Monday, September 10, 2012

Peluang dan Tantangan Pemberdayaan Komunitas “Sedulur Sikep”

Jika kita melakukan perjalanan sepanjang pantai utara Jawa Tengah terutama setelah memasuki daerah Kudus, Pati, Blora, Grobogan bahkan sampai Blitar, Bojonegoro dan Madiun di Jawa Timur akan kita jumpai sebuah komunitas yang sampai saat ini masih teguh memegang ajaran dari leluhurnya dengan berbagai prinsip yang dianggap “nyleneh” (menyimpang) oleh masyarakat pada umumnya. Mereka yang dikenal dengan sebutan “Sedulur Sikep” (dari bahasa Jawa berarti “Sahabat Sikep”) adalah sekelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran “Samin Surosentiko” (http://id.wikipedia.org/wiki/). Selain disebut komunitas Sedulur Sikep mereka juga biasa disebut sebagai komunitas Samin yang disandarkan kepada tokoh panutan komunitas ini. Salah satu ciri khas mereka dalam berpakaian adalah memakai ikat kepala, berbaju takwa warna hitam atau gelap, dan bercelana hitam komprang model tiga perempat bagi yang laki-laki. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan kain jarit dan berbaju hitam atau hijau tua

 Dari beberapa literatur yang saya baca dan juga penjelasan seorang teman dari Pati, sosok Samin yang menjadi tokoh panutan komunitas ini bernama lengkap Samin Surosentiko. Ia lahir di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, pada tahun 1859. Samin mulai menyebarkan ajarannya pada 1890 di daerah Klopoduwur, Blora. Hanya dalam waktu singkat, penduduk di sekitar daerah tersebut banyak yang tertarik mengikuti jejaknya. Wajar saja jika ajaran Samin banyak mengundang simpati masyarakat ketika itu karena nilai-nilai yang disampaikan sangat luhur dan sesuai dengan nurani manusia. Beberapa inti ajaran Samin diantaranya keyakinan betapa penting menjaga tingkah laku yang baik, berbuat jujur, tidak menyakiti orang lain, tidak boleh bohong, menipu dan minteri (mempergunakan kepintaran yang dimiliki untuk memperdaya orang lain). Dalam perilaku sehari-hari komunitas ini harus menghindari sikap drengki, srei, dahwen, kemeren, dan panasten (yang benar disalahkan atau sebaliknya, membesar-besarkan persoalan, iri hati, dan tidak menginginkan orang lain berbuat baik).

Selain ajaran tersebut, mereka juga harus menghindari perilaku bathil lainnya seperti bedok, colong, petil, jumput dan nemu (merampok, mencuri, ngutil, mengambil milik orang lain, bahkan sampai menemukan barang orang lain pun tak boleh dilakukan). Pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin tersebar di 34 desa di Blora bagian Selatan dan Bojonegoro. Pada tahun 1907, populasi komunitas Samin sudah mencapai angka 5.000 orang. Laporan ini membuat pihak pemerintah kolonial Belanda saat itu mulai khawatir dan menganggap komunitas Samin akan menjadi potensi perlawanan yang besar serta mengancam eksistensi pemerintah kolonial. Akibatnya pengikut Samin mulai ditangkapi satu demi satu. Pada 8 November 1907, orang Sikep mengangkat Samin Surosentiko sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Namun baru 40 hari sejak pengangkatan itu, Samin ditangkap oleh Raden Pranolo, asisten Wedana Randublatung. Selanjutnya Samin dan delapan pengikutnya dibuang ke wilayah Sumatera, tepatnya di daerah Sawahlunto. Samin Surosentiko meninggal di pengasingan pada tahun 1914.

Meskipun Samin Surosentiko telah ditangkap dan meninggal dunia di pengasingan tetapi ajarannya tetap hidup. Ajaran Samin berkembang melalui jalur anak, mantu, dan ”teman sepaham” yang dengan gigih menyebarkannya sampai di Pati, Kudus, dan Bojonegoro. Sepeninggal Samin, muncullah Wongsorejo, salah satu pengikut Samin yang gigih menyebarkan ajaran gurunya hingga Madiun. Nasib Wongsorejo sendiri tidak jauh berbeda dengan gurunya, ia ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Setelah Wongsorejo ditangkap kemudian muncul menantu Samin Surosentiko yang bernama Surohidin pada 1911 sebagai penerus ajaran Samin. Surohidin bersama pengikutnya yang bernama Engkrak, bahu membahu menyebarkan ajaran Samin ke daerah Grobogan. Pengikut Samin lainnya yang bernama Karsiyah menyebarkan ajaran Samin hingga daerah Kajen, Pati.

Berbarengan dengan tahun meninggalnya Samin Surosentiko, pada tahun 1914 pecah pemberontakan warga Samin atau yang terkenal dengan sebutan Geger Samin. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan titik kulminasi kemarahan orang Samin atas kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda yang menaikkan pajak bagi pribumi. Bentuk perlawanan dari masyarakat Samin berupa penolakan membayar pajak pun timbul di mana-mana. Masyarakat Samin di daerah Purwodadi, Madiun, Pati, Bojonegoro secara serentak menolak untuk membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Selain menolak membayar pajak masyarakat Samin juga menolak untuk menyekolahkan anaknya di pendidikan formal. Mereka memilih alam menjadi guru, sedangkan petak-petak sawah dan ladang menjadi sekolah mereka. Penolakan terhadap sekolah formal menjadi bagian dari strategi gerakan perlawanan nonkekerasan para petani terhadap penjajahan Belanda sejak tahun 1890-an.

Komunitas Sedulur Sikep khawatir pendidikan formal di sekolah kelak menjauhkan anak-anak mereka dari kehidupan bertani. Sekolah ditakutkan hanya membuat orang ingin menjadi pegawai yang menerima uang dan tidak mau lagi bertani. Dalam bahasa orang Samin dengan sekolah dikhawatirkan akan “minteri” orang lain. Pilihan untuk menolak masuk sekolah formal dilandasi pemikiran bahwa keterdidikan seseorang tidak harus diukur dengan selembar ijazah sebagaimana lazimnya masyarakat di luar Samin. Bagi mereka, bersekolah formal atau tidak bukan soal baik atau buruk, melainkan pilihan yang dianggap sesuai dengan tujuan hidup mereka.

Pelajaran dalam hidup bagi mereka ialah menggarap bumi atau bertani. Para petani Sedulur Sikep sebagian masih punya lahan sendiri, walaupun ada yang menggarap tanah orang lain. Tidak ada keinginan menjadi pegawai negeri atau karyawan yang dibayar, apalagi berdagang yang merupakan profesi pantangan. Keinginan mengambil untung dalam berdagang ditakutkan menggiring Sedulur Sikep bertindak tidak jujur. Hal Ini sama saja melanggar prinsip “lugu”. Namun, Sedulur Sikep tidak berpantang menjual hasil tani mereka karena dianggap jelas asal-usulnya. Istilah yang digunakan pun bukan menjual melainkan “ijol” atau barter. Bagi mereka kepuasan tidak selalu harus diukur dengan perolehan materi atau hal-hal lahiriah lainnya. Dalam komunitas Sedulur sikep kekayaan yang paling penting dibutuhkan oleh manusia adalah “sugih eling,” Eling dalam artian selalu ingat bahwa dirinya berasal dari orangtuanya sehingga tidak boleh membantah kata-kata orangtua dan tentu saja mengingat hakekat dia sebagai manusia yang harus berbuat baik terhadap sesama.

Keengganan untuk memasuki sekolah formal dan membayar pajak ini masih dipelihara sampai sekarang oleh sebagian anggota komunitas ini. Seiring perjalanan waktu, dalam menjalankan ajaran Samin sebagian komunitas ‘Sedulur Sikep’ sudah mulai beradaptasi dengan perubahan zaman dan tidak terlalu kaku dalam menjalankan konsep murni ajaran tersebut. Namun terdapat juga segolongan masyarakat Sikep yang menentang pembaruan dan menuntut dijalankannya kembali ajaran Samin secara murni. Sekarang ini dalam menyikapi tantangan hidupnya komunitas Sedulur Sikep yang tersebar di beberapa daerah punya warna-warninya tersendiri. Pandangan tentang pendidikan formal, pantangan berdagang, dan kesetiaan bertani akhirnya terletak kepada interpretasi masing-masing komunitas Sedulur Sikep.

Untuk melihat warna-warni komunitas Sedulur Sikep dalam mempraktekkan ajaran Samin kita dapat mengunjungi komunitas ini yang bermukim di Kudus dan Bojonegoro. Beberapa pemuka Sedulur Sikep di daerah ini sudah punya pandangan berbeda untuk persoalan pendidikan formal. Bahkan di Desa Jepang Kabupaten Bojonegoro yang berada di kawasan terpencil di tengah hutan jati sudah mengenal sekolah formal sejak tahun 1970-an. Mereka beralasan bahwa sekolah formal mulai dibutuhkan karena setelah kemerdekaan dibutuhkan orang-orang pintar. Apalagi yang membiayai sekolah sekarang bukan penjajah, tetapi orang negeri sendiri alias pemerintah. Alasan penolakan ajaran Samin terhadap sekolah formal sebenarnya terletak pada keengganan untuk menjadi antek penjajah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah lebih banyak digunakan untuk mencetak tenaga kerja yang akan bekerja pada pemerintah kolonial dan bertugas untuk membodohi rakyat pribumi. Sehingga penolakan ajaran Samin terhadap sekolah formal bukan terletak pada jenis sekolahnya tetapi pada inti dari keberadaan sekolah tersebut. Ketika faktor alasan keberadaan sekolah itu sudah tidak digunakan untuk membodohi rakyat pribumi, maka pengikut Samin tetap boleh bersekolah formal.

Meskipun sudah terdapat perbedaan interpretasi diantara komunitas Sedulur Sikep dalam menafsirkan inti ajaran Samin tetapi ketika menyelami alam berpikir mereka, tetap terlihat jelas benang merah yang menyatukan komunitas ini. Pandangan tentang tugas manusia untuk memegang teguh nilai-nilai kejujuran, dan inti ajaran Samin lainnya adalah faktor pemersatu diantara mereka.

Menilik dari sejarah panjang komunitas ini sejak masa penjajahan Belanda sesungguhnya dapat diambil sebuah pelajaran yang berharga. Seperti halnya kelompok-kelompok lain di seantero nusantara, masyarakat Samin juga bagian dari perjuangan panjang bangsa ini dalam melawan tirani kolonial Belanda. Namun apa yang terjadi sekarang ini, masyarakat Samin justru dinilai negatif ketika mereka berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur ajaran yang telah dianut sejak puluhan tahun silam. Mereka masih dianggap sebagai masyarakat primitif yang menghambat laju perkembangan bangsa.

Tidak mengherankan jika komunitas Sedulur Sikep memandang telah banyak orang salah kaprah dalam menilai komunitas mereka. Dalam anggapan mereka sebelum ada namanya Indonesia, sebelum ada lima agama yang diakui pemerintah, Sedulur Sikep sudah punya “ageman” (pedoman hidup). Bagi mereka ageman tersebut sudah lengkap dengan ajaran dan pranata sosialnya. Sedulur sikep sudah menganut ajaran bahwa sesama manusia dianggap saudara, tidak membedakan kulit, tempat, agama atau kepercayaan. Namun setelah Indonesia berdiri, komunitas Sedulur Sikep dianggap orang asing. Dalam masalah agama misalnya setelah ada lima agama resmi yang diakui pemerintah mereka dianggap tidak punya agama. Bahkan ikatan perkawinan dalam komunitas ini dinilai tidak sah karena tidak berdasar pada aturan perkawinan salah satu agama resmi. Maka yang terjadi selanjutnya adalah pemaksaan dari pemerintah melalui perkawinan massal dimana Sedulur Sikep dipaksa untuk menikah ualng dan mengikuti aturan perkawinan salah satu agama yang disahkan pemerintah.

Meski kondisi sekarang sudah berubah dan mengarah ke sedikit perubahan namun perlakuan birokrasi terhadap komunitas ini belum sepenuhnya sesuai harapan. Dalam masalah pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) misalnya, Sedulur Sikep masih menemui berbagai kesulitan. Kendala terbesar ketika harus mengisi blanko isian terutama kolom agama. Dalam blanko KTP yang disediakan pemerintah sudah tercantum lima agama yang diakui sedangkan agama komunitas Sedulur Sikep yang disebut “agama adam“ jelas tidak tercantum di dalamnya. Ketika mereka meminta agar kolom agama dikosongkan yang terjadi justru kolom tersebut diisi oleh petugas dengan tetap mencantumkan salah satu agama di KTP itu. Bagi mereka hal itu jelas tidak bisa diterima, namun apa boleh buat daripada tidak mendapat KTP dan menimbulkan kesulitan lainnya kondisi tersebut terpaksa diterima.
Berbagai perlakuan terhadap Sedulur Sikep yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip hidup komunitas ini menimbulkan pertanyaan besar di benak mereka. Menurut mereka siapa itu pemerintah? Pemerintah ada karena rakyat yang mengadakan. Semestinya para pemimpin pemerintahan mengembalikan kedaulatan kepada pemilik sejati, yaitu rakyat. Sedulur Sikep juga tidak ingin bergantung pada pemerintah. Keengganan mereka untuk bersekolah formal juga bagian dari tidak menciptakan ketergantungan. Dengan tidak sekolah formal, Sedulur Sikep tidak mau jadi pejabat pemerintah. Bagi mereka sudah cukup menjadi orang saja, yang penting tahu salah dan benar serta tidak merugikan orang lain. Komunitas ini juga yakin bahwa mereka mampu hidup mandiri tanpa bergantung pada pemerintah. Ciri utama dari Sedulur Sikep memang terletak pada perlawanannya terhadap kesewenang-wenangan dengan cara damai. Kalau diibaratkan apa yang mereka lakukan mirip seperti langkah Mahatma Gandhi di India yang melawan penjajahan Inggris dengan cara damai dan bertumpu pada kemandirian sendiri tanpa harus tergantung pada budaya dominan ketika itu.

Kengototan orang Samin mempertahankan ajaran yang telah mereka anut sejak puluhan tahun lalu membuat masyarakat umum yang tidak mengenal mereka memberikan cap yang berkonotasi negatif. Orang Samin itu dianggap sekelompok masyarakat yang menganut faham “waton bedho atau waton suloyo” (asal beda), suka menentang pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga kini. Istilah Samin akhirnya menjadi olok-olok untuk mereka yang berlaku “norak”, tak kooperatif, tidak berpendidikan, bebal, dan lain-lain. Dalam istilah Jaspers, seorang asisten Residen Tuban kala itu, melukiskan ajaran Samin sebagai “kelainan jiwa” (mental afwijking) yang disebabkan oleh kelewat beratnya beban pajak yang harus mereka tanggung.

Padahal pilihan Sedulur Sikep mempertahankan ajaran Samin Surosentiko, sesungguhnya dilandasi niat luhur dan tentu saja keberanian berfikir merdeka tanpa harus susah payah meniru atau menjiplak budaya lain. Menurut budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun), sikap egaliter yang begitu kental, kelugasan dan kemerdekaan pikir serta rasa merupakan hal yang membuatnya terkagum-kagum pada prinsip Sedulur Sikep. Ia menambahkan, ketika masyarakat lain masih berwacana tentang kemerdekaan, Sedulur Sikep justru telah menjalaninya dua abad silam. Komunitas yang sering disebut orang “nyeleneh” dan “terbelakang” tersebut justru masih kukuh mempertahankan pikiran dan rasa dengan parameter yang mereka punya. Komunitas Samin hanya ingin agar nilai-nilai yang diajarkan oleh mendiang Samin Surosentiko seperti kejujuran, kepatuhan pada orang tua, tidak menipu dan sebagainya menjadi “saka guru” kehidupan mereka beserta anak turunannya. Sebuah keinginan sederhana yang justru banyak menimbulkan salah tafsir orang umum dan menjadikannya sebagai bahan ejekan.

Berdasar uraian tentang kondisi kehidupan komunitas Samin dan juga berbagai perlakuan yang mereka terima dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, komunitas Sedulur Sikep bukanlah sekedar kumpulan orang-orang terbelakang yang primitif. Mereka juga jauh dari anggapan sebagian orang yang menilai komunitas ini sebagai kumpulan orang kelainan jiwa, tidak kooperatif, bebal, tidak berpendidikan dan berbagai cap negatif lainnya. Kebebasan dan kemerdekaan orang Samin dalam menentukan arah hidup mereka menunjukkan bahwa komunitas ini bukanlah orang-orang primitif yang tak berakal budi. Justru sebagai manusia mereka bisa menempatkan diri dan arah kehidupan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini dan mereka anut. Keengganan mereka untuk menempuh pendidikan formal misalnya, tidak bisa diartikan sebagai tindakan bodoh tetapi harus dilihat sebagai bagian dari prinsip hidup yang harus kita hormati. Demikian halnya ketika mereka menolak untuk membayar pajak ataupun untuk berdagang. Kerangka pemahaman ini penting agar ketika merumuskan program pemberdayaan terhadap komunitas ini bisa menyusun langkah dengan benar dan bijak tanpa harus menghapuskan identitas kultural mereka.

Kedua, ada perbedaan interpretasi diantara sebagian anggota komunitas Samin terhadap inti ajaran mereka. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan dalam upaya pemberdayaan komunitas ini. Perbedaan interpretasi ini harus dikelola dengan baik dan dimanfaatkan untuk memberdayakan mereka. Jangan sampai perbedaan interpretasi ini justru dimanfaatkan untuk memecah belah persatuan diantara mereka. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk membangun dan mengembangkan kesadaran dalam komunitas ini agar mau menerima perubahan dari luar tanpa mematikan identitas mereka.

Ketiga. sesungguhnya komunitas Sedulur Sikep tidak anti perubahan. Hanya saja kekhawatiran akan lunturnya inti ajaran Samin membuat mereka enggan untuk berubah. Hal ini terbukti dari kemauan sekelompok anggota komunitas ini untuk menempuh pendidikan formal, berdagang bahkan bekerja menjadi pegawai pemerintah. Pada intinya selama ajaran dan keyakinan yang dianut tidak terusik mereka bisa menerima perubahan.

Keempat, demi tercapainya pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) seperti halnya Sedulur Sikep perlu adanya perubahan paradigma dari orientasi ekonomi semata ke arah orientasi sosiokultural. Pemberdayaan KAT harus dilihat sebagai pembangunan harkat dan martabat manusia seutuhnya untuk memajukan peradaban bangsa. Jangan sekedar melihat mereka sebagai komoditi untuk dikonservasi atau komoditi untuk dijual (dieksploitasi) demi kepentingan industri pariwisata semata sebagaimana diresahkan oleh penggiat budaya selama ini. Upaya pencerahan komunitas adat terpencil (KAT) harus tetap dalam koridor mendudukkan mereka sejajar dengan kita, bukan dalam koridor merendahkan atau mengeksploitasi. Sehingga saran dan pendapat mereka harus tetap didengarkan sebagai bagian dari WNI yang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Mereka bukanlah objek pemberdayaan tetapi sekaligus subjek yang harus tetap “diuwongke” karena mereka bukanlah benda mati yang tidak mampu berfikir dan menggunakan kemampuannya.

Berdasarkan beberapa kesimpulan tersebut maka langkah pemberdayaan komunitas Sedulur Sikep harus mengedepankan proses dialogis dengan mereka. Paradigma pemaksaan kehendak atau model satu arah harus dihentikan. Saatnya duduk bersama dan mendengarkan keinginan mereka. Dalam masalah keengganan untuk bersekolah formal misalnya, yang dilakukan jangan hanya memaksa mereka untuk sekolah tetapi harus diawali terlebih dahulu dengan memberikan pengertian yang tidak bertentangan dengan keyakinan mereka. Guna menunjang proses pemberdayaan ini alangkah baiknya jika diantara anggota komunitas yang berbeda interpretasi dipertemukan agar mereka bisa bertukar pikiran demi kepentingan mereka sendiri. Selain itu upaya pemberdayaan komunitas Samin harus tetap dalam koridor menghargai inti keyakinan mereka. Bukan sebaliknya justru merusak apa yang mereka pertahankan seperti nilai kejujuran, selaras dengan alam, tidak menipu dan sebagainya yang saat ini sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Apa yang terjadi selama ini upaya pencerahan terhadap komunitas Sedulur Sikep justru menjadi praktek pemaksaan atau hegemoni dari budaya dominan terhadap budaya minoritas. Mereka yang minoritas didudukkan sebagai objek yang harus mengikuti mainstream budaya dominan. Sehingga alih-alih menjadi proses pemberdayaan yang terjadi justru eksploitasi dan pengebirian hak-hak mereka yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka ditempatkan seolah-olah sebagai sekelompok orang primitif yang harus segera dirubah menjadi sosok orang modern yang dianggap lebih baik. Padahal banyak nilai-nilai dan sikap mereka yang justru harus kita teladani karena selaras dengah ruh kehidupan bangsa ini. Kejujuran, menjaga alam dan sifat-sifat lainnya adalah prinsip hidup yang sudah langka di negara ini.

Berbagai diskriminasi dalam pelayanan birokrasi seperti perkawinan, KTP dan lainnya harus dihapuskan. Perlu penanganan lebih bijak terhadap komunitas ini. Keengganan untuk membayar pajak sebenarnya bukan karena berniat melawan pemerintah. Hanya saja ajaran pendahulu mereka yang merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda masih terbawa sampai sekarang. Hal ini perlu dijelaskan kepada mereka, bahwa kondisi sekarang telah berbeda. Tidak ada lagi pemerintah kolonial dan pajak ditarik agar pemerintah bisa memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat. Dengan pajak pemerintah bisa membangun jalan, jembatan, pasar dan berbagai sarana untuk kepentingan rakyat. Apabila proses dialogis ini berjalan dengan baik dan dibarengi perbaikan pelayanan terhadap mereka maka sedikit demi sedikit komunitas Samin akan bisa menerima perubahan.

Pada intinya berbagai upaya untuk memberdayakan komunitas Sedulur Sikep harus tetap mengacu pada Keppres No.111/1999 dan Kepmensos No.06/PEGHUK/2002. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pemberdayaan berarti pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada masyarakat setempat untuk menentukan berbagai bentuk program kegiatan pembangunan serta kebutuhan mereka melalui upaya perlindungan, penguatan, pengembangan, konsultasi dan advokasi guna peningkatan taraf kesejahteraan sosialnya. Sedangkan pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) merupakan proses pembelajaran sosial dengan menghargai inisiatif dan kreativitas KAT terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi sehingga masyarakat secara mandiri dapat mengaktualisasikan dirinya dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mampu memecahkan permasalahannya. Hal ini penting mengingat derap pembangunan terhadap KAT dinilai masih belum menyentuh secara intens pada suku-suku asli di daerah. Kebanyakan masyarakat miskin juga masih berada di sekitar KAT. Dalam pelaksanaan pengembangan terhadap KAT jangan memaksakan pengembangan dengan perspektif pemerintah. Pengembangan harus dilakukan dari sudut pandang suku asli ini, bukan sudut pandang pemerintah.

Retrieved from: http://mubarok01.wordpress.com/2011/12/14/peluang-dan-tantangan-pemberdayaan-komunitas-sedulur-sikep/

No comments:

Post a Comment