Tuesday, January 3, 2012

Agama dan Kekerasan

Jalaluddin Rakhmat - detikNews
Rabu, 04/01/2012 08:35 WIB  
Jakarta - "Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama," tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism.

"Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi -masih kata Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason - "karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu".

Romo Magnis pernah mengatakan kepadaku bahwa orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan.

Alkisah, ada seorang Inggris yang sangat religius. Kalau bukan orang yang tekun ibadat, ia orang yang rajin 'mencoba' berbagai agama. Ia dibesarkan sebagai Anglikan, dididik sebagai Methodist, berpindah kepada Greek Orthodoxy karena perkawinan, dan dikawinkan kembali oleh seorang rabbi Yahudi.

Sebagai wartawan, ia mengembara secara geografis dan intelektual. Ia mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan semua agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Hasil pengembaraan 'spiritualnya' membuahkan buku: god (dengan huruf kecil) is not Great. Ia menuliskan namanya dengan setiap huruf pertamanya huruf besar: Christopher Hitchens. Ia membagi bab-bab dalam bukunya berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman. Seumur hidupnya, ia menjadi pendakwah ateis yang efektif, terutama terhadap orang-orang yang menjadi korban kekejaman agama.

Setelah Hitchens, Dan Baker menulis buku dengan judul yang ditulis dengan huruf kecil dan subjudul dengan huruf besar semua: godless, How an Evangelical Preacher Became One of America’s Leading Atheists. Jawab: Karena tindakan kekerasan umat beragama.

Ayaan Hirsi Ali untuk Islam sama dengan Hitch dan Dan Baker untuk Kristen. Ia lahir di Somalia, dari keluarga bangsawan Muslim. Waktu remaja, ia masuk sekolah muslimah yang berbahasa Inggris dan didanai Saudi. Guru-gurunya keluaran Saudi. Dengan semangat ia berpindah dari mazhab Syafii yang toleran kepada mazhab baru yang sangat keras. Hidup dengan aliran keras ini tidak membahagiakannya. Ia menyaksikan berbagai tindakan kekerasan, terutama kepada perempuan, atas nama agama.

Ia mengungsi ke negeri Belanda. Di sini, ia mendapat perlakuan yang tidak enak dari sesama Muslim. Setelah kecewa dengan peristiwa 11 September, setelah membaca Manifesto Atheis dari Herman Philipse, secara resmi ia meninggalkan Islam dan menyatakan diri Atheis.

Pada 2004, Ayaan, yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda, menulis naskah dan menyediakan suara untuk film pendek Submission. Seorang aktris, berpakaian chador yang tembus pandang, mengisahkan penderitaan empat tokoh perempuan yang ditindas atas nama Islam.

Melalui chador yang transparan, penonton melihat tubuh telanjang yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran. Film ini tentu saja menimbulkan kemarahan hatta di negeri Belanda sekalipun. Produsernya, Theo van Gogh, dibunuh di jalan di Amsterdam. Di atas jenazahnya diselipkan surat dan pisau yang berisi ancaman kepada Ayaan. Ia ditunjuk Time sebagai 100 most influential people in the world. "This woman is a major hero of our time," kata Richard Dawkins, anggota trinitas Atheis. Hirsi Ali menjadi dewi ateis sedunia.

Walhasil, kenapa orang menjadi atheis? Karena mereka menyaksikan atau mengalami sendiri tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agamanya sendiri sebetulnya hanya menjadi kambing hitam. Bisa saja orang menyulut konflik karena motif-motif sekular –misalnya, ekonomi, politik, rasialisme - tetapi mereka menyelimuti nya dengan jubah agama.

Jika kita belajar sejarah, kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22,9 persen ateis, 21 persen sekular dan sisanya menganut agama Yahudi dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen); bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609; bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci; bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak).

Bagaimana dengan konflik Sunnah dan Syiah di berbagai tempat di Jawa Timur, termasuk Sampang? "Bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena perbedaan pendapatan," kata petinggi NU masih dari daerah yang sama. Rois dan Tajul, kakak-beradik, dilantik sebagai pengurus Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlil Bait Indonesia) pada 2007. Pada 2009, mereka terlibat konflik keluarga, antara lain karena masalah santri perempuan di pesantren Tajul.

Karena persoalan pendapatan, Rois meninggalkan paham Syiah dan beralih pendapat. Katanya, "Saya kembali ke Nahdhiyin, karena banyaknya penyimpangan dalam ajaran Syiah". Pada pengujung 2011, Rois –menurut pengakuannya sendiri- membiarkan orang-orang yang sependapat dengan dia menghancurkan teritori dan massa pengikut saudaranya. Media melaporkan, "Roisul Hukama memimpin massa Ahli Sunnah untuk menyerang perkampungan dan pesantren Tajul Muluk, yang berpaham Syiah". Para tokoh Islam, dengan pendapatan yang lebih besar, kemudian menabuh genderang perang. Atas nama agama!

Siapakah yang beruntung? Tidak satu pihak pun. Tidak Rois dan tidak Tajul. Siapakah yang menang? Kaum ateis. Mereka punya amunisi baru. Mereka akan menisbahkan tindakan kekerasan dan kekejian kepada agama. Tidak jadi soal apakah penyebab yang sebenarnya itu berasal dari masalah ekonomis, politis, ideologis, ethnis, atau sekedar pertikaian di antara keluarga miskin di kampung yang miskin!

*) Jalaluddin Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia.

Retrieved from: http://us.detiknews.com/read/2012/01/04/083526/1806073/103/agama-dan-kekerasan

Sunday, January 1, 2012

My Academic Works on Indonesian Islam

  1. Burhani, Ahmad Najib. 2018. “Islam Nusantara as a Promising Response to Religious Intolerance and Radicalism”. Trends in Southeast Asia No. 21, pp. 1-29. Singapore: ISEAS.   
  2. Burhani, Ahmad Najib. 2018. "Plural Islam and Contestation of Religious Authority in Indonesia". in Islam in Southeast Asia: Negotiating Modernity, ed. Norshahril Saat. Singapore: ISEAS. pp. 140-163.
  3. Burhani, Ahmad Najib. 2017. "Geertz’s Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi: Controversy and Continuity". Journal of Indonesian Islam, 11 (2): ? - ?. 
  4. Burhani, Ahmad Najib and HUI Yew-Foong. 2017. "The hijab in Indonesia: From oppression to high fashion". TODAY, Singapore, 13 Sep.
  5. Burhani, Ahmad Najib. 2017. "Menegosiasikan Keindonesiaan dan Keislaman". Jurnal Maarif, Vol 12, No. 1 - Juni 2017, hal. 12-21.
  6. Burhani, Ahmad Najib. 2017. "Ethnic Minority Politics in Jakarta’s Gubernatorial Election". ISEAS Perspective, No. 39, June.
  7. Burhani, Ahmad Najib. 2016. “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan”. Jurnal Maarif, 11 (December/2): 15-29.
  8. Burhani, Ahmad Najib. 2014. “The Reformasi ’98 and the Arab Spring: A Comparative Study of Popular Uprisings in Indonesia and Tunisia,” Asian Politics & Policy (Wiley-Blackwell), 6 (2): 199-215.
  9. Burhani, Ahmad Najib. 2012. "Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia." Jurnal MAARIF, 7 (1/Oktober): ?-?.
  10. Burhani, Ahmad Najib. 2012. “Defining Indonesian Islam: An Examination of the Construction of National Islamic Identity of Traditionalist and Modernist Muslims” in Islam in Indonesian: Contrasting Images and Interpretations, edited by Jajat Burhanuddin and C. van Dijk (Amsterdam: Amsterdam University Press and ICAS, in print). Also available at Amazon.
  11. Burhani, Ahmad Najib. 2006. Buret: Studi tentang agama dan pandangan hidup di Tulungagung Jawa Timur." In Agama, religi & kepercayaan lokal: penelitian di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. ed. Abdul Rachman Patji, 55-85. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2006.
  12. Burhani, Ahmad Najib. 2005. "Delimited Pluralisme: Kajian Sikap Pemerintah danMasyarakat terhadap Agama Lokal di Indonesia." Jurnal Character Building, Vol. 2, No. 1, Juli 2005. 
  13.  Burhani, Ahmad Najib. 2001. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu. Jakarta: Kompas, 2001. Available at Amazon.

Public Lecture at Kyoto University, Japan, 21 April 2016. Title of presentation: Islam in Southeast Asia: Orthodoxy and Distinctiveness. Organized by the Department of International Relations. Attended by more than 70 students.

Kajian TITIK-TEMU ke-39 tentang "Keindonesiaan dan Keislaman". Bersama Prof. Dr. Masykuri Abdillah (Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta) dan Ahmad Najib Burhani, Ph.D (Peneliti Senior LIPI). Moderator Ahmad Gaus Ahmad AF. Rabu, 1 Maret 2017, Jam 18.30 s.d 21.30 @Grha STR, Lantai 4, Jl. Ampera Raya No. 11 Jakarta Selatan