Perspektif Perubahan Sosial Budaya Pada Masy. Samin Bojonegoro
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan bagi setiap masyarakat. Tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang luput dari perubahan. Auguste Comte menggambarkan masyarakat dalam dua dimensi, yakni statik dan dinamik. Dimensi statik menunjukkan struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan aspek dinamik menunjukkan adanya perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial dapat dipandang bersifat alamiah karena pasti terjadi pada setiap masyarakat. Namun dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial dapat bersifat problematik maupun menguntungkan bagi masyarakat. Dampak sosial perubahan dapat terjadi secara berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dalam masyarakat yang modern, perubahan sosial yang terjadi acapkali disadari dan direncanakan (by design), sehingga dampak yang terjadi adalah keberuntungan. Misalnya penerapan berbagai perangkat teknologi tinggi, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun yang menunjang kehidupan sehari-hari seperti internet, komputer, pendingin/pemanas ruangan maupun pembangkit listrik tenaga nuklir. Semua teknologi tersebut telah mengubah kebiasaan hidup manusia menjadi hidup yang serba cepat dan nyaman. Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berjarak puluhan bahkan ratusan mil jauhnya hanya dalam hitungan detik melalui telpon genggam dan internet. Demikian pula dengan kebutuhan enerji listrik yang makin tinggi tidak mungkin dipenuhi oleh mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga diesel ataupun batu bara, melainkan sudah mengarah ke penggunaan nuklir. Sekalipun membawa keuntungan yang besar bagi kehidupan sehari-hari, perubahan tersebut menuntut banyak hal dari manusia pelaku dan penikmat perubahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah disiplin (sesuai aturan) dan cermat. Di samping itu juga harus disadari bahwa makin tinggi teknologi yang digunakan, maka makin tergantung pula manusia pada teknologi tersebut. Kerusakan yang terjadi pada teknologi sekalipun sesaat akan membawa akibat yang besar keteraturan hidup manusia. Kita ambil contoh ketika pusat pembangkit listrik di kota New York rusak beberapa tahun lalu, kekacauan timbul baik di jalan, rumah, kantor maupun pusat perdagangan karena kesemuanya sangat tergantung pada pasokan listrik (mulai lampu lalu lintas, pemanas ruangan, lift, lampu penerangan, dsb).
Sedangkan dalam masyarakat yang masih bertaraf tradisional, perubahan sosial yang terjadi bisa jadi menimbulkan problema yang berkepanjangan hingga masyarakat tersebut dapat mennyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Misalnya ketika diterapkannya revolusi hijau di pedesaan Jawa pada tahun 70-an, yang meliputi pemilihan bibit unggul untuk menggantikan bibit lokal, penggunaan pupuk dan pestisida, serta berbagai peralatan modern dalam bidang pertanian lainnya (traktor, huler dan sabit) banyak sekali kekacauan sosial dalam masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat desa dapat “dipersatukan” dengan sistem bawon (setiap petani boleh ikut serta dalam pemanenan dan mendapat upah sesuai dengan ikatan padi yang diperolehnya), namun kini mereka tidak bisa lagi karena pemiliknya telah menebaskan sawahnya pada orang lain. Demikian pula dengan penggilingan padi, jika dahulu dikerjakan beramai-ramai oleh ibu-ibu dengan cara menumbuk dalam lumpang kayu yang panjang, kini telah digantikan oleh mesin-mesin cerdas yang cukup dikerjakan oleh satu orang pria saja. Perubahan dalam kelembagaan juga harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan teknologi yang digunakan. Perubahan sosial semacam ini tentunya sangat problematik bagi warga desa karena secara kelembagaan mereka belum siap, dan perubahan yang terjadi acapkali dipaksakan dari luar. Begitu juga kita bisa melihat contoh nyata dalam masyarakat Papua ketika masa orde baru, Ibu Tien Soeharto melalui yayasannya merubah kebiasaan masyarakat Papua yang menggunakan koteka dan rumbai-rumbai dengan pakaian kain tanpa mengajarkan filosofi berpakaian kain. Masyarakat Papu hanya diajarkan cara menggunakan pakaian kain tanpa mengajarkan berapa lama pakaian tersebut sehat untuk dipakai, bagaimana cara membersihkan dan bagaimana caranya untuk memperoleh yang baru jika yang lama rusak. Ketidakmengertian masyarakat Papua akan pakaian kain menyebabkan pada masa berikutnya banyak di antara mereka yang mengalami sakit kulit parah. Perubahan-perubahan yang dipaksakan dari luar acapkali terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat lebih “rendah” dibandingkan masyarakat lainnya. Perubahan tersebut barangkali tidak dikehendaki namun harus terjadi. Masyarakat desa di Jawa barangkali tidak menghendaki penerapan teknologi maju di bidang pertanian, namun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang membutuhkan ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup, mau tidak mau, suka tidak suka perubahan itu harus dijalani.
Sekalipun mengalami dampak sosial yang problematik, masyarakat diharapkan pada suatu waktu akan dapat menemukan keseimbangan, yang dalam bahasa Parson disebut dengan homeostatic equilibrium, maksudnya jika satu bagian berubah maka bagian lain akan menyesuaikan sehingga tercipta keseimbangan baru. Teori fungsionalisme Parsons ini dianggap konservatif karena beranggapan masyarakat selalu berada pada situasi yang harmonis, stabil, seimbang, dan bersifat mapan.
Masyarakat Samin yang Sedang Berubah
Pembahasan ini didasarkan pada pengalaman saya ketika membimbing mahasiswa antropologi praktek kuliah lapangan (PKL) di desa Tapelan, kecamatan Ngraho, kabupaten Bojonegoro pada bulan Nopember 2007 lalu. Ilustrasi perubahan sosial budaya ini berkaitan dengan problematika yang dialami oleh masyarakat Samin dalam terpaan jaman yang makin meminggirkan komunitas mereka yang telah terbangun sejak jaman kolonial Belanda bercokol di tanah Jawa.
Masyarakat Samin sesungguhnya adalah masyarakat Jawa yang mengembangkan berbagai ajaran hidup yang dianggap berbeda (“nyleneh”) dibanding masyarakat jawa umumnya. Ajaran Samin yang semula diperkenalkan oleh Raden Kohar atau lebih dikenal dengan mbah Samin Soerosentiko pada tahun 1889 di daerah Blora, Jawa Tengah. Ajaran Samin muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya terlalu mengeksploitas orang-orang Jawa sehingga selalu menderita dan miskin. Perlawanan mereka diwujudkan dalam bentuk menolak membayar pajak, menolak menyumbangkan tenaganya untuk kerja pada Belanda, menolak ronda malam, menolak menyerahkan sebagian hasil panennya sebagai upeti. Ajaran Samin yang semula hanya berkembang di desa Klopoduwur, Blora saja, kemudian terus berkembang hingga mencapai wilayah Bojonegoro, Blora, Kudus, Grobogan, Ngawi, Demak, Madiun, Tuban dan Pati. Hingga tahun 1907, desa Tapelan (Bojonegoro) tercatat memiliki jumlah pengikut Samin terbesar yakni sekitar 7000 orang (Mumfangati, 2005:23).
Ajaran Samin dapat berkembang terus secara baik di masa kolonial Belanda, namun ketika Indonesia telah merdeka masyarakat Samin terdesak eksistensinya. Bahkan di beberapa tempat (seperti Madiun, Demak dan beberapa desa di Bojonegoro, Tuban, Ngawi, dll) telah lenyap. Berdasarkan data-data yang sempat saya kumpulkan pada waktu itu (2007) serta analisis sederhana yang saya lakukan, tampaknya ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan sosial-budaya masyarakat Samin. Penjelasan rinci akan saya berikan pada bagian berikut nanti.
Menurut Benda dan Castle (1960, dikutip oleh Winarno, 2003:58) masyarakat Samin di desa Tapelan Bojonegoro telah ada sejak tahun 1890, dan tempat kedua terpenting dalam penyebaran ajaran Samin selain daerah asalnya yaitu Klopoduwur, Blora Jawa Tengah. Secara geografis antara desa Tapelan dengan kabupaten Blora hanya dipisahkan oleh sungai Bengawan Solo. Oleh sebab itu sangat masuk akal jika Tapelan menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan ajaran Samin. Menurut hasil wawancara saya dengan sesepuh masyarakat Samin di desa Tapelan, mbah Sada’ (telah meninggal dunia pada bulan Juni 2008 karena usia tua), pada waktu penjajahan Belanda, penduduk acapkali mendapatkan siksaan badan jika tidak mamu membayar pajak. Oleh karena itu masyarakat desa menggunakan strategi Nyamin, yaitu berpura-pura gila atau nggendheng. Jika ditanya, maka jawabannya ngawur atau tidak sesuai dengan pertanyaan, kemudian juga tidur di pekarangan rumahnya kanggo (dipakai), maksudnya semua yang ada di rumahnya itu dipakai/digunakan.
Secara kasat mata orang Samin bisa dibedakan dengan orang pada umumnya dari segi pakaian yang dikenakan. Kaum laki-laki menggunakan pakaian serba hitam (biasa disebut dengan baju kampret), sedangkan kaum perempuan (terutama ibu-ibu) menggunakan pakaian jarit dan kebaya sederhana. Namun ciri khas tersebut juga telah mulai luntur (kaum lelaki menggunakan kaos dan hem, hanya orangtua saja yang masih kelihatan bebaju kampret).
Pada saat ini (2007) komunitas Samin di desa Tapelan tinggal 8 keluarga saja, itupun hanya orangtua saja, sebab anak-anaknya tidak lagi menganut ajaran Samin secara konsisten (artinya hanya ajaran hidup yang baik-baik saja yang diambil, sedangkan ajaran lainnya yang berkaitan dengan ekonomi dan perkawinan sudah ditinggalkan).
Jika di masa lampau perkawinan orang Samin menganut prinsip endogami (menikah hanya dengan sesama orang Samin), namun saat ini hal itu sudah tidak lagi dilakukan. Berkaitan dengan perkawinan orang Samin terdapat tradisi nyuwito, yakni sebelum dilakukan perkawinan lelaki calon mempelai harus mengabdi pada orangtua si perempuan dengan jalan bekerja dan tinggal di rumah orangtua calon istrinya hingga dirasa cukup. Tidak jarang pada masa nyuwito anak perempuan calon istrinya sudah lebih dahulu hamil. Namun sekarang tradisi nyuwito dan prinsip endogami sudah tidak lagi dilakukan. Mereka mencari pasangan tidak lagi terbatas pada kelompoknya saja, melaiinkan sudah mengambil jodoh hingga ke luar batas-batas kelompok bahkan desa. Demikian pula mereka kini sudah mengikuti hukum negara yakni menikah lewat KUA jika menemukan jodoh Muslim.
Demikian pula dengan pekerjaan, jika dahulu orang Samin pantang untuk bekerja di luar bidang pertanian, namun saat ini mereka (khususnya kaum muda) sudah tidak lagi bekerja di lahan pertanian. Kebanyakan berdagang, bahkan ada yang merantau dan menetap di Jakarta dan beberapa kota lainnya untuk bekerja di kantor selain berdagang. Jika di desa Tapelan, banyak orang Samin yang berdagang kapuk randu dan menjual bantal guling hingga ke kota Ngawi dan Bojonegoro. Beberapa perubahan yang terjadi pada masyarakat Samin desa Tapelan, khususnya akan saya tampilkan dalam matriks berikut ini:
Sumber: diolah dari skripsi Yuristia Ardani, 2009 (sebagian data-data
berdasarkan wawancara prapenelitian bersama Pudjio tahun 2007).
Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan, dan baru disadari ketika mulai membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi di masa lampau. Perubahan sosial yang terjadi dapat disadari maupun tak disadari, dapat bersifat progress maupun regress (maju maupun mundur). Davis (1960) menyebut perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Secara sosiologis, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, baik eksternal maupun internal ada 6, yakni:
Dalam perspektif fungsional. Khususnya Parson setiap masyarakat dan lembaga yang ada di dalamnya akan senantiasa mengalami perubahan, dan perubahan tersebut akan mencapai bentuknya yang stabil dan seimbang, sehingga tidak terjadi kekacauan.
Daftar Pustaka
Maran, Rafael R. 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Mumfangati,Titi. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Sukmana, Oman. 2003. Proses Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Samin, dalam Nurudin, dkk. Agama Tradisional: Potret kearifan hidup masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS.
Warsito. 2001. Pergeseran Sosial Budaya Masyarakat Samin. Tesis Master Universitas Muhamadiyah Malang.
Retrieved from: http://psantoso-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-42168-Umum-Perubahan%20Sosial%20Budaya%20Masy%20Samin.html
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan bagi setiap masyarakat. Tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang luput dari perubahan. Auguste Comte menggambarkan masyarakat dalam dua dimensi, yakni statik dan dinamik. Dimensi statik menunjukkan struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan aspek dinamik menunjukkan adanya perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial dapat dipandang bersifat alamiah karena pasti terjadi pada setiap masyarakat. Namun dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial dapat bersifat problematik maupun menguntungkan bagi masyarakat. Dampak sosial perubahan dapat terjadi secara berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dalam masyarakat yang modern, perubahan sosial yang terjadi acapkali disadari dan direncanakan (by design), sehingga dampak yang terjadi adalah keberuntungan. Misalnya penerapan berbagai perangkat teknologi tinggi, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun yang menunjang kehidupan sehari-hari seperti internet, komputer, pendingin/pemanas ruangan maupun pembangkit listrik tenaga nuklir. Semua teknologi tersebut telah mengubah kebiasaan hidup manusia menjadi hidup yang serba cepat dan nyaman. Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berjarak puluhan bahkan ratusan mil jauhnya hanya dalam hitungan detik melalui telpon genggam dan internet. Demikian pula dengan kebutuhan enerji listrik yang makin tinggi tidak mungkin dipenuhi oleh mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga diesel ataupun batu bara, melainkan sudah mengarah ke penggunaan nuklir. Sekalipun membawa keuntungan yang besar bagi kehidupan sehari-hari, perubahan tersebut menuntut banyak hal dari manusia pelaku dan penikmat perubahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah disiplin (sesuai aturan) dan cermat. Di samping itu juga harus disadari bahwa makin tinggi teknologi yang digunakan, maka makin tergantung pula manusia pada teknologi tersebut. Kerusakan yang terjadi pada teknologi sekalipun sesaat akan membawa akibat yang besar keteraturan hidup manusia. Kita ambil contoh ketika pusat pembangkit listrik di kota New York rusak beberapa tahun lalu, kekacauan timbul baik di jalan, rumah, kantor maupun pusat perdagangan karena kesemuanya sangat tergantung pada pasokan listrik (mulai lampu lalu lintas, pemanas ruangan, lift, lampu penerangan, dsb).
Sedangkan dalam masyarakat yang masih bertaraf tradisional, perubahan sosial yang terjadi bisa jadi menimbulkan problema yang berkepanjangan hingga masyarakat tersebut dapat mennyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Misalnya ketika diterapkannya revolusi hijau di pedesaan Jawa pada tahun 70-an, yang meliputi pemilihan bibit unggul untuk menggantikan bibit lokal, penggunaan pupuk dan pestisida, serta berbagai peralatan modern dalam bidang pertanian lainnya (traktor, huler dan sabit) banyak sekali kekacauan sosial dalam masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat desa dapat “dipersatukan” dengan sistem bawon (setiap petani boleh ikut serta dalam pemanenan dan mendapat upah sesuai dengan ikatan padi yang diperolehnya), namun kini mereka tidak bisa lagi karena pemiliknya telah menebaskan sawahnya pada orang lain. Demikian pula dengan penggilingan padi, jika dahulu dikerjakan beramai-ramai oleh ibu-ibu dengan cara menumbuk dalam lumpang kayu yang panjang, kini telah digantikan oleh mesin-mesin cerdas yang cukup dikerjakan oleh satu orang pria saja. Perubahan dalam kelembagaan juga harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan teknologi yang digunakan. Perubahan sosial semacam ini tentunya sangat problematik bagi warga desa karena secara kelembagaan mereka belum siap, dan perubahan yang terjadi acapkali dipaksakan dari luar. Begitu juga kita bisa melihat contoh nyata dalam masyarakat Papua ketika masa orde baru, Ibu Tien Soeharto melalui yayasannya merubah kebiasaan masyarakat Papua yang menggunakan koteka dan rumbai-rumbai dengan pakaian kain tanpa mengajarkan filosofi berpakaian kain. Masyarakat Papu hanya diajarkan cara menggunakan pakaian kain tanpa mengajarkan berapa lama pakaian tersebut sehat untuk dipakai, bagaimana cara membersihkan dan bagaimana caranya untuk memperoleh yang baru jika yang lama rusak. Ketidakmengertian masyarakat Papua akan pakaian kain menyebabkan pada masa berikutnya banyak di antara mereka yang mengalami sakit kulit parah. Perubahan-perubahan yang dipaksakan dari luar acapkali terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat lebih “rendah” dibandingkan masyarakat lainnya. Perubahan tersebut barangkali tidak dikehendaki namun harus terjadi. Masyarakat desa di Jawa barangkali tidak menghendaki penerapan teknologi maju di bidang pertanian, namun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang membutuhkan ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup, mau tidak mau, suka tidak suka perubahan itu harus dijalani.
Sekalipun mengalami dampak sosial yang problematik, masyarakat diharapkan pada suatu waktu akan dapat menemukan keseimbangan, yang dalam bahasa Parson disebut dengan homeostatic equilibrium, maksudnya jika satu bagian berubah maka bagian lain akan menyesuaikan sehingga tercipta keseimbangan baru. Teori fungsionalisme Parsons ini dianggap konservatif karena beranggapan masyarakat selalu berada pada situasi yang harmonis, stabil, seimbang, dan bersifat mapan.
Masyarakat Samin yang Sedang Berubah
Pembahasan ini didasarkan pada pengalaman saya ketika membimbing mahasiswa antropologi praktek kuliah lapangan (PKL) di desa Tapelan, kecamatan Ngraho, kabupaten Bojonegoro pada bulan Nopember 2007 lalu. Ilustrasi perubahan sosial budaya ini berkaitan dengan problematika yang dialami oleh masyarakat Samin dalam terpaan jaman yang makin meminggirkan komunitas mereka yang telah terbangun sejak jaman kolonial Belanda bercokol di tanah Jawa.
Masyarakat Samin sesungguhnya adalah masyarakat Jawa yang mengembangkan berbagai ajaran hidup yang dianggap berbeda (“nyleneh”) dibanding masyarakat jawa umumnya. Ajaran Samin yang semula diperkenalkan oleh Raden Kohar atau lebih dikenal dengan mbah Samin Soerosentiko pada tahun 1889 di daerah Blora, Jawa Tengah. Ajaran Samin muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya terlalu mengeksploitas orang-orang Jawa sehingga selalu menderita dan miskin. Perlawanan mereka diwujudkan dalam bentuk menolak membayar pajak, menolak menyumbangkan tenaganya untuk kerja pada Belanda, menolak ronda malam, menolak menyerahkan sebagian hasil panennya sebagai upeti. Ajaran Samin yang semula hanya berkembang di desa Klopoduwur, Blora saja, kemudian terus berkembang hingga mencapai wilayah Bojonegoro, Blora, Kudus, Grobogan, Ngawi, Demak, Madiun, Tuban dan Pati. Hingga tahun 1907, desa Tapelan (Bojonegoro) tercatat memiliki jumlah pengikut Samin terbesar yakni sekitar 7000 orang (Mumfangati, 2005:23).
Ajaran Samin dapat berkembang terus secara baik di masa kolonial Belanda, namun ketika Indonesia telah merdeka masyarakat Samin terdesak eksistensinya. Bahkan di beberapa tempat (seperti Madiun, Demak dan beberapa desa di Bojonegoro, Tuban, Ngawi, dll) telah lenyap. Berdasarkan data-data yang sempat saya kumpulkan pada waktu itu (2007) serta analisis sederhana yang saya lakukan, tampaknya ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan sosial-budaya masyarakat Samin. Penjelasan rinci akan saya berikan pada bagian berikut nanti.
Menurut Benda dan Castle (1960, dikutip oleh Winarno, 2003:58) masyarakat Samin di desa Tapelan Bojonegoro telah ada sejak tahun 1890, dan tempat kedua terpenting dalam penyebaran ajaran Samin selain daerah asalnya yaitu Klopoduwur, Blora Jawa Tengah. Secara geografis antara desa Tapelan dengan kabupaten Blora hanya dipisahkan oleh sungai Bengawan Solo. Oleh sebab itu sangat masuk akal jika Tapelan menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan ajaran Samin. Menurut hasil wawancara saya dengan sesepuh masyarakat Samin di desa Tapelan, mbah Sada’ (telah meninggal dunia pada bulan Juni 2008 karena usia tua), pada waktu penjajahan Belanda, penduduk acapkali mendapatkan siksaan badan jika tidak mamu membayar pajak. Oleh karena itu masyarakat desa menggunakan strategi Nyamin, yaitu berpura-pura gila atau nggendheng. Jika ditanya, maka jawabannya ngawur atau tidak sesuai dengan pertanyaan, kemudian juga tidur di pekarangan rumahnya kanggo (dipakai), maksudnya semua yang ada di rumahnya itu dipakai/digunakan.
Secara kasat mata orang Samin bisa dibedakan dengan orang pada umumnya dari segi pakaian yang dikenakan. Kaum laki-laki menggunakan pakaian serba hitam (biasa disebut dengan baju kampret), sedangkan kaum perempuan (terutama ibu-ibu) menggunakan pakaian jarit dan kebaya sederhana. Namun ciri khas tersebut juga telah mulai luntur (kaum lelaki menggunakan kaos dan hem, hanya orangtua saja yang masih kelihatan bebaju kampret).
Pada saat ini (2007) komunitas Samin di desa Tapelan tinggal 8 keluarga saja, itupun hanya orangtua saja, sebab anak-anaknya tidak lagi menganut ajaran Samin secara konsisten (artinya hanya ajaran hidup yang baik-baik saja yang diambil, sedangkan ajaran lainnya yang berkaitan dengan ekonomi dan perkawinan sudah ditinggalkan).
Jika di masa lampau perkawinan orang Samin menganut prinsip endogami (menikah hanya dengan sesama orang Samin), namun saat ini hal itu sudah tidak lagi dilakukan. Berkaitan dengan perkawinan orang Samin terdapat tradisi nyuwito, yakni sebelum dilakukan perkawinan lelaki calon mempelai harus mengabdi pada orangtua si perempuan dengan jalan bekerja dan tinggal di rumah orangtua calon istrinya hingga dirasa cukup. Tidak jarang pada masa nyuwito anak perempuan calon istrinya sudah lebih dahulu hamil. Namun sekarang tradisi nyuwito dan prinsip endogami sudah tidak lagi dilakukan. Mereka mencari pasangan tidak lagi terbatas pada kelompoknya saja, melaiinkan sudah mengambil jodoh hingga ke luar batas-batas kelompok bahkan desa. Demikian pula mereka kini sudah mengikuti hukum negara yakni menikah lewat KUA jika menemukan jodoh Muslim.
Demikian pula dengan pekerjaan, jika dahulu orang Samin pantang untuk bekerja di luar bidang pertanian, namun saat ini mereka (khususnya kaum muda) sudah tidak lagi bekerja di lahan pertanian. Kebanyakan berdagang, bahkan ada yang merantau dan menetap di Jakarta dan beberapa kota lainnya untuk bekerja di kantor selain berdagang. Jika di desa Tapelan, banyak orang Samin yang berdagang kapuk randu dan menjual bantal guling hingga ke kota Ngawi dan Bojonegoro. Beberapa perubahan yang terjadi pada masyarakat Samin desa Tapelan, khususnya akan saya tampilkan dalam matriks berikut ini:
No. |
Aspek Perubahan |
Orang Samin masa Lampau |
Orang Samin masa Kini |
|
Samin Tua |
Samin Muda |
|||
1. |
Ekonomi/Mata Pencaharian |
Bertani, dan tidak boleh berdagang karena identik de-ngan ketidakju-juran |
Tetap sbg petani |
Sudah tidak lagi bertani. Berdagang atau kerja ikut orang lain |
2. |
Agama/ Sistem kepercayaan |
Berpegang pada konsep manung-galing Kawula Gusti, melakukan wekasan dan ka-witan |
Tetap dan tidak berubah |
Sudah meme-luk agama Islam dan tidak melaku-kan tradisi leluhur |
3. |
Pakaian |
Memakai baju kampret hitam dng udeng tanpa alas kaki, dan perem-puan memakai kebaya |
Tidak semua dan tidak sela-lu memakai baju kampret dan udeng (ka-dangkala pakai kaos dan ke-meja), serta pakai alas kaki |
Berubah, su-dah memakai kaos, kemeja, rok dan alas kaki |
4. |
Perkawinan |
Adat nyuwito dan tanpa mahar |
Tetap dengan adat nyuwito dan tdk mela-kukan nikah di KUA |
Sudah ada proses pa-caran dan per-kawinan dila-kukan di KUA |
5. |
Tata cara pemakaman |
Gelundung sem-prong (dimakam-kan tanpa diberi tanda) |
Ada yg masih tetap, dan ada pula yang be-rubah meng-ikuti tradisi Islam jawa |
Berubah me-ngikuti tradisi Islam jawa |
6. |
Pajak |
Tidak mau bayar pajak sbg bentuk perlawanan thd kolonial Belanda |
Berubah, mau bayar pajak se-bab sudah ti-dak lagi dijajah Belanda |
Berubah, su-dah mau bayar pajak |
7. |
Pendidikan |
Dilarang berseko-lah karena sekolah dianggap sbg ben-tuk kolonialisme Belanda serta orangtua khawatir anaknya minteri |
Tetap tidak sekolah, hanya membantu orangtua di rumah dan di sawah |
Berubah, saat ini sudah seko-lah, dan timbul rasa gengsi jika tidak ber-sekolah |
Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan, dan baru disadari ketika mulai membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi di masa lampau. Perubahan sosial yang terjadi dapat disadari maupun tak disadari, dapat bersifat progress maupun regress (maju maupun mundur). Davis (1960) menyebut perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Secara sosiologis, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, baik eksternal maupun internal ada 6, yakni:
- Adanya kontak dengan budaya lain
- Meningkatnya pendidikan warga masyarakat
- Adanya stratifikasi sosial yang bersifat terbuka
- Meningkatnya penghargaan terhadap hasil karya pihak lain
- Jumlah penduduk yang heterogen shg memungkinkan terjadinya interaksi sosial dan budaya satu dengan lainnya
- Adanya ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kondisi atau bidang-bidang tertentu dalam masyarakat yang dinilai menghambat perkembangan dan kemajuan masyarakat
- Meningkatnya intervensi teknologi informasi melalui media TV dan film
- Makin lancarnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain karena perdagangan makin lancar (Warsito,2001).
- Lingkungan alam seperti iklim, kekurangan bahan makanan atau jumlah penduduk
- Kontak budaya dengan masyarakat luar yang mempunyai nilai-nilai budaya, norma-norma yang berbeda
- Adanya discovery dan invention pada masyarakat tersebut
- Adopsi melalui proses difusi
- Adopsi pengetahuan dan kepercayaan baru
Dalam perspektif fungsional. Khususnya Parson setiap masyarakat dan lembaga yang ada di dalamnya akan senantiasa mengalami perubahan, dan perubahan tersebut akan mencapai bentuknya yang stabil dan seimbang, sehingga tidak terjadi kekacauan.
Daftar Pustaka
Maran, Rafael R. 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Mumfangati,Titi. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Sukmana, Oman. 2003. Proses Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Samin, dalam Nurudin, dkk. Agama Tradisional: Potret kearifan hidup masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS.
Warsito. 2001. Pergeseran Sosial Budaya Masyarakat Samin. Tesis Master Universitas Muhamadiyah Malang.
Retrieved from: http://psantoso-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-42168-Umum-Perubahan%20Sosial%20Budaya%20Masy%20Samin.html
No comments:
Post a Comment