Tuesday, August 14, 2012

Budaya nyadran dalam proses adat Islam Jawa

Judul :     Budaya nyadran dalam proses adat Islam Jawa
Pengarang :     Khoiriyah
Sumber :     At-Tarbawi : kajian kependidikan Islam
Penerbit :     Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta Jurusan Tarbiyan
Kode Panggil :     297.7705 Tar
Tahun Terbit Artikel:     2008
Volume :     7
No :     1
Halaman :     131-137
Kata Kunci :     Islam and culture; Rites and ceremonies; Javanese (Indonesian people)
Sari :    
Abstrak :     This article is to examine the collaboration event between Javanese and Islamic culture that is Nyadran. Nyadran is a part of selamatan (celebrations). Selamatan is a main ceremony in Javanese rituals. It is also a symbol of social mystics which is held in houses attended by the family members, neighbors and relatives who live in cities. The ritual is led by a modin (a ritual Javanese community leader).

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=26325&idc=1

Monday, August 13, 2012

Tahlilan dalam perspektif sosiologis

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=39107&idc=1
Judul : Tahlilan dalam perspektif sosiologis
Pengarang : Yanani Djamaluddin
Sumber : Realita : jurnal ilmu sosial
Penerbit : Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Ponorogo
Kode Panggil : 300.5 Rea
Tahun Terbit Artikel: 2005
Volume : 1
No : 2
Halaman : 62-76
Kata Kunci : Faith; Islamic law; Sociology
Sari : Tahlilan sebagai aktivitas mengenang almarhum keluarga yang telah meninggal merupakan hasil sinkritisme antara agama Islam dengan agama pribumi asli Indonesia. Dalam tradisi Jawa tahlilan dikenal sebagai selamatan. Ada dua kelompok dalam masyarakat Muslim terhadap tahlilan, yaitu kelompok pro dan kontra yang keduanya mewakili tradisi hukum dalam Islam. Kelompok pro mewakili aliran yang mendasarkan pada kemaslahatan atau ijtihat, sedangkan kelompok kontra mewakili aliran yang mendasarkan pada nas. Menurut Druskheim masyarakat merupakan fungsi dari agama. Pendekatan structural fungsional ini melihat dari tinggi rendahnya integrasi kohesi serta sangsi-sangsi moral yang mewarnai kehidupan keagamaan. Gejala-gejala semakin meningkatnya kelompok kontra sebagai pertanda defungsionalisasi tahlilan dalam masyarakat. Karena bacaan-bacaan tahlilan berfungsi membentengi dan meningkatkan kualitas rohani pembacanya maka semakin tinggi bacaan dilakukan semakin tinggi emosi dan ghirah spiritual keagamaannya. Karenanya bila tingkat emosi dan ghirah spiritualnya rendah kebiasaan tahlilan semakin defungsional. Ditinjau dari segi materinya unsur bacaan merupakan mutiara yang berguna untuk menjaga kerokhanian sedangkan unsur sedekahnya sebagai perekat integrasi kohesi sosial. Karenanya sebenarnya, tahlilan merupakan tradisi yang bermanfaat dipertahankan. Agar dapat berfungsi kembali tahlilan perlu direnovasi karena dalam bidang meamalah dan inovasi sangat terbuka.

Sunday, August 12, 2012

Dinamika pemikiran Islam Warok Ponorogo

Judul :     Dinamika pemikiran Islam Warok Ponorogo
Pengarang :     Rido Kurnianto; Nurul Iman
Sumber :     Jurnal fenomena
Penerbit :     Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Kode Panggil :     300.5 Jur f
Tahun Terbit Artikel:     2009
Volume :     6
No :     1
Halaman :     1-18
Kata Kunci :     Dawah (Islam); Traditional music
Sari :     Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan penelitian tentang dinamika pemikiran Islam warok Ponorogo. Aspek ini menarik untuk diteliti, mengingat warok Ponorogo yang dikenal selama ini, seolah tidak mungkin untuk melakukan karya di bidang pemikiran Islam. Bahkan yang berkembang selama ini, warok selalu akrab dengan pencitraan sosok negatif disebabkan bayang-bayang sisi gelap kehidupannya, berkaitan dengan sikap jumawah dan penyimpangan seksual. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dinamika pemikiran Islam warok Ponorogo. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dua tipologi pemikiran Islam yang diwakili oleh Kiai Mashum melalui seni reyog dan Kiai Syukri melalui warok kanuragan berdampak secara signifikan terhadap pengembangan seni reyog pada satu sisi, dan peningkatan keberagamaan warok kanuragan pada sisi yang lain. Dari hasil penelitian ini ditemukan masalah penelitian baru, yakni berkembangnya pola Islamisasi di kalangan warok kanuragan terkait dengan peningkatan kualitas keberagamaan di kalangan konco reyog dan warok Ponorogo secara umum.

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=56135&idc=1

Saturday, August 11, 2012

Merunut identitas Islam Indonesia: kajian historiografi menurut ulama kontemporer Yogyakarta, perspektif Muhammadiyah, NU, HTI, dan MMI

Judul :     Merunut identitas Islam Indonesia: kajian historiografi menurut ulama kontemporer Yogyakarta, perspektif Muhammadiyah, NU, HTI, dan MMI
Pengarang :    
Sumber :     Penagama : jurnal penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu agama
Penerbit :     Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Lembaga Penelitian
Kode Panggil :     297.05 Jur p
Tahun Terbit Artikel:     2008
Volume :     17
No :     3
Halaman :     586-606
Kata Kunci :     Islamic sects; Nahdlatul ulama; Hizbut Tahir Indonesia; Muhammadiyah; Indonesia
Sari :    
Abstrak :     Self identification is a preliminary phase of the process of birth the historical consciousness of mankind, it is an attempt to understand by critical perspective about the self. The important of this discussion is, not only to answer the question about what the meaning of identity, but also to think about how to gain anything beside the meaning of identities. The subject matter of this research was the opinion and the perception about "The Identity of Indonesian Islam" according to Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), and Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) in Jogjakarta. This research is the qualitative research that was trying to present the discussion that hope will be create a critique consciousness, it was not a reactive consciousness that appeared to face the external context but the creative consciousness that developed in the basis of autonomic independent thought. By the Derrida's- deconstruction and oral history method this discussion was trying to pursue the identities that adhered to the Moslem organizations in Indonesia according to how do they talked about themselves. The result found from this research are, firstly, it was not equal perception to the subject. Muhammadiyah and NU accepted the subject as the critical discourse, but HTI and MMI rejected the subject as a neutral discourse because that was created by American or the colonial perception, like moderate Islam, modern Islam, humanist Islam, tolerant Islam etc. as represented of "Indonesian Islam identity H. Secondly, According to Muhammadiyah and NU, it was more important to expose the Indonesian identity than the Islam identity ones. but to HTI and MMI, the Islam identity was more important to expose than ones.

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=68874&idc=1

Friday, August 10, 2012

Transformasi aliran dan paham keagamaan: kasus Amanat Keagungan Ilahi (AKI) Kurnia Wahyu ke majelis dzikir dan shalawatan

Judul :     Transformasi aliran dan paham keagamaan: kasus Amanat Keagungan Ilahi (AKI) Kurnia Wahyu ke majelis dzikir dan shalawatan
Pengarang :     M. Yusuf Asry
Sumber :     Harmoni : jurnal multikultural multireligius
Penerbit :     Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
Kode Panggil :     200.5 Har
Tahun Terbit Artikel:     2009
Volume :     8
No :     31
Halaman :     63-80
Kata Kunci :     Islamic sects; Transformations; Beliefs; Jawa Barat
Sari :    
Abstrak :     This research explores a religious group appeared in the beginning of 2009 called Amanat Keagungan Ilahi that had developed in West Java. This paper does not only present its figures and beliefs, but also describe the activities, society response, goverment policy, and the transformation of the belief. An interesting finding is that there is transformation process of a religious belief undertaken by the Majelis Shalawatan and Dzikir taken care by Kurnia Wahyu (previoulsy named Nagrak), using a term 2009 paradigm. The transformation triggers adaptation in the scope of activities, amalan dzikir, and a statement proves that there is no correlation between AKI and other beliefs which have been banned.

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=69852&idc=1

Thursday, August 9, 2012

Aliran Al Haq (Al-Quran Suci) di Bandung

Judul :     Aliran Al Haq (Al-Quran Suci) di Bandung
Pengarang :     Muchtar
Sumber :     Harmoni : jurnal multikultural multireligius
Penerbit :     Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
Kode Panggil :     200.5 Har
Tahun Terbit Artikel:     2009
Volume :     8
No :     31
Halaman :     155-171
Kata Kunci :     Islamic sects; Conflicts; Bandung
Sari :    
Abstrak :     The aim of this research is to describe a certain religious group that has been established since 1997 and might bring potential conflicts against the Islamic community. That teaching is called al-Haq or al-Quran Suci (Holy al-Quran). Despite the fact that it has been expanding in many locations in Indonesia, this research is focused in Bandung. The writer has broadly assessed this group; which is considered a deviation. The assessment consists of propagational background, main figures, religious belief that has been taught, organizational form, organizational network, fund resource, member recruitment, supporting society and its development. It indicates that this perspective has created fear within the society and considered to be deviated from Islam.

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=69858&idc=1

Wednesday, August 8, 2012

Kepercayaan tradisional Arat Sabulungan dan penghapusannya di Mentawai


Judul :     Kepercayaan tradisional Arat Sabulungan dan penghapusannya di Mentawai
Pengarang :     Mulhadi
Sumber :     Equality : jurnal hukum
Penerbit :     Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum
Kode Panggil :     340.05 Equ
Tahun Terbit Artikel:     2008
Volume :     13
No :     1
Halaman :     50-65
Kata Kunci :     Religion; Sects; Mentawai
Sari :    
Abstrak :     For the people of Mentawai, Arat Sabulungan is a system of knowledge, value and norm to understand their environment. On the other side, Arat Sabulungan is a form of religious system that to believe supernatural like spirit, in the sky, earth, land, forest, water, or in the tree. Actually Arat Sabulungan is different with a religion and it is not from the religion that exist in Indonesia. It is more like an animism. Arat Sabulungan then has made a problem so that government has stopped it. It is interest to know how Arat Sabulungan in Mentawai has begun and stopped.

Available at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=70441&idc=1

Tuesday, August 7, 2012

LDII Memang Islam Jamaah

  1. Ada foto yang nyata komplit yaitu berkumpulnya imam Islam Jama’ah dan wakilnya bersama ketua umum LDII dan Sekjennya. Sedang tempatnya pun di pusat pesantren Islam Jam’ah atau dikenal juga pesantren LDII di Burengan Kediri. Foto itu tanggal 3 Oktober 2009. Jadi sudah beberapa tahun setelah LDII mengaku apa yang mereka sebut paradigma baru. Tetapi kenyataannya ya begitu, kumpul antara petinggi Islam Jamaah dan petinggi LDII. Bahkan wakil imam Islam Jama’ah Ksmd adalah petinggi pula di LDII. (lihat foto).
  2. Ada hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengemabngan Kementerian Agama RI 2010, yang penelitinya menyatakan dengan tegas kepada Majalah Hidayatullah:   “LDII memang Islam Jamaah.” (( Suara Hidayatullah Agustus 2011 Ramadhan 1432 Halaman 24 – 26)
  3.  Ada teks larangan Islam Jama’ah dengan nama apapun. Teks larangan itu dari Jakasa Agung tahun 1971. Yaitu Surat Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-089/D.A./10/1971 tentang: Pelarangan terhadap Aliran- Aliran Darul Hadits, Djama’ah jang bersifat/ beradjaran serupa.
***
Berita tentang hasil penelitian Balitbang Kementerian Agama bahwa LDII memang Islam Jama’ah, ringkasannya sebagai berikut
Mazmur memutuskan untuk menyusup ke pondok LDII Burengan, Kediri. Atas bantuan orang dalam, dia bisa menginap selama tiga hari di sana. Mazmur berada di pondok Burengan pada 16-19 april 2010, bertepatan dengan khatam Sunan Ibnu Majah jilid 2.
Dari para penceramah LDII tersebut, Mazmur mendapatkan bahwa LDII memang kelanjutan dari ajaran Nurhasan, yakni Islam Jamaah. Muzmur juga sempat menyaksikan pembacaan hadits oleh Amir LDII/Islam Jamaah, Sultan Aulia. “LDII memang Islam Jamaah,” kata Mazmur kepada suara Hidayatullah.
***
Teks beritanya sebagai berikut:
LDII = Islam Jamaah?
Menyusul deklarasi paradigma baru LDII pada tahun 2007 lalu, pusat penelitian kehidupan beragama kementrian agama RI berinisiatif melakukan penelitian ke delapan kota. Diantaranya Makasar, Nganjuk, Karawang, Jakarta Timur, Palembang, Jombang, Tasik Malaya dan Kalimantan Selatan.
Penelitian tersebut rampung pada tahun 2009. pihak Kemenag tidak pernah mempublikasikan penelitian tersebut, namun Suara Hidayatullah mendapat salinan hasil penelitian tersebut.
Kesimpulannya, LDII telah melakukan perubahan dalam berinteraksi dengan pihak diluar jamahnya. Meski demikian, puslitbang mencatat, LDII masih cenderung tertutup ketika ditanya masalah keimaman, jamaah,amir ataupun baiat. Terlebih jika ditanya masalah Nurhasan.
Hal ini dikatan seorang mantan peneliti puslitbang, Mazmur Sya’roni.
Katanya, saat melakukan penelitian di Gading Mangu, Jombang, dia mendapati masjid LDII dinamakan dengan Luhur Nurhasan. “ tapi ketika mereka ditanya siapa Nurhasan, mereka menjawab tidak tahu,atau, alasannya, ‘saya orang baru’,” kata Mazmur menjelaskan.
Oleh karena itu Mazmur memutuskan untuk menyusup ke pondok LDII Burengan, Kediri. Atas bantuan orang dalam, dia bisa menginap selama tiga hari di sana. Mazmur berada di pondok Burengan pada 16-19 april 2010, bertepatan dengan khatam Sunan Ibnu Majah jilid 2.
Dari para penceramah LDII tersebut, Mazmur mendapatkan bahwa LDII memang kelanjutan dari ajaran Nurhasan, yakni Islam Jamaah. Muzmur juga sempat menyaksikan pembacaan hadits oleh Amir LDII/Islam Jamaah, Sultan Aulia. “LDII memang Islam Jamaah,” kata Mazmur kepada suara Hidayatullah.
Menurut seorang sumber di Puslitbang, Mazmur memang melakukan penelitian tersendiri ke LDII di Kediri, Namun, katanya, pihak puslitbang tidak berani menyebarkan hasil penelitian tersebut. “tekanannya besar, mas,” kata sumber tersebut.
( Suara Hidayatullah Agustus 2011 Ramadhan 1432 Halaman 24 – 26)
***
Keluar dari LDII dinyatakan murtad.
Keluar dari LDII dinyatakan murtad. Inilah kenyataan tapi dikilahi pula oleh pemimpin LDII. Sebuah pertanyaan yang diajukan Majalah Hidayatullah kepada petinggi LDII berikut ini menunjukkan bahwa sudah terbukti pun masih dikilahi.
Inilah satu petikannya:
Pengurus LDII bernama Toyyibun berceramah dan mengatakan orang yang keluar dari LDII adalah murtad
Pertanyaan Majalah Hidayatullah: Bagaimana dengan temuan seorang peneliti Balitbang Kemenag RI tahun 2010 yang menyusup ke Ponpes pusat LDII Burengan Kediri, lalu mendapati pengurus LDII bernama Toyyibun berceramah dan mengatakan orang yang keluar dari LDII adalah murtad?
Jawaban Abdullah Syam Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat LDII:         Itu kata-kata oknum, sih, ya,ya. Kalo menurut saya itu tidak benar. Orang kalau murtad itu kan keluar dari Islam. Tapi cara pandang oknum per oknum susah, pak. Menurut saya sebagai pimpinan organisasi, harusnya garisnya sesuai kebijakan yang sudah digariskan organisasi.
(Suara Hidayatullah Halaman 27 Edisi Agustus 2011/ Ramadhan 1432).
***
Kalau jawaban pemimpin tertinggi LDII seperti itu, padahal pernyataan murtad itu adalah masalah besar, sedang yang berkata itu juga orang penting di LDII dan berkatanya itu di Ponpes pusat Islam Jamaah/ LDII Burengan Kediri, kenapa dibiarkan saja?
Ada dua kemungkinan. Petinggi LDII ini sedang mengamalkan ajaran Islam Jama’ah yang namanya bithonah, apa yang dianggap rahasia di kalangan mereka bagaimanapun tidak boleh diungkap. Kalau diungkap akan berbahaya menurut mereka. Karena sudah ketahuan secara penelitian nyata bahkan dari lembaga resmi Balitbang Kementerian Agama, maka harus dikilahi. Kemungkinan kedua, petinggi LDII itu masih mengakui bahwa Islam adalah seperti yang dia katakan itu (Orang kalau murtad itu kan keluar dari Islam). Tetapi sebagai petinggi LDII perlu berkata begitu. Karena antara Islam dan LDII harus dia perankan, walau  harus bersikap seperti itu.
Sikap petingginya seperti itu, maka tidak mengherankan, kasus tipuan bisnis Maryoso di kalangan LDII yang konon menipu hampir 11 triliyun rupiah masih berlarut-larut, karena kemungkinan melibatkan para petinggi yang memang pandai berkilah. Tetapi tidak semua persoalan dapat dikilahi. Kalau toh di dunia mereka bisa berkilah, di alam kubur dan lebih-lebih di akherat sama sekali tidak akan mereka bisa berkilah. Percaya atau tidak terhadap akherat, tetap saja akan berlaku.
Masalah tipuan bisnis Maryoso di kalangan LDII dapat dibaca di buku terbitan LPPI Jakarta berjudul Akar Kesesatan LDII dan Penipuan Triliunan Rupiah. Di antara korban yang menanggung utang miliaran karena kasus penipuan bisnis Maryoso di LDII, dapat dibaca di nahimunkar.com dalam judul Keluar dari Kubangan Sesat Jamaah Galipat Burengan Kediri (http://nahimunkar.com/keluar-dari-kubangan-sesat-jamaah-galipat-burengan-kediri/)
***
Teks Pelarangan Islam Jama’ah dengan nama apapun
Pelarangan Islam Jama’ah dengan nama apapun dari Jaksa Agung tahun 1971, teksnya sebagai berikut: 
Surat Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-089/D.A./10/1971 tentang: Pelarangan terhadap Aliran- Aliran Darul Hadits, Djama’ah jang bersifat/ beradjaran serupa.
Menetapkan:
Pertama: Melarang aliran Darul Hadits, Djama’ah Qur’an Hadits, Islam Djama’ah, Jajasan Pendidikan Islam Djama’ah (JPID), Jajasan Pondok Peantren Nasional (JAPPENAS), dan aliran-aliran lainnya yang mempunyai sifat dan mempunjai adjaran jang serupa itu di seluruh wilajah Indonesia.
Kedua: Melarang semua adjaran aliran-aliran tersebut pada bab pertama dalam keputusan ini jang bertentangan dengan/ menodai adjaran-adjaran Agama.
Ketiga: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan:
Djakarta pada tanggal: 29 Oktober 1971,
Djaksa Agung R.I.
tjap.
Ttd (Soegih Arto).
http://nahimunkar.com/aliran-sesat-ldii-semakin-berani-ma%E2%80%99ruf-amin-dan-jusuf-kalla-perlu-waspada/
Retrieved from: http://nahimunkar.com/7896/ldii-memang-islam-jamaah/

Monday, August 6, 2012

Jamaah Tabligh, Islam Jama'ah dan Cukur Jenggot

JAMA'AH TABLIGH DAN ISLAM JAMA'AH
SERTA HUKUM MEMAKAI JENGGOT

Penanya:
Ahmad Riyadhi BS,
Jl. S. Cendana No. 100 Singkang Sumatera Selatan


Pertanyaan:

1.      Kelompok Jama‘ah Tabligh dan Islam Jama‘ah, apakah termasuk sesat? Sampai dimana pengertian sesat menurut Islam?
2.      Hukum memakai jenggot apakah dalilnya kuat?


Jawaban:

1.      Sesat yang saudara tanyakan mungkin sama pengertiannya dengan kata “adh-dhalalah” yang terdapat dalam al-Qur’an. Kata adh-dhalalah dengan segala bentuk perubahan katanya di dalam al-Qur’an terdapat lebih kurang pada 191 tempat dengan arti yang bervariasi. Namun dapat disimpulkan bahwa perbuatan adh-dhalalah itu berpangkal pada sifat munafik yang diterangkan mulai ayat 8 sampai dengan ayat 20 surat al-Baqarah.
Disebutkan bahwa orang munafik itu adalah orang pendusta (ayat 8, 11, 12, dan 13), penipu Allah dan orang yang beriman (ayat 9), hatinya berpenyakit (ayat 10), pengkhianat (ayat 14), orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk (ayat 16). Ayat-ayat 17, 18, 19, dan 20 menggambarkan dengan perumpamaan keadaan orang-orang munafik.
Musthafa al-Maraghi dalam kitab Tafsir al-Maraghi menafsirkan adh-dhalalah dengan semacam perbuatan memahami al-Qur’an tanpa menggunakan akal karena akal itu telah dipengaruhi oleh tradisi dan taklid. Dengan dasar tradisi dan taklid itu mereka menukar petunjuk dengan kesesatan, sehingga terjadilah bid‘ah (menyatakan suatu perkataan atau perbuatan berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah, padahal tidak terdapat di dalamnya). Nabi Muhammad saw menerangkan tanda-tanda munafik, sebagaimana dinyatakan oleh hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَ اؤتُمِنَ خَانَ. [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw berkata: Tanda-tanda munafik itu tiga macam, apabila berkata dusta, dan apabila berjanji tidak menepati, dan apabila dipercaya khianat.” [Muttafaq ‘alaih].
Pada beberapa ayat al-Qur’an disebutkan bentuk perbuatan munafik itu, yaitu syirik (2: 108 dan lain-lain), kufur (4:116, 136; 5: 12; dan lain-lain), perbuatan merugikan diri sendiri (2: 27; 7: 53; dan lain-lain), suka mengada-ada suatu yang tidak ada (6: 24; 7: 33; 10: 30; 28: 75; 33: 36; dan lain-lain), suka memperturutkan hawa nafsu (5: 77; 6: 57; dan lain-lain), menghalang-halangi orang di jalan Allah (47: 1 dan lain-lain), dan putus asa dari rahmat Allah (15: 56 dan lain-lain).
Di antara perbuatan munafik yang diancam dengan siksa neraka ialah perbuatan bid‘ah, berdasarkan hadits-hadits:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُكَذِّبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارُ. [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: berkata Nabi saw: Jangan kamu berdusta (dengan mengatakan sesuatu) atas namaku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atas namaku tentu akan masuk neraka.” [Muttafaq ‘alaih].
عَنْ اْلمُغِيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبِ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ. [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari al-Muqhirah, ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sama dengan berdusta atas nama seseorang. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” [Muttafaq ‘alaih].
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok Jama‘ah Tabligh dan Islam Jama‘ah tersebut dikatakan sesat apabila mereka melakukan bid‘ah. Untuk hal ini diperlukan penelitian terhadap pendapat dan cara-cara ibadah yang mereka lakukan, apakah masih sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya atau telah menyimpang. Jika telah menyimpang barulah mereka dikatakan sesat.

2.      Tentang memanjangkan jenggot (tidak mencukurnya) dan memendekkan kumis, ada dasarnya, yaitu hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ. [رواه البخاري].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Nabi saw beliau bersabda: bedakanlah dirimi dengan orang-orang musyrik dan (untuk itu) panjangkanlah jenggotmu dan pendekkanlah kumismu.” [HR. al-Bukhari].
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa yang diperintahkan Rasulullah saw itu ialah agar kaum muslimin mempunyai kepribadian, jangan sekali-kali meniru-niru orang musyrik, orang Yahudi, orang Nashara, dan sebagainya dengan berbagai cara, di antaranya ialah memanjangkan jenggot dan memendekkan kumis. Perintah Nabi saw di atas senada dengan hadits:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ. [رواه البخاري].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi saw bersabda: Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mencat rambutnya, maka bedakanlah dengan mereka (dengan mencat rambutmu).” [HR. al-Bukhari].
Hadits di atas menyebutkan cara lain untuk membedakan diri dengan orang-orang Yahudi dan Nashara. Mereka tidak mencat rambut mereka dengan membiarkan uban di kepala mereka dan salah satu cara untuk membedakan kamu dengan mereka ialah dengan cara mencat atau menyemir rambutmu.
Menurut Yusuf al-Qardlawi dalam bukunya “al-Halal wal-Haram”, bahwa perintah untuk membedakan diri dengan orang Yahudi dan Nashrani bukanlah perintah wajib, hukumnya hanyalah sunat. Tujuannya ialah untuk mendidik dan membina kepribadian kaum muslimin dengan berbagai cara yang dibolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bukan berarti kita harus menjauhi mereka. Kadang-kadang dalam beberapa hal kita perlu meniru mereka seperti kedisiplinan dan kesungguhan mereka dalam bekerja dan sebagainya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, bukanlah suatu keharusan dalam agama. Seseorang boleh saja melakukannya seandainya hal itu merupakan salah satu cara untuk menyatakan identitasnya. Kelompok Jama‘ah Tabligh dan Islam Jama‘ah itu belum dapat dikategorikan golongan yang sesat, kecuali jika ada hal-hal lain yang mereka lakukan yang berlawanan dengan rukun Islam dan rukun Iman, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. *km)

Retrieved from: http://www.fatwatarjih.com/2011/10/jamaah-tabligh-islam-jamaah-dan-cukur.html

Sunday, August 5, 2012

Islam Jamaah

Islam Jamaah
(LDII = Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
Islam jamaah adalah sebuah aliran atau lembaga kemasyarakatan yang bernaung di bawah pimpinan seorang amir atau imam, yang sekaligus berfungsi sebagai sumber ajaran (syariat) bagi masyarakat yang dipimpinnya sesuai kepercayaan yang dianut, dan seorang imam atau amir mempunyai otoritas yang absolut. Dalam struktur keorganisasiannya, seorang imam atau amir merupakan penguasa tunggal, yang dalam menjalankan tugas keamirannya dibantu oleh para pembantunya, di antaranya wakil imam, baik yang berada di pusat maupun di daerah atau perwakilan-perwakilan yang ada di luar negeri.

Berdirinya Islam Jamaah
Islam Jamaah berdiri pada tahun 1951 M di Kediri Jawa Timur, Indonesia setelah pemimpinnya, Nur Hasan Al-Ubaidillah Lubis yang mempunyai nama asli Madigol, dibai’at oleh keluarganya untuk menjadi imam kelompok jamaah tersebut. Madigol dibai’at oleh H. Nur Asnawi, adik iparnya yang saat itu menja bat sebagai kepala Desa Bangil, Kecamatan Porwosari, Kediri, Jawa Timur dan H. Sanusi, saudara kandung Madigol. Setelah dibaiat atau dibabtis, Madigol resmi menjadi amir atau imam Islam Jamaah dan memulai aktivitasnya untuk merekrut pengikut.


Awal Perkembangan Islam Jamaah
Pada mulanya Islam Jamaah yang dinahkodai oleh Madigol memulai penyebaran ajaran barunya yang dibuat sendiri ini dimulai dari Desa Burengan-Banjaran yang terletak di tengah-tengah kota Kediri, Jawa Timur, kemudian melebar ke Desa Gading Mangu-Perak Jombang, Jawa Timur dan juga di Desa Palem yang terletak di tengah kota Kertosono-Nganjuk, Jawa Timur. Bermula dari tiga tempat itulah akhirnya agama buatan Madigol ini berkembang ke berbagai daerah, wilayah, dan kota-kota besar di Indonesia dan bahkan ke luar negeri.

Nama-Nama Islam Jamaah
Munculnya ajaran baru yang dibawa oleh Madigol alias Nur Hasan al-Ubaidah Lubis Amir Haji membuat umat Islam merasa gerah, karena ajaran buatan Madigol ini sesat, menentang lingkungan, isi ajarannya di samping menyimpang jauh dari pemahaman Alquran dan hadis yang benar, sekalipun berkedok dengan Alquran hadist, juga mengafirkan setiap orang Islam di luar kelompoknya, menganggap najis setiap orang Islam dan lain sebagainya. Maka, agama baru yang dibawa Madigol ini di mana saja disebarkan, di sana menimbulkan permusuhan, perpecahan, dan bahkan perkelahian. Sebagai contoh, di Cicurug, Cimanggis, Bogor terjadi penggerebekan oleh masyarakat terhadap para aktifis Islam Jamaah yang menyebarkan ajaran sesat. Di Tegal terjadi bentrok fisik antara umat Islam dengan orang-orang Islam Jamaah. Karena ajaran Islam Jamaah itu menyimpang dari Alquran dan sunah yang benar tersebut, maka umat Islam tidak rela bila ajaran dan akidahnya diacak-acak oleh Dajal-Dajal pembo hong. Maka, untuk menyelamatkan misinya, Islam Jamaah selalu berganti-ganti nama, tidaklah heran bila aliran ini mempunyai banyak nama, di antaranya adalah seperti berikut.
  1. Yayasan Pondok Al-Jamaah, tahun 1967 di Kediri, Jawa Timur.
  2. Yayasan Pondok Pendidikan Nasional (YAPENAS), tahun 1967 di Jakarta.
  3. Jamaah Darul Hadits, tahun 1967 di Tanjung Karang.
  4. Islam Jamaah, tahun 1968 di Yogyakarta.
  5. Lembaga Pendidikan Ahlussunnah wal-Jamaah, 1968, di Lamongan, Jawa Timur.
  6. Gerakan Darul Hadis, tahun 1968 di Bogor, Jawa Barat.
  7. Jamaah Quran Hadis, tahun 1968 di Jawa Barat dan Biak, Irian Jaya.
  8. Yayasan Pendidikan Al-Qur'an Hadits (YAPOQOH), tahun 1969 di Palembang.
  9. Yayasan Al-Qur'an dan Sunnah, tahun 1969 di Malang.
  10. Yayasan Pendidikan Islam Jamaah (YPID), 1969 di Kediri, Jawa Timur.
  11. Yayasan Pendidikan Hidayah Sejati, tahun 1969 di Jawa Barat.
  12. Jamaah Islam Murni, tahun 1969 di Gunung Kidul, Yogyakarta.
  13. Jamaah Islam Mankul, tahun 1969 di Bantul, Yogyakarta.
  14. Islam Haqiqi, tahun 1969 di Jawa Barat.
      Berubah lagi menjadi LEMKARI. Perubahan menjadi nama ini untuk menampung bekas pengikut Islam Jamaah yang telah dibubarkan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan SK Jaksa Agung RI tanggal 29 Oktober 1971 Nomor KEP.089/D.A/10/1971. Pada Pemilu 1971 Islam Jamaah mendukung Golkar, partai politik terbesar di Indonesia saat itu. Kemudian terakhir berubah lagi menjadi LEMKARI yang berafiliasi ke Golkar pada saat itu Dengan demikian, organisasi ini merasa lebih aman berlindung di balik partai penguasa. Faktor dukungan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangannya. 16.  Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Ini merupakan nama baru dari LEMKARI. Perubahan ini diputuskan dalam kongres atau muktama LEMKARI tahun 1990. Pergantian LEMKARI menjadi LDII dimaksudkan untuk menghilangkan citra lama LEMKARI yang masih meneruskan ajaran agama baru Islam Jamaah yang telah dibubarkan dan dilarang bercokol di wilayah Indonesia, dan juga agar tidak tumpang tindih dengan LEMKARI, yaitu Lembaga Karatedo Indonesia.
Sumber Hukum Ajaran Islam Jamaah
Aliran Islam Jamaah atau LDII dalam melaksanakan ubudiyahnya mengambil sumber dari tiga sumber.
  1. Alquran Manqul, yaitu Alquran telah diartikan dan ditafsirkan serta ditakwilkan oleh imam jamaahnya sesuai kepentingannya. Karena, imam mempunyai otoritas yang mutlak, termasuk membuat ajaran yang wajib ditaati oleh semua pengikut nya.
  2. Hadis Manqul, yaitu hadis-hadis yang telah ditafsirkan oleh imam amaahnya sesuai kehendak dan kepentingannya.
  3. Sabda Imam, yaitu tita-titah imam, baik yang menyangkut masalah ubudiyah atau muamalah. Jika imam melarang sesuatu atau mewajibkan sesuatu, wajib bagi pengikutnya untuk melaksanakan perintah dan larangannya.
Islam Jamaah mempunyai buku-buku pegangan atau buku-buku pokok ajaran LDII , di antaranya adalah:
1.      Imam Jamaah dalam Agama Islam,
2.      Menunda Baiat adalah Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain,
3.      Fakta Bahaya Keamiran di Indonesia,
4.      Agama Murni dan Bapak Imam Haji Nur Hasan al-Ubaidah Lubis.

Buku-buku tersebut ditulis oleh Drs. Nur Hasyim, Sarjana jebolan IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta tahun 1964 dengan nilai skripsi 6,5 dan nilai ijazah 7,25 (sebuah nilai yang minim, yang biasa didapat sebagian besar mahasiswa pada umumnya). Buku yang ditulisnya berjudul Menunda Baiat Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain adalah buku pegangan pokok ajaran agama Islam Jamaah atau LDII.Orang yang memiliki pemikiran yang jernih akan berpikir bagaimana mungkin mempercayai doktrin dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang sarjana S1 yang kapasitas kelimuannya diragukan karena nilainya minim. Sekiranya penulis buku itu dihadapkan kepada seorang santri yang saleh dan bersih hatinya lagi cerdas dari sebuah pondok pesantren yang berakidah lurus, insya Allah penulis buku itu akan takut menghadapinya, meskipun anak yang cerdas itu belum mencapai gelar sarjana. Apalagi, jika penulis buku itu dihadapkan kepada seorang yang telah diakui oleh dunia sebagai seorang Syekh. Oleh karena itu, wahai orang-orang yang berpikir, berpikirlah dengan jernih keadaan yang demikian itu. Bagi Anda yang telah mengeta hui berbagai ajaran dari berbagai aliran, maka banding-bandingkanlah dengan hati yang jernih dan niat ikhlas untuk mencapai kebenaran yang sejati, mudah-mudahan Allah SWT menunjukinya dengan jalan yang mudah dan tidak dibuat bingung karnanya. Janganlah Anda berhenti di suatu titik sebelum Anda mengetahui inti-inti atau sari patinya.

Sumber: Diadaptasi dari Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc.

Retrieved from: http://alislam-pwt.tripod.com/islam_jamaah.htm

Thursday, August 2, 2012

Orang Jawa Punya Hak Menentukan Fiqh Sendiri

Begitu kidung tua Jawa itu terlantunkan, suasana mistis tiba-tiba menyeruak di ruang Teater Salihara Pasar Minggu, senja itu. Suasana yang tadinya agak riuh tiba-tiba berubah menjadi hening. Hampir semua orang yang ada di situ, seolah tersihir oleh suara lelaki gondrong setengah baya yang tengah melantunkan tembang Pangkur dari Serat Rerepen, sebuah karya Ronggowarsito (pujangga besar Jawa) yang bercerita tentang keharmonisan antara agama (Islam) dan budaya (Jawa).

Sang penembang sendiri bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Ki Herman Sinung Janutomo,sejarawan dan pekerja budaya sekaligus pemerhati filsafat Jawa. Selama ini Ki Herman Sinung dikenal dengan pandangan-pandangannya yang lugas dan terkesan “menantang arus” terhadap budaya Jawa. Kritik-kritiknya kepada para sejarawan bule dan para indonesianis selalu hangat. Baginya tak ada kamus dikotomi antara Islam-Jawa. “Jawa adalah Islam dan Islam adalah Jawa,”ujar lelaki 45 tahun yang pernah kuliah di FMIPA jurusan Fisika Universitas Gajah Mada (UGM) itu.

Bagaimana pendapatnya mengenai hubungan Islam dan Jawa (kejawenisme) tersebut? Lantas seperti apa kritik mantan pedagang asongan itu terhadap penerapan Islam yang bercorak homogen? Beberapa hari yang lalu (28/7), Hendi Jo dari www.Islam-Indonesia.com berkesempatan ngobrol dengan lelaki yang selalu bersikap hangat kepada siapapun itu. Berikut hasil obrolan tersebut:

Mas Sinung, di tengah pandangan sinis terhadap kejawenisme, anda selalu menolak posisi diametral antara Islam dengan budaya Jawa. Menurut anda sendiri, apa sih yang menyebabkan orang berpandangan seperti itu?
Memang ini soal yang sangat krusial. Menurut saya, penyebab semua itu terjadi adalah karena pola pikir yang kita pakai.Hari ini kita selalu memindai hubungan antara Islam dengan budaya Jawa dengan kacamata orang lain.Misalnya saja para intelektual kita hampir selalu melihat soal ini dari kacamata Barat yang dari basic-nya saja sudah menggunakan dialektika, kontradiksi mitos-logos, dan lain-lain. Ini kan jelas akan beda hasilnya jika konsep-konsep Barat itu digunakan untuk menganalisa budaya kita.
Tapi orang –orang kita hari ini sudah terlanjur melihat cara-cara Barat (atau Arab) itu sebagai metode yang universal untuk menganalisa gejala apapun. Lalu bagaimana ini?

Kalau saya sih mengembalikan itu kepada niat awalnya. Saya ingat Eyang Sunan Kalijogo pernah berkata, bahwa budaya Jawa harus berani menasehati dunia. Istilah beliau:kondobuwono. Atau kalau istilah sekarang: harus bersikap kritis (tapi istilah ini juga agak bermasalah karena kesannya terlalu dialektis). Ya setidaknya kita harus memiliki peranlah. Berani memberikan nasehat, melakukan penyempurnaan paradigmatik dan metafisik kepada konsep-konsep yang datangnya dari monconegoro itu.

Tapi bagaimana pandangan orang yang terlanjur melihat kejawenisme sebagai konsep yang terlalu lokal?

Ini yang menurut saya keliru. Jangan berpikiran bahwa konsep budaya Jawa sesempit itu. Jawa itu sebuah atmosfir peradaban. Jadi kalau ada orang yang berpikir bahwa Jawa itu hanya sebatas suku bangsa atau pulau, itu pasti dia terpengaruh oleh pandangan kolonial. Jawa itu tatanan budi pengerti. Jadi jangkauannya itu sangat luas sekali, artinya tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis.

Apa bukti dari pernyataan anda itu?

Kalau kita mengikuti warisan sejarah berupa prasasti-prasasti, maka prasasti-prasasti yang mengandung kata “jawa dwipara” ini tidak hanya kita temukan di Pulau Jawa saja. Kata ini juga ada di Indochina, di Maladewa, Madagaskar, Colamandala di India dan bahkan kata “hawai” arti genealogisnya adalah “jawa kecil” lho.

Jadi kalau begitu, istilah “jawa” sendiri dalam pengertian etnik jadi tidak penting dong?

Memang tidak penting. Mau dinamakan apa saja boleh.

Tapi lagi-lagi orang saat ini terlanjur melihat kejawenisme itu selalu dikait-kaitkan dengan upaya pengakbaran etnik Jawa…

Betul, bahkan kemudian orang berpandangan bahwa budaya Jawa itu identik dengan kekuasaan, kesananya sering dihubungkan dengan Sumpah Palapa-nya Gajah Mada yang terkesan ambisius. Padahal kalau kita mempelajari sejarah jawa secara obyektif dan mendalam, soal-soal di atas itu pastinya bertentangan dengan fakta.

Nah, lantas bagaimana hubungan antara Islam yang datangnya dari Arab dengan budaya Jawa itu sendiri?

Ya tidak ada masalah. Islam itu Jawa dan Jawa itu Islam. Kalau kita membaca Serat Rerepen karya Eyang Ronggowarsito disebutkan bahwa orang Jawa itu tidak boleh jauh dari agama (baca: Islam).
Lantas mengapa corak berislam-nya orang-orang Jawa menjadi lain dari aslinya?

Karena orang Jawa memahami kabudayaan, kesenian, adat istiadat dan semua yang ada dalam budaya mereka sebagai perwujudan konversi dari semangat rahmatan lil a’lamiin (rahmat bagi semesta alam) dan bilisani kaumihi (disampaikan dalam bahasa kaumnya). Nah ini yang sekarang sudah terputus dan tidak mau dipahami orang saat melihat praktek keagamaan orang Jawa. Kami sangat keberatan jika pemaknaan Islam harus dilakukan lewat cara Arabisme. Ini kan pelanggaran serius terhadap konsep rahmatan lil a’lamiin dan konsep bilisani kaumihi dalam semangat Islam itu sendiri.

Kalau itu begitu anda termasuk orang yang mengimani bahwa ajaran Islam itu sangat kontekstual?

Oh iya. Kalau sekarang penerapan ajaran Islam dipaksakan untuk seragam, saya tanya di mana kalau begitu letak “rahmat bagi alam semesta”-nya? Saya pikir, justru Islam itu memang diharuskan beragam. Membuat Islam di seluruh dunia jadi homogen justru hanya membuat kerdil Islam itu sendiri bagi saya.

Dengan kata lain, orang-orang Jawa berusaha untuk secara realistis dan historis menyesuaikan Islam dengan apa-apa yang mereka alami dan pahami?

Ya. Islam itu kan harus dilakoni. Sebagai orang Jawa yang Islam, kami memiliki hak untuk menetukan fiqh kami sendiri. Dan sebagai orang Jawa pula, jelas kami menolak fiqh-fiqh Arab atau Iran yang coba dipaksakan kepada kami.Lha iya dong…Bagaimana mau dipaksakan, letak geografi dan budaya kami dengan mereka juga beda? Makanya saya sering berkampanye di mana-mana: ayo kita harus berani menentukan fiqh kita sendiri, sebagai umat Islam terbesar di dunia mengapa kita tidak memiliki hak untuk menetukan fiqh kita sendiri? Sekali lagi, kita punya hak,dan kita harus memakai hak itu dong. Wong sudah diberi kok ditolak.

Kalau anda menolak fiqih-fiqh Arab, idealnya fiqh yang cocok untuk orang Jawa seperti apa?

Ya jelas fiqh para wali. Dulu waktu seorang teman saya yang Syi’ah menyarankan saya untuk memakai fiqh Ja’fariyah karena “kedekatan” cara-cara ritual dengan budaya Jawa, saya tolak. Saya bilang sebagai orang Jawa, saya memilih fiqh-nya Sunan Kalijogo yang lebih paham dengan budaya Jawa dibandingkan Imam Ja’far.

Anda tidak khawatir cara-cara itu disebut sebagai sinkretisme?

Ya monggo saja. Sinkretisme itu kan mengangankan dua himpunan yang berbeda untuk bersatu dengan operasinya dialektika. Kalau saya sih nggak begitu. Lalu kalau dibilang cara-cara orang Jawa berislam sudah tidak murni lagi, karena “dikotori” dengan ajaran Hindu dan Buddha, lha mereka kalau begitu ikut cara pandangnya kolonial dong. Orang-orang kolonial kan membagi periodeisasi sejarah kita berdasarkan penghancuran-penghancuran keyakinan: Hindu dihancurkan oleh Buddha, Hindu-Buddha dihancurkan Islam dan seterusnya. Jadi teori konfliknya kental sekali. Saya jadi heran mengapa kita orang-orang Islam mau memakai periodeisasi yang dipakai oleh penjajah. Kolonial kok dipercaya.

Ini yang menyebabkan analisa-analisa para indonesianis atau pakar-pakar dari mancanegara itu menjadi tidak nyambung dengan konteks di sini?

Betul. Kami keberatan jika cara pandang sejarah Eropa harus “dipindahkan” ke sejarah kami. Konteks budaya, sosiologis, antropologis-nya jelas beda dong. Kok mau dipaksakan? Misalnya soal teori Geertz (Clliford James Geertz, antropolog asal Amerika Serikat) tentang trikotomi santri, abangan dan priyayi itu, bagi saya ini “menghilangkan” peran ulama pujangga seperti Ronggowarsito. Jadi orang-orang seperti Ronggowarsito itu lenyap dari peta sosiologis kita gara-gara Geertz.

Pernyataan ini bukan berarti anda alergi terhadap para indonesianis?

Ya enggaklah. Saya sih menyilakan mereka untuk meneruskan kerja-kerja mereka. Hanya saya minta mereka pun jangan melulu menggunakan paradigma Barat mereka an sich. Supaya adil, kasih tempat dong buat cara pandang lokal. Sebaliknya untuk para intelektual kita, saya berharap mereka pun pede untuk menggunakan analisa dengan kacamata kita sendiri.(hendijo)


Retrieved from: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4329443158099&set=at.1798566807772.103548.1347811868.1684904747.100001262802664&type=1&relevant_count=1&ref=nf