Saturday, September 15, 2012

Gerakan Samin dan misteri agama Adam

Judul :     Gerakan Samin dan misteri agama Adam
Pengarang :     Muhaimin A.G.
Sumber :     Harmoni : jurnal multikultural multireligius
Penerbit :     Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
Kode Panggil :     200.5 Har
Tahun Terbit Artikel:     2009
Volume :     8
No :     31
Halaman :     48-62
Kata Kunci :     Religion; Adam (biblical figure) in Islamic interpretations; Religious communities; Samin (Indonesian people)
Sari :    
Abstrak :     This paper deals with a nature of certain religion followed by Wong Samin or Wong Sikep, a Javanese community that lives by the northern coastline which also become the border between Central Java and East Java. This paper indicates that the Adam Religion becomes mysterious, because it could not be categorized as a complete religion as studied by Howey and Clarke (1981). According to Howey and Clarke, a religion at least has three elements: (a) there is a combination of belief system and attitude system, (b) professed collectively, (c) drawn towards an element that is considered holy. It can be concluded that the Adam religion professed by Wong Samin might be grouped as a religions that bases its belief on abstract ideas. This type is similar to Buddhism, Confucianism, and Sinthoism which prioritize ethics and good deeds rather than theological ideas.

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=69851&idc=1

Friday, September 14, 2012

Two Ways Communication: Sebuah Model Pembelajaran dalam Komunitas Samin di Sukolilo Pati

Rini Darmastuti/Mustika Kuri Prasela
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711, telp (0298) 321212
Hp. 08156595814/e-mail: rindarmas@yahoo.com, mustikakuri@staff.uksw.edu

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei - Agustus 2010, halaman 204 - 216

Abstrak

Proses pembelajaran yang sering disebut oleh komunitas Samin sebagai sekolah masih berlangsung sampai saat ini. Proses pembelajaran ini sering disebut dengan „Sinau Nulis‟. Dalam kehidupan mereka, belajar bukan hanya dipahami sebagai proses untuk mempelajari huruf dan angka, tetapi dipahami sebagai pembelajaran seumur hidup. Secara khusus, berarti belajar tentang bagaimana bertahan hidup dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tetap kuat dalam menghadapi tantangan yang ada. Oleh karena itu, „Sinau Nulis‟ hanya dilihat sebagai bagian kecil dari apa yang mereka pahami sebagai belajar. Meski demikian, belajar membaca dan menulis tetap merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari komunitas Samin. Hal ini terjadi karena pada saat ini mereka mulai menggunakan HP, teknologi dan sepeda motor. Untuk bertransaksi dan menggunakan media massa, mereka membutuhkan kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia. Sayangya proses belajar baca dan tulis yang saat ini mereka selenggarakan belum bisa menyebar ke seluruh komunitas karena keterbatasan guru, tempat dan waktu. Sisi yang menarik untuk dicermati adalah ppada saat proses pembelajaran seumur hidup ini dipraktekkan dengan system komunikasi dua arah. Sehingga lebih lanjut, tulisan ini akan menggambarkan beberapa temuan tentang fakta komunikasi dua arah dalam proses „sinau nulis‟.

Kata Kunci : komunitas Samin, sinau nulis, komunikasi dua arah

Kesimpulan
Berdasarkan sajian dan analisa data di atas, maka kesimpulan dari tulisan tentang model pembelajaran berbasis „two way communica- tions‟ dalam kehidupan komunitas Samin adalah Komunitas yang memandang proses pembelajaran sebagai proses belajar seumur hidup. Prinsip yang diterapkan adalah belajar tentang segala hal yang penting bagi kehidupan mereka, kapan saja, bersama dengan siapa saja.

Pola pembelajaran sebagai proses so- sialisasi dan pewarisan budaya komunitas Samin terwujud dalam bentuk komunikasi dua arah yang informal dan alami. Berdasarkan pola pembelajaran ini, maka peserta belajar melaku-
kan pembelajaran ini dengan sukarela sehingga tingkat kecemasan rendah. Pemahaman yang sama (mutual understanding) dalam pem- belajaran ini mudah tercapai. Dalam hal ini pe- serta belajar dapat lebih mudah mengerti de- ngan terbukti mampu memberikan umpan balik dalam proses pembelajaran. Komunikasi dua arahpun terbangun dengan lebih mudah. 

Available at: http://repository.upnyk.ac.id/760/1/Two_Ways_Communication.pdf

Thursday, September 13, 2012

Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Samin

Perspektif Perubahan Sosial Budaya Pada Masy. Samin Bojonegoro
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan bagi setiap masyarakat. Tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang luput dari perubahan. Auguste Comte menggambarkan masyarakat dalam dua dimensi, yakni statik dan dinamik. Dimensi statik menunjukkan struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan aspek dinamik menunjukkan adanya perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial dapat dipandang bersifat alamiah karena pasti terjadi pada setiap masyarakat. Namun dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial dapat bersifat problematik maupun menguntungkan bagi masyarakat. Dampak sosial perubahan dapat terjadi secara berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dalam masyarakat yang modern, perubahan sosial yang terjadi acapkali disadari dan direncanakan (by design), sehingga dampak yang terjadi adalah keberuntungan. Misalnya penerapan berbagai perangkat teknologi tinggi, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun yang menunjang kehidupan sehari-hari seperti internet, komputer, pendingin/pemanas ruangan maupun pembangkit listrik tenaga nuklir. Semua teknologi tersebut telah mengubah kebiasaan hidup manusia menjadi hidup yang serba cepat dan nyaman. Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berjarak puluhan bahkan ratusan mil jauhnya hanya dalam hitungan detik melalui telpon genggam dan internet. Demikian pula dengan kebutuhan enerji listrik yang makin tinggi tidak mungkin dipenuhi oleh mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga diesel ataupun batu bara, melainkan sudah mengarah ke penggunaan nuklir. Sekalipun membawa keuntungan yang besar bagi kehidupan sehari-hari, perubahan tersebut menuntut banyak hal dari manusia pelaku dan penikmat perubahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah disiplin (sesuai aturan) dan cermat. Di samping itu juga harus disadari bahwa makin tinggi teknologi yang digunakan, maka makin tergantung pula manusia pada teknologi tersebut. Kerusakan yang terjadi pada teknologi sekalipun sesaat akan membawa akibat yang besar keteraturan hidup manusia. Kita ambil contoh ketika pusat pembangkit listrik di kota New York rusak beberapa tahun lalu, kekacauan timbul baik di jalan, rumah, kantor maupun pusat perdagangan karena kesemuanya sangat tergantung pada pasokan listrik (mulai lampu lalu lintas, pemanas ruangan, lift, lampu penerangan, dsb).
Sedangkan dalam masyarakat yang masih bertaraf tradisional, perubahan sosial yang terjadi bisa jadi menimbulkan problema yang berkepanjangan hingga masyarakat tersebut dapat mennyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Misalnya ketika diterapkannya revolusi hijau di pedesaan Jawa pada tahun 70-an, yang meliputi pemilihan bibit unggul untuk menggantikan bibit lokal, penggunaan pupuk dan pestisida, serta berbagai peralatan modern dalam bidang pertanian lainnya (traktor, huler dan sabit) banyak sekali kekacauan sosial dalam masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat desa dapat “dipersatukan” dengan sistem bawon (setiap petani boleh ikut serta dalam pemanenan dan mendapat upah sesuai dengan ikatan padi yang diperolehnya), namun kini mereka tidak bisa lagi karena pemiliknya telah menebaskan sawahnya pada orang lain. Demikian pula dengan penggilingan padi, jika dahulu dikerjakan beramai-ramai oleh ibu-ibu dengan cara menumbuk dalam lumpang kayu yang panjang, kini telah digantikan oleh mesin-mesin cerdas yang cukup dikerjakan oleh satu orang pria saja. Perubahan dalam kelembagaan juga harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan teknologi yang digunakan. Perubahan sosial semacam ini tentunya sangat problematik bagi warga desa karena secara kelembagaan mereka belum siap, dan perubahan yang terjadi acapkali dipaksakan dari luar. Begitu juga kita bisa melihat contoh nyata dalam masyarakat Papua ketika masa orde baru, Ibu Tien Soeharto melalui yayasannya merubah kebiasaan masyarakat Papua yang menggunakan koteka dan rumbai-rumbai dengan pakaian kain tanpa mengajarkan filosofi berpakaian kain. Masyarakat Papu hanya diajarkan cara menggunakan pakaian kain tanpa mengajarkan berapa lama pakaian tersebut sehat untuk dipakai, bagaimana cara membersihkan dan bagaimana caranya untuk memperoleh yang baru jika yang lama rusak. Ketidakmengertian masyarakat Papua akan pakaian kain menyebabkan pada masa berikutnya banyak di antara mereka yang mengalami sakit kulit parah. Perubahan-perubahan yang dipaksakan dari luar acapkali terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat lebih “rendah” dibandingkan masyarakat lainnya. Perubahan tersebut barangkali tidak dikehendaki namun harus terjadi. Masyarakat desa di Jawa barangkali tidak menghendaki penerapan teknologi maju di bidang pertanian, namun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang membutuhkan ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup, mau tidak mau, suka tidak suka perubahan itu harus dijalani.
Sekalipun mengalami dampak sosial yang problematik, masyarakat diharapkan pada suatu waktu akan dapat menemukan keseimbangan, yang dalam bahasa Parson disebut dengan homeostatic equilibrium, maksudnya jika satu bagian berubah maka bagian lain akan menyesuaikan sehingga tercipta keseimbangan baru. Teori fungsionalisme Parsons ini dianggap konservatif karena beranggapan masyarakat selalu berada pada situasi yang harmonis, stabil, seimbang, dan bersifat mapan.
Masyarakat Samin yang Sedang Berubah
Pembahasan ini didasarkan pada pengalaman saya ketika membimbing mahasiswa antropologi praktek kuliah lapangan (PKL) di desa Tapelan, kecamatan Ngraho, kabupaten Bojonegoro pada bulan Nopember 2007 lalu. Ilustrasi perubahan sosial budaya ini berkaitan dengan problematika yang dialami oleh masyarakat Samin dalam terpaan jaman yang makin meminggirkan komunitas mereka yang telah terbangun sejak jaman kolonial Belanda bercokol di tanah Jawa.
Masyarakat Samin sesungguhnya adalah masyarakat Jawa yang mengembangkan berbagai ajaran hidup yang dianggap berbeda (“nyleneh”) dibanding masyarakat jawa umumnya. Ajaran Samin yang semula diperkenalkan oleh Raden Kohar atau lebih dikenal dengan mbah Samin Soerosentiko pada tahun 1889 di daerah Blora, Jawa Tengah. Ajaran Samin muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya terlalu mengeksploitas orang-orang Jawa sehingga selalu menderita dan miskin. Perlawanan mereka diwujudkan dalam bentuk menolak membayar pajak, menolak menyumbangkan tenaganya untuk kerja pada Belanda, menolak ronda malam, menolak menyerahkan sebagian hasil panennya sebagai upeti. Ajaran Samin yang semula hanya berkembang di desa Klopoduwur, Blora saja, kemudian terus berkembang hingga mencapai wilayah Bojonegoro, Blora, Kudus, Grobogan, Ngawi, Demak, Madiun, Tuban dan Pati. Hingga tahun 1907, desa Tapelan (Bojonegoro) tercatat memiliki jumlah pengikut Samin terbesar yakni sekitar 7000 orang (Mumfangati, 2005:23).
     Ajaran Samin dapat berkembang terus secara baik di masa kolonial Belanda, namun ketika Indonesia telah merdeka masyarakat Samin terdesak eksistensinya. Bahkan di beberapa tempat (seperti Madiun, Demak dan beberapa desa di Bojonegoro, Tuban, Ngawi, dll) telah lenyap. Berdasarkan data-data yang sempat saya kumpulkan pada waktu itu (2007) serta analisis sederhana yang saya lakukan, tampaknya ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan sosial-budaya masyarakat Samin. Penjelasan rinci akan saya berikan pada bagian berikut nanti.
     Menurut Benda dan Castle (1960, dikutip oleh Winarno, 2003:58) masyarakat Samin di desa Tapelan Bojonegoro telah ada sejak tahun 1890, dan tempat kedua terpenting dalam penyebaran ajaran Samin selain daerah asalnya yaitu Klopoduwur, Blora Jawa Tengah. Secara geografis antara desa Tapelan dengan kabupaten Blora hanya dipisahkan oleh sungai Bengawan Solo. Oleh sebab itu sangat masuk akal jika Tapelan menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan ajaran Samin. Menurut hasil wawancara saya dengan sesepuh masyarakat Samin di desa Tapelan, mbah Sada’ (telah meninggal dunia pada bulan Juni 2008 karena usia tua), pada waktu penjajahan Belanda, penduduk acapkali mendapatkan siksaan badan jika tidak mamu membayar pajak. Oleh karena itu masyarakat desa menggunakan strategi Nyamin, yaitu berpura-pura gila atau nggendheng. Jika ditanya, maka jawabannya ngawur atau tidak sesuai dengan pertanyaan, kemudian juga tidur di pekarangan rumahnya kanggo (dipakai), maksudnya semua yang ada di rumahnya itu dipakai/digunakan.
     Secara kasat mata orang Samin bisa dibedakan dengan orang pada umumnya dari segi pakaian yang dikenakan. Kaum laki-laki menggunakan pakaian serba hitam (biasa disebut dengan baju kampret), sedangkan kaum perempuan (terutama ibu-ibu) menggunakan pakaian jarit dan kebaya sederhana. Namun ciri khas tersebut juga telah mulai luntur (kaum lelaki menggunakan kaos dan hem, hanya orangtua saja yang masih kelihatan bebaju kampret).
     Pada saat ini (2007) komunitas Samin di desa Tapelan tinggal 8 keluarga saja, itupun hanya orangtua saja, sebab anak-anaknya tidak lagi menganut ajaran Samin secara konsisten (artinya hanya ajaran hidup yang baik-baik saja yang diambil, sedangkan ajaran lainnya yang berkaitan dengan ekonomi dan perkawinan sudah ditinggalkan).
     Jika di masa lampau perkawinan orang Samin menganut prinsip endogami (menikah hanya dengan sesama orang Samin), namun saat ini hal itu sudah tidak lagi dilakukan. Berkaitan dengan perkawinan orang Samin terdapat tradisi nyuwito, yakni sebelum dilakukan perkawinan lelaki calon mempelai harus mengabdi pada orangtua si perempuan dengan jalan bekerja dan tinggal di rumah orangtua calon istrinya hingga dirasa cukup. Tidak jarang pada masa nyuwito anak perempuan calon istrinya sudah lebih dahulu hamil. Namun sekarang tradisi nyuwito dan prinsip endogami sudah tidak lagi dilakukan. Mereka mencari pasangan tidak lagi terbatas pada kelompoknya saja, melaiinkan sudah mengambil jodoh hingga ke luar batas-batas kelompok bahkan desa. Demikian pula mereka kini sudah mengikuti hukum negara yakni menikah lewat KUA jika menemukan jodoh Muslim.
     Demikian pula dengan pekerjaan, jika dahulu orang Samin pantang untuk bekerja di luar bidang pertanian, namun saat ini mereka (khususnya kaum muda) sudah tidak lagi bekerja di lahan pertanian. Kebanyakan berdagang, bahkan ada yang merantau dan menetap di Jakarta dan beberapa kota lainnya untuk bekerja di kantor selain berdagang. Jika di desa Tapelan, banyak orang Samin yang berdagang kapuk randu dan menjual bantal guling hingga ke kota Ngawi dan Bojonegoro. Beberapa perubahan yang terjadi pada masyarakat Samin desa Tapelan, khususnya akan saya tampilkan dalam matriks berikut ini:
No.
Aspek Perubahan
Orang Samin masa Lampau
Orang Samin masa Kini
Samin Tua
Samin Muda
1.
Ekonomi/Mata Pencaharian
Bertani, dan tidak boleh berdagang karena identik de-ngan ketidakju-juran
Tetap sbg petani
Sudah tidak lagi bertani. Berdagang atau kerja ikut orang lain
2.
Agama/ Sistem kepercayaan
Berpegang pada konsep manung-galing Kawula Gusti, melakukan wekasan  dan ka-witan
Tetap dan tidak berubah
Sudah meme-luk agama Islam dan tidak melaku-kan tradisi leluhur
3.
Pakaian
Memakai baju kampret hitam dng udeng tanpa alas kaki, dan perem-puan memakai kebaya
Tidak semua dan tidak sela-lu memakai baju kampret dan udeng (ka-dangkala pakai kaos dan ke-meja), serta pakai alas kaki
Berubah, su-dah memakai kaos, kemeja, rok dan alas kaki
4.
Perkawinan
Adat nyuwito dan tanpa mahar
Tetap dengan adat nyuwito dan tdk mela-kukan nikah di KUA
Sudah ada proses pa-caran dan per-kawinan dila-kukan di KUA
5.
Tata cara pemakaman
Gelundung sem-prong (dimakam-kan tanpa diberi tanda)
Ada yg masih tetap, dan ada pula yang be-rubah meng-ikuti tradisi Islam jawa
Berubah me-ngikuti tradisi Islam jawa
6.
Pajak
Tidak mau bayar pajak sbg bentuk perlawanan thd kolonial Belanda
Berubah, mau bayar pajak se-bab sudah ti-dak lagi dijajah Belanda
Berubah, su-dah mau bayar pajak
7.
Pendidikan
Dilarang berseko-lah karena sekolah dianggap sbg ben-tuk kolonialisme Belanda serta orangtua khawatir anaknya minteri
Tetap tidak sekolah, hanya membantu orangtua di rumah dan di sawah
Berubah, saat ini sudah seko-lah, dan timbul rasa gengsi jika tidak ber-sekolah
Sumber: diolah dari skripsi Yuristia Ardani, 2009 (sebagian data-data berdasarkan wawancara prapenelitian bersama Pudjio tahun 2007).
Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan, dan baru disadari ketika mulai membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi di masa lampau. Perubahan sosial yang terjadi dapat disadari maupun tak disadari, dapat bersifat progress maupun regress (maju maupun mundur). Davis (1960) menyebut perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Secara sosiologis, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, baik eksternal maupun internal ada 6, yakni:
  1. Adanya kontak dengan budaya lain
  2. Meningkatnya pendidikan warga masyarakat
  3. Adanya stratifikasi sosial yang bersifat terbuka
  4. Meningkatnya penghargaan terhadap hasil karya pihak lain
  5. Jumlah penduduk yang heterogen shg memungkinkan terjadinya interaksi sosial dan budaya satu dengan lainnya
  6. Adanya ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kondisi atau bidang-bidang tertentu dalam masyarakat yang dinilai menghambat perkembangan dan kemajuan masyarakat
  7. Meningkatnya intervensi teknologi informasi melalui media TV dan film
  8. Makin lancarnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain karena perdagangan makin lancar (Warsito,2001).
Demikian pula dengan yang dikemukakan oleh Maran (2000) bahwa ada lima faktor yang menyebabkan  perubahan sosial budaya, yakni:
  1. Lingkungan alam seperti iklim, kekurangan bahan makanan atau jumlah penduduk
  2. Kontak budaya dengan masyarakat luar yang mempunyai nilai-nilai budaya, norma-norma yang berbeda
  3. Adanya discovery dan invention pada masyarakat tersebut
  4. Adopsi melalui proses difusi
  5. Adopsi pengetahuan dan kepercayaan baru
Berdasarkan data-data perubahan sosial budaya orang Samin seperti yang tertera dalam matriks di depan dan penjelasan teoritik seperti yang dikemukakan oleh Maran dan Warsito, ada beberapa faktor penyebab perubahan sosial budaya orang Samin. Pertama, berubahnya lingkungan, baik alam maupun sosial. Jika di masa lalu orang Samin di desa Tapelan bermukim di bagian ujung (puthuk) desa dan tidak bisa secara leluasa kontak dengan dunia luar karena halangan geografis, maka sejak dibukanya akses jalan dari dusun puthuk ke jalan utama Bojonegoro – Ngawi perubahan mulai terjadi dan makin cepat intensitasnya. Kedua, adanya kontak dengan dunia luar maka terjadi asimilasi, dan makin lama posisi orang Samin yang minoritas makin kehilangan pegangan budayanya dan masuk dalam pusaran budaya dominan. Ketiga, terjadinya perubahan melalui difusi kebudayaan dari luar yang dianggap lebih mampu menghadapi tantangan jaman---misalnya beralih dari pertanian ke perdagangan dan jasa, memasukkan anaknya ke dunia pendidikan formal serta pemanfaatan alat-alat elektronik. Keempat, adanya adopsi teknologi dan sistem kepercayaan baru. Adopsi teknologi di masyarakat Samin Tapelan diawali dengan pemasangan listrik  PLN, kemudian pemanfaatan elektronika. Demikian pula dengan pilihan untuk menganut kepercayaan Islam, sebab secara hukum formal sistem kepercayaan lama mereka (agama Adam) tidak mendapatkan tempat sehingga untuk perkawinan dan mengurus surat-surat administrasi kependudukan mereka harus mencantumkan agama yang diakui oleh pemerintah. Mereka memilih Islam karena mayoritas agama di desa Tapelan adalah Islam.
Dalam perspektif fungsional. Khususnya Parson setiap masyarakat dan lembaga yang ada di dalamnya akan senantiasa mengalami perubahan, dan perubahan tersebut akan mencapai bentuknya yang stabil dan seimbang, sehingga tidak terjadi kekacauan.

Daftar Pustaka
Maran, Rafael R. 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Mumfangati,Titi. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Sukmana, Oman. 2003. Proses Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Samin, dalam Nurudin, dkk. Agama Tradisional: Potret kearifan hidup masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS.
Warsito. 2001. Pergeseran Sosial Budaya Masyarakat Samin.  Tesis Master Universitas Muhamadiyah Malang.

Retrieved from: http://psantoso-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-42168-Umum-Perubahan%20Sosial%20Budaya%20Masy%20Samin.html

Tuesday, September 11, 2012

Hukum Perkawinan Adat Samin Disahkan

Kompas, Selasa, 30 Agustus 2011 | 12:49 WIB 


BLORA, KOMPAS.com - Organisasi Sedulur Sikep di Kabupaten Blora, Jawa Tengah menyatakan payung hukum perkawinan adat Samin yang mereka ajukan sudah disahkan oleh Direktorat Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

"Belum lama ini, kami dihubungi pihak Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta yang menyebutkan bahwa payung hukum perkawinan secara adat sudah selesai dan ditandatangani pejabat berwenang," Ketua Sedulur Sikep Jawa Tengah, Pramugi Prawiro Wijoyo, di Blora, Selasa (30/8/2011).

Saat itu, pihaknya diminta mengambil dokumen tersebut pada 26 Agustus 2011. Namun, kata dia, dokumen tersebut urung diambilnya pada 26 Agustus 2011 dan baru akan dilakukan pada pekan kedua September 2011.
"Kami harus menyiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat ke Jakarta," kata dia tanpa menyebutkan segala sesuatu yang dimaksud.

Pramugi menjelaskan saat ini, ketika payung hukum perkawinan adat Samin yang mereka ajukan belum disetujui oleh Direktorat Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Komunitas Samin atau Sedulur Sikep melakukan perkawinan melalui catatan sipil.

"Namun, setelah payung hukum perkawinan secara adat tersebut kami terima, maka dalam perkawinan adat, Sedulur Sikep melangsungkan perkawinan budaya dengan bahasa Jawa, disaksikan sesepuh adat, dan ditulis di Kantor Catatan Sipil," katanya.

Ia menyebutkan sebelum payung hukum perkawinan secara adat tersebut diajukan, Sedulur Sikep atau Komunitas Samin Blora telah ditetapkan sebagai salah satu suku di Jawa Tengah melalui sebuah surat keputusan dari Kementerian Dalam Negeri.

"Nantinya, perkawinan secara adat akan digelar di Pendopo Sedulur Sikep Di Dukuh Karangpace Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo dan di Pendopo Sedulur Sikep di Dukuh Blimbing Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong," kata dia yang juga Kepala Adat Penganut Kepercayaan Sedulur Sikep Blora.

Ia menambahkan Sedulur Sikep juga tengah menanti keputusan Pemerintah mengenai ajaran agama adam atau "Kejawen" yang mereka ajukan.

"Saat ini, sebagian masyarakat di Komunitas Samin menganut Islam Kejawen. Namun, dalam usulan yang sampaikan ke Pemerintah, kami meminta "Kejawen" dijadikan agama sah dibedakan dengan Islam Kejawen," katanya.

Pramugi mengemukakan sebagian ajaran dalam "Kejawen" antara lain melarang penganutnya berpoligami, menolak segala bentuk penjajahan, dan kewajiban mengenakan "udeng atau iket" (kain penutup kepala yang diikatkan layaknya orang Jawa pada zaman dahulu, red.).

Penganut "Kejawen" ala Sedulur Sikep juga dilarang memakai celana panjang tetapi mengenakan celana selutut, dilarang berdagang tetapi bertani, dan menolak kapitalisme.

"Dalam arti ajaran yang lebih luas, Sedulur Sikep tidak membeda-bedakan agama; kepada agama apapun kami menghormati, bagi Sedulur Sikep yang penting, rukun, ucap pertikel (cara bertutur sapa), dan kelakuan yang baik," katanya.

Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika (DPPKI) Kabupaten Blora Blora Bondan Sukarno saat dihubungi mengatakan telah memberikan dukungan kepada masyarakat Samin untuk mendapatkan payung hukum tersebut.

"Ini lebih pada pemberian hak yang sama bagi masyarakat adat," katanya singkat.
Sumber :
Antara
Editor :
Kistyarini
Retrieved from: http://regional.kompas.com/read/2011/08/30/12493646/Hukum.Perkawinan.Adat.Samin.Disahkan

Monday, September 10, 2012

Peluang dan Tantangan Pemberdayaan Komunitas “Sedulur Sikep”

Jika kita melakukan perjalanan sepanjang pantai utara Jawa Tengah terutama setelah memasuki daerah Kudus, Pati, Blora, Grobogan bahkan sampai Blitar, Bojonegoro dan Madiun di Jawa Timur akan kita jumpai sebuah komunitas yang sampai saat ini masih teguh memegang ajaran dari leluhurnya dengan berbagai prinsip yang dianggap “nyleneh” (menyimpang) oleh masyarakat pada umumnya. Mereka yang dikenal dengan sebutan “Sedulur Sikep” (dari bahasa Jawa berarti “Sahabat Sikep”) adalah sekelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran “Samin Surosentiko” (http://id.wikipedia.org/wiki/). Selain disebut komunitas Sedulur Sikep mereka juga biasa disebut sebagai komunitas Samin yang disandarkan kepada tokoh panutan komunitas ini. Salah satu ciri khas mereka dalam berpakaian adalah memakai ikat kepala, berbaju takwa warna hitam atau gelap, dan bercelana hitam komprang model tiga perempat bagi yang laki-laki. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan kain jarit dan berbaju hitam atau hijau tua

 Dari beberapa literatur yang saya baca dan juga penjelasan seorang teman dari Pati, sosok Samin yang menjadi tokoh panutan komunitas ini bernama lengkap Samin Surosentiko. Ia lahir di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, pada tahun 1859. Samin mulai menyebarkan ajarannya pada 1890 di daerah Klopoduwur, Blora. Hanya dalam waktu singkat, penduduk di sekitar daerah tersebut banyak yang tertarik mengikuti jejaknya. Wajar saja jika ajaran Samin banyak mengundang simpati masyarakat ketika itu karena nilai-nilai yang disampaikan sangat luhur dan sesuai dengan nurani manusia. Beberapa inti ajaran Samin diantaranya keyakinan betapa penting menjaga tingkah laku yang baik, berbuat jujur, tidak menyakiti orang lain, tidak boleh bohong, menipu dan minteri (mempergunakan kepintaran yang dimiliki untuk memperdaya orang lain). Dalam perilaku sehari-hari komunitas ini harus menghindari sikap drengki, srei, dahwen, kemeren, dan panasten (yang benar disalahkan atau sebaliknya, membesar-besarkan persoalan, iri hati, dan tidak menginginkan orang lain berbuat baik).

Selain ajaran tersebut, mereka juga harus menghindari perilaku bathil lainnya seperti bedok, colong, petil, jumput dan nemu (merampok, mencuri, ngutil, mengambil milik orang lain, bahkan sampai menemukan barang orang lain pun tak boleh dilakukan). Pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin tersebar di 34 desa di Blora bagian Selatan dan Bojonegoro. Pada tahun 1907, populasi komunitas Samin sudah mencapai angka 5.000 orang. Laporan ini membuat pihak pemerintah kolonial Belanda saat itu mulai khawatir dan menganggap komunitas Samin akan menjadi potensi perlawanan yang besar serta mengancam eksistensi pemerintah kolonial. Akibatnya pengikut Samin mulai ditangkapi satu demi satu. Pada 8 November 1907, orang Sikep mengangkat Samin Surosentiko sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Namun baru 40 hari sejak pengangkatan itu, Samin ditangkap oleh Raden Pranolo, asisten Wedana Randublatung. Selanjutnya Samin dan delapan pengikutnya dibuang ke wilayah Sumatera, tepatnya di daerah Sawahlunto. Samin Surosentiko meninggal di pengasingan pada tahun 1914.

Meskipun Samin Surosentiko telah ditangkap dan meninggal dunia di pengasingan tetapi ajarannya tetap hidup. Ajaran Samin berkembang melalui jalur anak, mantu, dan ”teman sepaham” yang dengan gigih menyebarkannya sampai di Pati, Kudus, dan Bojonegoro. Sepeninggal Samin, muncullah Wongsorejo, salah satu pengikut Samin yang gigih menyebarkan ajaran gurunya hingga Madiun. Nasib Wongsorejo sendiri tidak jauh berbeda dengan gurunya, ia ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Setelah Wongsorejo ditangkap kemudian muncul menantu Samin Surosentiko yang bernama Surohidin pada 1911 sebagai penerus ajaran Samin. Surohidin bersama pengikutnya yang bernama Engkrak, bahu membahu menyebarkan ajaran Samin ke daerah Grobogan. Pengikut Samin lainnya yang bernama Karsiyah menyebarkan ajaran Samin hingga daerah Kajen, Pati.

Berbarengan dengan tahun meninggalnya Samin Surosentiko, pada tahun 1914 pecah pemberontakan warga Samin atau yang terkenal dengan sebutan Geger Samin. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan titik kulminasi kemarahan orang Samin atas kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda yang menaikkan pajak bagi pribumi. Bentuk perlawanan dari masyarakat Samin berupa penolakan membayar pajak pun timbul di mana-mana. Masyarakat Samin di daerah Purwodadi, Madiun, Pati, Bojonegoro secara serentak menolak untuk membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Selain menolak membayar pajak masyarakat Samin juga menolak untuk menyekolahkan anaknya di pendidikan formal. Mereka memilih alam menjadi guru, sedangkan petak-petak sawah dan ladang menjadi sekolah mereka. Penolakan terhadap sekolah formal menjadi bagian dari strategi gerakan perlawanan nonkekerasan para petani terhadap penjajahan Belanda sejak tahun 1890-an.

Komunitas Sedulur Sikep khawatir pendidikan formal di sekolah kelak menjauhkan anak-anak mereka dari kehidupan bertani. Sekolah ditakutkan hanya membuat orang ingin menjadi pegawai yang menerima uang dan tidak mau lagi bertani. Dalam bahasa orang Samin dengan sekolah dikhawatirkan akan “minteri” orang lain. Pilihan untuk menolak masuk sekolah formal dilandasi pemikiran bahwa keterdidikan seseorang tidak harus diukur dengan selembar ijazah sebagaimana lazimnya masyarakat di luar Samin. Bagi mereka, bersekolah formal atau tidak bukan soal baik atau buruk, melainkan pilihan yang dianggap sesuai dengan tujuan hidup mereka.

Pelajaran dalam hidup bagi mereka ialah menggarap bumi atau bertani. Para petani Sedulur Sikep sebagian masih punya lahan sendiri, walaupun ada yang menggarap tanah orang lain. Tidak ada keinginan menjadi pegawai negeri atau karyawan yang dibayar, apalagi berdagang yang merupakan profesi pantangan. Keinginan mengambil untung dalam berdagang ditakutkan menggiring Sedulur Sikep bertindak tidak jujur. Hal Ini sama saja melanggar prinsip “lugu”. Namun, Sedulur Sikep tidak berpantang menjual hasil tani mereka karena dianggap jelas asal-usulnya. Istilah yang digunakan pun bukan menjual melainkan “ijol” atau barter. Bagi mereka kepuasan tidak selalu harus diukur dengan perolehan materi atau hal-hal lahiriah lainnya. Dalam komunitas Sedulur sikep kekayaan yang paling penting dibutuhkan oleh manusia adalah “sugih eling,” Eling dalam artian selalu ingat bahwa dirinya berasal dari orangtuanya sehingga tidak boleh membantah kata-kata orangtua dan tentu saja mengingat hakekat dia sebagai manusia yang harus berbuat baik terhadap sesama.

Keengganan untuk memasuki sekolah formal dan membayar pajak ini masih dipelihara sampai sekarang oleh sebagian anggota komunitas ini. Seiring perjalanan waktu, dalam menjalankan ajaran Samin sebagian komunitas ‘Sedulur Sikep’ sudah mulai beradaptasi dengan perubahan zaman dan tidak terlalu kaku dalam menjalankan konsep murni ajaran tersebut. Namun terdapat juga segolongan masyarakat Sikep yang menentang pembaruan dan menuntut dijalankannya kembali ajaran Samin secara murni. Sekarang ini dalam menyikapi tantangan hidupnya komunitas Sedulur Sikep yang tersebar di beberapa daerah punya warna-warninya tersendiri. Pandangan tentang pendidikan formal, pantangan berdagang, dan kesetiaan bertani akhirnya terletak kepada interpretasi masing-masing komunitas Sedulur Sikep.

Untuk melihat warna-warni komunitas Sedulur Sikep dalam mempraktekkan ajaran Samin kita dapat mengunjungi komunitas ini yang bermukim di Kudus dan Bojonegoro. Beberapa pemuka Sedulur Sikep di daerah ini sudah punya pandangan berbeda untuk persoalan pendidikan formal. Bahkan di Desa Jepang Kabupaten Bojonegoro yang berada di kawasan terpencil di tengah hutan jati sudah mengenal sekolah formal sejak tahun 1970-an. Mereka beralasan bahwa sekolah formal mulai dibutuhkan karena setelah kemerdekaan dibutuhkan orang-orang pintar. Apalagi yang membiayai sekolah sekarang bukan penjajah, tetapi orang negeri sendiri alias pemerintah. Alasan penolakan ajaran Samin terhadap sekolah formal sebenarnya terletak pada keengganan untuk menjadi antek penjajah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah lebih banyak digunakan untuk mencetak tenaga kerja yang akan bekerja pada pemerintah kolonial dan bertugas untuk membodohi rakyat pribumi. Sehingga penolakan ajaran Samin terhadap sekolah formal bukan terletak pada jenis sekolahnya tetapi pada inti dari keberadaan sekolah tersebut. Ketika faktor alasan keberadaan sekolah itu sudah tidak digunakan untuk membodohi rakyat pribumi, maka pengikut Samin tetap boleh bersekolah formal.

Meskipun sudah terdapat perbedaan interpretasi diantara komunitas Sedulur Sikep dalam menafsirkan inti ajaran Samin tetapi ketika menyelami alam berpikir mereka, tetap terlihat jelas benang merah yang menyatukan komunitas ini. Pandangan tentang tugas manusia untuk memegang teguh nilai-nilai kejujuran, dan inti ajaran Samin lainnya adalah faktor pemersatu diantara mereka.

Menilik dari sejarah panjang komunitas ini sejak masa penjajahan Belanda sesungguhnya dapat diambil sebuah pelajaran yang berharga. Seperti halnya kelompok-kelompok lain di seantero nusantara, masyarakat Samin juga bagian dari perjuangan panjang bangsa ini dalam melawan tirani kolonial Belanda. Namun apa yang terjadi sekarang ini, masyarakat Samin justru dinilai negatif ketika mereka berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur ajaran yang telah dianut sejak puluhan tahun silam. Mereka masih dianggap sebagai masyarakat primitif yang menghambat laju perkembangan bangsa.

Tidak mengherankan jika komunitas Sedulur Sikep memandang telah banyak orang salah kaprah dalam menilai komunitas mereka. Dalam anggapan mereka sebelum ada namanya Indonesia, sebelum ada lima agama yang diakui pemerintah, Sedulur Sikep sudah punya “ageman” (pedoman hidup). Bagi mereka ageman tersebut sudah lengkap dengan ajaran dan pranata sosialnya. Sedulur sikep sudah menganut ajaran bahwa sesama manusia dianggap saudara, tidak membedakan kulit, tempat, agama atau kepercayaan. Namun setelah Indonesia berdiri, komunitas Sedulur Sikep dianggap orang asing. Dalam masalah agama misalnya setelah ada lima agama resmi yang diakui pemerintah mereka dianggap tidak punya agama. Bahkan ikatan perkawinan dalam komunitas ini dinilai tidak sah karena tidak berdasar pada aturan perkawinan salah satu agama resmi. Maka yang terjadi selanjutnya adalah pemaksaan dari pemerintah melalui perkawinan massal dimana Sedulur Sikep dipaksa untuk menikah ualng dan mengikuti aturan perkawinan salah satu agama yang disahkan pemerintah.

Meski kondisi sekarang sudah berubah dan mengarah ke sedikit perubahan namun perlakuan birokrasi terhadap komunitas ini belum sepenuhnya sesuai harapan. Dalam masalah pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) misalnya, Sedulur Sikep masih menemui berbagai kesulitan. Kendala terbesar ketika harus mengisi blanko isian terutama kolom agama. Dalam blanko KTP yang disediakan pemerintah sudah tercantum lima agama yang diakui sedangkan agama komunitas Sedulur Sikep yang disebut “agama adam“ jelas tidak tercantum di dalamnya. Ketika mereka meminta agar kolom agama dikosongkan yang terjadi justru kolom tersebut diisi oleh petugas dengan tetap mencantumkan salah satu agama di KTP itu. Bagi mereka hal itu jelas tidak bisa diterima, namun apa boleh buat daripada tidak mendapat KTP dan menimbulkan kesulitan lainnya kondisi tersebut terpaksa diterima.
Berbagai perlakuan terhadap Sedulur Sikep yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip hidup komunitas ini menimbulkan pertanyaan besar di benak mereka. Menurut mereka siapa itu pemerintah? Pemerintah ada karena rakyat yang mengadakan. Semestinya para pemimpin pemerintahan mengembalikan kedaulatan kepada pemilik sejati, yaitu rakyat. Sedulur Sikep juga tidak ingin bergantung pada pemerintah. Keengganan mereka untuk bersekolah formal juga bagian dari tidak menciptakan ketergantungan. Dengan tidak sekolah formal, Sedulur Sikep tidak mau jadi pejabat pemerintah. Bagi mereka sudah cukup menjadi orang saja, yang penting tahu salah dan benar serta tidak merugikan orang lain. Komunitas ini juga yakin bahwa mereka mampu hidup mandiri tanpa bergantung pada pemerintah. Ciri utama dari Sedulur Sikep memang terletak pada perlawanannya terhadap kesewenang-wenangan dengan cara damai. Kalau diibaratkan apa yang mereka lakukan mirip seperti langkah Mahatma Gandhi di India yang melawan penjajahan Inggris dengan cara damai dan bertumpu pada kemandirian sendiri tanpa harus tergantung pada budaya dominan ketika itu.

Kengototan orang Samin mempertahankan ajaran yang telah mereka anut sejak puluhan tahun lalu membuat masyarakat umum yang tidak mengenal mereka memberikan cap yang berkonotasi negatif. Orang Samin itu dianggap sekelompok masyarakat yang menganut faham “waton bedho atau waton suloyo” (asal beda), suka menentang pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga kini. Istilah Samin akhirnya menjadi olok-olok untuk mereka yang berlaku “norak”, tak kooperatif, tidak berpendidikan, bebal, dan lain-lain. Dalam istilah Jaspers, seorang asisten Residen Tuban kala itu, melukiskan ajaran Samin sebagai “kelainan jiwa” (mental afwijking) yang disebabkan oleh kelewat beratnya beban pajak yang harus mereka tanggung.

Padahal pilihan Sedulur Sikep mempertahankan ajaran Samin Surosentiko, sesungguhnya dilandasi niat luhur dan tentu saja keberanian berfikir merdeka tanpa harus susah payah meniru atau menjiplak budaya lain. Menurut budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun), sikap egaliter yang begitu kental, kelugasan dan kemerdekaan pikir serta rasa merupakan hal yang membuatnya terkagum-kagum pada prinsip Sedulur Sikep. Ia menambahkan, ketika masyarakat lain masih berwacana tentang kemerdekaan, Sedulur Sikep justru telah menjalaninya dua abad silam. Komunitas yang sering disebut orang “nyeleneh” dan “terbelakang” tersebut justru masih kukuh mempertahankan pikiran dan rasa dengan parameter yang mereka punya. Komunitas Samin hanya ingin agar nilai-nilai yang diajarkan oleh mendiang Samin Surosentiko seperti kejujuran, kepatuhan pada orang tua, tidak menipu dan sebagainya menjadi “saka guru” kehidupan mereka beserta anak turunannya. Sebuah keinginan sederhana yang justru banyak menimbulkan salah tafsir orang umum dan menjadikannya sebagai bahan ejekan.

Berdasar uraian tentang kondisi kehidupan komunitas Samin dan juga berbagai perlakuan yang mereka terima dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, komunitas Sedulur Sikep bukanlah sekedar kumpulan orang-orang terbelakang yang primitif. Mereka juga jauh dari anggapan sebagian orang yang menilai komunitas ini sebagai kumpulan orang kelainan jiwa, tidak kooperatif, bebal, tidak berpendidikan dan berbagai cap negatif lainnya. Kebebasan dan kemerdekaan orang Samin dalam menentukan arah hidup mereka menunjukkan bahwa komunitas ini bukanlah orang-orang primitif yang tak berakal budi. Justru sebagai manusia mereka bisa menempatkan diri dan arah kehidupan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini dan mereka anut. Keengganan mereka untuk menempuh pendidikan formal misalnya, tidak bisa diartikan sebagai tindakan bodoh tetapi harus dilihat sebagai bagian dari prinsip hidup yang harus kita hormati. Demikian halnya ketika mereka menolak untuk membayar pajak ataupun untuk berdagang. Kerangka pemahaman ini penting agar ketika merumuskan program pemberdayaan terhadap komunitas ini bisa menyusun langkah dengan benar dan bijak tanpa harus menghapuskan identitas kultural mereka.

Kedua, ada perbedaan interpretasi diantara sebagian anggota komunitas Samin terhadap inti ajaran mereka. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan dalam upaya pemberdayaan komunitas ini. Perbedaan interpretasi ini harus dikelola dengan baik dan dimanfaatkan untuk memberdayakan mereka. Jangan sampai perbedaan interpretasi ini justru dimanfaatkan untuk memecah belah persatuan diantara mereka. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk membangun dan mengembangkan kesadaran dalam komunitas ini agar mau menerima perubahan dari luar tanpa mematikan identitas mereka.

Ketiga. sesungguhnya komunitas Sedulur Sikep tidak anti perubahan. Hanya saja kekhawatiran akan lunturnya inti ajaran Samin membuat mereka enggan untuk berubah. Hal ini terbukti dari kemauan sekelompok anggota komunitas ini untuk menempuh pendidikan formal, berdagang bahkan bekerja menjadi pegawai pemerintah. Pada intinya selama ajaran dan keyakinan yang dianut tidak terusik mereka bisa menerima perubahan.

Keempat, demi tercapainya pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) seperti halnya Sedulur Sikep perlu adanya perubahan paradigma dari orientasi ekonomi semata ke arah orientasi sosiokultural. Pemberdayaan KAT harus dilihat sebagai pembangunan harkat dan martabat manusia seutuhnya untuk memajukan peradaban bangsa. Jangan sekedar melihat mereka sebagai komoditi untuk dikonservasi atau komoditi untuk dijual (dieksploitasi) demi kepentingan industri pariwisata semata sebagaimana diresahkan oleh penggiat budaya selama ini. Upaya pencerahan komunitas adat terpencil (KAT) harus tetap dalam koridor mendudukkan mereka sejajar dengan kita, bukan dalam koridor merendahkan atau mengeksploitasi. Sehingga saran dan pendapat mereka harus tetap didengarkan sebagai bagian dari WNI yang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Mereka bukanlah objek pemberdayaan tetapi sekaligus subjek yang harus tetap “diuwongke” karena mereka bukanlah benda mati yang tidak mampu berfikir dan menggunakan kemampuannya.

Berdasarkan beberapa kesimpulan tersebut maka langkah pemberdayaan komunitas Sedulur Sikep harus mengedepankan proses dialogis dengan mereka. Paradigma pemaksaan kehendak atau model satu arah harus dihentikan. Saatnya duduk bersama dan mendengarkan keinginan mereka. Dalam masalah keengganan untuk bersekolah formal misalnya, yang dilakukan jangan hanya memaksa mereka untuk sekolah tetapi harus diawali terlebih dahulu dengan memberikan pengertian yang tidak bertentangan dengan keyakinan mereka. Guna menunjang proses pemberdayaan ini alangkah baiknya jika diantara anggota komunitas yang berbeda interpretasi dipertemukan agar mereka bisa bertukar pikiran demi kepentingan mereka sendiri. Selain itu upaya pemberdayaan komunitas Samin harus tetap dalam koridor menghargai inti keyakinan mereka. Bukan sebaliknya justru merusak apa yang mereka pertahankan seperti nilai kejujuran, selaras dengan alam, tidak menipu dan sebagainya yang saat ini sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Apa yang terjadi selama ini upaya pencerahan terhadap komunitas Sedulur Sikep justru menjadi praktek pemaksaan atau hegemoni dari budaya dominan terhadap budaya minoritas. Mereka yang minoritas didudukkan sebagai objek yang harus mengikuti mainstream budaya dominan. Sehingga alih-alih menjadi proses pemberdayaan yang terjadi justru eksploitasi dan pengebirian hak-hak mereka yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka ditempatkan seolah-olah sebagai sekelompok orang primitif yang harus segera dirubah menjadi sosok orang modern yang dianggap lebih baik. Padahal banyak nilai-nilai dan sikap mereka yang justru harus kita teladani karena selaras dengah ruh kehidupan bangsa ini. Kejujuran, menjaga alam dan sifat-sifat lainnya adalah prinsip hidup yang sudah langka di negara ini.

Berbagai diskriminasi dalam pelayanan birokrasi seperti perkawinan, KTP dan lainnya harus dihapuskan. Perlu penanganan lebih bijak terhadap komunitas ini. Keengganan untuk membayar pajak sebenarnya bukan karena berniat melawan pemerintah. Hanya saja ajaran pendahulu mereka yang merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda masih terbawa sampai sekarang. Hal ini perlu dijelaskan kepada mereka, bahwa kondisi sekarang telah berbeda. Tidak ada lagi pemerintah kolonial dan pajak ditarik agar pemerintah bisa memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat. Dengan pajak pemerintah bisa membangun jalan, jembatan, pasar dan berbagai sarana untuk kepentingan rakyat. Apabila proses dialogis ini berjalan dengan baik dan dibarengi perbaikan pelayanan terhadap mereka maka sedikit demi sedikit komunitas Samin akan bisa menerima perubahan.

Pada intinya berbagai upaya untuk memberdayakan komunitas Sedulur Sikep harus tetap mengacu pada Keppres No.111/1999 dan Kepmensos No.06/PEGHUK/2002. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pemberdayaan berarti pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada masyarakat setempat untuk menentukan berbagai bentuk program kegiatan pembangunan serta kebutuhan mereka melalui upaya perlindungan, penguatan, pengembangan, konsultasi dan advokasi guna peningkatan taraf kesejahteraan sosialnya. Sedangkan pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) merupakan proses pembelajaran sosial dengan menghargai inisiatif dan kreativitas KAT terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi sehingga masyarakat secara mandiri dapat mengaktualisasikan dirinya dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mampu memecahkan permasalahannya. Hal ini penting mengingat derap pembangunan terhadap KAT dinilai masih belum menyentuh secara intens pada suku-suku asli di daerah. Kebanyakan masyarakat miskin juga masih berada di sekitar KAT. Dalam pelaksanaan pengembangan terhadap KAT jangan memaksakan pengembangan dengan perspektif pemerintah. Pengembangan harus dilakukan dari sudut pandang suku asli ini, bukan sudut pandang pemerintah.

Retrieved from: http://mubarok01.wordpress.com/2011/12/14/peluang-dan-tantangan-pemberdayaan-komunitas-sedulur-sikep/

Sunday, September 9, 2012

Perempuan-perempuan Samin

Kompasiana, 18 April 2012 | 23:40

Oleh M Abdullah Badri
Perempuan biasanya lekat dengan dunia gosip. Psikologi perempuan selalu ingin diperhatikan, serta pula gemar memperhatikan orang lain. Wajar. Bukan sebuah kekurangan. Justru ketika itulah seorang perempuan sedang melakukan peran kontrol sosialnya. Perempuan pada umumnya sensitif terhadap ketidaknyamanan dan hal-hal yang menyimpang dari norma yang berlaku, sekalipun dalam bentuk yang sepele. Daya advokasi personal itulah yang membuat perempuan memiliki kelebihan tersendiri. Bagaimana dengan perempuan Samin? 

Perempuan Samin bukan perempuan gossipers (tukang gosip). Mereka juga bukan orang yang senang mengumbar lidah dengan murah. Mereka adalah perempuan waskita yang melakukan segala hal dengan timbangan sosial dan kultural. Barangkali Anda tergolong kategori itu, meski bukan bagian dari komunitas sedulur sikep yang terkenal kearifan kosmosnya tersebut.
 
Sedulur sikep Samin yang tersebar di beberapa wilayah Jateng, antara lain di Blora, Pati, Kudus, Purwodadi, Rembang, Brebes dan beberapa kota di Jawa Timur, memiliki prinsip hidup tersendiri. Eksotisme sosio-kultural membuat orang Samin dikenal sebagai komunitas yang nyentrik, namun penuh dengan nuansa nilai-nilai kemanusiaan. Sebagian besar penganut ajaran Ki Samin Surosentiko (1858-1914) itu tidak menempuh studi formal sekolah. Toh demikian, mereka akrab dengan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka adalah pembelajar kehidupan, kendati tidak belajar banyak tentang teori kehidupan.
 
Mereka cukup menjadi petani yang mengelola sawah, asal tidak merugikan hak-hak orang lain serta kewajibannya sebagai hamba yang baik. Makanya, rutinitas kehidupan mereka sehari-hari dipenuhi dengan semangat membangun hubungan yang lebih baik, menyingkirkan jauh-jauh hal yang dianggap tidak layak (amar ma’ruf-nahi mungkar).
Perempuan di kampung Samin yang berperan sebagai manajer kehidupan domestik rumah tangga, harus pandai-pandai melakukan usaha penyeimbangan antara hak sebagai bagian dari keluarga dan hak sebagai bagian dari masyarakat sekitar. Karena intensitas pergaulan perempuan di sana cukup besar dibandingkan dengan laki-laki atau suami yang bekerja di ladang, mereka berperan sebagai penyambung peseduluran dengan tetangga.
 
Menjaga Harmoni
Keharmonisan hubungan antar keluarga di komunitas sedulur sikep Samin berada di tangan para perempuan. Kalau tidak pandai menjaga interaksi sosial, ada kekhawatiran guncangan keluarga akan terjadi. Makanya, dalam melangsungkan interaksi antar sesama, para perempuan Samin memiliki prinsip hidup wedi awake dewe (takut kepada diri sendiri). Karena perempuan Samin menjadi perlambang keharmonitas rukun antar tetangga, mereka harus saling menjaga kepercayaan secara personal. Rasa wedi berbuat tidak baik harus dimulai dari awake dewe, diri sendiri. Tidak perlu menunggu teguran orang lain.
 
Agar kontrol terhadap diri terus berlanjut, mereka punya prinsip setiti ing pundhi panggonane (waspada di manapun berada). Mereka melakukan reksa diri dengan tidak mudah terpengaruh situasi dan arus. Di manapun dan kapanpun, dalam kondisi apapun. Mereka tidak gampang terpengaruh gosip murahan dari media massa, apalagi hasutan yang merugikan orang lain. Karena ia setiti.
 
Dalam memperteguh keharmonisan, mereka memiliki prinsip egalitarianisme, yakni podo patut karo sopo wae (berbuat baik kepada siapa saja). Perempuan-perempuan Samin tidak memilih siapa yang harus dihormati dan siapa yang harus dibenci. Karena menurutnya, semua manusia di mata Yang Kuasa adalah hamba yang harus diperlakukan sama, dihormati. Tidak ada hirarki bahasa keseharian dalam kehidupan mereka. Itu yang membuat mereka tidak mengenal struktur kuasa berbasis kolonial, yang pada akhirnya menciptakan kelas sosial dan ekonomi. Di komunitas Samin, hal itu terlarang secara kultur.
 
Perempuan Samin merupakan perempuan yang pandai menjaga hati dari lobang-lobang moral yang menganga. Dalam berprinsip, mereka memiliki unen-unen (kata bijak), yaitu aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren (jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati dan hasud kepada milik orang lain). Penyakit psikologi moral itulah yang kadang menjangkiti kita. Namun, dalam falsafah Saminisme, hal itu jelas sebuah kenaifan. Perempuan yang kadang secara psikologis cenderung ingin menuntut lebih kepada suami, akan mendapatkan stigma matre dalam komunitas Samin. Mereka tidak gampang iri, tidak mudah sakit hati dan tidak suka bertengkar.
 
Karenanya, perempuan perempuan Samin adalah perempuan yang sederhana, namun tetap bijaksana dan kuat dalam memegang prinsip hidup. Mereka sensitif terhadap perasaan diri sendiri maupun orang lain. Namun tetap tegas mengamalkan prinsip. Merekalah bukan penggemar berita miring. Siap melakukan advokasi ketika terjadi penyimpangan. Saya pikir perempuan Samin begitu. Andakah ia?

Retrieved from: http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/18/perempuan-perempuan-samin/

Saturday, September 8, 2012

Komunitas Samin Lebaran Ikut Keputusan Pemerintah

Kompas, Senin, 29 Agustus 2011 | 21:09 WIB

BLORA, KOMPAS.com — Komunitas Samin yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep di Dusun Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, mengikuti keputusan pemerintah mengenai penetapan 1 Syawal 1432 H.

Ketua Sedulur Sikep Jawa Tengah, Pramugi Prawiro Wijoyo, di Blora, Senin malam, mengatakan warganya selalu menempatkan keputusan pemerintah sebagai keputusan tertinggi, apalagi terkait penetapan 1 Syawal atau Idul Fitri.
"Kalau bagi kami, penetapan 1 Syawal menjadi wewenang pemerintah, sehingga apa yang diumumkan pemerintah itu yang akan kami ikuti," kata dia yang juga Kepala Adat Penganut Kepercayaan Sedulur Sikep Blora.

Bagi Sedulur Sikep atau Komunitas Samin, kata dia, penetapan 1 Syawal tidak menjadi hal yang terlalu diharap-harapkan. "Ditetapkan kapan saja, kami siap mengikuti pemerintah. Karena kami adalah bagian dari pemerintah," kata dia yang berasal dari desa setempat.

Pramugi juga mengatakan, jika pun pemerintah menepatkan 1 Syawal 1432 Hijiriah ditetapkan pada Rabu (31/8),
Sedulur Sikep akan menggenapkan puasa Ramadhan mereka menjadi 30 hari.

Mengenai puasa, Sedulur Sikep memiliki pemahaman bahwa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari sifat dengki, iri, dan khianat.

"Bagi kami puasa itu tidak hanya dalam lahir, tetapi juga batin. Kebersihan batin, tidak hanya dijaga pada siang hari, tetapi juga malam hari," katanya.

Puasa dalam makna yang lebih luas, katanya menambahkan, juga dilakukan di luar bulan Ramadhan karena bagi mereka puasa itu adalah menahan diri dari tingkah laku buruk dan merugikan orang lain.

Sementara itu, berdasarkan pantauan, sejumlah masjid dan mushala di Kabupaten Blora masih menggelar shalat tarawih secara berjamaah meskipun saat ini pemerintah masih menggelar sidang untuk menentukan 1 Syawal 1432 H.

Belum terdengar gema takbir di Kota Satai itu sebagai tanda warga akan merayakan Idul Fitri besok, Selasa (30/8/2011). "Mestinya kita tidak perlu repot dan bingung, asalkan semua warga negara mengembalikan segala keputusan kepada pemerintah," kata Pramugi Prawiro Wijoyo menandaskan.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Benny N Joewono

Retrieved from:  http://regional.kompas.com/read/2011/08/29/21090024/Komunitas.Samin.Lebaran.Ikut.Keputusan.Pemerintah

Friday, September 7, 2012

Orang Samin dan Pandangan Hidupnya

Pada suatu hari di rumah elite desa sedang berduka karena putra tertuanya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal dunia. Warga desa kumpul melayat dan mempersiapkan upacara pemakaman jenazah. Beberapa warga desa hilir-mudik dan sebagian duduk berjejer di tempat yang sudah disediakan di halaman rumah.
Dalam keadaan mulai sunyi, di tengah kerumunan jenazah, datanglah seorang laki-laki tua, usianya lebih kurang 75 tahun, mengenakan baju kurung lengan panjang warna hitam, dengan celana selutut berwarna hitam pula. Sarungnya diselempangkan di bahu sebelah kiri dan capingnya yang terbuat dari daun lontar dibuka lalu ditempelkan di dada kiri, dan di atas kepala mengenakan udeng (ikat kepala) motif batik warna hitam kecoklatan.Dengan percaya diri ia masuk ke rumah menuju ke tempat jenazah disemayamkan. Tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, ia seolah tak kenal siapa pun para tamu yang duduk di situ.Setelah tiba di depan jenazah, ia membuka tutup bagian atas sembari menatap wajahnya. Lalu ia mengatakan, "Sedulur, asalmu ora ono/Terus dadi ono/Saiki ora ono maneh/Yo wis, tak dongak-ke slamet." (Saudara, asalmu tidak ada/Lalu menjadi ada/Sekarang tidak ada lagi/Ya sudah, saya doa kan selamat.)Kemudian tutup jenazah dikembalikan seperti semula, lalu ia mundur pelan-pelan sampai ke pintu rumah dengan membalikkan arah dan menuju ke halaman rumah. Setelah itu ia ikut duduk bersama-sama tamu yang lain. Ia memilih duduk di pinggir dekat pintu masuk menuju rumah sehingga beberapa warga banyak yang kenal. Pada saat ketemu orang lain yang menyapanya, ia selalu mengatakan sedulur, yang maknanya sama-sama saudara.

Perilaku kultural seperti itu dikategorikan sebagai orang apa? Bagaimana ia menghayati hubungan individu dirinya dengan sesama, dengan alam semesta, dan dengan Sang Pencipta?
Sudah banyak tulisan tentang masyarakat Samin, bahkan ada yang menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan dari zaman kolonial Belanda hingga saat ini. Beberapa informasi mengatakan bahwa Saminisme sebagai sebuah sejarah perlawanan terhadap kekuasaan telah diubah menjadi deskripsi kebudayaan.

Jujur dan pemurah

Sejak dikenal umum dari zaman kolonial Belanda, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang, Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak menggerombol, melainkan terpencar-pencar, misalnya, tiap desa terdapat 5-6 keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu.

Orang Samin memiliki rasa religi yang kuat sehingga sering kali membuat para pendatang (tamu) merasa risi dan malu karena mereka sangat jujur, serta pemurah terhadap para tamu. Seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan berapa harganya.

Masyarakat Samin memiliki jiwa yang polos dan terbuka. Mereka berbicara menggunakan bahasa Kawi dan bercampur bahasa Jawa ngoko dan sering kedengaran kasar.

Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan orang lain yang bukan pengikut Samin, orang Samin selalu beranjak pada eksistensi mereka yang sudah turun-temurun dari pendahulunya, yaitu Ono niro mergo ningsun, ono ningsun mergo niro. (Adanya saya karena kamu, adanya kamu karena saya.)Ucapan itu menunjukkan bahwa orang Samin sesungguhnya memiliki solidaritas yang tinggi dan sangat menghargai eksistensi manusia sebagai makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya dicuri).

Semua perbuatan mereka berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik, begitulah ringkasnya. Bagi orang lain yang tidak memahami eksistensi orang Samin, mereka bisa jadi menyebutnya sebagai Wong Sikep, yang artinya orang yang selalu waspada. Atau disebut juga Wong Kalang karena orang lain akan menganggap ketidakrasionalan pikiran, keeksentrikan perilaku, dan ketidaknormalan bahasa. Tetapi, bagi sesama orang Samin selalu menyebut kepada orang lain Sedulur Tuwo.

Ini pun tampak di dalam ia merenung dan berdoa kepada "Adam", selalu minta keselamatan untuk dirinya, sesama makhluk alam semesta, dan juga Sang Pencipta sendiri. Ungkapan Sedulur Tuwo tak pernah ditinggalkan.Doa orang Samin juga selalu berhubungan dengan keadaan ekologi dan ekosistem di mana mereka berdomisili. Orang Samin yang tinggal di daerah Desa Klopo Duwur, Kecamatan Randu Blatung, Kabupaten Blora, misalnya, menunjukkan secara siklus hubungan antarmanusia sebagai pribadi, antarsesama manusia, antara manusia dan alam lingkungan.Pandangannya terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat dijumpai dalam ucapannya, seperti: Banyu podo ngombe/Lemah podo duwe/Godong podo gawe. (Air sama-sama diminum/Tanah sama-sama punya/Daun sama-sama memanfaatkan.)

Ucapan itu oleh pengikut Samin ditafsirkan secara bijak, maksudnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu dijaga. Tidak berarti sama rasa, sama rata, seperti tuduhan orang lain di luar komunitas Samin.Dalam praktiknya, mereka justru ikut menjaga pelestarian kayu jati di daerah Blora. Mereka hanya memanfaatkan daunnya untuk keperluan sehari-hari dan rantingnya untuk keperluan masak-memasak. Hal itu sudah berjalan sejak leluhur mereka masa lalu dan mereka tidak mau merusak hutan. Berdasarkan pandangan seperti itu, tampaknya orang lain sering kali menerjemahkan kata "Samin" sama dengan Sami-sami Amin.

Sejak masa kolonial

Pada mulanya ajaran orang Samin ini berasal dari seorang tokoh yang bernama Kiai Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, wilayah Blora, Jawa Tengah, tahun 1859. Ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tidak mau membayar pajak dan tidak mau ikut kerja paksa.

Seperti tokoh perintis kemerdekaan Indonesia yang lain, ia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga wafat tahun 1914. Namun, ajarannya masih dianut oleh pengikutnya hingga sekarang di beberapa daerah yang disebutkan di atas.Beberapa catatan kolonial Belanda menyebut bahwa Kiai Samin Surosentiko dianggap sebagai pembangkang, pemberontak, selalu melawan pemerintah. Oleh karena itu, ajarannya tidak boleh disebarluaskan dan oleh mainstream
agama pada saat itu dianggap sesat, lalu mau tidak mau ia harus diasingkan dari pengikutnya.

Dalam kaitannya dengan deskripsi singkat ini, maka nilai tradisi yang dapat dipetik adalah bagaimana strategi ajaran orang Samin dalam mengimplementasikan kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka antikekerasan, jujur, terbuka, dan tidak mau menyakiti orang lain.

Orang Samin mengejawantahkan kehidupan dengan solidaritas sosial. Juga pada zaman Orde Baru, ketika mereka menggunakan kiat atau strategi ngumumi; tidak melawan pemerintah, tetapi mengkritisi secara pasif.Mereka memang tidak mau ikut program KB karena sudah punya cara sendiri. Mereka juga tidak ikut program Bimas-Inmas dan tidak mau terima kredit dari BRI supaya tidak ngemplang. Orang Samin bikin pupuk sendiri, bikin irigasi sendiri.

Pendeknya, dalam hidup, mereka tidak bergantung kepada teknologi maju. Orang Samin benar-benar sebuah contoh kasus komunitas yang benar-benar memiliki kemandirian. Oleh karena itu, masyarakat Samin tidak mengenal krisis ekonomi dan moneter.
Sutamat Arybowo Peneliti LIPI dan Anggota Asosiasi Tradisi Lisan

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/10/humaniora/3522042.htm

Retrieved from: http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72:orang-samin-dan-pandangan-hidupnya&catid=34:antropologi-&Itemid=93

Thursday, September 6, 2012

Suku Samin: Hidup Tanpa Prasangka dan Anti Kekerasan

Minggu, 12 Februari 2012

AMIR LEA ELL RACHMAN

HARDJO KARDI
BOJONEGORO – Bila dibandingkan dengan kisah lama tentang Suku Samin yang berada di Dusun Jipang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro, kini kampung Samin sudah jauh lebih modern. Walaup un begitu, perubahan itu tak membuat mereka lantas kehilangan jati diri.

Meski berada di tengah hutan jati, akses jalan menuju kampung Samin yang berbatasan dengan Kabupaten Ngawi tersebut sudah beraspal dan mudah dilewati. Listrik, telepon, dan komputer– termasuk internet– pun sudah bisa diakses di sana.

Yang menarik, walau sudah hidup di era modern, tapi warga yang tinggal di Dusun Jipang ini masih mengamalkan ajaran-ajaran wong Samin, meski secara perlahan tapi pasti Islam sudah hampir menjadi mayoritas di sana.

Ini lantaran dalam Islam sendiri yang diyakini generasi Samin masa kini, telah lama menjadi perilaku WOng Sikep (sebutan Suku Samin) selama ini, yang mengajarkan agar jangan pernah menyakiti orang lain kalau tidak ingin disakiti, harus saling hormat-menghormati sesama manusia di dunia, dan jangan pernah mengambil apapun yang bukan haknya. Juga, beberapa ajaran lain yang mengikat masyarakat agar tidak berbuat kejahatan.

Dan realitanya hingga kini, tepo sliro (rasa saling menghormati) dan tingkat kerukunan masyarakatnya memang tinggi. Mereka biasa selalu saling membantu dalam keadaan apapun.

Pemimpin Suku Samin, Hardjo Kardi, trah terakhir Samin Surosentiko, menjamin kampungnya relatif aman dari kasus tindak pidana kriminal, terutama pencurian atau kasus kekerasan.

Dia juga memastikan, setiap warga pendatang yang masuk ke komunitas Samin–baik yang membawa kendaraan roda dua, empat, maupun kendaraan lain– sangat aman dari kasus pencurian.

“Kalaupun ada (pencurian-red) warga di sini mengambil kayu di hutan, itu pun hanya sebatas untuk kayu bakar karena nenek moyang kami dahulu ikut menanam pohon di hutan ini,” papar dia pada suatu kesempatan.

Sementara Kepala Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Bojonegoro, Mohamad Farhan, mengatakan komunitas suku Samin di Dusun Jipang, hingga sejauh ini masih sangat sulit disentuh provokasi berlatar sentimen agama.

“Ini lantaran masyarakat Samin sangat menjunjung tinggi kedamaian, tanpa prasangka serta kejujuran,” kata Farhan.
Hal itu disampaikan berkaitan dengan maraknya aksi kekerasan yang mengusung isu sentimen agama, sebagai alat untuk memprovokasimassadi pelbagai daerah.

Menurut Farhan, selain bertolak belakang dengan akar kultur masyarakat yang cinta damai dan membenci kekerasan, karena memang komunitas wong Samin sendiri secara terori bukan `ladang` yang cocok untuk menyemai faham atau pikiran radikalisme.

“Pada umumnya, gerakan yang mengusung sentimen isu agama relatif mudah tumbuh di kalangan pemeluk agama dengan pengetahuan terbatas akan agama yang dianutnya itu sendiri, serta beratnya himpitan perut,” papar Farhan.
Selain itu, kelompok lain yang mudah dipengaruhi kalangan mahasiswa dari jurusan umum, karena tingkat pengetahuannya terhadap agam tidak seluas mereka yang mengambil spesifikasi agama.

“Apalagi Islam kini sudah hampir menjadi agama mayoritas di kalangan wong Samin. Meski, hingga saat ini masih ada beberapa masyrakat Samin yang masih bertahan dengan keyakinannya sebagai wong sikep (istilah agama bagi suku Samin-red),” terang dia.

Berkaitan itu, Kantor Kemenag Bojonegoro tetap akan mempertahankan posisi Mohamad Miran sebagai Kepala KUA Kecamatan Margomulyo, karena memang dia putra Samin asli.

“Karena memang perjuangan dan syiar dia (Miran-red) dalam menegakkan Islam cukup berhasil,” tandas Farhan yang saat ini tengah memikirkan reward apa yang akan diberikan kepada putra Samin itu.

Farhan menjelaskan,  sejarah pemberontakan Samin melawan Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.

“Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimistis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan penuh keberanian,” tutur dia.

Potret Masa Lalu Wong Samin
Komunitas Samin yang hingga kini tinggal generasi akhir di Bojonegoro mengajarkan betapa menghadapi hidup adalah kesederhanaan kejujuran, berprinsip yang benar dan lurus. Capaian hidup sesungguhnya tidak harus berada di puncak. Tapi, bagaimana menghargai dan menghormati antara sesama. Jabatan dan pangkat seperti mitos: begitu diburu ia akan menghindar.

Masyarakat Samin yang tinggal di dusun tersebut, adalah figur tokoh atau oran-orang tua yang gigih berjuang menentang Kolonial Belanda dengan gerakan yang dikenal dengan Gerakan Saminisme, yang dipimpin oleh Ki Samin Surosentiko.

Dalam Komunitas Samin tidak ada istilah untuk membantu Pemerinrtah Belanda seperti menolak membayar pajak, tidak mau kerja sama, tidak mau menjual apalagi memberi hasil bumi kepada Pemerintah Belanda. Prinsip dalam memerangi kolonial Belanda melalui penanaman ajaran Saminisme yang artinya sami-sami amin (bersama-sama) yang dicerminkan dan dilandasi oleh kekuatan, kejujuran, kebersamaan dan kesederhanaan.

Sikap perjuangann mereka dapat dilihat dari profil orang samin yaknigayahidup yang tidak bergelimpangan harta, tidak menjadi antek Belanda, bekerja keras, berdoa, berpuasa dan berderma kepada sesama. Ungkapan-ungkapan yang sering diajarkan antara lain : sikap lahir yang berjalan bersama batin diungkapkan yang berbunyi sabar,nrimo,rilo dan trokal (kerja keras), tidak mau merugikan orang lain diungkapkan dalam sikap sepi ing pamrih rame ing gawe dan selalu hati-hati dalam berbicara diungkapkan ‘Ojo waton ngomong, ning ngomong kang maton’.
Lokasi masyarakat Samin (dusun Jepang) memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi obyek Wisata Minat Khusus atau Wisata Budaya Masyarakat Samin melalui pengembangan paket Wisata Homestay bersama masyarakat Samin. Hal yang menarik dalam paket ini ialah para wisatawan dapat menikmati suasana dangayahidup kekhasan masyarakat Samin. Untuk rintisan tersebut, kebijakan yang telah dilakukan adalah melalui penataan kampung dan penyediaan fasilitas sosial dasar.

Kejujuran untuk Mencapai Kemuliaan
Suatu hari di tahun 1907, kota Bojonegoro, Jawa Timur geger. Tokoh masyarakat asalkotatembakau, Samin Soerontiko, ditangkap Pemerintah Hindia Belanda yang ketika itu berkuasa di tanah Jawa. Dia dianggap mempengaruhi masyarakat sekitar dengan ajaran kepercayaan (yang kemudian disebut Saminisme-red). Ajaran itu membuat Pemerintah Hindia Belanda kesulitan untuk menancapkan pengaruhnya di Bojonegoro.

Ajaran Saminisme secara sederhana bisa diartikan sebagai ajaran kejujuran untuk mencapai kemuliaan. Karena kejujuran itulah, penganut Saminisme tidak bisa dimasuki skenario politik pecah belah Pemerintah Hindia Belanda atau dikenal sebagai devide et ampera. Samin dan penganutnya dianggap mengganggu jalannya pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat. Karenanya, Samin Soerontiko ditangkap dan dibuang ke Sumatera Barat dan Jawa Barat.

Itulah penggalan “cerita” yang termuat dalam buku catatan Pemerintah Hindia Belanda, Besluit no.5 yang diterbitkan 5 Juli 1907.

Arsip yang memuat kisah Samin Soerontiko hanyalah satu dari jutaan meter linier arsip sejarah yang disimpan di Badan Arsip Nasional, termasuk Badan Arsip Provinsi Jawa Timur. Arsip-arsip itu disimpan tekstual (kertas), media baru (file komputer) maupun micro film. Peran arsip sejarah sendiri tidak bisa diabaikan dalam perjalanan sejarah bangsaIndonesia.

Arsip sekaligus menjadi bukti otentik atas semua hal yang pernah terjadi. Melalui lembaran-lembaran lusuh itu juga beberapa peristiwa yang sempat menjadi misteri bisa terungkap dengan lugas. Salah satunya adalah lembaran Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang menjadi awal penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.

Hingga saat ini, lembaran suratyang konon hilang itu menyisakan tanda tanya besar sejarah Indonesia. Apakah benar ketika itu Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto? Bagaimana proses pembuatan suratitu? Apakah dengan todongan senjata? “Hal-hal seperti ini bisa tuntas bila arsip Supersemar ditemukan,” ungkap Syawal.

Kemisterian Supersemar dan cerita yang melingkupinya juga muncul dalam peristiwa penyobekan bendera Belanda, di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit Oriental)Surabayapada 10 November 1945. Bendera Belanda berwarna merah putih biru dirobek oleh salah satu Arek Suroboyo, pejuang 10 November 1945 pada warna birunya, menyisakan warna bendera Indonesia Merah Putih.

Hingga kini, siapa pelaku peristiwa yang menjadi simbol kemenangan pejuangSurabayaatas Pasukan Sekutu Belanda itu tidak ditemukan. Uniknya, sebuah sumber menyebutkan, peristiwa yang diabadikan dalam bentuk foto hitam putih dan dipercaya sebagai foto bukti sejarah itu ternyata dibuat setahun setelah peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Sayangnya, arti penting dan berharganya arsip sejarah tidak dipahami oleh masyarakat. Seringkali, masyarakat yang memiliki arsip sejarah tidak mengerti cara merawat dan menyimpan barang bernilai tinggi itu. Bahkan ada yang membuangnya begitu saja, tanpa mau memperhitungkan nilai sejarah yang dikandungnya. (LEA)

Retrieved from: http://berita.maiwanews.com/suku-samin-hidu-tanpa-prasangka-dan-anti-kekerasan-25363.html

Wednesday, September 5, 2012

Komunitas Samin, perintis siasat perlawanan tanpa kekerasan orisinal khas Indonesia

Mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep. Masyarakat mengenalnya dengan penganut ajaran Samin. Yang luar biasa Logika Pemaknaan Bahasa dijadikan alat perjuangan tanpa kekerasan.
 
PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke Kabupaten Pati Jawa Tengah sekitar pertengahan 2008. Pabrik besar akan didirikan tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan kawasan pertanian.

Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya menolak. Konon, penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan AJARAN SAMIN. Penolakan warga ini berbuntut panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi VII DPR.

Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang penolakan tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin atau dikenal sebagai para Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung.
Singkatnya, pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang usianya sudah mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, 27 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati, Minggu, 7 September 2008 lalu.
Hasil pertemuan itu adalah: Sonny Keraf meminta kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Negara Lingkungan Hidup menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui serta menyelami inspirasi warga setempat.

Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan keinginan warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan ekologis yang sudah terjaga.

Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno saat diwawancarai harian Kompas (9/7), mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. ”Dadi opo anak putuku kabeh setuju yen ono pembangunan pabrik semen (Jadi apa keturunanku semua setuju kalau ada pembangunan pabrik semen)?” kata Mbah Tarno. ”Mboten setuju banget (Sangat tidak setuju),” teriak warga yang memenuhi rumahnya.

Itulah gambaran singkat bagaimana warga Sedulur Sikep. Masih banyak keunikan lain apabila kita menyelami pola pikir dan pandangan hidup mereka. Dulu, jaman kolonial, para Sedulur Sikep dicap sebagai SUBVERSIF oleh Pemerintah Kolonial karena menolak membayar pajak dan sistem pendidikan Belanda. Mereka mengembangkan siasat linguistik yang khas untuk melawan sehingga diolok-olok dengan julukan “Wong Samin”. Kini oleh para PEMODAL SEMEN GRESIK para Sedulur Sikep ini difitnah dan dicap sebagai PROVOKATOR karena menolak pembangunan pabrik semen. Padahal, para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini adalah perintis siasat perlawanan ACTIVE NON VIOLENCE orisinil yang khas indonesia melawan PENJAJAHAN.

Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi didirikan di wilayahnya, maka akan muncul dampak lingkungan yang mengancam kawasan Gunung Kendeng yang selama ini menjadi sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) serta mengancam mata pencaharian bertani. Selain itu pegunungan kapur tersebut juga memiliki MAKNA BUDAYA DAN SEJARAH BAGI MASYARAKAT SEDULUR SIKEP YANG MEMILIKI EKOLOGI KULTURAL NYA SANGAT BERELASI DENGAN LINGKUNGAN (GUNUNG).

Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya WATU PAYUNG yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng.

Di sekitar situs watu payung juga terdapat banyak narasi yang berhubungan dengan kisah pewangan seperti kisah tentang cakar kuku bima, dan lain sebainya. Kemudian di sekitar Watu Payung di pegunungan Kendeng juga terdapat WATU KEMBAR yang berisikan tentang kisah Hanoman yang sedang menaiki puncak gunung sambil bermain bintang dilangit, kemudian dewa marah lalu pindahkannya puncak gunung dan kemudian runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar.

Selain kisah pewayangan juga terdapat situs yang memiliki kaitannya dengan ANGLING DHARMA di sekitar lereng pegunungan Kendeng Sukolilo, kemudian ada GUA JOLOTUNDO yang memiliki korelasi dengan kisah Laut Selatan Jawa. Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam SYEH JANGKUNG yang dianggap sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat lokal di wilayah Pati.

Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih diyakini oleh para penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya, hal ini terlihat masih banyak peziarah atau para pengunjung yang datang sebagai bagian dari bentuk kesadaran kultural dan spiritualitas. Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di wilayah pegunungan Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo Pati, hal ini terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjungan yang hadir di beberapa situs Watu Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah Demak, Jepara, dan sekitarnya.

Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material pada wilayah pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses antara yang natural dengan yang kultural, mitologi lokal ini memang berasal dari tradisi tutur (lisan) yang memiliki kekuatan identitas bagi banyak entitas masyarakat. Dalam prespektif ekologi sosial, MITOLOGI LOKAL TERSEBUT MEREDUKSI ALAM MENJADI BAHASA MASYARAKAT (KEBUDAYAAN) YANG BERBASIS LOKALITAS. SEHINGGA MENJADIKAN LINGKUNGAN (PEGUNUNGAN) BUKAN SAJA MEMILIKI KEKUATAN EKOLOGI PERTANIAN (MATA PENCAHARIAN), NAMUN JUGA TERDAPAT KEKUATAN BUDAYA YANG MENYATU DENGAN KEHIDUPAN MASYARAKAT.

Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti “Sahabat Sikep” adalah kelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Samin. Komunitas masyarakat yang disebut Sedulur Sikep ini terbanyak ditemukan di daerah daerah dan kota antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
@@@@@

SAMIN SUROSENTIKO adalah pencetus gerakan sosial ini. Dia lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826. Samin wafat dalam pengasingan (ia diasingkan oleh Belanda) di kota Padang, Sumatra Barat pada tahun 1914.

Kyai Samin sejak dini gemar bertapa brata, prihatin, suka mengalah dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas banyaknya nasib rakyat yang sengsara akibat kebijakan Belanda melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “SAMI-SAMI AMIN” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika dia melakukan langkah yang berani untuk membiayai masyarakat miskin dengan caranya sendiri.

Bisa disimpulkan, gerakan sosial ini muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Komunitas Sedulur Sikep memiliki tiga unsur gerakan; PERTAMA, gerakan mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; Kedua, gerakan tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan KETIGA, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci.

Menurut Sejarahwan Sartono Kartodirjo, Gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.

Pengikut gerakan sosial Samin awalnya memegang lima prinsip perjuangan untuk meneguhkan identitas melawan kolonial: TIDAK BERSEKOLAH (sekolah kolonial), TIDAK MEMAKAI PECI, TAPI MEMAKAI “IKET”, YAITU SEMACAM KAIN YANG DIIKATKAN DI KEPALA MIRIP ORANG JAWA DAHULU, TIDAK BERPOLIGAMI, TIDAK MEMAKAI CELANA PANJANG, DAN HANYA PAKAI CELANA SELUTUT, TIDAK BERDAGANG DAN PENOLAKAN TERHADAP KAPITALISME. Seiring dengan perubahan jaman, lima prinsip ini mengalami penyesuaian, seperti saat ini warga memiliki kesadaran untuk menuntut ilmu dengan sekolah yang setinggi-tingginya.

Pandangan hidup Samin bersumber dari berbagai keyakinan seperti Hidhu-Dharma dan Syiwa-Budha. Juga dipengaruhi oleh ajaran Islam yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa yaitu Ki Ageng Pengging sehingga mereka merupakan bagian masyarakat yang berbudaya tinggi dan religius.

Daerah persebaran ajaran Komunitas Samin diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan) dan lainnya. Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah GERAKAN MEDITASI DAN MENGERAHKAN KEKUATAN BATINIAH GUNA MENGUASAI HAWA NAFSU.

Pandangan Sedulur Sikep terhadap para leluhur yaitu Kyai Samin moksa ke kaswargan. Pada momentum perayaan upacara mauludan juga ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat berpegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga.

Bahasa yang digunakan oleh para Sedulur Sikep yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa Jawi Ngoko. Mereka memiliki kepribadian yang polos dan jujur, selalu menyuguhkan makanan dan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan mereka terhadap ritus perkawinan sangat unik. Para Sedulur Sikep menganggap bahwa dengan melalui ritus perkawinan, mereka dapat belajar ILMU KASUNYATAN yang selalu menekankan pada dalih KEMANUSIAAN, RASA SOSIAL DAN KEKELUARGAAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL.

Ritus perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” atau anak yang mulia. Pengantin pria mengucapkan kalimat: “Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa hal yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi. Perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

“SAHA MALIH DADYA GARAN, (Maka yang dijadikan pedoman), ANGGEGULANG GELUNGANING PEMBUDI, (untuk melatih budi yang ditata), PALAKRAMA NGUWOH MANGUN, (pernikahan yang berhasilkan bentuk), MEMANGUN TRAPING WIDYA (membangun penerapan ilmu), KASAMPAR KASANDHUNG DUGI PRAYOGÂNTUK, (terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai), AMBUDYA ATMAJA ‘TAMA (bercita-cita menjadi anak yang mulia), MUGI-MUGI DADI KANTHI (mudah-mudahan menjadi tuntunan).
Kemajuan harus berorientasi pada PROSES yang memakan waktu, tidak serta merta berorientasi pada HASIL. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.

Kepercayaan dan tata cara hidup juga mengalami perkembangan. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan gerakan sosial yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tata cara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.

Beberapa pandangan hidup Komunitas Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Gerakan sosial Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan kolonialisme, tiada dominasi dunia barat. Ajaran politiknya yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.

Referensi gerakan sosial Samin yang menjadi panduan perilaku adalah SERAT JAMUS KALIMASADA yang terdiri atas beberapa buku, antara lain SERAT PUNJER KAWITAN, SERAT PIKUKUH KASAJATEN, SERAT URI-URI PAMBUDI, SERAT JATI SAWIT, SERAT LAMPAHING URIP, dan merupakan nama-nama serat yang diugemi.
Dengan mempedomani kitab itulah, gerakan sosial/sikap Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap DRENGKI SREI, TUKAR PADU, DAHPEN KEMEREN. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah “LAKONANA SABAR TROKAL. SABARE DIELING-ELING. TROKALI DILAKONI.”
@@@@

Menurut Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya THE SAMIN MOVEMENT (1960), ajaran Samin tumbuh tahun 1890-an dan berakar di Randublatung, sebuah kota kecamatan kecil yang dikelilingi lebat hutan jati 25 kilometer sebelah tenggara kota Blora. Pengikut Samin meyakini bahwa jauh sebelum kedatangan orang-orang asing, dari Cina, India, Arab dan Eropa, dengan membawa ajaran agama masing-masing, di Jawa sudah terdapat agama tersendiri. “Ya agama Jawa itu. Agama Adam,” ujar Mbah Karmidi menerangkan.

Keyakinan ini menekankan perlunya dua nilai utama dalam kehidupan, yakni kejujuran dan kebenaran. Inti ajaran Samin yang mengatur tata laku keseharian diabstraksikan dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup) yang mencakup “ANGGER-ANGGER PRATIKEL” (hukum tindak tanduk), “ANGGER-ANGGER PENGUCAP“ (hukum berbicara), serta “ANGGER-ANGGER LAKONANA” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan). Hukum yang pertama berbunyi “AJA DENGKI SREI, TUKAR PADU, DAHPEN KEMEREN, AJA KUTIL JUMPUT, MBEDOG COLONG.” Maksudnya, warga dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “PANGUCAP SAKA LIMA BUNDHELANE ANA PITU LAN PENGUCAP SAKA SANGA BUNDHELANE ANA PITU.” Maknanya, orang harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain yang mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna. Hukum yang paling akhir berbunyi “LAKONANA SABAR TROKAL. SABARE DIELING-ELING. TROKALE DILAKONI.” Warga senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup”.

Adapun yang menarik ialah logika berpikir yang bisa terlihat dari pemaknaan bahasanya. Misalnya pengikut gerakan Samin ditanya “umur kakek berapa?” Ia akan menjawab “Satu untuk selamanya”. Artinya umur manusia itu satu. Umur adalah hidup dan hidup adalah nyawa. Manusia hanya punya satu umur dan nyawa. Juga dalam tradisi bertamu, mereka tidak mengenal kata MONGGO (kata yang mempersilahkan tamu untuk duduk atau masuk), karena menurutnya mereka jika SESEORANG INGIN DUDUK, YAH DUDUK SAJA. Juga tidak tak perlu menyatakan terimakasih (matur nuwun dalam bahasa Jawanya) karena pihak pemberi memberikan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri, bukan berdasarkan permintaan dari seseorang lainnya.

LOGIKA PEMAKNAAN BAHASA YANG LUGAS INILAH YANG MEMBAWA GERAKAN SOSIAL INI MENJADI SEBENTUK PERLAWANAN PADA KESEWANG-WENANGAN. Sebagai contoh seorang aparat desa di masa tahun 1900-an meminta agar warga membayar pajak sewa tanah yang digarapnya. Lalu warga menggali tanahnya serta memasukkan uang ke lubang dan menutupnya. “mengapa kamu menguburkan uang di dalam tanah?” tanya aparat desa itu. Para pengikut Samin itu menjawab “tanah itu milik bumi, jadi saya harus bayar sewa tanah pada bumi, bukan pada penjajah”.

Seorang wartawan yang berkunjung ke Rembang pada Desember 1914 (dalam Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya THE SAMIN MOVEMENT), mencatat peristiwa seorang patih yang sedang memeriksa seorang Samin di pengadilan karena dirinya tak mau membayar pajak.
+ “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara”
- saya tak hutang kepada negara”
+ “Tapi kamu mesti bayar pajak.”
- “Wong Sikep (warga pengikut Samin) tak kenal pajak
+ “Apa kamu gila atau pura-pura gila? “
- “Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila”
+ “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
- Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”
+ Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup uang, tak mungkin merawat jalan-jalan dengan baik.”
- “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu menganggu kami, kami akan membetulkannya sendiri.”
+ Jadi kamu tak mau bayar pajak?”
- Wong Sikep tak kenal pajak.”

Mencermati sejarah gerakan para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini, rakyat Indonesia harusnya berguru kepada mereka. Ternyata BAHASA mampu menjadi alat untuk melakukan sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih baik. CARA-CARA YANG SANTUN TANPA KEKERASAN dalam berjuang ini mengingatkan kita pada gerakan sosial Mahatma Gandhi di India yang fenomenal itu. SEMOGA SAUDARA SEDULUR SIKEP SELALU DIBERIKAN KEKUATAN OLEH TUHAN UNTUK TETAP MENGEMBANGKAN MODEL PERJUANGAN YANG SANTUN, SALING ASAH ASIH DAN ASUH YANG TELAH DICONTOHKAN PARA PENDAHULU MEREKA YANG KINI TELAH MOKSA.

Wong Alus
–Artikel ini hasil interpretasi yang bersumber dari literatur-literatur skunder. Monggo dikoreksi bersama bila salah dan mohon maaf bila kurang berkenan.

Retrieved from: http://wongalus.wordpress.com/2009/06/28/komunitas-samin-perintis-siasat-perlawanan-tanpa-kekerasan-orisinil-khas-indonesia/