Judul : Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal
Penulis : Moh. Rosyid, M. Pd.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Desember 2008
Tebal : xvi + 247 halaman
"SELAMA ini kita lebih ngugemi istilah bahwa komunitas atau yang bertahan hidup adalah mereka yang paling cepat (the survival of the fastest) dalam menyikapi kehidupan dan yang bertahan, dialah yang paling (mempunyai) kekuatan (the survival of the fittest). Namun, dalam konteks Samin Kudus, yang bertahan ternyata merekalah yang paling bersahaja (the survival of the ascetism)" (Moh. Rosyid)
Sepenggal paragraf di atas dituangkan Moh. Rosyid pada kata pengantar bukunya yang berjudul Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal. Singkat, tapi bermakna. Bagaimana tidak, setelah kita membaca kemudian meresapinya, kemudian apa yang kita pahami selama ini tentang siapa yang kuat dialah yang berkuasa (bertahan) dan siapa yang berkuasa merekalah yang akan (ber)tahan di tengah derasnya persaingan hidup, ternyata tidak selamanya benar.
Ternyata, masih ada realitas sosial (sekelompok masyarakat) yang bertahan dan bersaing dalam arus zaman yang serbamodern, tapi tetap mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh adalah komunitas Samin Kudus, yang berbasis di tiga daerah: Desa Kutuk, Desa Karangrowo, Dukuh Kaliyoso, dan Desa Larekrerjo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Pada dasarnya, istilah Samin berawal dari berkembangnya ajaran Samin yang dipelopori Kiai Samin Surosentiko pada tahun 1890. Setelah banyak pengikut, mereka menentang Pemerintahan Kolonial dengan cara tidak membayar pajak di wiliyah jajahan Belanda.
Dengan aksi mereka itulah, pada periode 1903--1905, aparat desa di wilayah Blora bagian selatan dan Bojonegoro memberikan istilah Samin. Masyarakat umum menyebutnya nyamen, yang berarti perbuatan yang menyalahi tradisi-kebiasaan. Fakta inilah sebagian sumber sejarah mengatakan sebagai embrio Samin pertama.
Namun, bagi masyarakat Samin Kudus, kata samin memiliki makna sama; yang berarti kesejahteraan akan tercapai ketika semua anak cucu bersama-sama melawan penjajah. Kemudian, agar terhindar dari tendensi negatif untuk anak cucunya nanti, mereka mengganti dengan sebutan sedulur sikep; yang bagi mereka banyak nilai filosofisnya.
Seperti kata sikep, mereka menganggap bahwa lahirnya manusia di dunia berawal dari proses sikep atau berdekapan atau proses menanak nasi secara tradisional adalah melalui proses nyikep.
Apa yang hendak disampaikan buku ini sebenarnya bukan sejarah masyarakat Samin secara detail. Secara eksplisit, penulis menyampaikan pesan moral dalam konteks zaman kekinian (modern) yang semuanya diukur materi dan kecanggian teknologi.
Budaya peninggalan nenek moyang sudah tidak lagi menjadi ruh dalam interaksi sehari-hari. Sehingga mind set masyarakat mencapai titik klimaks, tercerabut dari akar budaya.
Hal tersebut terpotret pada pernyataan yang sering muncul di kalangan kawula muda: "Kuno kamu masih megang budaya-budaya lama, tidak mengikuti perkembangan zaman".
Bagi penulis, era globalisasi yang sarat inovasi merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap negara bangsa (nation state). Namun, lanjut penulis, tidak serta-merta lepas kendali dari akar tradisi (culture).
Itulah sebabnya, manusia sudah seharusnya paham tentang akar sejarah (man in history), sebaliknya jangan sampai terpisah dari akar sejarahnya (man and history).
Setidaknya ada tiga pesan moral yang hendak disampaikan penulis. Pertama, sesuatu (golongan/komunitas/masyararakat) yang kita pandang buruk, ternyata tidak selamanya buruk. Seperti image masyarakat bahwa masyarakat Samin identik dengan gerakan nyeleneh, menentang pajak, tidak bergaul dengan masyarakat luar dan simbol negatif lainnya.
Semua anggapan tersebut termentahkan. Apa yang dirasakan penulis ketika berinteraksi selama panelitian, satu hal yang dapat dijadikan teladan mereka (masyarakat Samin) adalah perilaku sosialnya sangat tinggi berupa kejujuran, ketidakangkuhan, dibandingkan dengan sebagian orang yang berpendidikan tinggi, pengalaman bertumpuk akan tetapi tidak jujur, dan arogan (hlm. 7-8).
Kedua, menampilkan sosok masyarakat yang tetap kokoh mempertahan tradisi kerifan lokal (local wisdom) yang kemudian bisa dijadikan guru kehidupan untuk mendiagnosis polah-pikir masyarakat yang terus mengarah pada materialis, individualis, life style kebarat-baratan, dan konsutif atau glamor. Dalam hal ini, jelas terdapat adanya perbedaan prinsip penilian terhadap kebahagiaan.
Versi masyarakat modern diukur dengan kemapanan ekonomi, sedangkan masyarakat Samin Kudus mengukur kebahagiaan jika tercipta interaksi dengan lingkungannya penuh kerukunan, kenyamanan, dan meninggalkan konflik. Kata kunci tersebut terekam dalam prinsip ajaran hidup dan prinsip pantangan hidup dengan ungkapan aja pingin kondang, aja pamer, urip sak madya. Ungkapan tersebut bertolak-belakang dengan prinsip modern yakni brain, beautiful and behaviour (hlm. IX)
Pelajaran lain yang patut kita panuti, adalah ajaran dasar dalam berprinsip diri masyarakat Samin meliputi kudu weruh te-e dewe, lugu, milgi, dan rukun. Keempat ajaran tersebut prinsip pertamalah yang patut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dalam konsep kudu weruh te-e dewe, yang berarti setiap orang harus memahami barang yang milikinya dan pantang bagi memanfaatkan barang orang lain.
Sebagaimana yang disaksikan penulis sewaktu melakukan reportase di rumah Bapak Santoso, warga Samin Desa Larekrejo; bahwa ia mengaku pernah ketinggalan lima butir permen (manisan). Ceritanya, dalam perjalanan pulang, penulis mendapat SMS dari Pak Santoso yang isinya: "Pak, manisane njenengan teng enggon kulo." Warga Samin itu memberi tahu kalau permen penulis ketinggalan di rumahnya.
Ketiga, penulis juga berharap tercipta proses kesadaran untuk menghormati hak kaum minoritas (minority rights). Selama ini, hukum sosial mengatakan kaum minoritas adalah golongan kedua (the second class) yang terkadang hak-hak mereka dipandang sebelah mata.
Langkah tepat yang diambil bukan mendahui mereka, tapi bagaimana kita berkomunikasi dengan mereka melalui pendekatan persuasif. Sehingga kita bisa memahami budaya mereka dan mereka pun bisa memahami kita dan mau terbuka dalam memandang tradisi baru untuk kemajuan bersama. n
* M. Abu Laka S.Y., staf Departemen Litbang LPM Rhetor Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2009
Retrieved from: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/02/buku-belajar-kesederhanaan-dari.html
Penulis : Moh. Rosyid, M. Pd.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Desember 2008
Tebal : xvi + 247 halaman
"SELAMA ini kita lebih ngugemi istilah bahwa komunitas atau yang bertahan hidup adalah mereka yang paling cepat (the survival of the fastest) dalam menyikapi kehidupan dan yang bertahan, dialah yang paling (mempunyai) kekuatan (the survival of the fittest). Namun, dalam konteks Samin Kudus, yang bertahan ternyata merekalah yang paling bersahaja (the survival of the ascetism)" (Moh. Rosyid)
Sepenggal paragraf di atas dituangkan Moh. Rosyid pada kata pengantar bukunya yang berjudul Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal. Singkat, tapi bermakna. Bagaimana tidak, setelah kita membaca kemudian meresapinya, kemudian apa yang kita pahami selama ini tentang siapa yang kuat dialah yang berkuasa (bertahan) dan siapa yang berkuasa merekalah yang akan (ber)tahan di tengah derasnya persaingan hidup, ternyata tidak selamanya benar.
Ternyata, masih ada realitas sosial (sekelompok masyarakat) yang bertahan dan bersaing dalam arus zaman yang serbamodern, tapi tetap mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh adalah komunitas Samin Kudus, yang berbasis di tiga daerah: Desa Kutuk, Desa Karangrowo, Dukuh Kaliyoso, dan Desa Larekrerjo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Pada dasarnya, istilah Samin berawal dari berkembangnya ajaran Samin yang dipelopori Kiai Samin Surosentiko pada tahun 1890. Setelah banyak pengikut, mereka menentang Pemerintahan Kolonial dengan cara tidak membayar pajak di wiliyah jajahan Belanda.
Dengan aksi mereka itulah, pada periode 1903--1905, aparat desa di wilayah Blora bagian selatan dan Bojonegoro memberikan istilah Samin. Masyarakat umum menyebutnya nyamen, yang berarti perbuatan yang menyalahi tradisi-kebiasaan. Fakta inilah sebagian sumber sejarah mengatakan sebagai embrio Samin pertama.
Namun, bagi masyarakat Samin Kudus, kata samin memiliki makna sama; yang berarti kesejahteraan akan tercapai ketika semua anak cucu bersama-sama melawan penjajah. Kemudian, agar terhindar dari tendensi negatif untuk anak cucunya nanti, mereka mengganti dengan sebutan sedulur sikep; yang bagi mereka banyak nilai filosofisnya.
Seperti kata sikep, mereka menganggap bahwa lahirnya manusia di dunia berawal dari proses sikep atau berdekapan atau proses menanak nasi secara tradisional adalah melalui proses nyikep.
Apa yang hendak disampaikan buku ini sebenarnya bukan sejarah masyarakat Samin secara detail. Secara eksplisit, penulis menyampaikan pesan moral dalam konteks zaman kekinian (modern) yang semuanya diukur materi dan kecanggian teknologi.
Budaya peninggalan nenek moyang sudah tidak lagi menjadi ruh dalam interaksi sehari-hari. Sehingga mind set masyarakat mencapai titik klimaks, tercerabut dari akar budaya.
Hal tersebut terpotret pada pernyataan yang sering muncul di kalangan kawula muda: "Kuno kamu masih megang budaya-budaya lama, tidak mengikuti perkembangan zaman".
Bagi penulis, era globalisasi yang sarat inovasi merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap negara bangsa (nation state). Namun, lanjut penulis, tidak serta-merta lepas kendali dari akar tradisi (culture).
Itulah sebabnya, manusia sudah seharusnya paham tentang akar sejarah (man in history), sebaliknya jangan sampai terpisah dari akar sejarahnya (man and history).
Setidaknya ada tiga pesan moral yang hendak disampaikan penulis. Pertama, sesuatu (golongan/komunitas/masyararakat) yang kita pandang buruk, ternyata tidak selamanya buruk. Seperti image masyarakat bahwa masyarakat Samin identik dengan gerakan nyeleneh, menentang pajak, tidak bergaul dengan masyarakat luar dan simbol negatif lainnya.
Semua anggapan tersebut termentahkan. Apa yang dirasakan penulis ketika berinteraksi selama panelitian, satu hal yang dapat dijadikan teladan mereka (masyarakat Samin) adalah perilaku sosialnya sangat tinggi berupa kejujuran, ketidakangkuhan, dibandingkan dengan sebagian orang yang berpendidikan tinggi, pengalaman bertumpuk akan tetapi tidak jujur, dan arogan (hlm. 7-8).
Kedua, menampilkan sosok masyarakat yang tetap kokoh mempertahan tradisi kerifan lokal (local wisdom) yang kemudian bisa dijadikan guru kehidupan untuk mendiagnosis polah-pikir masyarakat yang terus mengarah pada materialis, individualis, life style kebarat-baratan, dan konsutif atau glamor. Dalam hal ini, jelas terdapat adanya perbedaan prinsip penilian terhadap kebahagiaan.
Versi masyarakat modern diukur dengan kemapanan ekonomi, sedangkan masyarakat Samin Kudus mengukur kebahagiaan jika tercipta interaksi dengan lingkungannya penuh kerukunan, kenyamanan, dan meninggalkan konflik. Kata kunci tersebut terekam dalam prinsip ajaran hidup dan prinsip pantangan hidup dengan ungkapan aja pingin kondang, aja pamer, urip sak madya. Ungkapan tersebut bertolak-belakang dengan prinsip modern yakni brain, beautiful and behaviour (hlm. IX)
Pelajaran lain yang patut kita panuti, adalah ajaran dasar dalam berprinsip diri masyarakat Samin meliputi kudu weruh te-e dewe, lugu, milgi, dan rukun. Keempat ajaran tersebut prinsip pertamalah yang patut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dalam konsep kudu weruh te-e dewe, yang berarti setiap orang harus memahami barang yang milikinya dan pantang bagi memanfaatkan barang orang lain.
Sebagaimana yang disaksikan penulis sewaktu melakukan reportase di rumah Bapak Santoso, warga Samin Desa Larekrejo; bahwa ia mengaku pernah ketinggalan lima butir permen (manisan). Ceritanya, dalam perjalanan pulang, penulis mendapat SMS dari Pak Santoso yang isinya: "Pak, manisane njenengan teng enggon kulo." Warga Samin itu memberi tahu kalau permen penulis ketinggalan di rumahnya.
Ketiga, penulis juga berharap tercipta proses kesadaran untuk menghormati hak kaum minoritas (minority rights). Selama ini, hukum sosial mengatakan kaum minoritas adalah golongan kedua (the second class) yang terkadang hak-hak mereka dipandang sebelah mata.
Langkah tepat yang diambil bukan mendahui mereka, tapi bagaimana kita berkomunikasi dengan mereka melalui pendekatan persuasif. Sehingga kita bisa memahami budaya mereka dan mereka pun bisa memahami kita dan mau terbuka dalam memandang tradisi baru untuk kemajuan bersama. n
* M. Abu Laka S.Y., staf Departemen Litbang LPM Rhetor Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2009
Retrieved from: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/02/buku-belajar-kesederhanaan-dari.html
No comments:
Post a Comment