Thursday, December 1, 2011

Harakat al-Tawa'if al-Batiniyyah al-Indunisiyyah qabla Indiwa'iha tahta Ri'ayati Wizarati al-Tarbiyah wa al-Thaqafah

 Studia Islamika, Volume 2, Number 2, 1995: 147-163
Oleh. Muhammad Ghufron Zainul Alim



Abstraks. Tidak dapat dihindari bahwa kehadiran Islam di kepulauan Nusantara sedikit banyak memicu konflik keagamaan di wilayah ini. Masyarakat setempat telah terbiasa hidup dalam sistem ajaran Hindu-Buddha selama berabad-abad. Pengaruh kedua agama ini tidak hanya berkisar pada urusan ritual, melainkan telah berakar dalam pelbagai aspek kehidupan. Kemapanan ini kemudian goyah ketika Islam hadir dengan menawarkan suatu konsep kehidupan yang berbeda. Melalui data sejarah dapat dilihat bagaimana kerajaan Majapahit harus tunduk di bawah kerajaan Demak yang dipegang oleh kaum Muslim. Tentu saja tidak semua konflik muncul dalam bentuk pertikaian politik. Konflik antara Hindu-Buddha dan Islam dapat pula muncul dalam ekspresi sastra. Pada masa-masa itu, misalnya muncul tulisan-tulisan seperti Serat Gatoloco atau Serat Darmogandul, yang jelas menunjukkan adanya ketegangan atau konflik keagamaan. Kata "Allah" misalnya, diplesetkan ke dalam bahasa Jawa "olo" yang berarti jelek. "Rasulullah" (utusan Allah) diubah menjadi "rasa salah"; dan Muhammad disamakan artinya dengan istilah Jawa "makam" yang berarti kuburan.

Konsekuensi lain dari kehadiran Islam adalah lahirnya ajaran sinkretik. Ia muncul sebagai bagian dari sikap akomodatif sebagian masyarakat Nusantara terhadap pola-pola budaya besar yang masuk ke dalam wilayah ini. Model ajaran tersebut pada mulanya tersebar di pelbagai wilayah Nusantara dan merupakan gerakan-gerakan yang tidak terlembagakan. Namun demikian, pada masa kemerdekaan Indonesia, kelompok ini mengalami masa kebangkitan dalam gerakan keagamaan yang lazim disebut Aliran Kebatinan atau Aliran Kepercayaan dan mulai dilembagakan pada 1954. Kelompok ini berusaha memisahkan diri dari agama yang ada, khususnya Islam, dan menuntut untuk diakui sebagai agama tersendiri. Usaha ini tampak, misalnya, dari kongres mereka di Yogyakarta pada September 1970, di mana mereka meminta pemerintah mengakui Aliran Kebatinan sebagai agama. Kelompok ini berkeyakinan bahwa tuntutan mereka sesuai UUD 1945, khususnya pasa 29, yang memuat: (a) negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa; dan (b) negara menjamin kebebasan beragama.

Tuntutan kelompok Aliran Kebatinan ini memicu polemik yang berkepanjangan. Para tokoh agama di Indonesia, khususnya Islam, memberi perhatian yang besar dalam menanggapi tuntutan kelompok ini. Hampir semua tokoh agama menentang keras tuntutan diakuinya Aliran Kebatinan sebagai agama. Prof. Muhammad Rasjidi menulis buku Islam dan Kebatinan untuk membongkar warisan kebudayaan Jawa yang banyak bertentangan dengan Islam, seperti dicontohkan dalam kasus Serat Gatoloco di atas. Selain buku ini Kitab Sasangka Jati, rujukan Aliran Pangestu, salah satu anggota Aliran Kebatinan, juga dipandang mengandung ajaran yang menyimpang. Kitab ini memuat ajaran-ajaran yang mencampuradukkan sistem ajaran Islam dan Kristen. Misalnya, kitab ini memandang kedudukan Allah, Rasul, dan Muhammad sebagai satu kesatuan sebagaimana halnya dengan Tuhan, Jesus dan Roh Kudus dalam Kristen.


Download