Wednesday, July 25, 2012

Komunitas adat Wetu Telu di Lombok merayakan Lebaran Adat

Oleh: RM Panca Nugraha

MESKI sudah merayakan Idul Fitri 1432 Hijriyah, sesuai jadwal nasional Rabu (31/8) pekan lalu, namun  masyarakat adat penganut Wetu Telu di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Sabtu (3/9) merayakan lebaran adat, tepat tiga hari setelah hari raya Idul Fitri dipusatkan di masjid kuno Bayan Beleq, sekitar 98 KM dari Kota Mataram, ibukota NTB. Selain sebagai ungkapan kesyukuran, lebaran adat juga menjadi ajang silahturahmi antar komunitas adat di Bayan dan dari wilayah lain di pulau Lombok.
1315140481228893901

Para kyai adat mendatangi masjid kuno Bayan Beleq, sebelum puncak lebaran adat.

Sejak Sabtu pagi (3/9) masyarakat adat dan para kyai adat berdatangan ke masjid kuno Bayan Beleq untuk pelaksanaan shalat ied adat. Para kyai mengenakan kain tenun, baju putih, dan sapuk (kain penutup kepala) yang juga berwarna putih. 44 orang kyai adat Wetu Telu itu, terdiri dari empat orang kyai kagungan dan 40 orang kyai santri.

Empat orang kyai kagungan itu meliputi kyai penghulu yang bertindak sebagai imam dalam shalat, kyai ketib yang bertindak sebagai khotib, kyai lebei yang bertindak sebagai bilal pengumandang adzan, dan kyai modin yang bertindak sebagai merbot dan bertanggung jawab terhadap kebersihan masjid.

Sholat ied adat, di masjid kuno Bayan Beleq baru terlaksana sekitar pukul 11.30 Wita, setelah semua dari 44 kyai lengkap hadir. Sholat dipimpin kyai kagungan penghulu, Amaq Jitrasih (56), yang bertindak sebagai imam sholat.
Setelah sholat Ied, kyai ketib, Amaq Iras Anom (50) duduk di atas mimbar dan menyampaikan khotbah yang diambil dari lelontaran adat berbentuk gulungan kertas panjang beraksara arab. Pesan yang disampaikan antara lain tentang pengucapan syukur, keselarasan hidup dengan alam, dan budi pekerti. Usai sholat dan khotbah, para kyai kemudian saling bersalaman sambil mengucapkan asma Allah saat tangan mereka bertemu satu-sama lainnya.

Sedikit berbeda dengan lebaran adat tahun lalu, kali ini sejumlah masyarakat adat dari Mapak - Kota Mataram, dan Sembalun – Lombok Timur, juga hadir ke masjid kuno. Hanya saja, saat shalat ied adat berlangsung mereka menunggu di luar masjid, karena yang sholat hanya 44 kyiai adat saja.

”Ini acara adat, bukan agama, karena Wetu Telu juga bukan agama. Kami sebut dengan ngiring sareat lebaran tinggi. Ada juga yang menyebut lebaran adat. Maknanya bahwa adat ini memperkuat agama,” kata Raden Gedarip (69), tetua adat komunitas Wetu Telu di Kecamatan Bayan.

Menurut Gedarip, perayaan lebaran adat sudah dilakukan penganut Wetu Telu sejak dulu kala, menjadi kebiasaan turun temurun yang akan pemaliq (menimbulkan hal yang kurang baik) jika tidak dilaksanakan.
Malam sebelum puncak lebaran adat ini, masyarakat adat juga membawa zakat sedekah urip dan sedekah pati berupa hasil bumi, beras, sayur mayur, dan juga buah-buahan ke masjid kuno. Sedekah yang dibawa kemudian dibagikan oleh para kyai adat kepada masyarakat yang berhak menerima.

Layaknya acara syukuran, usai sholat ied di masjid kuno berlangsung, masyarakat di tiap dusun penganut Wetu Telu menyiapkan periapan atau mempersiapkan makanan untuk hajatan. Itu dilakukan di kampu atau sebuah lokasi tertentu yang di lingkari pagar bambu di dusun masing-masing.

Saat makanan ancak sudah siap, para lelaki membawanya ke masjid kuno untuk menghaturkan santapan bagi para kyai. Para kyai menyantap hidangan ancak di dalam masjid kuno.

Setelah mengantar ancak ke masjid kuno, di setiap dusun, periapan juga dilaksanakan di berugak agung bale beleq dan di kampu yang dipimpin masing-masing pemangku adat. Masyarakat menikmati hidangan dengan cara begibung, satu ancak dimakan bersama-sama antara empat sampai enam orang.
”Bagi kami ini merupakan ajang silahturahmi antar sesama masyarakat adat,” kata Sukalim (35), warga komunitas adat wetu telu dari Mapak, Kota Mataram.

Masyarakat Bayan percaya bahwa masjid kuno Bayan Beleq merupakan masjid tertua di Lombok sekaligus penanda masuknya Islam pertama kali di pulau ini. Luas areal kompleks masjid sekitar 1 Hektare, di dalamnya ada dua kompleks makam besar, selain bangunan masjid sendiri. Kompleks makam itu dipercaya sebagai makam pendiri masjid, termasuk makam salah seorang dari sembilan wali (Wali Songo) penyebar Islam di Nusantara.
Bangunan masjid terbuat dari bahan kayu dan bambu, luasnya 10 x 10 meter, berlantai tanah. Di dalamnya terdapat sebuah bedug besar sepanjang 1,5 meter dengan diamater sekitar 80 cm, tergantung tepat di tengah masjid. Sebuah mimbar kayu juga ada di sana di samping tempat imam, di atas mimbar ada ukiran berbentuk seperti gabungan ikan dan burung berkepala naga.

Keteguhan masyarakat adat Wetu Telu melestarikan adat patut ditiru. Cukup banyak masyarakat asli di sana yang merantau ke luar daerah, namun selalu berusaha kembali pulang ketika upacara-upacara adat dilakukan, demi melestarikan adat. Beberapa perkampungan mereka juga masih memegang adat dan bertahan hidup secara tradisional. Antara lain di Desa Bayan, Desa Senaru, Desa Loloan, Desa Segenter, dan Desa Karang Bajo.
1315140852402696700

Iring-iringan masyarakat adat mengantarkan sedekah urip dan sedekah pati ke masjid kuno Bayan Beleq, malam sebelum puncak lebaran adat.

Raden Gedarip mengatakan, selama ini banyak salah persepsi tentang adat Wetu Telu. Opini yang terbentuk akhirnya menggambarkan bahwa Wetu Telu adalah agama Islam yang belum tuntas diajarkan, dan masih mengasopsi ajaran agama Hindu. Misalnya sholat hanya tiga kali, berpuasa hanya tiga kali di hari pertama, pertengahan, dan penutup. Ada juga yang menyebut penganut Wetu Telu hanya menjalankan tiga rukun iman dalam Islam, kecuali shalat lima waktu dan naik haji.

“Itu semua persepsi yang salah. Banyak pemangku adat kami yang naik haji, dan shalat kami lima kali sehari. Banyak juga masyarakat adat Wetu Telu yang menjadi pimpinan di kantor pemerintahan daerah,” kata Raden Gedarip.

Menurut Gedarip, Wetu Telu bukan agama, tetapi pandangan hidup yang ditinggalkan leluhur mereka. Wetu berarti batasan wilayah, sedangkan Telu berarti tiga.

Dari sisi kehidupan, masyarakat adat Wetu Telu diharuskan menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup antar mahluk yang diciptakan Allah melalui tiga jalan yakni Memanak (beranak), Menteluk (bertelur), dan mentiu (bertumbuh).

Manusia dan hewan mamalia dilahirkan dari proses beranak-pinak, unggas dan hewan melata tercipta dari telur, sedangkan tumbuhan dari biji-bijian yang ditanam dan bertumbuh. Ketiganya harus selaras dan seimbang. Makna filosofinya, manusia tidak boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan karena akan merusak tumbuhan dan juga habitat hewan.

Dari sisi tatanan sosial, masyarakat ada Wetu Telu menghormati tiga unsur kepemimpinan, yakni pengusungan (dari unsur pemerintah seperti Kades), pemangku (dari unsur adat istiadat), dan penghulu (dari unsur Keagamaan). Ketiganya memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakatnya.
Dari sisi letak geografis tempat tinggal, masyarakat adat Wetu Telu membagi tiga wilayah yang harus dijaga kelestariannya, yakni wilayah Gunung dan Hutan untuk penduduk di perkampungan yang dekat dengan kaki gunung Rinjani, wilayah pertanian untuk perkampungan di dataran tengah, dan wilayah laut untuk perkampungan yang dekat pesisir.

“Misalnya untuk wilayah laut, kami tidak pernah menangkap ikan menggunakan potasium atau bom ikan, itu dilarang secara adat karena akan merusak keseimbangan,” katanya.

Tapi tidak cukup banyak yang bisa diceritakan Gedarip tentang Wetu Telu, “Ada beberapa hal yang kami ketahui tetapi tak bisa kami ungkapkan karena memang secara turun temurun dari leluhur, hal itu hanya kami saja yang boleh tahu. Kalau diceritakan ke orang lain bisa pemaliq,”.

Untuk keislaman, masyarakat adat Wetu Telu percaya bahwa leluhur merekalah yang pertama kali menerima ajaran Islam di Pulau Lombok, yang dibawa Wali Songo pada abad ke 17 Masehi. Masjid kuno Bayan Beleq adalah bukti sejarahnya yang sampai sekarang tetap berdiri di Desa Bayan.
Mereka percaya, Datu Bayan (Raja Bayan) adalah orang pertama yang diislamkan di Lombok, disusul oleh para pemangku adat dan masyarakat adat Bayan.

“Setiap lebaran Idul Fitri masyarakat kami juga melaksanakan shalat Ied di masjid umum, karena kami juga merayakan lebaran agama itu. Dan karena adat yang harus dilestarikan, kami juga merayakan lebaran adat. Tapi jangan dicampur adukkan antara agama dan adat, kami pun tidak mencampur adukkannya. Agama ya agama, adat ya adat,” katanya.

Secara sederhana Gedarip menggambarkan itu ibarat orang menikah, prosesi agama ijab kabul dilakukan di masjid atau KUA, sementara sesudahnya prosesi adat pun dilakukan menyusul, yakni nyongkolan atau sorong serah.

Petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purba Kala wilayah Bali, NTB dan NTT, Raden Pulasari mengatakan, kegiatan adat di masjid kuno Bayan Beleq yang masih lestari juga membuat kondisi masjid kuno yang sudah ratusan tahun ini tetap utuh terjaga.

”Masjid tertua ini sudah dijadikan benda cagar budaya sejak 1992 silam. Catatan otentik kapan berdirinya memang tidak ditemukan, tapi dipercaya masjid ini dibangun pada awal abad 17 silam,”katanya.***

Retrieved from: http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/04/komunitas-adat-wetu-telu-di-lombok-merayakan-lebaran-adat/

Tuesday, July 24, 2012

One Idul Fitri Is Not Enough for the Wetu Telu Community in Lombok

Indonesia has a lot of examples for customs that support discrimination based on race, gender, and religion where people cannot avoid such customs because costs of avoidance would be too expensive (JG Photo/Fitri)
The Jakarta Globe, September 05, 2011

Like most Muslims across the country, those from the Wetu Telu community in North Lombok, West Nusa Tenggara, celebrated Idul Fitri last Wednesday.

But on Sunday, they took part in a follow-up celebration that has been observed there for the past 600 years, known as Lebaran Adat, or the Customary Lebaran.

The centerpiece of the event has always been the morning prayer, says Raden Ratmedi, a community elder.

Whereas the regular Lebaran prayer is attended by young and old, men and women alike, only the Wetu Telu’s most respected male elders are privy to the Lebaran Adat prayer.

Another key difference with the Lebaran prayer, which is carried out in a single space, is that the Lebaran Adat prayer is held simultaneously at the six ancient mosques in the Wetu Telu’s six villages in Bayan subdistrict.

“The process at each mosque will go ahead at the same time, and although some of the rituals and the sermon vary to some extent between the mosques, the process will be the same,” Ratmedi said.

At the mosque at Sukadana village, the village elders had gathered since the night before, where they chanted the takbiran prayer. No electric lights were allowed for the overnight prayers, only a traditional lantern, in keeping with age-old traditions.

Another tradition is a prohibition on any of the worshipers wearing underwear beneath their sarongs.

With the first rays of sunlight, a procession of men and boys brought various foods and a sacrificial chicken to the mosque.

The elders then slaughtered the chicken, being sure to let it bleed on the ground in front of the mosque, before performing their ablutions using water from specially prepared jars, known as kendi , and going inside the mosque to pray.

Thirty elders took part in the prayer at Sukadana. Ratmedi said many had died or grown too old and no replacements had been appointed. The five other villages taking part in the prayer were Bayan Belek, Barong Birak, Semokan, Sembagek and Labangkara.

After the prayer, a specially appointed cleric read out a sermon from a rolled-up sheet of paper three meters long, which took half an hour to recite.

Following the sermon, the elders then visited each home in the village, where the families had prepared a variety of local delicacies for the occasion. They also oversaw a ritual in which all villagers were anointed over the head with a dye made from crushed betel nut, to protect them from evil.

On the day before the prayer, all 450 households in the Wetu Telu community of Bayan were required to prepare traditional meals, including a jackfruit stew with coconut milk.

All the men in the community were required to pay alms. Known as zakat fitra , these alms are meant to be paid by the head of each household before Lebaran and traditionally consist of 2.5 kilograms of rice — or the equivalent cost in cash — per person in the household.

However, the alms paid on Saturday were double that amount. Villagers also had to submit a live chicken and a basket of whatever crop they farmed. For the Lebaran Adat, no cash may be given in lieu of the items.

Siradi, a Wetu Telu elder, said the Lebaran Adat was not more important to the community than the regular Lebaran, but rather was intended to complement it.

He said it was always celebrated three days after Idul Fitri because of a local belief that it took that long to translate divine will into earthly actions — one day each for the actions of conception, birth and growth.

Siradi said the practice was introduced to the local community in the 1400s by one of the first Islamic missionaries to the area and had been practiced ever since.

Siradi also said influences of other cultures and religions could be seen in various aspects of Lebaran Adat. They included the chicken sacrifice, the betel juice anointment and the unique sing-song lilt in which the lengthy sermon had to be delivered according to tradition.

“Even though the times change and new generations come to the fore, we in the Wetu Telu community will keep celebrating Lebaran Adat as we always have over the years,” he said. “Nothing will change, we will do this until the end of time, until judgement day.” Fitri

Monday, July 23, 2012

Wetu Telu in Pictures




Praying

Retrieved from: http://lombok-sumbawa-ntb.blogspot.com/2011/08/sejarah-pulau-lombok.html



House
Retrieved from: http://www.uia.no/no/div/prosjekt/study_tour_indonesia_2007/findings/lombok/findings_by_group_3/wetu_telu

Lebaran
Retrieved from: http://primadonalombok.blogspot.com/2010/09/lebaran-adat-ala-wetu-telu-di-bayan.html

TANJUNG, 13/9 - TRADISI LEBARAN ADAT. Sejumlah kyai masyarakat adat "Wetu Telu" (tumbuh, beranak dan bertelur) melaksanakan sholat Id ketika merayakan tradisi Lebaran adat di masjid kuno Bayan, Dusun Karang Salah, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, NTB, Senin (13/9). Lebaran adat adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat adat "Wetu Telu" di Lombok setiap hari ke tiga setelah pelaksanaan Lebaran Idul Fitri dengan perayaan memberikan fitrah, melakukan sholat Id oleh 44 kyai adat serta bersilaturrahmi sesama masyarakat secara adat.FOTO ANTARA/Ahmad Subaidi/ss/Spt/10.
Retrieved from: http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1284372001/tradisi-lebaran-adat

Ramadan
Retrieved from: http://terune.wordpress.com/2007/08/24/ramadhan-wetu-telu/

Sasak People
 Retrieved from: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=977060&page=5

Sasak Traditional House
Retrieved from: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=977060&page=5

Perang Topat Games
Retrieved from: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=977060&page=5

Para kiyai saat acara ritual ibadah didalam masjid kuno bayan
Retrieved from: http://primadonanews.blogspot.com/2011/12/sekelumit-filosofi-ajaran-wetu-telu-di.html

Masjid Kuno Bayan Beleq
Retrieved from: http://melancongkelombok.blogspot.com/2010/12/wetu-telu-kearifan-tradisional-di.html

Masjid KUno Bayan Beleq
Retrieved from: http://melancongkelombok.blogspot.com/2010/12/wetu-telu-kearifan-tradisional-di.html

TANJUNG,20/2 - TRADISI MAULID ADAT. Sejumlah laki-laki masyarakat adat "Wetu Telu" Bayan mengiring Praja Mulud saat prosesi perayaan tradisi Maulid adat di Dusun Karang Bajo, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, NTB, Sabtu (19/2). Maulid adat adalah ritual adat sakral yang dilaksanakan masyarakat adat Bayan yang berlangsung selama 2 hari sebagai wujud rasa syukur menyambut datangnya bulan suci Maulid. FOTO ANTARA/Ahmad Subaidi/pd/11
20/2/2011
 Retrieved from: http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1298171110/tradisi-maulid-adat

TANJUNG, 13/9 - TRADISI LEBARAN ADAT. Sejumlah kyai masyarakat adat "Wetu Telu" (tumbuh, beranak dan bertelur) menuju masjid kuno Bayan untuk merayakan tradisi Lebaran adat di Dusun Karang Salah, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, NTB, Senin (13/9). Lebaran adat adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat adat "Wetu Telu" di Lombok setiap hari ke tiga setelah pelaksanaan Lebaran Idul Fitri dengan perayaan memberikan fitrah, melakukan sholat Id oleh 44 kyai adat serta bersilaturrahmi sesama masyarakat secara adat. FOTO ANTARA/Ahmad Subaidi/ss/Spt/10.
13/9/2010
 Retrieved from: http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1284372010/tradisi-lebaran-adat

Sunday, July 22, 2012

Islam Wetu Telu, Sasak, Lombok

Islam Wetu Telu

Sejarah Islam Wetu Telu di Lombok
Wetu Telu (bahasa Indonesia:Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap[1]. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

Sejarah
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Dalam[1] disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu di masa modern.
Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan “Waktu Telu” sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme,dinamisme,dan kerpercayaan Hindu.Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan “Waktu Lima” karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.
Lokasi
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjid yang digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa.Namanya “Kemaliq” yang artinya tabu,suci dan sakral.terletak di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama “Upacara Pujawali Dan Perang Topat” sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia
Referensi
Pulau Lombok dalam Sejarah, H. Lalu Lukman, cetakan 4 2007

Retrieved from: http://zaenudinmansyur.wordpress.com/2010/09/21/hello-world/

Ramadhan Wetu Telu

Bentar lagi udah masuk bulan suci Ramadhan, bulan dimana umat muslim sedunia melakukan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Bulan yang penuh berkah, penuh pengampunan, penuh dengan pahala (*terune berdakwah* ..hehe). Kalo di Lombok gimana? ya samalah, semua juga berpuasa.. enak aja elu2 sendiri pade dapet pahala. Nggak salah dong Lombok dikenal dengan pulau seribu masjidnya, jadi bulan ramadhan lebih meriah disana. Tapi sebentar dulu…, ada niy.. saat orang2 pada puasa ternyata ada beberapa desa di Lombok yang cuek aja mamah sirih (bhs lombok=nginang, bhs jawa=susur). Kok bisa? Iya, mereka itu penganut Wetu Telu alias serba tiga ribu .. ehh bukan deng, maksutnya semua ibadahnya hanya sebanyak 3 kali. Sembahyang cuma 3 kali, jadi di bulan Ramadhan juga mereka cuma puasa 3 hari doang… enak ya.. wkakakaaa, Sssstt.. ga boleh ikut2 hehe, itu hanya utk mereka aja kok. Di beberapa desa yang menganut kepercayaan ini seperti di desa Bayan, kemudian komunitas di desa Senaru, tidak peduli bulan Ramadhan ataupun bulan-bulan lainnya semua warganya baik lelaki maupun perempuan tetap aja memamah sirih pada pagi, siang, ataupun sore hari. Benernya apa siy kepercayaan Wetu Telu?

Banyak persepsi tentang Islam Wetu Telu. Ada yang menilai pemeluknya belum sepenuhnya menerima ajaran Islam, ada juga yang menilai pemeluknya masih mencampuradukkan dengan nilai-nilai Hindu dan Budha dalam ibadahnya. Wetu telu adalah adat turun-temurun yang hingga sekarang tetap terpelihara dan harus dituruti pemeluknya. Jadi ibadah menurut mereka disesuaikan dengan adat leluhur, mereka ibadah juga sekaligus upacara adat. Mereka melakukan upacara adat di setiap hari Minggu, Rabu, dan Jumat. Saya tidak akan terlalu banyak membahas kepercayaan Wetu Telu ini, yang penting adalah meskipun bertolak belakang dengan pemahaman saya, meskipun mereka orang2 yg aneh hehehehe.. (*maap*) tetapi bagaimanapun mereka juga bagian dari budaya dan adat suku sasak Lombok serta bagian dari komunitasku juga..
 
Retrieved from: http://terune.wordpress.com/2007/08/24/ramadhan-wetu-telu/
 

Saturday, July 21, 2012

Lebaran Adat Ala Wetu Telu di Bayan

Lombok Utara - Hari ini, senin 13 September 2010, puluhan kiyai lebe, pengulu, ketip, modin dan kiyai santri melaksanakan sholat Idul Fitri 1431 H, di masjid kuno Desa Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara.

Takbir bergema dari masjid tua yang berukuran 9 x 9 meter persegi dengan lantunan khas tembang Bayan. Setelah sholat Id yang dipimpin Kiyai Lebe, usai berdirilah salah seorang kiayi santri mengambil sebuah tongkat dan membaca shalawat Nabi sebagai pertanda khutbah Id di mulai.

Khutbah Id kali ini disampaikan oleh Ayasih, salah seorang kiyai santri dengan menggunakan bahasa Arab. Pembacaan khutbah yang dilakukan oleh sang khotib memang sedikit lama yaitu sekitar 30 menit.

“Khutbah yang dibaca sebenarnya tidak terlalu panjang. Tapi karena dibaca dengan sedikit tembang, sehingga memakan waktu lebih setengah jam”, tutur Kertamalip, kepala Desa Karang Bajo.

Sholat Idul Fitri sendiri, dimulai sekitar pukul 11.00 hingga 12.00 wita yang diikuti sekitar 44 kiyai pengulu dan mendapat liputan dari berbagai media, baik media elektronik maupun cetak.

Seperti diketahui, bahwa penduduk yang tinggal di Pulau Lombok sebegian besar beragama Islam, kecuali Suku Bali beragama Hindu dan Budha dan sebagian kecil beragama Kristen protestan dan katholik.

Islam masuk ke Pulau Lombok diperkirakan pada abad ke VI yang dibawa oleh Sunan Prapen putra dari Sunan Giri, salah seorang wali songo dari pulau Jawa. Sebelum itu penduduk Lombok menganut paham animisme, kemudian datang agama Budha dan Hindu, serta beransur-ansur beralih ke agama Islam.

Menyoroti tentang pelaksanaan ibadah puasa dan solah Idul Fitri, masyarakat adapt Wetu Telu di Bayan memulai puasanyanya pada tanggal 3 Ramadhan dan berakhir pada tanggal 3 Syawal. Bulan yang tampak dilangit tidak dianggap sebagai dasar penanggalan sebagaimana layaknya umat Islam dengan syari’at murni.

Pelaksanaan sholat Idul Fitri, yang dilaksanakan oleh para kiyai adat Wetu Telu di Bayan, memang tidak ada bedanya dengan pelaksanaan sholat Id pada tanggal 1 Syawal. Hanya bedanya dilaksanakan 3 hari setelah sholat Id umat Islam di seluruh dunia.

Sementara masyarakat adat yang tidak ikut ke masjid, di masing-masing kampung menyediakan hidangan bagi para kiyai. Ada yang memotong kambing ada juga kampung (gubug) memotong sapi. Dan hidangan ini akan diantar ke masjid kuno pada sore hari.
Demikian sekelumit tentang pelaksanaan sholat Idul Fitri yang dilaksanakan masyarakat adat Wetu Telu di Bayan. (ari-primadona)
 
Retrieved from: http://primadonalombok.blogspot.com/2010/09/lebaran-adat-ala-wetu-telu-di-bayan.html 
 

Komunitas Adat Wetu Telu Laksanakan Sholat Idul Adha

Primadona FM - Primadona FM
Bayan-Lombok Utara: Pada hari selasa siang (1/12), para tokoh adat Bayan melaksanakan Sholat Idul Adha di Masjid Kuno Bayan Beleq. Pelaksanaan sholat Idul Adha yang berlangsung khidmat itu dilaksanakan sesuai dengan aturan adat yang disepakati oleh komunitas Wetu Telu Bayan yang senantiasa dipelihara dan dilakukan secara turun temurun.
 Menurut Jitrasih (52) Pengulu Adat Bayan mengatakan, bahwa masyarakat Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, sudah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam termasuk sholat Idul Adha sejak abad ke 10 masehi. Beliau memastikan bahwa Islam mulai berkembang di Bayan sejak tahun 1020 masehi yakni dengan didirikan masjid kuno Bayan.
Selanjutnya dalam pelaksanaan sholat dan ibadah-ibadah keagamaan lainnya, masyarakat adat Bayan menunjuk kiyai yang berjumlah 44 orang. Kiyai ini dibagi dua yaitu 4 kiyai kagungan yang terdiri dari Pengulu (imam), Lebe (muazin), ketif (khotib), dan Mudim (marbot). Sedangkan yang kedua- Adalah kiyai santri yg terdiri dari 40 orang, mereka bertugas sebagai makmum dalam pelaksanaan sholat.
Demikian dikatakan oleh Penghulu Adat Bayan ketika ditemui di Masjid Kuno setelah memimpin pelaksanaan sholat idul adha. Menurutnya solat Idul Adha tahun ini juga dilakukan oleh 44 orang yang telah ditunjuk sebagai kiyai adat oleh masyarakat adat Bayan. Solat id' tahun ini agak terlambat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang biasa dilaksanaannya mulai pukul 09.00 wita pagi. Namun, karena para kiyai agak lambat dalam persiapan maka solat baru bisa dilaksanakan jam 11.00 siang.
Pelaksanaannya cukup lama yakni sekitar 1 jam lebih. Cara pelaksanaan lebaran adat ini tidak jauh beda dengan pelaksanaan hari raya pada masyrakat penganut Islam ortodok. Bedanya hanya pada khutbah, yang melaksanakan, dan cara bersaf para pelaksana. Dari hasil pengamatan kami khutbah yang dibacakan oleh Kiyai Ketib. Isi-Khotbah semuanya berbahasa arab dan terdiri dari cuplikan-cuplikan ayat-ayat Al- Quran. Cara membacanya seperti orang membaca tembang atau takepan, dan jika khotib mengucapkan kata-kata takbir maka semua makmum mengikutinya. Hal ini cukup unik dan memiliki makna tersendiri bagi para penganut ajaran adat wetu telu Bayan.
Dilain sisi khotbah yang dibaca oleh ketib juga khotbah yang khusus yang panjangnya sekitar dua depa. Ketika membaca khotbah kiyai ketib duduk diatas mimbar (faksi : bayan) dengan tongkat (cungka : bayan) besi ditangan kanannya.
Menurut A. Sura (kiyai adat dari Karang Bajo), isi khotbah idul adha sebagian besar menceritakan tentang perjalanan nabi ibrahim dan nabi ismail. Selain itu isi khutbahnya juga menghimbau umat Islam untuk berkurban dan mematuhi perintah sang pencipta (neneq epen ta: bahasa Bayan). "Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai Islam yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Bayan tidak menyimpang dari ajaran agama Islam yang sempurna" ungkap A. Sura.
Mengenai pelaksanaan solat Id' hanya dilaksanakan oleh 44 orang kiyai saja dimana mereka bertanggung jawab atas masyarakat lainnya dalam pelaksanaan ritual keagamaan. Oleh karena itu masyarakat berkewajiban memberikan sedekah lebaran kepada para kiyai pada malam lebarannya.
Cara pengaturan saf saat pelaksanaan solat id' (lebaran adat) sangat berbeda dengan ajaran Islam ortodok, dimana dibelakang imam (pengulu) berdiri tiga makmum (lebe, ketib, dan modim), sedang kiyai santri bersaf di belakang. Dan pada bagian sebelah kanan ada 20 orang kiyai yg berdiri menjadi dua saf dan disebelah kanan 20 orang dengan saf yang sama. selanjutnya dibagian tengah-tengah dalam masjid kosong menyerupai sebuah lorong.
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok antara Islam yang dianut adat wetu telu Bayan dengan Islam yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Namun perbedaan tersebut tidak mengubah arti haqiqi dari hikmah sholat Id.
Hal unik lainnya yang dapat disaksikan dalam pelaksanaan solat-(lebaran adat Bayan) adalah cara berpakaian para kiyai yang melaksanakan solat Id', dimana para kiyai menggunakan pakaian kebesaran mereka dengan kelengkapan sapuk egal (ikat kepala) warna putih, baju kemeja putih, kain songket (dodot), dan sabuknya (kain rejasa), yang oleh H. Amir Itradi, mengatakan itu menunjukkan kesucian dan kekompakan dalam mendakwahkan ajaran agama Islam.
Diakhir pelaksanaan solat Id para kiyai bersalaman dengan cara yang unik pula, yakni mirip dengan gaya keraton. Dari hal ini bisa kita perediksi bahwa tata cara pelaksanaan peribadatan masyarakat komunitas adat Bayan mendapat pengaruh dari jawa. Penetapan hari dan tanggal pelaksanaan hari raya Islam di Bayan ditetapkan berdasarkan penanggalan Bayan. Menurut H. Amir Itradi, "Bayan memiliki penanggalan sendiri. Dan penanggalan Bayan berbeda tiga hari dengan penanggalan nasional. Jika pada penanggalan Bayan tanggal 1, maka tanggalan hijriah tanggal 4.
"Jadi-Jika hari raya Idul Adha pada bulan hijriah jatuh pada tanggal 10, maka pada tanggalan bayan itu jatuh tanggal 7. Sehingga hari raya Idul Adha di Bayan jatuh pada tanggal 14 hijriah,atau selang 3 hari", kata H. Amir ketika diwawancarai sehabis solat Id' di masjid kuno Bayan. Setelah melakukan solat id' para kiyai berkeliling di setiap kampung yang ada di Bayan untuk memberikan doa dan dzikir pada masyarakat yang meroah lebaran di rumah mereka. Asri Spd  (Baca berita terbaru KLU di http://primadonalombok atau sasakdayangunung.blogspot
 
Retrieved from:http://suarakomunitas.net/baca/5675/komunitas-adat-wetu-telu-laksanakan-sholat-idul-adha.html  


Friday, July 20, 2012

Sekelumit Filosofi Ajaran Wetu Telu di Bayan

Sabtu, 31 Desember 2011

Sekelumit Filosofi Ajaran Wetu Telu di Bayan

Adat dan Agama Harus Seimbang

“Agama adalah pemberian dari tuhan sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan. Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Wetu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjkan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat Bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat – istiadat tidak dikesampingkan agar tetap ber imbang dan seimbang.

Sumber lain yang berhasil ditemui adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “ Sebelum menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang tarawih kyai adat dimasjid Kuno Bayan. Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipaki harus dibacakan secara berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apa bila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2 posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal 3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem penaggalan.

Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas pokok yang sama, yaitu sebagai imam, sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilyah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan disemua wilayah adat, sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.

“Terkiat makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai, Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta- pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimana pun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin dapat berjalan dengan baik.

Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilkinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan terutang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat . Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kerarifan lokal yang dimilkinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan.

Wetu Telu Bukan Agama

Kepercayaan dan pendapat yang menyebar pada sebagian besar dikalangan luar meyakini bahwa Wetu Telu itu adalah ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat atau komunitas adat Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.

Pandangan masyarakat luas yang berkembang seperti ini sangat disesalkan oleh semua tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat atau komunitas adat Bayan pada khususnya, terlebih secara tertulis telah dipublikasikan melalui sebuah buku yang berjudul Satu Agama Banyak Tuhan, karya Kamarudin Zaelani yang diterbitkan oleh percetakan Pantheon Media Pressindo bulan Maret 2007 lalu, isi yang tertuang yang ada dalam buku tersebut dinilai sangat mendiskriditimasi komunitas adat Bayan karena sumber yang ditemui masih sepihak dan belum memahami apa sebenarnya Wetu Telu tersebut.

Keluhan tersebut langsung dilontarkan beberapa Tokoh adat, Tokoh Agama, tokoh Masyarakat komunitas adat Bayan Kecamatan Bayan, KLU, seperti, Raden Gedarip (64), Raden Jambe, Haji Amir (63) dan Kardi Am.a.
Lalu seperti apakah Wetu Telu yang selama ini diyakini sebagai agama oleh kalangan luas…?
“Haji Amir (63) tokoh adat sekali gus tokoh Agama yang juga mantan Kepala Desa Loloan, Bayan, KLU priode tahun 1968-1998, menuturkan, “ Wetu Telu itu adalah filosofi yang diyakini komunitas adat Bayan yang memiliki arti, makna serta penjabaran yang sangat luas dan mendalam tentang kehidupan manusia, Tuhan dan lingkungannya, yang kesemuanya itu tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, dimana folosofi ini juga kental dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islam.

“Wetu Telu juga menggambarkan filosofi tentang “ Wet Tau Telu (tiga bagian wilayah atau sistim Pemerintahan-red) diantaranya, Adat, Agama dan Pemerintah, ketiga unsur ini jika dilihat berdasarkan fungsinya tidak mungkin dapat terpisahkan dimana tugas dan fungsinya juga tidak mungkin dapat disatukan atau disamakan satu dengan yang lainnya.

Filosofi lain juga meyakini Wetu dan Metu itu yakin adanya Tuhan, Nabi Muhammad Saw, Ibu, Bapak, dan Anak serta menyakini adanya Nabi Adam sebagai manusia pertama yang dilahirkan dan diturunkan kebumi. Kemudian isi bumi atau alam diyakini dilahirkan melalui tiga cara atau tiga unsur, (Metu) yaitu, Tioq (tumbuh), Menteloq (bertelur) dan terakhir melalui proses Beranak.

“Gambaran lain yang sering diucapakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Inaq, Amaq, Allah (Ibu, Bapak dan Tuhan) juga sebagai ungkapan kalau sorga itu berada dibawah telapak kaki ibu, filosofi ini juga masuk dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islama dimana semua ummat Islam harus tunduk dan patuh terhadap ajaran tersebut.

Keyakinan lain juga tergambar dari tiga aspek kehidupan yaitu Air, Agin dan Tanah, ketiga unsur ini juga menjadi dasar utama semua mahlauk hidup yang ada dimuka bumi dapat tumbuh, hidup serta berkembang biak, apa bila ketiga elemen ini ada dan dilestarikan.

Ketiga unsur lain tentang makna serta filosofi Wetu Telu yaitu Adanya tiga unsur yang mengayomi dan menuntun serta membina manusia atau masyarakat, yaitu dari Kyai yang berdasarkan keturunan dan memiliki tugas khusus dibidang agama, Tokoh Adat yang mengatur soal adat dan istiadat, dan yang terakir adalah pemerintah yang juga khusus membidangi sistim pemerintahan.

Filosofi yang di Kaitkan dengan Asal Usul Kejadian Manusia

Asal usul dan kejadian ummat manusia yang ada dimuka bumi ini juga dapat dilihat dan dipahami apa bila kita sudah mampu dan mendapatkan beberapa unsur penting berikut ini, diantaranya “ Jati Diri, Aji Diri, Lihat Diri dan Sembah Diri, beberapa unsur ini juga erat kaitannya dengan ajaran, kajian serta aspek yang terkandung dalam Adat, Agama dan Pemerintah, tambah Kardi, A.Ma, salah satu Tokoh Masyarakat Desa Loloan, Bayan, KLU.

Wetu Telu juga merupakan 5 fase yang dilewati manusia sebelum dilahirkan kemuka bumi, yang pertama adalah fase alam roh, kemudian alam roh melibatkan tuhan melalui janin, kemudian baru menginjak alam dunia setelah dilahirkan dari perut sang ibu, fase berikutnya adalah alam barzah atau alam kubur dan yang terakhir adalah fase alam akherat.

Kelima fase yang dilewati manusia ini juga sudah nyata tertuang dalam ajaran agama Islam yang memerintahkan ummatnya untuk mengerjakan sholat 5 waktu sehari semalam (Shubuh, Duhur, Ashar, Isya’, dan Magrib), selain itu ada lima unsur juga diyakini mutlak sebagai pemberian dari Tuhan, yaitu, Penglihat (mata), Pendengar (telinga), penciuman (hidung), Perasa atau peraba (kulit) dan yang terakhir adalah Hidup. Dasar Lima atau fase ini juga tertuang dalam sistem dan lambang Negara Republik Indonesia yang memiliki 5 dasar yaitu Panca Sila.

Senada dengan itu, Raden Gedarip (64), Tokoh Adat Bayan, juga menambahkan, “ Kembali kita garis bawahi kalau Wetu Telu itu sama sekali bukan ajaran Agama atau waktu Sholat yang hanya dikerjakan 3 kali atau waktu Puasa yang dikerjakan pada saat awal, tengah dan akhir bulan Ramadhan saja, akan tetapi Wetu Telu itu adalah filosofi, paham atau sebutan dari proses kejadian antara Ibu, Bapak, dan Allah atau Tuhan.

Filosofi lain yang kental juga yaitu Hubungan antara Tuhan dengan Manusia, Hubungan Manusia Dengan Manusia dan Hubungan Manusia dengan Alam, ketiga unsur ini juga harus sejalan dan bersama tapi tidak mungkin dapat disamakan, karena sudah memilki fungsi dan tugas tersendiri yang sudah jelas terpisah namun tidak dapat dipisahkan. (rumahalir.or.id)
 
Retrieved from: http://primadonanews.blogspot.com/2011/12/sekelumit-filosofi-ajaran-wetu-telu-di.html

Thursday, July 19, 2012

Wetu Telu, Kearifan Tradisional di Lereng Utara Rinjani

Wisata Lombok, Rabu, 29 Desember 2010

Orang Sasak asli (original) yaitu etnis yang mendominasi P. Lombok bermukim di Bayan Kabupaten Lombok Barat atau biasa disebut orang Dayan Gunung (utara G. Rinjani). Kecamatan Bayan seluas 356,75 Km2 dengan jumlah penduduk 42.741 jiwa berjarak 80 Km (3 jam) dari Mataram. Apabila melakukan pendakian ke G. Rinjani melalui jalur Senaru akan melewati Kecamatan Bayan. Dalam kecamatan tersebut ada suatu wilayah yang disebut sebagai “Bayan Beleq” (dalam bahasa Sasak, Beleq = besar), dimana wilayah tersebut memiliki institusi penting berupa cagar budaya Masjid Kuno Wetu Telu.

Untuk masuk kedalam masjid tersebut tidak dapat sembarang berpakaian, harus menggunakan pakaian adat berupa sarung putih dan kemeja putih. Masjid yang dindingnya terdiri dari anyaman bambu dan sama sekali tidak menggunakan paku ini dibangun pada abad 17. Masjid Kuno Wetu Telu mempunyai kompleks pemakaman leluhur yang dikeramatkan.

Makam-makam tersebut dinaungi rumah bambu dan beratap jerami (sirap) layaknya rumah adat. Salah satu leluhur yang dimakamkan di Masjid kuno ini adalah Lebai Antasalam yaitu salah satu penyebar agama Islam pertama di P. Lombok. Konon Lebai Antasalam lenyap secara misterius ketika melakukan sholat di masjid Kuno sehingga tempat ia lenyap ditandai dengan sebuah batu.

Masyarakat seringkali menafsirkan bahwa Wetu Telu adalah salah satu ajaran Islam yang dianut sebagian masyarakat Sasak. Umumnya orang Bayan menyangkal disebut sebagai penganut Islam Wetu Telu, karena sering disalah artikan bahwa Wetu berarti waktu, Telu sebagai tiga dan memaknainya sebagai keseluruhan ibadah dalam agama Islam. Kuatnya arus pelurusan Islam secara syariah membuat mereka semakin menutup diri pada kebudayaan Wetu Telu, hal tersebut dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan keterangan tentang apa sebenarnya ajaran Wetu Telu hanya seorang Pemangku Adat yang berhak angkat bicara.

Pemangku Adat menjelaskan bahwa Kebudayaan Wetu Telu yang diwariskan oleh leluhur mereka adalah nilai-nilai tradisi dalam menata hidup agar selalu mendapatkan keselamatan. Kebudayaan Wetu Telu memang masih banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu Bali yang sebelumnya menduduki P.Lombok. Makna sederhana Wetu Telu adalah budaya nenek moyang yang mengajarkan kepercayaan bahwa proses kehidupan di alam ini tidak terlepas dari tiga hal utama yaitu melahirkan (manganak), bertelur (menteluk) dan berbiji (mentiuk). Orang Bayan Wetu Telu memiliki konsep kosmologi dan pemikiran tersendiri tentang dunianya dimana manusia harus melestarikan Sumber Daya Alam sebagai bentuk ketergantungan kehidupan.

Tiga sistem reproduksi tersebut digambarkan didalam Masjid Kuno Bayan dalam sebuah patung kayu atau disebut Paksi Bayan. Permukaan Paksi Bayan terdapat pahatan Kijang yang malambangkan kelahiran; padi, kapas dan kelapa melambangkan perkembangbiakan dari biji dan pahatan unggas yang melambangkan perkembangbiakan dari telur. Ukuran dinding bangunan hanya 125 cm, dapat dibayangkan bahwa untuk masuk dalam masjid kita tidak mungkin dapat berdiri tegap, melainkan harus merunduk. Pemangku adat Bayan Timur menjelaskan pada penulis bahwa esensi dari rendahnya bangunan masjid ini adalah untuk memberikan penghormatan pada bangunan suci, sehingga manusia sebagai makhluk yang rendah harus merunduk (menghormat).

Budaya Wetu Telu mengatur kehidupan orang Bayan dalam bertindak tanduk. Mereka mempercayai bahwa dalam hidup manusia bersiklus melalui dilahirkan, beranak pinak lalu mati. Siklus tersebut harus ditandai dengan proses ritual dalam mencapai status yang lebih tinggi untuk menghindarkan individu dari gangguan-gangguan dalam hidup.

Memasuki wilayah Bayan Beleq yang terdiri dari dusun Bayan Timur, Bayan Barat, Karang Salah dan Karang Bajo sangat menarik. Khususnya di dusun Karang Bajo, sebagian besar penduduknya tinggal dirumah adat Sasak yang berdinding bambu, tanpa ventilasi jendela dan pintu hanya setinggi 1 meter. Umumnya di tiap rumah memiliki sebuah Berugak yaitu bangunan setinggi 0,5 meter dari permukaan tanah beratap rumbai dan disangga dengan enam (sakanem) atau empat (sakepat) tonggak. Berugak ini berfungsi untuk menerima tamu, atau upacara tertentu.

Penganut Wetu Telu ini ini percaya bahwa sangat tabu melupakan para leluhur karena akan ada bencana yang akan mereka alami seperti sakit, kematian, atau bencana alam. Sehingga hal ini mendorong mereka untuk tetap memelihara warisan leluhur, seperti rumah, tanah maupun benda pusaka lainnya. Mereka mendokumentasikan garis silsilah keluarga pada lembaran lontar dengan huruf Jawa Kuno yang hanya boleh dibaca oleh tokoh adat dan hanya dibacakan pada saat-saat tertentu.

Mereka sangat percaya adanya kehidupan lain yang menempati alam ini selain manusia. Sehingga mereka melaksanakan ritual “meminta ijin” ketika akan memanfaatkan air sungai sebagai irigasi yang biasa disebut selametan subak ataupun membangar apabila akan bercocok tanam yang bertujuan untuk meminta ijin menggunakan tempat-tempat yang diyakini dikuasai oleh makhluk lain tersebut. Upacara tersebut dilakukan di tepi sungai, secara tidak langsung adanya upacara ini berdampak positif dalam memelihara ikatan antar pengguna air sungai (subak).

Upacara –upacara yang dilakukan dalam rangka kegiatan bertani sangat banyak, mengingat 90% mata pencaharian masyarakat Bayan adalah petani. Umumnya ritual Siklus Padi (Adat Bonga Padi) dilaksanakan secara besar-besaran. Masyarakat Wetu Telu di Bayan berharap dengan melakukan ritual-ritual dalam bertani akan membawa hasil panen yang berlimpah. Pada musim bercocok tanam mereka melaksanakan ngaji makam turun bibit, pada saat panen dilakukan ngaji makam ngaturang ulak kaya. Saat melakukan pemupukan ataupun pemberantasan hama mereka melakukan ngaji makam tunas setamba. Upacara tersebut dilakukan di dalam kampu penghulu berisi ritual mengosap yaitu membersihkan makam leluhur, mas doa yaitu mengumpulkan berkah arwah leluhur, menyembek menerima berkah arwah leluhur. Selain itu secara individu mereka menyelenggarakan rowah sambi sebelum menyimpan padi dalam lumbung yang biasa disebut sambi. Upacara ini bertujuan agar padi yang mereka simpan dalam Sambi akan cukup untuk konsumsi sehari-hari. Sambi ini juga sebagai identitas sosial, dimana semakin banyak memiliki Sambi maka semakin tinggi status sosialnya.

Kepemimpinan tradisional sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Wetu Telu. Pimpinan adat tertinggi dipegang oleh seorang Pemangku yang tinggal dalam sebuah Kampu yaitu sebuah kompleks pemukiman para tokoh adat mulai jaman dahulu. Tradisi menjaga makam leluhur dan hutan disekitar makam dilakukan seorang Perumbak. Hutan disekitar makam leluhur dianggap keramat sehingga dilarang menebang pohon, bercocok tanam maupun bertempat tinggal disana. Selain itu ada Dewan tetua yang disebut Toaq Lokaq yang terdiri dari anggota-anggota tertua komunitas desa yang sangat paham dengan nilai-nilai tradisi leluhur. Dan ada Penghulu (Kiai) yang bertugas membacakan doa dalam setiap ritual adat.

Masyarakat Wetu Telu di Bayan berpandangan bahwa nilai cultural tanah melebihi nilai ekonomisnya. Mereka benar-benar menjaga tanah situs yaitu tanah dimana semua bangunan suci berada seperti rumah pemakaman keramat, kompleks masjid kuno Wetu Telu, maupun hutan yang terdapat sumber mata air di dalamnya. Mereka melestarikan hutan karena disana terdapat mata air dan sungai kecil yang mengairi sawah-sawah. Hutan tersebut dilindungi dan dinamakan hutan tabu yang tak seorangpun berhak menebang pohon maupun mengusik satwa yang ada di dalamnya. Mereka percaya pada kebendon yaitu kutukan apabila mengusik hutan-hutan itu. Begitu pula dalam mengambil kayu di hutan untuk kepentingan adat sudah ditentukan hari baiknya. Pemotongan kayu untuk memperbaiki Masjid Adat misalnya harus dilakukan pada tahun Alip yang datangnya dalam satu windu (8 tahun) sekali.

Ajaran “Waktu Telu” di Lombok sebenarnya secara formal sudah tidak ada sejak 1968, karena waktu itu para tokohnya sudah menyatakan diri untuk meninggalkan ajaran yang selama ini dianutnya, dan menyatu dengan pemeluk agama Islam pada umumnya (Sejarah NTB, 1988, halaman 224). Namun kebudayaan Wetu Telu merupakan warisan leluhur masyarakat Bayan yang melekat pada kondisi sosial budaya mereka, sehingga bukan hal mudah untuk merubah nilai-nilai tersebut. Tanpa bermaksud mendikotomi, hal itu membuktikan bahwa nilai-nilai kearifan mereka membawa dampak positif dalam mempertahankan kondisi lingkungan. Konsistensi bahwa mereka sangat bergantung pada alam menjadikan individu yang bijaksana dalam memanfaatkannya. Info wisata asyik lainnya.



Retrieved from: http://melancongkelombok.blogspot.com/2010/12/wetu-telu-kearifan-tradisional-di.html

Wednesday, July 18, 2012

Melongok Kampung Islam Wetu Telu di Lombok Barat, NTB (2)

Senin, 14 Juli 2008


Masjid Islam Wetu Telu
Dalam Setahun Hanya 3 Kali Digunakan
Masjid Islam Wetu Telu sungguh berbeda dengan masjid-masjid Islam (murni) pada umumnya. Dalam setahun, masjid Islam Wetu Telu hanya digunakan tiga kali pada tiap-tiap Idul Fitri, Idul Adha dan Mauludan. Di luar hari-hari itu, pintu masjid yang sama sekali tidak berjendela itu akan selalu dalam keadaan terkunci.
***
Di salah satu sudut areal Bale Adat Gubuk Karangbajo, di Desa Karangbajo, Kecamatan Bayan, Lombok Barat, NTB – terdapat sebuah masjid tua. Berkisah tentang masjid tersebut, Ketua Adat Islam Wetu Telu Rianom mengatakan kepada kami, bahwa usia masjid adat Islam Wetu Telu di Karangbajo itu sudah cukup tua. Usianya sudah mencapai ratusan tahun.
Tetapi yang namanya masjid di sini, jangan dibayangkan seperti umumnya masjid. Masjid umat Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo, Kecamatan Bayan, Lombok Barat, NTB, ini dindingnya terbuat dari anyaman kulit bambu. Sedang atapnya terbuat dari sakek, bukan rumbia ataupun ijuk. Lantainya tanah, tanpa dilapis semen, tegel, marmer atau keramik.
Seingat Rianom, sudah beberapa kali masjid tersebut mengalami renovasi. Hanya saja, sepanjang sejarah renovasi masjid tua Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini, tidak pernah sampai mengganti saka gurunya. Saka guru yang terdiri dari empat pilar kayu khusus itu, dari pertama kali didirikan hingga sekarang tak pernah sekalipun diganti.
Seperti yang dikemukakan Rianom kepada kami, dari dulu hingga sekarang empat pilar penyangga atap masjid yang berada di dalam masjid itu tak pernah diganti. “Saka guru atau empat pilar itu terbuat dari jenis kayu santaguri yang sekarang ini sudah sangat langka,” jelas Rianom ketika mendampingi kami melihat-lihat keadaan masjid tua itu.
Atap masjid, terdiri dari dua trap. Arsitektur bangunannya, sepintas tampak seperti bangunan joglo. Tidak seperti umumnya masjid-masjid besar, masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini tanpa kubah. Selain itu, juga tidak ada menara yang tinggi menjulang seperti masjid-masjid besar pada umumnya.
Keanehan masjid Islam Wetu Telu yang kami temui di Desa Karangbajo, bukan hanya itu saja. Betapa tidak, pada masjid tersebut hanya terdapat satu pintu saja, dan tanpa satu pun jendela. Yang kami bayangkan, betapa gerahnya berada dalam masjid tersebut jika bertepatan dengan musim kemarau.
SELALU TERKUNCI
Ketika hal ini kami tanyakan kepada Rianom, jawabnya: “Masjid Islam Wetu Telu lain dengan masjid-masjid Islam Wetu Lima (maksudnya, Islam murni, Red.),” terang Rianom. “Karena, dalam satu tahun masjid Islam Wetu Telu hanya digunakan tiga kali, yaitu pada setiap Idul Fitri, Idul Adha, dan Mauludan,” lanjut Rianom.
Pantas saja, ketika kami mendengar adzan Maghrib berkumandang dari kejauhan, pintu masjid tersebut tetap terkunci. Juga tak tampak umat Islam Wetu Telu yang berbondong-bondong ke masjid itu untuk melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Masjid itupun hanya berdiri bisu, dan sayap-sayap malam pun mulai mengepak memayunginya.
Suasana di sekitar masjid itupun tiba-tiba terkesan wingit. Untungnya, sebelum malam turun, kami sudah mengambil keadaan dalam masjid itu. Tetapi, ya itu, tidak bisa leluasa. Sebab, kami mengambil foto keadaan dalam ruangan masjid itu hanya lewat celah dinding anyaman bambu yang terdapat di dekat pintu masuk masjid.
Kami pun menanyakan kepada Rianom, “Tidak bisakah pintu masjid ini dibuka, biar kami bisa mengambil foto suasana dalam masjid ini dengan leluasa dan baik?” Atas pertanyaan tersebut, Rianom dengan serius menyatakan: “Tidak bisa! Pintu masjid ini hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu, seperti yang telah saya katakan tadi. Di luar Idul Fitri, Idul Adha, dan Mauludan, pintu masjid selalu terkunci!”
Apa boleh buat, kami pun akhirnya menyerah. Dengan keterbatasan tersebut, kami berusaha mendapatkan gambar semaksimal mungkin. Lewat celah yang sangat terbatas, kamera kami bidikkan ke sudut-sudut dalam ruangan masjid itu. Empat saka guru, yang katanya terbuat dari kayu langka jenis santaguri itupun kami bidik. Begitu juga dengan bedug kuno, yang lazim disebut grantung oleh masyarakat Islam Wetu Telu, tak luput dari rekaman kamera digital kami.
DORCE MENANGIS
Sebagai cagar budaya, masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini banyak mendapat kunjungan. Tetapi yaitu, di luar hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan Maulud, pengunjung jangan harap bisa memasukinya. Karena, pada hari-hari biasa, pintu masjid itu selalu dalam keadaan terkunci.
Beruntunglah artis gaek Dorce Gamalama. Karena kedatangannya ke masjid itu bertepatan dengan mauludan, dia pun bisa masuk ke masjid itu. Bahkan, seingat Rianom – di dalam masjid Islam Wetu Telu ini Dorce sempat menitikkan air mata. “Ya, sangat ingat betul, Dorce waktu berkunjung ke masjid kami sempat menangis. Katanya, mendapat bisikan gaib,” kenang Rianom mengisahkan kepada kami.
Masih segar dalam ingatan Rianom, ketika Dorce mengunjungi masjid itu, banyak sekali warga yang ingin melihat dari dekat sosok sang intertainer ini. “Ya, maklumlah, selama ini mereka kan hanya bisa melihat Dorce dari layar televisi. Begitu mendengar Dorce datang ke masjid kami, maka langsung saja mereka berduyun-duyun ingin melihatnya dari dekat dan secara langsung,” papar Rianom.
Bisikan gaib apa sebenarnya yang telah diterima Dorce di masjid ini? Seingat Rianom, Dorce mengaku mendapat bisikan agar lebih memperhatikan anak-anak yatim piatu, dan kedua orangtuanya. Rupanya, bisikan gaib itulah yang menurut Rianom membuat Dorce manangis tersedu-sedu di masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo.
Sekedar untuk diketahui, Dorce Gamalama terlahir dengan nama Yuliardi di Solok, Sumatera Barat, 1963. Kedua orangtuanya bernama Ahmad dan Dalifa. Masa kecil sarat dengan penderitaan. Ketika usianya baru tiga bulan, Dorce ditinggal mati oleh ibundanya. Kemudian, ketika berumur setahun sang ayah pun pergi untuk selama-lamanya. Sejak itu, praktis Dorce hidup tanpa belaian kasih sayang kedua orangtuanya.
Dorce kemudian diajak neneknya ke Jakarta. Dia tinggal bersama bibinya di bilangan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Dorce hidup terpisah dari saudara kandungnya, dan ketika berumur 10 tahun barulah dia untuk pertama kalinya bertemu beberapa kakaknya. Dorce pun menuntut haknya sebagai seorang adik. Tetapi sia-sia, sehingga untuk biaya sekolah Dorce yang saat itu dipanggil Dedi harus rela berjualan koran dan es mambo.
TIGA PEMUNCULAN
Menurut Rianom, Wetu Telu sendiri sebenarnya berasal dari kata metu telu atau tiga pemunculan hidup. Tiga pemunculan hidup yang dimaksud adalah tumbuh, telur dan beranak. Ketiga fase kehidupan dalam konteks kepercayaan Islam Wetu Telu ini, akhirnya menjadi semacam filosofis hidup.
Wetu Telu juga disebutkan Rianom sebagai agama tradisionil Sasak yang ajarannya sebagian bersumber dari ajaran Islam Wetu Lima dan sebagian lainnya bersumber dari ajaran tradisionil yang dikenal sebagai “Cakepan Nursada”. Sedang ajaran Islam Wetu Lima sendiri adalah “Cakepan Nurcahya”.
Rianom pun kemudian ingin meluruskan anggapan banyak orang tentang Wetu Telu yang banyak ditafsirkan sebagai “waktu tiga”. “Wetu Telu itu, sekali lagi bukan tiga waktu, tetapi tiga pemunculan hidup. Hendaknya, masyarakat tidak keliru dalam menginterprestasikan kata Wetu Telu itu sendiri,” tegasnya mewanti-wanti.
Diakui Rianom, Wetu Telu merupakan sebuah tradisi keagamaan Islam kuno yang kontroversi dalam masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok. Masyarakat seolah dihadapkan pada dilematis agama dan kebudayaan. Di satu sisi, masyarakat dituntut penegakan aqidah dan praktik keagamaan yang murni. Sedang di sisi lain, dituntut upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya lokal yang langka.
Menurut umat Islam Wetu Lima (Islam murni), penyelenggaraan keagamaan Wetu Telu dipandang banyak melanggar aqidah dan syirik, sarat dengan tradisi sesat yang cenderung ke arah pemujaan arwah dan benda-benda. Sementara menurut Wetu Telu sendiri, praktik-praktik keagamaan yang mereka selenggarakan adalah benar, dan ajaran itulah yang pertama mereka terima.
Tetapi, siapa sebenarnya tokoh di balik penyebaran Agama Islam di Pulau Lombok ini? Secara literal, nama Sunan Prapen banyak disebut-sebut. Rianom sendiri, juga mengakui hal ini. Dia menyebut Sunan Prapen bukan dengan sebutan Sunan Prapen, tetapi Pangeran Prapen, atau putra Sunan Giri.
“Islam di Lombok ini, sebenarnya lebih tua dengan Islam yang ada di Dompu dan Sumbawa,” ujar Rianom, ketika memaparkan sejarah penyebaran Islam di Tanah Sasak. Mengapa lebih Tua? Rianom pun menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya itu. Menurutnya, sebelum misi siar Islam ke Sumbawa dan Dompu, terlebih dulu Pangeran Prapen mengislamkan masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok. “Setelah dari Lombok, barulah beliau ke Dompu dan Sumbawa,” tutur Rianom.
Tidak disebutkan, bagaimana keislaman masyarakat Sasak sewaktu ditinggalkan Sunan Prapen untuk melanjutkan misi pengislamannya ke Sumbawa dan Dompu. Hanya saja, sekembalinya Sunan Prapen dari Sumbawa dan Dompu, dia kembali lagi ke Lombok untuk “menggarap” Tanah Sasak.
Babad Lombok I menurut Rianom menyebutkan, sekembalinya Pangeran Prapen dari Sumbawa dan Dompu setelah mengajarkan Islam yang sempurna di daerah itu, dia dengan dibantu oleh Raden Salut dan Raden Sumulya berusaha menyempurnakan ajaran Islam yang sebelumnya ditinggalkan di Tanah Sasak.
Menanggapi ajarannya, sebagian masyarakat lari ke pegunungan. Sebagaian lagi, takluk dan tunduk pada ajaran ini. Sedang sebagian lainnya, hanya tunduk saja. Para ahli sejarah seperti Dr. Goris dan Van Der Khan sepakat, bahwa kelompok yang hanya tunduk saja inilah yang menjadi penganut Wetu Telu. Sedang kelompok yang lari ke pegunungan menjadi penganut “Boda” yang merupakan agama asli Suku Sasak. Dan kelompok yang takluk dan tunduk inilah yang akhirnya menjadi pemeluk Islam Wetu Lima. # m.tohir (bersambung)

Retrieved from: http://pamorjurukunci.blogspot.com/2008/07/melongok-kampung-islam-wetu-telu-di_14.html

Melongok Kampung Islam Wetu Telu di Lombok Barat, NTB (1)

Senin, 14 Juli 2008
 
Ramadhan Bersama Islam Wetu Telu di Lombok (kecil)
Sholat Tiga Waktu
Puasa Tiga Hari

Sebutan “Kota Seribu Masjid”, memang pantas disandang oleh Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebab, hampir di setiap sudut kota itu terdapat masjid. Nuansa Islami memang sangat kental. Walau demikian, komunitas Islam Wetu Telu sebagai paham kepercayaan warga Suku Sasak tetap eksis, tak tergoyahkan. M. Tohir dari Majalah LIBERTY mencoba menembus pedalaman Suku Sasak di Lombok Barat, dan berikut laporannya:

Perjalanan menuju Lombok Barat bukan perkara gampang. Sarana transportasi menuju daerah di kaki Gunung Rinjani itu amat minim. Tak ada bus umum yang hilir mudik di jalanan, kecuali bus-bus pariwisata atau taxi. Satu-satunya transportasi umum, hanyalah colt dan itupun “amat sangat” minim jumlahnya.
Sebenarnya ada juga transportasi tradisionil, biasa disebut cidomo. Tetapi jarak tempuh dokar khas Lombok ini, tentu hanya beberapa kilo meter saja. Padahal, salah satu hunian komunitas Islam Wetu Telu berada di sekitar 100 kilo meter dari Kota Mataram. Pengalaman LIBERTY, waktu tempuh jarak sejauh itu dengan mobil carteran memakan waktu antara 4 hingga 5 jam.
Komunitas Islam Wetu Telu di Lombok Barat sendiri di antaranya terdapat di Desa Karangbajo, Kecamatan Bayan. Komplek hunian mereka dikenal dengan nama Bale Adat Gubug Karangbajo. Dalam komplek ini terdapat 25 rumah adat umat Islam Wetu Telu. Rumah-rumah adat mereka seperti rumah adat Suku Sasak kebanyakan. Dindingnya terbuat anyam-anyaman bambu, atapnya dari rumbia, dan hanya berlantaikan tanah.
Ketua Adat Islam Wetu Telu, Rianom (48), menyambut kedatangan kami dengan hangat dan ramah. “Ya, beginilah keadaan kami,” kata Rianom, yang ternyata seorang guru SD di Kecamatan Bayan ini. “Semuanya masih terjaga keasliannya,” lanjut Rianom tentang rumah-rumah rakyatnya di Bale Adat Gubug Karangbajo itu.
Sebagai ketua adat, Rianom tidak tinggal di Bale Adat Gubug Karangbajo. Padahal, ada “rumah dinas” untuk sang ketua adat di Bale Adat Gubug Karangbajo ini. Entah kenapa, ia lebih memilih tinggal di luar kompleks rumah adat pemeluk Islam Wetu Telu itu bersama isterinya yang asli Tulungagung, Jawa Timur. Meski tinggal di luar kompleks, bukan berarti Rianom tak bertanggung jawab atas kawulanya dan “pemerintahannya”. “Setiap saat saya masih datang ke sini untuk koordinasi dan keperluan-keperluan adat lainnya,” aku Rianom yang tinggal di sebuah rumah permanen, tidak jauh dari Bale Adat Gubug Karangbajo ini.
Sungguh sebuah pengalaman spiritual yang sangat mengesankan, ketika kami berkesempatan untuk bertandang ke Bale Adat Gubug Karangbajo. Begitu tiba di hunian, Rianom segera memenggil beberapa “pejabat adat” Islam Wetu yang tinggal di rumah dinas Bale Adat Gubug Karangbajo itu.
Pejabat-pejabat adat yang diperkenalkan itu antara lain Lokak Pande (staf ahli), Lokak Penguban (yang memayungi dan melindungi umat, selain pembawa payung agung dalam ritual Mauludan), Amak Lokak (tetua adat), Melokak Pemangkuan Singgan Dalem (Intelejen) dan Pemangku Melokak Walin Gumi (penasehat spiritual).
Sejak seseorang dipercaya mengemban sebuah jabatan, maka sejak itu pula dalam pergaulan sehari-hari nama pejabat yang bersangkutan hilang dari sebutan. Tetapi, jabatan yang disandang menjadi sapaan. Misalnya Pak Anu menyandang jabatan Lokak Pande, maka dalam pergaulan sehari-hari sebutannya bukan Pak Anu, tetapi cukup Lokak Pande.
COPOT CELANA DALAM
Menjelajah setiap sudut Bale Adat Gubug Karangbajo, sungguh sebuah pengalaman yang amat mengesankan. Sebab, setiap orang asing yang ingin memasuki kawasan adat ini, harus memenuhi aturan adat yang berlaku. Tidak terkecuali kami, yang harus copot (maaf) celana dalam.
Rianom terkesan berhati-hati sekali, ketika menyampaikan syarat itu kepada kami. Berulang kali, ia pun minta maaf sebelum menyampaikan syarat yang diminta. “Maaf, saya benar-benar minta maaf,” kata Rianom sambil menatap penuh arti kepada LIBERTY. “Untuk bisa memasuki kawasan dalam Bale Adat Gubug Karangbajo ini, syaratnya harus semua ganti pakaian. Semuanya harus dilepas, termasuk celana dalam,” lanjut Rianom.
Ha? Semua harus dilepas, termasuk celana dalam? Kami sempat terkejut dengan persyaratan yang diajukan itu. Tampaknya, Rianom bisa melihat keterkejutan kami. Dan ia pun kembali minta maaf, “Maaf, sekali lagi maaf. Ini, bukan kami hendak mengada-ada, tetapi memang begitulah syaratnya.”
“Bagaimana?” Rianom mempertanyakan kesanggupan kami memenuhi syarat itu. Kami pun lalu mengatakan, “Tak masalah.” Setelah tercapai kesepakatan, akhirnya Rianom mempersilahkan kami untuk dibawa oleh Pembekel Adat di rumah dinasnya yang letaknya bersebelahan dengan tempat khusus penerima tamu.
Memasuki rumah dinas Pembekel Adat, kami langsung seperti tak bisa bernafas. Rumah tersebut, tanpa jendela dan hanya ada satu pintu. Berlantai tanah, berdindingkan anyaman bambu, dan beratap rumbia. Perabotan rumah yang tampak mencolok, hanya berupa dua amben reyot.
Sebuah amben, berkelambu kumal sehingga tidak tampak bagaimana keadaan guling, bantal dan selimutnya. Tetapi amben yang satunya lagi dibiarkan tak berkelambu, sehingga tampak kasur dan bantalnya yang amat kumal. Selain itu, tidak ada skat-skat pembagi ruangan dalam rumah yang berukuran sekitar 4 x 6 meter itu. Di sinilah Pembekel Adat mendadani kami sesuai adatnya.
Setelah lepas celana panjang dan celana dalam, aurat kami dibebat dengan kain panjang batik yang dilapis dengan kain bermotif kotak-kotak. Agar tidak melorot, sabuknya pun rangkap dua. Sabuk dalam untuk kain panjang batik, dan sabuk luar untuk kain hitam kebiruan yang bermotifkan kotak-kotak itu. “Ini nggak pernah dicuci,” Rianom yang mendampingi kami memberitahukan keadaan kain-kain penutup aurat itu. Pada kepala kami pun dikenakan penutup kepala khusus, yang konon juga tidak pernah dicuci.
SANDAL DILEPAS
Setelah berpakaian adat ala umat Islam Wetu Telu, kami pun diantar Rianom berkeliling ke sudut-sudut Bale Adat Gubug Karangbajo. Seperti halnya kami, sebelum memasuki kawasan Bale Adat Gubug Karangbajo – Rianom juga mengganti pakaiannya. Hanya saja, pakaiannya berbeda dengan yang kami kenakan.
Tidak sendirian Rianom mengawal kami melihat-lihat kawasan dalam yang amat wingit dan disakralkan itu. Tetapi dengan pengawalan seorang staf ahli yang lazim disebut Lokak Pande. Kawasan dalam ini, dikelilingi pagar anyaman bambu setinggi kurang lebih 3 hingga 4 meter. Ada undak-undakan batu di depan pintu masuk kawasan dalam itu. “Maaf ya, kalau masuk di kawasan dalam ini, sandal harus dilepas,” Rianom memberi tahu kami, ketika melepas sandalnya di undak-undakan batu menuju kawasan dalam.
Terdapat beberapa bangunan di kawasan dalam tersebut. Di antaranya, yang disebut dengan Bruga Agung, Bruga Malang, Balai Pedangan, Balai Temboroka, dan beberapa bangunan adat lainnya. Khusus untuk Bruga Agung, menurut Rianom diperuntukkan sebagai tempat musyawarah atau memutuskan perkara. “Ya, disinilah para pemangku, pembekel, dan tuak lokak merapatkan hal-hal yang penting dan untuk memutuskan perlu dimusyawarahkan,” jelas Rianom.
Yang disebut Bruga Agung sendiri, berupa bangunan balai-balai di atas panggung. Siapapun yang naik ke tempat ini, konon harus memiliki niat yang suci. Duduk pun tidak boleh sembarangan. Di antaranya, tidak boleh duduk dengan posisi kaki menggantung di tepi balai-bali. “Aturannya memang demikian, jika sudah berada di Bruga Agung ini, duduknya harus bersila dan takzim,” ujar Rianom.
Kawasan dalam Bale Adat Gubug Karangbajo ini, terkesan benar-benar disucikan. Sejumlah bangunan khusus yang berada di dalamnya hanya difungsikan untuk hal-hal tertentu. Di sini pula tinggal seorang ulama Islam Wetu Telu. Rianom kembali minta maaf kepada kami, ketika ia tak bisa mempertemukan kami dengan Kiai Islam Wetu Telu yang dimaksudkannya itu. “Mungkin lain waktu saja,” kata Rianom kepada kami tanpa bisa menyembunyikan kekecewaannya.
PUASA DAN SHOLAT
Terdapat beberapa tingkatan ulama dalam komunitas Islam Wetu Telu. Sedikitnya ada empat tingkatan. Tingkatan yang paling atas, lazim disebut Kiai Penghulu. Sedang tingkatan di bawahnya, masing-masing disebut Kiai Lebaih, Kiai Ketib, dan Kiai Mudim. Menurut Rianom, kepada para ulama inilah umat Islam Wetu Telu menggantungkan hal-hal yang sifatnya spiritual.
Seperti bulan Ramadhan ini, misalnya. Umat Islam Wetu Telu juga melaksanakan puasa Ramadhan. Tetapi puasa mereka tidak sebulan penuh selama bulan Ramadhan itu. Puasa mereka dalam satu bulan hanya selama tiga hari. Waktunya pun bisa dipilih, bisa di awal, di tengah atau di akhir bulan Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri.
“Jika misalnya pilih waktu di tengah, maka ya mulainya paroh bulan hingga tiga hari secara berturut-turut. Begitu pula jika misalnya ingin pilih di awal bulan puasa atau di akhir bulan puasa menjelang hari raya Idul Fitri,” ungkap Rianom menjelaskan cara berpuasa umat Islam Wetu Telu.
Uniknya, puasa tersebut bisa diwakilkan kepada para ulama Islam Wetu Telu. Para ulama Islam Wetu Telu yang mendapat mandat untuk “memuasakan” umatnya, hukumnya wajib untuk untuk melaksanakan. Jika tidak, maka akan mendapat sanksi adat yang cukup berat. “Seorang ulama Islam Wetu Telu yang mendapat sanksi adat, maka akan menanggung beban moral yang sangat berat dan secara psikhologis cukup menyiksa ulama yang bersangkutan itu,” ujar Rianom.
Kepercayaan Islam Wetu Telu yang dianut masyarakat Suku Sasak ini memang berbeda dengan umumnya ajaran Islam. Begitupun dalam melaksanakan sholat. Umat Islam Wetu Telu tidak melaksanakan sholat 5 waktu dalam sehari, melainkan hanya 3 waktu saja: sholat pada siang hari (duhur), sore hari (asyar), dan saat matahari terbenam (maghrib).
Meski tidak sesuai dengan syariat Islam, mengapa Islam Wetu Telu hingga kini tetap eksis? Bagaimana pula awal bercokolnya ajaran ini di “pulau seribu masjid”? Lebih jauh tentang hal ini, ikuti di edisi mendatang. (bersambung)

Retrieved from: http://pamorjurukunci.blogspot.com/2008/07/melongok-kampung-islam-wetu-telu-di.html