Saturday, August 22, 2015

Metode Bahtsul Masa’il NU

 Abdul Moqsith Ghazali July 15, 2015 605 Views

IslamLib – Tak bisa dipungkiri mengenai terlalu dominannya fikih-madzhab Syafii di lingkungan NU. Ini menurut (Alm.) Kiai Sahal Mahfudz, bukan karena para kiai NU menolak aqwal di luar fikih Syafii, melainkan karena keterbatasan referensi fikih non-Syafii yang dimiliki para kiai NU. Namun, pada hemat saya, masalah sebenarnya bukan terletak pada apakah kita pro-Imam Syafii dan kontra imam madzhab lain, tapi pada apakah kita pro-para ulama Syafiiyah dan “kontra” Imam Syafii.

Betapa sering disaksikan, ketika berbicara mengenai fikih Syafii misalnya, para kiai lebih suka merujuk pada buku-buku karya ulama Syafiiyah seperti Imam Nawawi dan Imam Rofii ketimbang pada buku-buku fikih karya Imam Syafii seperti al-Umm, al-Imla’, dan lain-lain.

Dengan perkataan lain, para kiai lebih menyukai hasil interpretasi ulama Syafiiyah ketimbang langsung merujuk pada buku-buku fikih karya Imam Syafii sendiri. Karena itu, tak ayal lagi sekiranya para santri pondok pesantren mengetahui fikih Syafii via penjelasan para ulama Syafiiyah bukan dari buku-buku Imam Syafii secara langsung.

Bahkan, di lingkungan ulama Syafiiyah sendiri, seperti dianjurkan Syatha al-Dimyathi, para kiai NU secara formal telah bersepakat untuk bersandar pertama-tama pada pendapat yang disepakati Imam Nawawi dan Imam Rofii. Pertanyaannya kemudian; dimana posisi pendapat ulama Syafiiyah lain seperti Imamul Haramain, Imam Ghazali, Ibnu Daqiqil ‘Id, Zakaria al-Anshari, Khathib al-Syarbini, dan lain-lain.

Atas dasar itu, sebagian intelektual NU secara terus terang berkata bahwa NU sebenarnya bukan bermadzhab Syafii tapi bermadzhab Nawawi atau Rofii (bukan syafi’iyyul madzhabtapi nawawiyyul madzhab; bukan Syafi’iyul madzhab tapi syafi’iyatul madzhab).

Tentu saja pandangan ini tak sepenuhnya benar, karena tak dijumpai perbedaan tajam antara pendapat Imam Syafii dan pendapat ulama Syafiiyah. Dalam banyak kasus fikih, ulama Syafiiyah cenderung menyetujui, mengelaborasi dan menambahkan argumen fikih Syafii. Penting dikemukakan, sebagian kiai memang kerap memperlakukan para ulama Syafiiyah secara tak sejajar.

Padahal, tak menutup kemungkinan, argumen Imam Nawawi dalam suatu kasus kalah kuat dengan argumen yang disuguhkan Zakaria al-Anshari dalam kasus yang sama. Begitu juga sebaliknya pada kasus yang lain. Karena itu, seperti kurang arif, jika kita mengunggulkan pendapat Syaikhani (Nawawi-Rofii) dalam semua perkara fikih dan “menomor-sekiankan” pendapat ulama Syafiiyah lain dalam semua masail fiqhiyyah.

Namun, menarik dicermati. Walau secara de jure NU telah menyepakati, pendapat yang disepakati Imam Nawawi-Imam Rofii berada pada level puncak, dalam prakteknya secara de facto tak terlampau jelas demikian. Bisa disaksikan, ketika bahtsul masa’il terselenggara, para kiai NU tak terbebani untuk pertama-tama mencari pendapat yang disepakati Syaikhani, lalu Imam Nawawi, Imam Rofii, dan seterusnya.

Dalam penelusuran ta’bir, para kiai bisa memungut ta’bir kitab secara bebas, berselancar dari satu kitab fikih ke kitab fikih lain. Tak terlihat ada sekat psikologis yang menghalangi para kiai untuk berpindah-pindah kitab fikih walau masih dalam rumpun kutub Syafiiyah. Karena itu, keputusan dalam Muktamar NU Surabaya yang cenderung mengglorifikasi Imam Nawawi-Imam Rofii perlu diubah untuk disesuaikan dengan asas kesetaraan yang telah lama berlangsung dalam bahtsul masa’il NU.

Melalui Munas NU di Lampung tahun 1992, para kiai NU juga mengintroduksi kemungkinan melakukan ilhaq al-masa’il bi nadha’iriha. Ilhaq ini sengaja diajukan konon untuk menghindar dari melakukan qiyas yang nota bene merupakan domain para mujtahid, sementara para kiai NU merasa belum berada di level mujtahid itu. Dan kita tahu, dalam ilhaq, yang dijadikan mulhaq bih adalah aqwalul ulama, sementara aqwalul ulama itu sendiri adalah hasil ijtihad para ulama yang terikat dengan ruang dan waktu.

Artinya, berbeda dengan qiyas yang maqis ‘alaihi-nya adalah sesuatu yang tetap-tak berubah (tsawabit), maka mulhaq bih di dalam ilhaqadalah sesuatu yang dinamis dan berubah (mutaghayyirat). Pertanyaannya, bagaimana sesuatu yang rentan terhadap perubahan bisa dijadikan sandaran dalam merespons soal-soal fikih yang terus berkembang? Karena itu, ada tawaran, yang dilakukan para kiai NU itu seharusnya qiyas bukan ilhaq. Persis di sini sandungannya. Jika kita mendorong penggunaan qiyas, maka kita akan berhadapan dengan keengganan para kiai untuk berqiyas.

Telah lama dikeluhkan, bahtsul masail NU lebih banyak merupakan aktivitas untuk mencocok-cocokkan kasus-kasus hukum (waqai’ fiqhiyyah) dengan ‘ibaratul kutub.Keluhan ini dibangun di atas kesadaran bahwa sekalipun kasus hukum yang ada sekarang tampak serupa dengan kasus lama yang sudah ditangani para ulama lampau, hakekatnya tetaplah kasus lama dan kasus baru itu berbeda.

Sebab, konteks zamannya sudah beda dan manusia yang menjadi obyek hukumnya pun juga beda. Untuk mengukuhkan kesadaran itu, maka dikutiplah perkataan al-Syathibi, “Setiap perkara yang datang adalah perkara baru (umurun musta’nafah)”, karena sesungguhnya tak ada perkara yang berulang.

Untuk menghindari bahtsul masail hanya merupakan kerja pencocokan ibaratul kutubitu, para kiai menyelenggarakan halaqah di PP Watucongol Muntilan Magelang pada tanggal 15-17 Desember 1988 dengan tema “Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual”.

Poin-poin yang dihasilkan dalam halaqah tersebut, di antaranya adalah; [a]. memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial-historisnya; [b]. mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; [c]. memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup madzhab Syafii maupun di luar madzhab; [d]. Meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik;
[e]. mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan bahasa yang komunikatif. Poin-poin itu tentu cukup brilian. Tapi, ntah karena sibuk atau apa, sebagian kiai tak suka melakukaan penelaahan kitab kuning secara kontektual.

Lebih maju lagi, melalui Munas Lampung tahun 1992, NU mengajak audiens ulama NU untuk melakukan istinbath jamai dengan tetap bertumpu pada manhaj (ushul fikih) imam madzhab. Ini terutama untuk menangani kasus-kasus fikih baru yang belum pernah ada zaman dahulu. Namun, sampai sekarang belum dirumuskan perihal mekanisme istinbath jamai tersebut.

Apakah istinbath jamai itu sama belaka denganijtihad jamai seperti disuarakan para ulama non-NU selama ini? Belum juga terjabarkan mengenai manhaj siapa yang akan menjadi pegangan? Apakah dimungkinkan melakukan “talfiq manhaji”? Ataukah, jika secara qawli kita melakukan “al-tamadzhub bi madzhabin mu’ayyan”, maka apakah secara metodologis kita juga perlu “al-tamanhuj bi manhajin mu’ayyan”. Di sinilah, kita memerlukan kajian khusus untuk memilih satu metodologi dari beragam metodologi yang sudah ada.

Inilah pokok-pokok pikiran yang bisa menjadi renungan akademis kita bersama, sebelum kita merumuskan Metode Bahtsul Masail NU secara final di arena muktamar NU nanti di Jombang Jawa Timur 1-5 Agustus 2015. In sya’a Allah. In uridu illa al-Ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah.

Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam halaqah terbatas yang diselenggarakan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Jakarta, 5 Pebruari 2015.

http://islamlib.com/lembaga/nahdlatululama/metode-bahtsul-masail-nu/

Ini Susunan Pengurus PBNU 2015-2020

Detik, Sabtu 22 Aug 2015, 18:42 WIB
Ini Susunan Pengurus PBNU 2015-2020
Rina Atriana - detikNews

Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengumumkan susunan kepengurusan baru periode 2015-2020. Duduk sebagai ketua umum yaitu Said Aqil Siradj dan bertindak sebagai wakil ketua umum Slamet Effendy Yusuf.

Said Aqil dalam sambutannya mengatakan, pengurus NU yang baru juga menjaring dari Indonesia tengah dan timur. Tokoh-tokoh muda yang punya peran besar diberikan kesempatan.

"Kami juga memberi perhatian kepada Indonesia timur dan Indonesia tengah. Menampung aktivis-aktivis di muktamar dulu," kata Said Aqil dalam konferensi pers pengurus baru NU di Kantor Pusat PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (22/8/2015).

Said Aqil menjelaskan, ia akan menjaga NU agar tak ikut terlibat dalam politik praktis. "Kita kawal NU tak ikut politik praktis," tegasnya.

Berikut susunan pengurus PBNU hasil rapat tim formatur secara lengkap:

Mustasyar

KH. Maemun Zubair
Dr. KH. Ahmad Mustofa Bisri
KH. Nawawi Abdul Jamil
KH. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. KH. M. Tholhah Hasan
KH. Dimyati Rois
KH. Makhtum Hannan
KH. Muhtadi Dimyathi
AGH. Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badaruddin
KH. Zaenuddin Djazuli
KH. Abdurrahman Musthafa
KH. M. Anwar Mansyur
KH. Habib Luthfi bin Yahya
KH. Sya'roni Ahmadi
KH. Ahmad Syatibi
KH. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
KH. Hasbullah Badawi
KH. Hasyim Wahid
KH. Thohir Syarqawi Pinrang
KH. Hamdan Kholid
KH. Saifuddin Amsir
KH. Zubair Muntashor
KH. Ahmad Basyir
KH. Ahmad Shodiq
KH. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.
Prof. Dr. H. Machasin, MA.
KH. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. Awang Faroeq Ishaq

Rais Aam

Dr. KH. Ma'ruf Amin

Wakil Rais Aam

KH. Miftahul Akhyar

Rais

KH. Mas Subadar
KH. Masdar Farid Mas'udi
KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
KH. A. R. Ibnu Ubaidillah Syatori
KH. Dimyati Romli
KH. Abdullah Khafabihi Mahrus
KH. Khalilurrahman
KH. Syarifuddin Abdul Ghani
KH. Ali Akbar Marbun
KH. Subhan Makmun
KH. M. Mustofa Aqil Siroj
KH. Cholil As'ad Samsul Arifin
KH. Idris Hamid
KH. Akhmad Said Asrori
KH. Abdul Hakim
Dr. KH. Zakki Mubarok
Prof. Dr. Maskuri Abdillah
KH. Najib Abdul Qadir

Katib Aam

KH. Yahya Cholil Staquf

Katib

KH. Mujib Qulyubi
Drs. KH. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si.
Dr. KH. Abdul Ghafur Maemun
KH. Zulfa Musthafa
Dr. H. Asrorun Ni'am Shaleh
KH. Acep Adang Ruchiyat
KH. Lukman Hakim Haris
KH. Taufuqurrahman Yasin
KH. Abdussalam Shohib
KH. Zamzami Amin
Dr. H. Sa'dullah Affandy, M.Ag.

A'wan

KH. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. KH. Cholid Mawardi
KH. TK Bagindo M. Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
KH. Mukhtar Royani
KH. Abdullah Syarwani, SH.
KH. Eep Nuruddin, M.Pd.I.
Drs. KH. Nuruddin Abdurrahman, SH.
KH. Ulinnuha Arwani
KH. Abdul Azis Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. KH. Hilmi Muhammadiyah, M.Si.
KH. Maulana Kamal Yusuf
KH. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
KH. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahm,ad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum.
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Nyai. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, MA.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, SH., MM.
Dr. Hj. Sri Mulyati

Ketua umum

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA.

Wakil ketua umum

Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.

Ketua

Drs. H. Saifullah Yusuf
Dr. H. Marsudi Syuhud
Prof. Dr. M. Nuh, DEA.
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
Drs. KH. Abbas Muin, Lc.
Drs. H. Imam Azis
Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd.
Dr. H. Muh. Salim al-Jufri, M.Sos.I.
KH. Hasib Wahab
Dr. H. Hanief Saha Ghafur
KH. Abdul Manan Ghani
KH. Aizzuddin Abdurrahman, SH.
H. Nusron Wahid, SE., M.SE.
Dr. H. Eman Suryaman
Robikin Emhas, SH. MH.
Ir. H. Iqbal Sullam
H. M. Sulton Fatoni, M.Si.

Sekretaris Jenderal

Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini

Wakil Sekretaris Jenderal

H. Andi Najmi Fuaidi, SH.
dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D.
Drs. H. Masduki Baidlowi
Drs. H. Abdul Mun'im DZ
Ishfah Abidal Azis, SH.I.
H. Imam Pituduh, SH. MH.
Ir. Suwadi D. Pranoto
H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum.
H. Muhammad Said Aqil, Spd.
Sultonul Huda, M.Si.
Dr. Aqil Irham
Heri Haryanto

Bendahara Umum

Dr.-Ing. H. Bina Suhendra

Bendahara

H. Abidin
H. Bayu Priawan Joko Sutono, SE., M.BM.
H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum.
H. Nurhin
H. Hafidz Taftazani
Umarsyah HS
N. M. Dipo Nusantara Pua Upa

(rna/dhn)

http://news.detik.com/berita/2998570/ini-susunan-pengurus-pbnu-2015-2020

Wednesday, August 12, 2015

Like JIL, Islam Nusantara has marketing problem

Ary Hermawan, Tucson, Arizona | Opinion | Tue, August 11 2015, 6:19 AM

One of the main reasons the “Islam Liberal” project is a total failure is that its advocate, the Liberal Islam Network (JIL), is doing a terrible job at marketing itself.

Islam Nusantara, the new propaganda stick launched by Nahdhlatul Ulama (NU) to contest the upturn of Salafism/Wahhabism, must learn from JIL’s mistake, as it is facing a similar problem: It is a hard sell.

Consider JIL. I have no doubts its activists have the intellectual authority to write and speak about Islam, but there is no question the name Islam Liberal merits a PR disaster. It’s probably a cool name for an elitist intellectual circle; an interesting topic for discussion in university colloquiums. But it is too much to swallow for the average Ahmad, the Muslims on the street.

A Muslim? But — liberal?

Does not Islam mean submission to the will of God? If that’s the case, does not the term liberal Islam sound like an oxymoron? JIL will have no problem refuting this argument, but who will listen?

Religion for the masses should be like pop music: easy to digest, simple and sweet. JIL is prog-rock. It’s all harmony and poetry for the snobs; it’s tedious and befuddling for the rest of us.

More than a decade after JIL cofounder Ulil Abshar Abdalla wrote his combative op-ed piece, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (Refreshing Islamic Understanding), people are still highly suspicious of the group.

Its infamous acronym is often spoken in the same sentence as the PKI, the acronym for the now defunct Indonesian Communist Party.

This is bad, because the PKI — historical correctness aside — is public enemy number one, the big bad wolf in the nation’s collective paranoia, an easy scapegoat for all kinds of calamity.

Even so, the PKI is actually still better than JIL at self-promotion. The party got its notoriety after decades of massive and systematic propaganda by the New Order regime.

The governments after Soeharto had nothing whatsoever against JIL. That the group is now being equated with the PKI tells us a lot of how inept its proponents are at winning the hearts of the Muslim population.

The JIL brand is so unpopular that Islamists are using it to smear Islam Nusantara, and that is enough to make people uneasy about it.

JIL activists, of course, openly support the NU initiative. So they made it too easy for the Islamists to label the concept as nothing short of “JIL incarnate”.

To be clear, I believe JIL stands for the kind of Islam that is best for Indonesia. Islam that promotes democratic values: pluralism, civil liberty and secularism. The challenge is how to embed these values into society.

We have learned that the term Islam Liberal has become a liability not only for the group itself but also the overall liberal Islam movement, which was launched by Nurcholish “Cak Nur” Madjid in the early 1970s and over the years supported, at least tacitly, by a number of elite clerics and intellectuals within NU and Muhammadiyah.

Compared to Islam Liberal, Islam Nusantara is definitely more benign. But it is still problematic for a number of reasons.

First, it is still considered a new thing. In Islam, or any religion for that matter, novelty is always looked upon with suspicion. Its supporters need to make clear there is nothing really new about Islam Nusantara.

 If anything, it is merely a new way most Indonesian Muslims could identify themselves. It does not represent a new Islamic denomination, or a new school of thought.

As a matter of fact, as historian Azyumardi Azra points out, it denotes the centuries old mainstream interpretations and practices of Islam in the country (the Shafi’i school of law, the Ash’arite theology and Ghozalian Sufism). It’s the type of Islam that made Indonesia what it is today — a secular nation based on Pancasila.

But that is not an easy job, especially in the age of social media where every second, hoaxes are spreading like wildfire, and facts and common sense are drowned out by a cacophony of millions of online comments.

Second, it reeks of inconsistency. Theoretically and historically, Islam Nusantara is open to local and foreign influences. It accepts differences in how Muslims everywhere express and practice their beliefs. But its exponents often come off as anti-Arab to the point of being racist and xenophobic.

I’m aware that many supporters of Islam Nusantara are in no way anti-Arab and in fact fluent in Arabic, but their strong criticism of Salafism/Wahhabism often turns into an opposition to or excessive distaste of anything Arab.

This runs counter to what Islam Nusantara stands for, which is moderation and inclusivity.

Supporters of Islam Nusantara must walk the talk.

Third, most people are intuitively obsessed with “the one true Islam” that is beyond time and space, let alone national borders. Many Indonesians are not even aware they are a Shafi’i or a Ghozalian. They only know that they are Muslim, with no additional adjectives.

To say they are Muslim Nusantara is odd if not redundant. This is why the Islam Nusantara concept is a hard sell. This is why the Islamists, be they Salafists or Qutbists, have little problem in selling their ideology, which they claim as “the one and only true Islam”.

If simplicity is an important factor that makes an idea marketable, Islam Nusantara obviously has a little marketing problem here. But time will tell whether this brand will last and finally take a deeper root in Indonesian society. Its emergence is highly relevant and worthy of support today as the country is facing a huge tide of religious extremism and violent sectarianism.

Certainly, the Islamists will attack the concept relentlessly on social media, while average Muslims are still skeptical if not suspicious of it.

That said, its proponents must work hard to unspin the spin and to clarify misconceptions about Islam Nusantara.

They should remember that their main goal is not to win a pointless debate with the Islamists, but to get the support of the whole Muslim community. They can only do this by engaging them and affirming their tolerant beliefs and not alienating them by unnecessarily issuing incendiary statements or belittling their understanding of Islam as superficial and unsophisticated just because they grow a beard and dress like an Arab.
___________________________

The author is a staff writer at The Jakarta Post.
Paper Edition | Page: 6
- See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/11/like-jil-islam-nusantara-has-marketing-problem.html#sthash.ZcZIlNpX.dpuf