Saturday, June 30, 2012

References on Islam Aboge

References

  1.  Abdurrahman M. 2011. "Islam Aboge: Harmoni Islam dan Tradisi Jawa." Paper presented at the 11th Annual Conference on Islamic Studies, in Bangka Belitung, 10-13 October 2011.
  2. Ridhwan, Islam Blangkon: Studi Etnogra1 Karakteristik Keberagamaan di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, dalam Jurnal Istiqro’, Departemen Agama Republik Indonesia-Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Volume 07, Nomor 1, 2008.
  3. Ridwan, Islam Blangkon (studi etnogra1s karakteristik keberagamaan masyarakat Kabupaten Banyumas dan Cilacap). STAIN Purwokerto.
  4. Joko Sulistyo, Analisis Hukum Islam Tentang Prinsip Penanggalan Aboge Di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo, Tesis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2008.

Friday, June 29, 2012

Membongkar Kebohongan H Mahrus Ali dan Rekayasa Busuk Wahabi

By Luqman Firmansyah

Inilah dia H. Mahrus Ali

Beredarnya buku-buku tulisan H. Mahrus Ali di berbagai tempat di wilayah Indonesia benar-benar sangat meresahkan ummat Islam. Otomatis itu menjadikan fitnah besar bagi kaum Nahdhiyyin dan bisa mengancam persatuan dan kesatuan ummat Islam di Indonesia, bahkan bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menganut ideologi Pancasila dan berazaskan Undang-undang Dasar 1945. Atas dasar itu,  Tim Sarkub bersama kawan-kawan yang tergabung dalam group “SARKUBIYAH” melakukan silaturrahim ke rumah kediaman H. Mahrus Ali di Tambakwaru Sidoarjo, Surabaya - Jawa Timur untuk meminta penjelasan langsung mengenai buku-buku tulisannya yang meresahkan masyarakat dan menyesatkan itu.

Inilah Foto ketika Tim Sarkub bersilaturahim ke rumahnya H. Mahmud:



Senin Wage, 22 November 2010 M/ 15 Dzulhijjah 1431 H menjadi hari bersejarah bagi Tim Sarkub. Di hari itulah mereka memulai perjalanan untuk ‘menginvestigasi” H. Mahrus Ali, pengarang buku-buku yang menyudutkan NU, di kediamannya di Tambakwaru Sidoarjo - Jawa Timur.  Sebe lum menuju rumahnya H. Mahrus Ali (yang ngaku2 Mantan Kiai NU), mereka berlima silaturrahim terlebih dahulu ke rumah keponakannya yang bernama H. Mahmud alumni pesantren Langitan untuk berbincang-bincang sebentar sambil mengemukakan maksud dan tujuan kedatangan baik kami ke sana. Karena, rumahnya H. Mahmud terletak pas berada di gang yang mau menuju rumahnya H. Mahrus Ali.  Tentunya tidaklahh sopan apabila melewati rumahnya begitu saja.

Dalam silaturrahim itu mereka mendapat gambaran tentang ajaran yang dianut oleh Mahrus Ali, bahkan mereka mendapat informasi bahwa Mahrus Ali itu mengharamkan makan daging ayam dikarenakan ayam mempunyai cakar. Begitupula, Mahrus Ali mengharamkan makan tahu dengan alasan tahu itu mengandung cuka.
Setelah bersilaturrahim kemudian mereka menuju langsung ke rumahnya Mahrus Ali untuk bersilaturrahim dan ingin menanyakan langsung tentang penggunaan istilah “Mantan Kiai NU” dalam setiap karangannya.

Alhamdulillah berkat anugerah Allah swt mereka  bisa menemui dia dengan begitu mudahnya. Padahal menurut informasi yang didapatkan di masyarakatnya bahwa dia itu sulit sekali ditemuinya terutama dengan orang yang tidak sepaham dengannya. Bahkan ibu kandungnya sendiri ketika sakit keras, dia (Mahrus Ali) tidak mau menemuinya dengan alasan tidak sepaham dengannya.

Dalam silaturrahim itu Tim Sarkub sempat berdialog langsung dengannya dan alhamdulillah mereka berhasil membongkar kebohongan dan kebusukan Mahrus Ali yang menganut paham Wahhabi beserta penerbit buku-buku karangannya, yang telah menghina dan melecehkan NU. Dengan demikian, mereka sudah sepantasnya diseret ke pengadilan untuk diadili dan mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatan mereka.

Mereka  sempat mengambil foto secara rahasia lewat hp untuk dijadikan sebagai data dan bukti yang valid. Karena, H. Mahrus Ali tidak mau difoto dan menghukumi haram masalah foto. Begitupula, mereka sempat berdialog dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Mahrus Ali termasuk masalah penggunaan istilah “Mantan Kyai NU” di setiap buku karangannya. Ternyata dalam jawaban Mahrus Ali penggunaan istilah “Mantan Kiai NU” itu bukanlah dari kemauan H. Mahrus Ali (Wahhabi tulen) sendiri, tetapi istilah itu merupakan keinginan dan hasil rekayasa dari penerbit “Laa Tasyuk” yang menerbitkan buku-buku karangannya dengan tujuan agar buku-buku tersebut best seller di pasaran. Buku2 tersebut pada hakikatnya merupakan suatu pelecehan dan penghinaan terhadap eksistensi NU baik di forum nasional maupun internasional. Dengan demikian, mereka meminta langsung kepada H Mahrus Ali dengan sejujurnya untuk membuat pernyataan mengenai istilah Mantan Kyai NU yang merupakan bukan pilihannya sendiri sebagai suatu klarifikasi agar tidak menjadi fitnah berkepanjangan di kemudian hari.

Kyai Thobary bersama Mahrus Ali di sampingnya yang sedang menulis Surat Pernyataan.


Inilah  surat pernyataan Mahrus Ali yang sejujurnya kepada Kyai Thobary. Mahrus mengatakan bahwa penggunaan istilah “Mantan Kiai NU” bukan berasal dari dia sendiri. Tetapi itu merupakan pilihan dari pihak penerbit “Laa Tasyuk” yang terlalu dipaksakan demi untuk mengeruk keuntungan pribadi lewat buku2 tulisan Mahrus Ali yang diterbitkannya. Untuk lebih jelasnya lagi kami salin kembali surat pernyataan Mahrus Ali di bawah ini:

“MANTAN KYAI NU BUKAN PILIHAN SAYA DAN SAYA SUDAH BILANGKAN KEPADA WARTAWAN AULA, SAYA MINTA AGAR DIGANTI TAPI SAYA TIDAK MAMPU”

TGL 15 DZULHIJJAH 1431 H

WASSALAM
MAHRUS

Inilah scan surat pernyataan aslinya!!
Surat Pernyataan dari H. Mahrus Ali


Jadi, dalam hal ini penerbit “Laa Tasyuk” bersalah secara hukum. Begitupula dengan Mahrus Ali. Olehkarena itu, pihak NU harus menuntut dan menyeret mereka ke pengadilan demi tegaknya hukum di Indonesia. Kalau dibiarkan saja, pasti fitnah yang ditimbulkan oleh penerbit “Laa Tasyuk” dan H.Mahrus Ali akan semakin berkobar saja dan dapat mengancam kewibawaan NU, bahkan bisa merugikan bangsa Indonesia. Dengan demikian, Mahrus Ali dan penerbt “Laa Tasyuk” ini merupakan manusia-manusia pembohong besar. Pernah dia diundang debat terbuka di UIN Sunan Ampel di Surabaya Jawa Timur untuk mempertanggung-jawabkan buku karangannya yang menghina NU dan tidak ilmiah itu, tapi dianya tidak hadir dengan bermacam-macam alasan. Coba lihat di sini video Debat Terbuka NU - Wahhabi dari 3 sampai dengan 8 :

http://www.youtube.com/watch?v=Pc3974OQ7ho&p=31D71980262CA429&playnext=1&index=2

Dengan ketidakhadirannya itu, takut ketahuan belangnya kali ya konspirasi politik Wahhabi ini?. Awas dan hati2 dengan fitnah dan kebohongan “The Phantom of Opera” ini !!!. Sekarang H. Mahrus Ali sedang dilanda ketakutan karena merasa bersalah. Dia juga suka nongkrong di warung kopi di depan balai desa di dekat rumahnya di desa Tambak Sumur RT 01 / RW 01 Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Itupun beraninya kalau keadaannya sedang sepi. Hidupnya pun semakin susah saja bahkan sudah terasing dari masyarakatnya. Dia itu ibarat cacing tanah kepanasan yang menjadi cemoohan masyarakat sampai ke anak-anak kecil. Itulah adzab Allah swt yang selalu menimpa dia dikarenakan atas perbuatannya sendiri. Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi kita !!.



Inilah Warjok alias Warung Pojok, tempat nongkrongnya Mahrus Ali minum kopi di depan Balai Desa Tambakwaru Sidoarjo Jatim. Itupun dia lakukan kalau kondisinya sedang sepi. Kalau lagi ramai, waaaahh dia sangat ketakutan sekali. Kebetulan warjok itu sedang tutup ketika Tim Sarkub berkunjung ke rumahnya. Waaaah inget2 umur belasan tahun aja nich tukang nongkrong di jalanan bersama kawan2.

Adapun mengenai tulisan-tulisan H Mahrus Ali di setiap buku karangannya, semuanya itu berisikan pengkajian dan pembahasan yang tidak ilmiah dan mengandung ketidakbenaran, karena tidak disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan penjelasan-penjelasan yang ilmiah secara keilmuan. Hanya saja dalil-dalil yang diambil olehnya baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi hanyalah merupakan hasil terjemahan secara tekstual atau letterleg saja sehingga sama sekali tidak mengenai sasaran yang tepat. Bahkan dalam mengartikan ayat-ayat suci al-Quran yang ada asbabun nuzulnya, dia itu sangat anti sekali dengan asbabun nuzul (sebab2 diturunkannya ayat2 suci Al-Qur’an). Karena, menurut dia asbabun nuzul itu dipenuhi dengan sanad-sanad (sandaran-sandaran hukum) yang dhaif atau lemah. Selain itu beliau sangat anti sekali terhadap kitab-kitab karangan Imam Syafi’i. Dia hanya menggunakan tafsir yang dilakukan oleh sahabat Nabi SAW. Dengan demikian, pengkajian Al-Qur’an yang ia lakukan merupakan suatu kekeliruan dan penyimpangan yang besar, karena tidak berdasarkan ilmu tafsir Al-Qur’an dari para ulama yang tidak diragukan lagi mengenai kredibilitas keilmuan mereka. Padahal ilmu tafsir Al-Qur’an itu sangat penting sekali dalam memecahkan setiap permasalah hidup (problem solving) terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabbihat dan ayat-ayat kauniyah.

Selain itu, dia menganggap bahwa ilmu hisab itu bid’ah dholalah dan yang paling benar hanyalah ilmu rukyat semata dalam penentuan awal bulan Qamariyah seperti awal Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah. Bahkan dia menyalahkan NU, Muhammadiyah, PERSIS dan ormas-ormas Islam lainnya. Dalam masalah jatuhnya waktu wukuf di Padang Arafah Saudi Arabia dan masalah jatuhnya hari puasa Arafah di Indonesia juga dia mengikuti keputusan pemerintah Saudi Arabia. Alasannya pemerintah Saudi Arabia itu menggunakan rukyat dan rukyatnya didukung dengan teropong-teropong yang canggih dari Maroko. Kata saya kepadanya: “Bagaimana kita dapat melakukan rukyat (melihat hilal) dengan baik dan benar kalau tanpa didukung dengan data hisab yang akurat”? Karena, rukyat yang baik itu harus dilakukan hisab terlebih dahulu, dengan kata lain ” الرؤية بعد الحساب “. Rukyat tanpa data hisab yang akurat sudah barangtentu akan terjadi kesalahan dalam merukyat. Karena, untuk mengetahui posisi dan ketinggian hilal itu harus menggunakan ilmu hisab. Begitupula lamanya hilal di atas atau di bawah ufuk itu hanya bisa diketahui dengan ilmu hisab, yaitu lamanya hanya sekitar beberapa menit atau detik saja tergantung ketinggian hilalnya.

Salah seorang dari mereka, KH. Thobary Syadzily berkata kepada Mahrus Ali: “Ilmu hisab itu ibarat alamat lengkap seseorang pak. Sedangkan, rukyat itu ibarat rumah seseorang. Bagaimana kita bisa menemukan rumah seseorang kalau tanpa adanya alamat yang jelas. Coba bapak pikirkan baik-baik !. Saya ini datang dari jauh dan ingin ke rumah bapak. Apakah saya akan menemukan rumah bapak kalau saya tidak mempunyai alamat rumah bapak yang jelas?”. Jawab Mahrus Ali: “Oh iya ya pasti sampeyan tidak bisa menemukan alamat rumah saya!”. Itulah penjelasan KH. Thobary  kepada Mahrus Ali dan diapun mengakuinya secara jujur.

Kemudian KH. Thobary bertanya lagi kepada dia: “Ngomong-ngomong ! Apakah bapak bisa tidak ilmu hisab?.”
Jawab dia: “Saya tidak bisa sama sekali ilmu hisab.
“Mengapa bapak menulis ilmu hisab di buku karangan bapak yang berjudul “Amaliyah Sesat Di Bulan Ramadhan?. ” tanya KH. Thobary lagi. “Bahkan bapak mencela NU dan Muhammdiyah serta Kementrian Agama Republik Indonesia. “
Jawab Mahrus Ali: “Oh itu saya ambil dari internet saja. “
Kata KH. Thobary: “Memangnya bapak punya internet?.”
“Ya, saya punya.”, jawab Mahrus Ali.

Itulah pengakuan sejujurnya Mahrus Ali kepada KH. Thobary Syadzily. Karena, mereka berusaha meyakinkan dan memeluruskan pemahaman dia yang salah dan keliru itu tentang ilmu hisab. Wal hasil H Mahrus Ali itu tidak faham sama sekali tentang ilmu hisab dan rukyat. Ternyata tulisan dia tentang hisab itu hanyalah merupakan copy paste dari internet alias google saja.

Adapun dalam masalah penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzul-Hijjah di Indonesia dia menyerahkan sepenuhnya kepada NU. Dari sini kita fahami bahwa dia tidak konsisten dengan pendiriannya semula, padahal secara keilmuan NU itu menggunakan perpaduan antara Hisab dan Rukyat. Tapi, mengapa dia menganggap ilmu hisdab itu bid’ah (maksudnya bid’ah dholalah atau sesat).

Bukan hanya itu saja, H. Mahrus Ali pun sama sekali tidak paham tentang ilmu mantik (logics). Bagaimana dia bisa memahami isi Al-Qur’an dan Hadits kalau dia tidak paham tentang ilmu itu. Sedangkan, ilmu mantiq merupakan salah satu pendukung untuk membongkar rahasia Al-Qur’an dan Hadits. Begitupula ketika ditanya tentang ilmu tauhid pun pemahamannya sangat dangkal sekali, sehingga apa yang dia pahami dalam masalah ilmu tauhid tidak sesuai dengan pemahaman aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan demikian, pemahaman keilmuan H. Mahrus Ali benar-benar sangat diragukan tentang kebenarannya karena tidak sesuai denagn fakta-fakta keilmuan yang berlaku di dalam ajaran agama Islam. Itulah ajaran Wahhabi yang dianut oleh H. Mahrus Ali untuk menyesatkan ummat Islam di Indonesia. Memang Mahrus Ali itu otaknya sudah dicuci oleh Wahhabi ketika dia belajar dahulu di Saudi Arabia selama 8 tahun.

Inilah buku karangan Mahrus Ali yang ternyata cuma diambil dari internet saja!


Awas jangan sampai terprovokasi atau terpengaruh dengan keberadaan buku ini !!. Buku ini dan buku2 lainnya karangan H. Mahrus Ali penuh dengan kebohongan dan hasil rekayasa dari Wahhabi di atasnya saja. Dengan kata lain, buku2 itu hanyalah sebagai penyambung lidah Wahhabi (termasuk penerbit buku “LAA TASYUK” Jln Pengirian No 82 Surabaya dan oknum2 yang berada di belakangnya) saja yang bertujuan untuk mengadu domba antara NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas2 lainnya dan memperdaya ummat Islam di Indonesia khususnya para warga Nahdhiyyin. Itulah gaya politik Wahhabi yang murahan dan rendahan (cheap and low political style of Wahhabi) yang selalu ditampilkan dalam da’wahnya. Cirinya: Wahhabi itu sangat licik sekali dan suka memecah belah ummat Islam saja. Cara berpikirnya pun sangat dangkal sekali dan sangat egoistis alias ingin menang sendiri saja serta suka usilan terhadap urusan ibadah orang lain yang tidak sepaham dengannya dengan mengecam sesat, musyrik dan murtad. Dalam hal ini Wahhabi bukannya memajukan ummat Islam di bidang sains & tehnologi, justru sebaliknya hanya membuat ummat Islam semakin terperangkap saja dalam jurang kebodohan, sehingga sikapnya itu bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang tidak bermartabat dan bermoral baik di forum nasional maupun internasional. Pengarang buku ini sebenarnya bukan mantan kiai NU, apalagi pernah menjadi anggota atau menjabat di NU. Dia itu orang kampung biasa yang keadaan hidupnya sangat sederhana sekali dan tidak punya power sedikitpun di masyarakatnya. Olehkarena itu, penerbit “Laa Tasyuk” memanfa’atkan dia untuk dijadikan sebagai tumbal politik ekonominya.

Kalau melihat tampang muka dan tata cara shalatnya beserta jama’ahnya, pasti semua orang menilai bahwa aliran yang dianutnya sangat menyesatkan ummat Islam. Coba saja lihat di sini foto-foto profil aslinya beserta jama’ahnya !!. Ini benar-benar merupakan foto-foto asli dan bukan hasil rekayasa:

Khutbah Jum’atan di rumahnya sendiri diikuti sedikit jamaah yang mungkin sama-sama kurang waras.

Sujud di atas tanah dan memakai sandal ketika sholat jum’at bertempat di rumahnya Mahrus Ali. (gile bener!)
Mahrus Ali bersama komplotannya di kediamannya usai sholat jum’at.
Shalat pake sandal di atas tanah, tidak mau shalat di atas keramik atau ubin. hihihi
Jama’ahnya masih waras gak ya?
Sujud langsung di atas tanah tanpa alas, lalu kaki masih terbungkus sandal.
Shalat pakai sandal jepit di rumahnya Mahrus Ali. sandal bau telek! hihihi
Pengikutnya sok alim pake sorban tapi gak waras kayaknya. hehe..
Kesesatannya sempat terekam oleh stasiun tv swasta nasional sewaktu shalat Id.
Shalat Id dengan komplotannya di atas tanah


Tulisan ini semata-mata sebagai nasehat agar tidak mudah menerima (menelan) informasi yang datang kepada kita tanpa mengecek atau meneliti informasi tersebut. Dan Tim Sarkub telah berhasil menginvestigasi langsung H. Mahrus Ali yang meresahkan ummat itu. Maka sangatlah mengherankan dengan sikap sebagian kalangan yang tidak pernah mau mengambil hikmah dan pelajaran dari fenomena kebohongan yang mengatas namakan ulama seperti kasus di atas, yaitu seorang H. Mahrus Ali yang mengaku sebagai mantan Kiayi NU dengan tujuan memojokkan NU.

Al-Qur’an telah mengajarkan kepada kita agar tidak mudah mengambil begitu saja informasi-informasi yang datang kepada kita, semua itu agar kita terhindar dari tindakan yang bisa menyebabkan kerugian terhadap orang lain, baik berupa fitnah atau yang lainnya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Hujarat ayat 6 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

‘Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”

Berikut ini salah satu kutipan yang jelas-jelas bohong, yang berasal dari penulis buku “Menggugat Tahlilan” dan mengatas namakan pengarang kitab I’anath Thalibin,

Didalam buku yang berjudul “Membongkar Kesesatan Tahlilan”, hal. 31, disana dituliskan :
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
Penulis buku tersebut mengutip kalimat tersebut dari kitab Ianatuth Thalibin, yang mana kalimatnya telah di gunting/dipotong atau belum tuntas dan ini yang dijadikan rujukan oleh remaja korban internet. Kutipan diatas juga tercantum dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”, isinya sebagai berikut :

“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Perhatikanlah kutipan kalimat diatas, maka silahkan bandingkan dengan teks asli dari kitab I’anah,

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.

“Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang, atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”

Kalimat yang seharusnya di lanjutkan tapi di potong. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/kebohongan disengaja, red) demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? Ucapan mereka yang katanya menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan dan kebohongan yang mereka lakukan.

Itulah sekilas kebohongan yang dijadikan kebanggaan oleh sebagian da’i-da’i keblinger.
Shalat Id dengan komplotannya di atas tanah

Mengenai Kebohongan H. Mahrus Ali dalam bukunya, bisa anda baca di buku yang telah diterbitkan oleh Tim Bahtsul Masail PC NU Jember, bukunya berjudul : “MEMBONGKAR KEBOHONGAN BUKU MANTAN KIAI NU MENGGUGAT SHOLAWAT & DZIKIR SYIRIK (H.MAHRUS ALI”
Wallahu a’lam bishshowab.

Retrieved from: http://agama.kompasiana.com/2010/12/16/membongkar-kebohongan-h-mahrus-ali-dan-rekayasa-busuk-wahabi/

Friday, June 1, 2012

Komunitas Islam Aboge, Beda Bukan Soal, Yang Penting Selamat

Suara Merdeka, 20 Agustus 2011

Purbalingga – Pengikut Aboge menjadi komunitas nyentrik di tengah umat Islam kebanyakan. Berbeda dalam cara menentukan awal tahun Hijriah menjadi ciri khasnya. Bagaimana mereka menjalani perbedaan itu dalam kerukunan, berikut laporannya.

Komunitas Aboge tersebar di eks Karesidenan Banyumas. Mereka memiliki kesamaan sifat dan sikap keberagamaan. Penganut aboge sangat kental dengan ritus kejawen yang diwariskan leluhurnya.Hampir dapat dipastikan, di setiap tempat komunitas Aboge eksis, terdapat situs, benda, dan ritus yang masih dijaga dan dilestarikan oleh pengikutnya.

“Tak hanya awal Puasa atau Bada (Lebaran), kami biasa menggunakan perhitungan Jawa untuk berbagai kebutuhan. Mulai dari kelahiran, perkawinan, kerja, hingga kematian, semua dilaksanakan untuk mencari selamat,” ujar Santibi, pemuka komunitas aboge di Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, Banyumas.
Pengikut aboge percaya bahwa satu bulan selalu genap 30 hari. Tidak ada bulan ganjil yang berjumlah 29 hari sebagaimana dipercayai oleh orang Islam. Makanya, pengikut aboge selalu mempunyai rumus perhitungan yang sama dan abadi.

“Sampai kiamat pun perhitungannya sama. Kami tidak akan menemui hari Rabu Manis ketika Lebaran karena itu hari yang kami hindari,” jelas Santibi.

Penganut aboge di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas sampai saat ini tetap memelihara makam Mbah Toleh, tokoh penyebar Islam di Banyumas sekaligus pendiri Masjid Saka Tunggal yang dipercaya warga setempat dibangun sebelum Masjid Agung Demak.

Sementara di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, pengikut aboge hingga kini masih menjaga situs dan melestarikan ritus budaya yang diwariskan tokoh misterius bernama Bonokeling. Sedangkan di Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, dan Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang, Banyumas juga masih terjaga baik sebuah situs Pesanggrahan Kyai Langgeng.

Sampai saat ini sebagian besar pengikut aboge kerap membuat upacara selamatan. Tak terkecuali di bulan Ramadan. Sebelum Ramadan tiba, mereka akan menggelar upacara sadranan. Sementara memasuki malam pertama, malam belasan, dan malam “likuran” Ramadan, pengikut aboge juga melaksanakan selamatan.

“Kami membawa makanan dari rumah masing-masing untuk selamatan di tajug (mushala-red). Kalau usai shalat Id, kami juga selamatan. Kami akan makan bersama usai mengadakan ziarah kubur terlebih dulu,” kata Jamang Sudiworo, pemuka aboge di Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang.

Pengikut aboge berpendirian bahwa apa yang mereka jalani adalah hal yang benar. Mereka tak mau mengubah apa pun yang diwariskan oleh leluhur. Mereka percaya jika tetap menjalankan ajaran leluhur, termasuk perhitungan aboge, akan selamat dunia akhirat.

Secara syariat mereka mengikuti ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan secara tarekat sebagian dari mereka merupakan pengikut Tarekat Satariyah.

“Selama jari masih bisa menghitung hari, bulan, dan tahun, maka kami akan tetap mempertahankan perhitungan ini. Kami selalu mencari selamat,” ujar Santibi.

Komunitas Islam Aboge Desa Onje, Mrebet, Purbalingga

Tak beda jauh dari warga aboge di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Mereka menyambut datangnya bulan Puasa, yang menurut hisab jatuh pada Selasa Pahing (2/8). Seperti yang sudah-sudah, ratusan jamaah yang tinggal di desa yang jadi cikal-bakal Kabupaten Purbalingga itu membersihkan Masjid Raden Sayid Kuning sekaligus perlengkapan beribadah, bersama-sama.

“Dua hari sebelum datangnya bulan Puasa, kami biasa bersih-bersih masjid dan makam Raden Sayid Kuning yang berdekatan dengan masjid,” ujar ulama aboge, Kyai Sudi Maksudi.

Raden Sayid Kuning merupakan tokoh kunci penyebaran Islam aboge di desa tersebut. Menantu Adipati Onje itu bernama asli Abdullah Syarif. Bagi mereka, keberadaan masjid yang selalu ramai pada malam Jumat Kliwon itu tidak sekadar benda cagar budaya yang berusia berabad-abad, melainkan juga sebagai simbol pelestarian tarekat Islam aboge.

Malah, konon, para penganut aboge di desa yang kini dipimpin Bangin Irianto itu meyakini datangnya bulan Ramadan bila beduk di “rumah Tuhan” yang sempat mendapat sentuhan Syech Samsudin dan Sunan Gunungjati sudah berbunyi.

“Beduknya bunyi sendiri. Benar-benar bunyi sendiri. Bunyinya memang pelan, seperti kendaraan bermotor. Tapi tidak semua orang bisa mendengarnya,” ujarnya, yang mengaku pernah sekali mendengarnya.

Kyai Sudi menambahkan, bukan berarti bangunan yang di dalamnya terdapat dua batu giok itu hanya eksklusif bagi penganut aboge. Masjid itu biasa digunakan untuk seluruh masyarakat yang akan beribadah.

“Lagi pula aboge bukan aliran sesat, cuma keyakinan kepada Tuhan. Makanya, sampai kiamat juga tidak akan hilang. Kalau yang namanya NII, itu baru masalah,” ujarnya. (Susanto, Bangkit Wismo-43)

Sumber: http://kotaperwira.com/komunitas-islam-aboge-beda-bukan-soal-yang-penting-selamat#ixzz1wpvgGvDx
http://facebook.com/kotaperwiracom

Retrived from: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/20/156702/