Saturday, August 3, 2019

Transformasi Trikotomi Geertz

Transformasi Trikotomi Geertz

Khoirul Fata [] Peneliti IJIR; Sedang Menempuh Program Pascasarjana Jurusan Sosiologi, Universita Airlangga []
Khoirul Fata [] Peneliti IJIR; Sedang Menempuh Program Pascasarjana Jurusan Sosiologi, Universitas Airlangga []
Trikotomi Clifford Geertz terus mendapat perhatian sejak dipublikasikan melalui buku legendarisnya, the Religion of Java (1960). Para Ilmuwan kerap menjadikan trikotomi Geertz sebagai acuan mendasar dalam memahami masyarakat Jawa.
Rekam jejak ilmuwan yang mengacu Trikotomi Geertz dideskripsikan secara lengkap oleh Najib Burhani dalam tulisannya berjudul “Geert’z Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi: Controversy and Continuity”  yang dimuat di Journal of Indonesian Islam Vol. 11 No. 02 (2017). Tulisan ini merupakan review atas karya tersebut.
Tulisan Najib Burhani memberikan informasi bahwa trikotomi Geertz sudah mendapat  kritik dari berbagai ilmuwan. Menurut Najib, kritik pertama adalah menempatkan priyayi dalam kategori religius merupakan suatu kesalahan.
Priyayi dalam kacamata Sutherland and Harja Bachtiar, masuk dalam kategori kelas sosial. Ia berfungsi sebagai “broker” yang memediasi budaya dan menjadi agen dari pemerintahan di zamannya. Selain itu ilmuwan asal Jepang Mitsuo Nakamura juga memberi penjelasan lebih jauh bahwa seorang santri bisa menjadi priyayi pada saat bersamaan, dan begitupun sebaliknya. Hal ini didasarkan pada fenomena keagamaan yang berkembang di Muhammadiyah Jogjakarta.
Kritik kedua menitikberatkan pada pemahaman abangan dan kejawen. Kritik dilontarkan oleh ilmuwan seperti Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, Andrew Beatty dan Mark. R. Woodward.
Abangan dalam pandangan Hefner tidak memiliki kesesuaian dengan varian animistik kepercayaan orang Jawa. Alih-alih senang disebut abangan, masyarakat Jawa yang masih memegang kepercayaan animistik justru lebih suka disebut kejawen atau jawa tulen (berdasarkan penelitian Hefner di Tengger).
Inilah titik berangkat Hefner dalam mengkritik istilah abangan yang dideskripsikan oleh Geertz. Sementara itu, Koentjaraningrat menitikberatkan pada perbedaan “Agama Jawi” dan “Agama Islam Santri”. Perbedaan tersebut menjelaskan bahwa terdapat varian Islam sinkretis dan Islam ortodoks atau puritan. Koentjaraningrat mengasumsikan bahwa masyarakat Jawa secara keseluruhan beragama Islam, meski dengan varian yang berbeda-beda.
Dalam pandangan lain, Andrew Beatty mengkiritik bahwa varian abangan-santri tidak selalu dalam nuansa oposisi. Keduanya merupakan kategori yang blur. Oleh karena itu, dua varian tersebut dengan mudah bisa bertukar satu sama lain. Sementara kritik Mark R. Woodward terhadap pemahaman Geertz adalah berkaitan dengan struktur kepercayaan orang Jawa.
Bagi Geertz elemen mendasar yang membentuk kepercayaan orang Jawa berasal dari pra-Hindu, Hinduisme dan Buddhisme. Sementara Islam hanya berada dalam posisi surface culture atau budaya permukaan saja. Ia menganggap bahwa Islam menjadi elemen mendasar dalam struktur kepercayaan orang Jawa. Karena hal tersebut, ia tidak sepakat abangan selalu bermusuhan dengan santri. Bagi Woodward, abanganmerupakan bagian Islam Jawa dan juga mistik kejawen.
Dalam kritik ketiga Najib melihat bahwa trikotomi Geertz tidak memiliki batasan yang rigid. Pada bagian ini, Najib Burhani memaparkan uraian Andrew Beatty yang meneliti masyarakat Blambangan. Beatty mengilustrasikan betapa orang-orang Jawa dari berbagai latar belakang kepercayaan campur baur dalam ritual slametan.
Dalam ritual inilah identitas kultural Jawa seperti abangan-santri-priyayi menjadi blur. Kritik serupa dilakukan dalam review Harja Bachtiar yang menganggap Geertz terlalu menyimplifikasi saat mengatakan slametan merupakan core dari ritual abangan. Pada faktanya, santri maupun priyayi juga melakukan ritual slametan. Inilah yang menjadikan trikotomi Geertz menjadi tidak jelas batasnya.
Selain itu, perlu dicatat bahwa meski trikotomi Geertz kerap mendapatkan kritik, tapi gagasan tersebut masih diterima sebagai prinsip dasar studi dalam masyarakat Indonesia. Najib mengatakan “His concept is not only used in religous, anthropological and sociological studies, but also in history and political science.” 
Trikotomi Geertz dengan begitu memungkinkan untuk masuk pada berbagai area disiplin ilmu. Seperti perbedaan abangan, santri dan priyayi bisa digunakan untuk mengidentifikasi tingkah laku pemilih dan kecenderungan partai politik. Najib menjelaskan penelitian yang menggunakan trikotomi Geertz pada momen-momen politik Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi.
Sampai sini, saya beranggapan bahwa Najib Burhani berhasil menggambarkan kedigdayaan teori Geertz sehingga menjadi pondasi dasar untuk memahami orang Jawa, sekaligus dinamika politik Indonesia kontemporer. Trikotomi Geertz, meminjam istilah Pramoedya, telah menjadi anak ilmu pengetahuan yang usianya sangat panjang. Ia hadir dan terus dibicarakan. Ia terus dikritik dan evaluasi namun nasibnya tidak pernah berubah, akan selalu abadi dari zaman ke zaman. []
http://blog.iain-tulungagung.ac.id/pkij/2019/07/31/transformasi-trikotomi-geertz/

Wednesday, November 28, 2018

Islam Nusantara as a Promising Response to Religious Intolerance and Radicalism



  • The Indonesian government has tried to defeat terrorist groups and uproot radicalism, both through military and cultural-ideological approaches. The recent attack at Mako Brimob Depok, West Java, and the bombing in Surabaya, East Java, however, have shown that radical Islam and terrorist groups are not defeated yet. 
  • Killing terrorist does not always mean killing terrorism. It could even have the opposite impact, i.e., strengthening and fertilizing the radical ideology. The government, being aware of this, has been supporting Nahdlatul Ulama (NU) in promoting Islam Nusantara, widely believed to be the ideological antidote for radicalism and terrorism.  
  • Proponents of Islam Nusantara believe that radical ideology contradicts the character traits of Islam Nusantara, i.e., peaceful, smiling, tolerant, moderate, and accommodative to culture. Radicalism and intolerance are commonly seen in NU circles as being disseminated by transnational movements such as Hizbut Tahrir and Salafi-Wahhabi groups. Though not terrorist groups, they do teach intolerant and exclusive religiosity which provides a breeding ground for terrorism. 
  • Among Indonesian Muslims, including NU, Islam Nusantara has received varied responses and been met by resistance. The emergence of NU Garis Lurus and the concerted efforts to debunk Islam Nusantara by some preachers are among the forms of activities that seek to undermine Islam Nusantara. 
  • The introduction of Islam Nusantara is further hampered by the attitude of some of its proponents who emphasize its exclusivity by identifying Islam Nusantara only with NU. 
  • Barring its current limits, Islam Nusantara has the potential to become an exceptional form of Islam or a template for tolerant Islam that can be emulated by Muslims in other parts of the world, especially in terms of its ability to accommodate local culture and multiculturalism.

Ahmad Najib Burhani. 2018. “Islam Nusantara as a Promising Response to Religious Intolerance and Radicalism”. Trends in Southeast Asia, No. 21, pp. 1-29.

Tuesday, January 23, 2018

Plural Islam and Contestation of Religious Authority in Indonesia

Burhani, Ahmad Najib. 2018. "Plural Islam and Contestation of Religious Authority in Indonesia". in Islam in Southeast Asia: Negotiating Modernity, eds. Terence Chong & Norshahril Saat. Singapore: ISEAS. pp. 140-163.

Abstract

Do the rallies of Aksi Bela Islam (Defending Islam Action) reveal a new map of religious outlook in Indonesia? Is it indicating the rise of conservatism and a threat to “moderate Islam”? Is it still valid and relevant to see the NU and Muhammadiyah as two main representations of Indonesian Islam? This paper intends to discuss these three questions by focusing on the dynamics of ulama and Muslim organizations, especially the NU and Muhammadiyah, after the Aksi Bela Islam. This paper, firstly, shows that the fragmentation of religious authority in Indonesian Islam has begun to take place even before the rallies. However, the change became clearer and more obvious after the rallies. Although still having significant roles, the NU and Muhammadiyah are no longer the sole authority holders in religious affairs in Indonesia. Secondly, the success of the rallies was primarily based on its ability to transform conservatism into pop-culture and the manipulation of fear felt by some Muslims from the threats of different groups.

Keywords: Aksi Bela Islam, conservatism, religious authority, Nahdlatul Ulama (NU), Rizieq Syihab, Muhammadiyah, fear, marginalization.

Wednesday, September 13, 2017

The hijab in Indonesia: From oppression to high fashion

TODAY, Singapore, 13 Sep 2017

Women shopping for hijab at a traditional retail market in Jakarta. Almost 80 per cent of Muslim women surveyed wear the Islamic headscarf, with the figure rising together with education and income. Photo: Reuters
PUBLISHED: 4:00 AM, SEPTEMBER 13, 2017
Some observers of the dynamics of religiosity in Indonesia have argued that there has been a conservative turn in Indonesian Islam.
What is defined as Islamic conservatism is a type of religiosity closely associated with Wahhabism, Salafism or even radicalism. It is akin to bringing back dated Islamic culture and practising it in the contemporary era.
What is often neglected in understanding this kind of conservatism, which is different from other forms of conservatism, is its association with capitalism, market forces and global trends.
In fact, this kind of association allows religious conservatism to manifest itself in pop-cultural forms. Adopting it does not make one feel old-fashioned; instead, it allows one to experience a sense of religious piety and being trendy at the same time.
Conservatism, packaged and marketed through global capitalist channels, is no longer shrouded in a veil of backwardness, but brandishes the face of a new modern culture. One salient example of this trend is the donning of the Islamic headscarf, commonly known as the hijab.
Previously, the hijab was seen as a symbol of oppression, an awkward outfit that constricted the freedom of women.
In certain quarters of society, it was even seen as a strange practice or was taboo.
Now, the image of the hijab has taken an about-turn, as the headscarf takes centre stage in fashion shows, being displayed or exhibited as fashion accessories in five-star hotels in Jakarta and other major metropolitan cities around the world.
Thus, the hijab is getting more ubiquitous in Indonesia not just because Muslim women are getting more conservative, but because they are getting more fashionably conservative.
To wear the hijab is hip, and those that wear it are known as “hijabers”.
But as we begin to see the hijab donned more commonly in public spaces in Indonesia, have Muslim women in general really taken to the headscarf, and has it really become a standard part of their attire?
A recent nationwide survey commissioned by the Iseas–Yusof Ishak Institute seems to suggest that this is indeed the case. Over 82 per cent of respondents agree that Muslim women should wear the hijab, and the proportion differs little where gender is concerned.
That is, more than 80 per cent of Muslim women think that they should wear the hijab, which means that it is not simply a practice imposed on them by Muslim men. Indeed, 78.2 per cent of the Muslim women surveyed claim to wear the hijab.
Contrary to practices during the New Order era, particularly in the 1980s when wearing the hijab in public schools was prohibited, female Muslim teachers and students are now strongly encouraged to don the hijab.
In fact, movie stars, politicians, businesswomen, police officers, military personnel and even female national athletes wear the hijab in their daily and professional lives.
Currently, the types of hijab available on the market are not only the conventional ones sporting modest designs, but are also exquisite and luxurious ones that fetch high prices. Several nationally-acclaimed designers have dabbled in creating these trendy headpieces, while fashion models, artistes and movies stars have taken part in marketing these fashionable headscarves through various outlets, both online and offline.
Some of them are religiously motivated, while others, including non-Muslims, are motivated by profit. Whatever the motivation, the business of the hijab in Indonesia is big business, and the religious market is one that cannot be ignored.
Another interesting finding from the survey is related to the income and education of hijabers.
In contrast with common assumptions concerning those who wear the hijab, the survey shows that almost 95 per cent of Muslim women with a high education wear the hijab, compared with less than 80 per cent for those with medium or low education.
At the same time, the survey shows that the higher the income level of the Muslim women, the more likely they are to wear the hijab.
In short, the trend seems to be that Muslim women of higher socio-economic status are more likely to be wearing the Islamic headscarf as part of their regular attire.
This result also underlines the transformation of the meaning of the hijab and religious piety.
Being religious, as expressed through donning the hijab, is no longer seen as hindering the education and career of Muslim women.
Instead, for some Muslim women, the hijab is even perceived as a symbol for educated women and professional success.
Thus, the fact of the matter is that the hijab is not merely a sign of conservative Islam imposed by Muslim men on less educated and low-income Muslim women.
On the contrary, the hijab may be seen as trendy and the in-thing to wear, and a sign of independence for Muslim women in Indonesia.
ABOUT THE AUTHORS:
Ahmad Najib Burhani and Hui Yew-Foong are, respectively, Visiting Fellow and Senior Fellow at ISEAS Yusof Ishak Institute.
http://www.todayonline.com/commentary/hijab-indonesia-oppression-high-fashion

Saturday, March 4, 2017

Keindonesiaan dan Keislaman

Kajian TITIK-TEMU ke-39. Bersama Prof. Dr. Masykuri Abdillah (Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta) dan Ahmad Najib Burhani, Ph.D (Peneliti Senior LIPI). Moderator Ahmad Gaus Ahmad AF. Rabu, 1 Maret 2017, Jam 18.30 s.d 21.30 @Grha STR, Lantai 4, Jl. Ampera Raya No. 11 Jakarta Selatan.











Thursday, February 18, 2016

Kontestasi Islam Indonesia Kontemporer (3)

Kamis, 18 Februari 2016, 06:00 WIB

Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Pemikiran Islam Indonesia kontemporer sedikit banyak memiliki kontinuitas dengan intelektualisme masa sebelumnya. Pemikiran Islam Indonesia yang pernah disebut sebagai "tradisional"--sering juga disebut sebagai "tradisionalisme Islam"--dalam batas tertentu kian memudar. Pada saat yang sama, corak pemikiran ini juga mengadopsi aspek intelektualisme yang lazim dinisbahkan pada pemikiran "modernis".

Pada sisi lain, pemikiran Islam yang disebut sebagai "modernisme Islam" juga mengalami perubahan. Perubahan itu banyak terkait dengan kegagalan proyek modernisme di lingkungan masyarakat Muslim tertentu, dan juga dengan kebangkitan agama (religious revival) di berbagai lingkungan komunitas di dalam dan luar negeri. Karena itu, "modernisme Islam" kian memberikan apresiasi lebih besar pada warisan Islam (al-turats al-Islamiyyah) dalam aspek pemikiran ataupun kelembagaan.

Dalam konteks itu, jelas dinamika pemikiran Islam Indonesia sangat terkait dengan dinamika masyarakat di ranah domestik ataupun global. Kontekstualisasi dan indigenisasi Islam, seperti pernah dianjurkan para pemikir sebelumnya, semacam Cak Nur, Gus Dur, atau Munawir Sjadzali, terus menjadi paradigma pemikiran Islam Indonesia kontemporer.

Namun, pada saat yang sama, konteks transregional dan internasional--dari dunia Muslim sendiri dan dunia internasional lebih luas terus pula kian meningkat memasuki ranah pemikiran Islam Indonesia. Globalisasi memberi dampak lebih luas daripada masa sebelumnya karena kemajuan telekomunikasi instan melalui berbagai media dan jaringan yang tidak pernah ada presedennya di masa silam.

Karena itu, seperti disarankan Carol Kersten dalam karyanya, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (London; 2015), pemikiran Islam Indonesia kontemporer dapat disebut sebagai berada pada tahap post-modernism. Namun, dia menegaskan tahap-tahap sejarah pemikiran Islam tidak harus selalu bersifat sekuensial atau sambung menyambung (successive), seperti tradisional, modern, dan pascamodernisme.

Kontestasi pemikiran Islam kontemporer, menurut dia, jika dikategorisasikan, terutama menyangkut pemahaman berbeda tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ketiga subjek yang menjadi perdebatan dan kontestasi muncul sebagai motif pokok dalam uji daya tahan Indonesia dalam proses demokratisasi yang kini sudah memasuki tahap konsolidasi.

Perdebatan mengenai subjek-subjek ini selain terjadi di antara intelektual dan lembaga Muslim, juga melibatkan kalangan non-Muslim. Hal ini tidak lain karena subjek pluralisme, misalnya, memiliki reperkusi dan konsekuensi terhadap kebebasan beragama, toleransi, dan selanjutnya juga hak asasi manusia (HAM).

Sebab itu, kontestasi pemikiran Islam kontemporer untuk hegemoni terhadap masyarakat, gagasan, dan nilai terlihat jelas dalam banyak tulisan para pemikir Islam masa ini. Mereka berusaha mengonseptualisasi dan merumuskan berbagai wacana. Sementara itu, para aktivis mencoba mencarikan jalan untuk artikulasi dan implementasi konkret gagasan yang ada.

Pemikiran dan langkah berbeda membuat kontestasi di antara para pemikir beserta aktivis yang mewakili kecenderungan pemikiran berbeda menghasilkan perdebatan hangat dan bahkan diwarnai "konfrontasi". Di sini, Kersten meminjam ungkapan mantan menhan AS Donald Rumsfeld tentang "perang gagasan" atau apa yang disebut kalangan Islamis sebagai ghazwul fikri atau "invasi intelektual".

Sekali lagi, intelektualisme Islam Indonesia tidak bisa dibahas dan dipahami secara isolasi tanpa mempertimbangkan berbagai faktor domestik dan konteks internasional sehingga membentuk apa yang disebut sebagai "formasi diskursif". Hasilnya, seperti dikemukakan John Bowen, antropolog-cum-Indonesianis-Islamisis, "menjadikan Indonesia sebagai salah satu situs utama di muka bumi ini untuk mengkaji keragaman sosial, gagasan politik, dan komitmen keagamaan".

Kersten mengikuti kerangka Bowen. Ia melihat "Indonesia sebagai situs yang secara khas ditandai pergumulan untuk menyatukan norma-norma dan nilai-nilai yang bersumber dari Islam, budaya lokal, dan kehidupan publik internasional".

Menurut Kersten, lingkungan Indonesia ditandai keragaman yang sangat bergairah (vibrant). Karena itulah, lanskap intelektual yang berkembang memunculkan berbagai figur dan lembaga dengan pemikiran Islam Indonesia yang progresif. Pada pihak lain, juga ada figur atau lembaga yang memunculkan "kontrawacana" yang oleh kalangan Indonesianis lain semacam Martin van Bruinessen disebut sebagai "gelombang konservatif" (conservative tide).

Tarik menarik, pergumulan, dan kontestasi dalam pemikiran Islam Indonesia pasti terus berlanjut pada masa depan. Merupakan tradisi yang sehat jika pergumulan tidak didasari prasangka dan permusuhan, tetapi sebaliknya tetap dengan saling menghargai--meski tidak setuju dengan suatu corak pemikiran tertentu.

http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/02/18/o2p2dd319-kontestasi-islam-indonesia-kontemporer-3

Wednesday, February 17, 2016

Kontestasi Islam Indonesia Kontemporer (2)

Kamis, 11 Februari 2016, 06:00 WIB

Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah dan dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer--masa yang tengah berlangsung sekarang--jelas terkait erat dan mengandung kontinuitas sekaligus perubahan dengan intelektualisme yang bertumbuh dalam masa-masa sebelumnya. Kenyataan ini bisa dilihat dari subjek dan tema yang menjadi wacana dan perdebatan di antara para pemikir dan intelektual Islam Indonesia.

Jika disederhanakan, setidaknya ada tiga periodisasi intelektualisme Islam sejak awal abad ke-20. Pertama, periode prakemerdekaan dengan tokoh intelektual, seperti Mohammad Natsir, Agus Salim, dan generasinya yang banyak bergulat tentang tema seputar hubungan Islam dengan nasionalisme atau Islam dan negara.

Kedua, generasi pertama pascakemerdekaan yang mencakup tokoh pemikir dan intelektual semacam Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif dengan generasinya; sebagian sudah almarhum dan ada pula yang masih aktif. Mereka juga masih terlibat dalam subjek tentang Islam dan negara, Islam dan politik, juga Islam dan modernisasi.

Ketiga, generasi yang betul-betul kontemporer yang aktif berkiprah dan mencapai prominensi sejak masa pasca-Soeharto. Generasi ini hidup di masa pasca-Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahid yang ditandai dengan liberalisasi politik dan demokrasi yang memberikan peluang besar bagi setiap orang atau kelompok mengembangkan aspirasi, gagasan, dan nilai yang sering bertolak belakang dan terlibat kontestasi satu sama lain.

Kontestasi gagasan dan nilai untuk memenangkan pengaruh dalam masyarakat yang menampilkan kecenderungan intelektual berbeda disuarakan beragam individu yang terkait dengan lembaga, organisasi, atau kelompok tertentu. Carool Kersten dalam karyanya, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (London; 2015), berusaha memetakan berbagai kecenderungan pemikiran Islam Indonesia kontemporer.

Salah satu kecenderungan intelektualisme Islam Indonesia kontemporer, menurut Kersten, adalah absennya figur intelektual yang benar-benar menjadi primadona untuk generasinya. Figur-figur intelektual terpencar ke dalam berbagai lembaga dan kelompok--tidak lagi terpusat pada figur-figur tertentu.

Kersten mengkaji dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer dengan meneliti kelompok-kelompok yang terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme intelektual. Pendekatan dia ini berbeda dengan Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia (2000) yang menekankan pentingnya peran individu dalam dinamika intelektualisme Islam Indonesia pada masa generasi Cak Nur.

Penekanan pada peran figur intelektual daripada lembaga sebagai aktor intelektualisme Islam Indonesia kontemporer mendapat kritik dari sarjana lain semacam John T Sidel (2001). Yang terakhir ini justru menekankan peran madrasah sebagai sumber awal dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer.

Namun, Johan Meuleman, guru besar asal Belanda yang lama bertugas di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengkritik penekanan Siedel yang ia pandang berlebihan tentang peran madrasah dalam masyarakat Indonesia umumnya dan dalam perkembangan pemikiran reformis atau kelas menengah Muslim khususnya.

Sebaliknya, Meuleman mengingatkan agar orang tidak mengabaikan atau meremehkan peran dan kontribusi pesantren dan IAIN (juga UIN dan STAIN) beserta banyak institusi yang menyertainya, seperti lembaga riset, kelompok diskusi dan belajar. Mereka ini berperan besar dalam emansipasi kelompok besar Muslim dan juga dalam perkembangan gagasan pluralis dan demokratis.

Kersten tampaknya mengikuti Meuleman dengan menekankan peran lembaga dan kelompok intelektual melalui pendekatan jaringan (network approach). Pertumbuhan lembaga dan kelompok intelektual terkait banyak dengan pertumbuhan eksplosif kelas menengah terdidik Muslim--baik dalam jumlah absolut maupun proporsi dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.

Dengan tetap mempertimbangkan relevansi konteks dimensi struktural politik, sosial, dan kultural, kajian Kersten memiliki ambisi menjadikan investigasinya sebagai kajian pertama tentang sejarah intelektual substantif. Kajiannya adalah sejarah gagasan dengan mengungkapkan riwayat mereka yang mengonseptualisasi dan memformulasi cara baru berpikir tentang agama dan menerjemahkannya menjadi agenda pembaruan guna merespons tantangan serius yang dihadapi Indonesia dewasa ini.

Masalahnya kemudian sudah banyak diketahui. Dalam ungkapan Kersten, tantangan berat dalam upaya mengungkapkan pemikiran Islam Indonesia kontemporer adalah absennya meta-narrative yang sistematis. Para intelektual Indonesia jarang menulis buku utuh; sebaliknya lebih banyak menulis makalah, esai, dan kolom--dan kemudian juga blog di dunia maya. Karena itu, peneliti harus meneliti banyak literatur yang tentu saja menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/02/11/o2c5tv319-kontestasi-islam-indonesia-kontemporer-2