freedom of religious belief to minorities.

Civil society organisations (CSOs) can strengthen social solidarity by employing the language of human rights rhetoric to push for ethnic and cultural minority rights.

Indonesia's strengthening civil society can work against homogenizing pressures to solidify elements of civic nationalism into the prevailing but unworkable ethno-cultural nationalism, to empower an equal, participative political community rather than marginalising and suppressing difference.

For example, in reaction to the Bekasi Ahmadis' plight, groups for pluralism and religious freedom marched in Jakarta to decry the government's inaction in addressing religious intolerance. The government's apathetic approach to certain minority groups, and unwillingness to monitor police and local government bias, is now backfiring as civil organisations have become more vocal and politicised.

Protests might not yet have forced President Susilo Bambang Yudhoyono's hand, or resulted in secure legislation, however ongoing mobilisation and politicisation of rights issues and citizenship through the lens of civic nationalism, will have a better chance of success, especially if civil society organisations operate in a conducive environment.

Civic engagement faces many challenges, not least a pending Bill on Mass Organisations (ORMAS) that would place authoritarian restrictions on civil society organisations.

Indonesia today is thus both a minefield of conflict and tension as well as a reservoir of patience and forbearance whose people have to put up with a lot. Their leaders perpetuate extractive political and economic systems, poverty affects more than half the population, and a history of violence and disorder has embedded a culture of police and military impunity.

Corruption is a way of life. Graft scandals involving elites are a weekly spectacle in the news. The abundance of natural resources and their subsequent exploitation, has not translated into a better quality of life for most, despite the buzz around the expanding middle class.

Social justice in society is improving slowly with excruciating steps from democratizing elements and civil society. A civic approach to nationalism alternatively adopts the view that minorities are equal rights bearing citizens, making human rights language-recognition of claims holders and obligations of duty bearers-more explicit.

The tension of consolidating the national identity of such a vast expanse of island habitats and their inhabitants is portrayed in the struggle for the power to control, limit, express and define legitimate patriotic identities through narrow nationalist ethnic and cultural terms.

'Unity in diversity' conceals a hegemony that interprets diversity inflexibly. Instead of pluralism and diversity, it is in fact homogeneity that is employed to glue together the diverse regional ethnic and religious identities of 242 million people.

In the midst of conflict and intolerance, it seems like the nationalist focus leads to a self perception that defines individuals only in relation to what they are not, therefore continually creating an 'Other'. Indonesia is large and there are multitudes of examples of tolerance and pluralism, however ethnic and cultural diversity continues to challenge the mainstream sufficiently enough to incite conflict, intolerance, and discrimination and to render citizenship status insecure.

http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5393&Itemid=202

Friday, April 26, 2013

A work of reference on a period of Islam in Indonesia

Darul Aqsha, Dick van der Meij and Johan Hendrik Meuleman
(eds), Islam in Indonesia; A survey of events and developments from
1988 to March 1993.
Jakarta: IMS, 1995, 535 pp. ISBN 979.
811646.1. Price: / 40 (to be ordered from HAS, PO Box 9515,2300
RA Leiden).
MARTIN VAN BRUINESSEN
One of the tangible activities of INIS (The Indonesian-Netherlands
Cooperation in Islamic Studies, a joint project of the University of Leiden and the Higher Education Directorate of the Indonesian Department for Religious Affairs) has been the publication, since the inception of the project in 1989, of a half-yearly Newsletter.
The larger part of each issue has consisted of a ‘chronicle’: a summary in English, without commentary or analysis, of Indonesian press reports concerning Muslims and Islam. All major dailies and weeklies were scanned, and most reports on events (as against editorials, columns or interviews) summarized, apparently without any prior deliberate selection.
This approach had the benefit of giving readers a practically unfiltered view of the discourse on Islam in Indonesia’s print media. Most non-Indonesian readers, however, might have preferred some selectivity and editorial comments as to the relevance (or, in many cases, irrelevance) of the events reported. Be that as it may, although
I was an avid newspaper reader when I lived in Indonesia, I regularly found interesting bits of information in the Newsletter that I had missed or overlooked myself.
The present book reprints, rearranged by topic, the chronicles of the first ten issues of the Newsletter, covering events from 1988 through to September 1993. The news summaries are supplemented by a selection from another rubric in the newsletter, dealing with academic life in the 14 State Institutes for Higher Islamic Learning (IAIN).
The book has the same strengths and weaknesses as the Newsletter, although a 15-page index considerably adds to its usefulness as a reference work.
The years 1988-1993 were a turbulent period in the history of Indonesian Islam, and many Muslims believe that they represented a major turning point in the political fortunes of scripturalist Islam in Indonesia. The establishment of ICMI, the Association of Indonesian Muslim Intellectuals, in 1990 was perhaps the most spectacular development (on the meaning of which opinions are still divided: did it herald a triumph of political Islam, or the ultimate domestication of oppositional Muslims?). The period was also marked by growing tension between Muslims and non-Muslims, exemplified in the Monitor affair in 1990 and the burning down of churches.
Another event of 1990, Saddam Hussein’s occupation of Kuwait, and the American led international effort to force him out, had a considerable impact on Indonesian Muslims and distinctly strengthened their concern with developments in the Middle East. Middle Eastern-type Muslim radicalism, represented by the younger generation of the Dewan Dakwah Islamiyah and an increasingly vocal KISDI (‘Indonesian Committee for Solidarity with the World of Islam’) established a permanent, and publicly tolerated, presence during the early 1990s.
Within Indonesian Islam, however, there were also developments in other directions. Abdurrahman Wahid, the charismatic leader of the traditionalist Muslim organization Nahdlatul Ulama (NU), developed during these same years into a major critic of Soeharto’s rule and the New Order’s authoritarianism. Refusing to join ICMI, he established instead the informal Forum Demokrasi, in which he collaborated with intellectuals of secular and Christian backgrounds. He emerged victorious from the conflicts that this attitude generated within the body of NU. His lasting popularity and influence indicate that the religious tolerance and liberal attitudes that he stands for have a large and stable constituency in Indonesia.
Critical discussion (rather than passive reproduction) of the Islamic tradition, an activity that until recently would have led to virtual excommunication from NU circles, became accepted practice in the organization during the period covered by this book.
Islam in Indonesia resembles a series of snapshots illustrating these developments.
The chapters on ICMI, NU, ‘political aspirations’ and interreligious
relations contain interesting pieces of detailed information. But, as is generally the case with the Indonesian press, the level of noise is so high that it is very hard to discern any message. Unfortunately, the editors have refrained from helping the reader by deciphering coded messages or providing a context for events’ that mean nothing to the uninitiated.
The brief explanations which do appear here and there are hardly adequate and seem to suffer from a form of self-censorship mirroring that of the Indonesian press. (When Probosutedjo makes a donation to ICMI, for example, he is described as ‘a noted Indonesian businessman’, without any reference to the fact that he is Soeharto’s half-brother.) The index, moreover, does not really compensate for
the absence of cross-references between reports.
As in the Indonesian press, Soeharto is omnipresent, fulfilling his religious obligations, addressing various national and international Muslim audiences, patronizing organizations, opening conferences, instructing the United Nations how to deal with the former Yugoslavia, and so on. Muslim leaders are also regularly portrayed in similar roles.
Thus we see KH Ali Yafie, from 1989 until 1992 deputy Rois Am of NU, give numerous talks and express his support for the government, but the nature of the conflict setting him against Abdurrahman Wahid, and the role of ICMI in this conflict, are not even hinted at.
The usefulness of this book is therefore limited. Those who already have a fair amount of background knowledge on contemporary Indonesian Islam may fruitfully use it as a work of reference or read parts of it for a taste of the atmosphere of those years. But readers who look for an introduction to the debates and developments in Indonesian Islam during that period are better advised to read the relevant sections of a superior journalistic work like Adam Schwarz’s A Nation in Waiting; Indonesia in the 1990s (Sydney: Allen and Unwin, 1994) or the perceptive study by Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia; Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (London: Routledge, 1995).
Source: KITLV, Bookreviews (The Netherlands)

http://islaminindonesia.wordpress.com/2011/05/16/a-work-of-reference-on-a-period-of-islam-in-indonesia/

Thursday, April 25, 2013

A reliable primary source on Islam in Indonesia

Mona Abaza*
Darul Aqsha, Dick van der Meij, Johan Hendrik Meuleman, Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988 to 1993. Jakarta, 1995 (Inis Materials 26)
Darul Aqsha, Dick van der Meij and Johan Hendrik Meuleman provide a rich and well documented comphehensive survey about the events related to Islam, politics, education, social and economic life from 1988 to 1993.
Islam in Indonesia is publication by INIS, the Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, which aims at encouraging the study of Islam in Indonesia.
The merit of such a study is that it has no pretension of presenting any in depth analysis. Instead, it provides detailed information and listing of events that could be used as a reliable primary source.
The content is divided into the following: political aspirations and initiative of the Muslim community, conflicts and protest, government decisions and activities, hajj and umrah, miscellaneous political and social issues, international relations, trials and judicial decisions, economic life. Detailed information about the Majelis Ulama Indonesia, the Muhammadiyah, the Nahdlatul Ulama, the Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, various Muslim organizations, seminars, conferences and scholarly discussions, Islamic education, religious sects, interreligious relations, and obituaries is also provided.
The value of this thick volume of 535 pages is that it supplies sensitive political information about first, Islam and politics in Indonesia as well as the recent events concerning the complex relationship between the Islam of the centre (the Middle East) and the so called peripheries.
For example, the volume provides stimulating details about female Indonesian labour in Saudi Arabia statiung that there are around 250,000 Indonesian women working as household servants and that they are mistreated by their Arab employers (p. 140).
As concerning pilgrimage it states that there is a 40% increase on the preceding year (1990) of pilgrims and that H. Munawir Sjadzali, the Minister of Religious Affairs was nominated as this year’s Amir al-hajj (leader of the Indonesian contingent) (p. 116). Transportation problems are mentioned (p. 119).
ut more important is the event of the second of July, of 1990 when “hundreds of pilgrims were trampled under foot in a tunnel linking the Turkish and Southeast Asian encampments in Mina with jamrah (place of the stone-throwing ritual) at Mina. The overhelming number of people streaming together from either end in this tunnel combined with panic which broke out after the lighting and air-conditiong system broke down were blamed for the accident.
The country most affected was Indonesia: “according ro a report of the Ministry of Religious Affairs of 24 July, 649 Indonesians died in the accident and 11 Indonesian were still missing”. (p. 116). The mismanagement led to the worseninh of the relationship between Saudi Arabia and Indonesia, in particular after that the victims were buried at four different places without any signs og identification. (p. 116)
Furthermore, this volume gives vivid examples of the reality in everyday life. The incidents related to the jilbab (female Islamic attire), instigated the Indonesian government to issue a decree on school uniforms in order toallow female students at public junior and senior high school to wear “special uniforms” the so-called jilbab. (p. 85).
I list a few other events that led to controversies such as the opinion of Muslim organizations and lottery (p. 75), Indonesian television stations criticized for presenting uncensored films and Zionist propaganda. (p. 80)
Ulama’ protest against prostitution; the Sumatra, which involved female senior high school students, have aroused the anger of the provicinal MUI. (in 1991) (p. 74). Muballigh were criticzed for receiving money in “envelopes” after they had delivered lectures. It was considered that this kind of muballigh tended to commercialize religion (p 90). Whether marriage by telephone is legal or not, are all issued mentioned.
For anyone studying Islamic education, or interested in the impact of Arabic language and the programme on Indonesian television (1990) (p. 98), on the promotion of religious awareness in the army (p. 99), on the Shi’a/Sunni controversy, on Islamic banking and debates on Islamic architecture, certainly this book provides reliable material.
The activities of Abdurrahman Wahid, the leader of the Nahdlatul Ulama and the various other political parties are very well covered.
The recent events which occurred at the IAIN Institut Agama Islam Negeri (IAIN, State Institute for Islamic Studies), activities and pesantrens are also comphrehensively covered. For instance, there were 43 Malaysian students at Sumatran IAIN’s (p. 394). Information on the development of religious education on grants, courses, teachers training. Finally, most important are the obituaries, that entail crucial information, biographies of religious and political public figures.
This volume is indeed central for anyone working on contemporary Islam in Indonesia.
*Professor of Sociology, American University in Cairo, Egypt
Welt des Islam, Germany

http://islaminindonesia.wordpress.com/2011/03/23/181/