Monday, July 29, 2013

Madrais, Menyemai Tradisi Menuai Diskriminasi

Beberapa tokoh nasionalis dipahami secara keliru. Bahkan oleh bangsanya sendiri. Sebagai akibat rekayasa penjajah Belanda yang menyebarkan cerita dan fakta keliru terhadap tokoh-tokoh nasionalis pribumi. Sebab keberadaan mereka membahayakan posisi kolonialis.

Oleh Ali Romdhoni
Kiai Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (m. 1939) dari Cigugur, Kuningan merupakan nasionalis. Namun karena sejarah ia pernah dipahami secara keliru dan dimusuhi oleh komunitasnya sendiri.
Awal September 2012 lalu penulis mendengar sosok Madrais melalui penuturan para penganutnya. Adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar ajaran—untuk tidak menyebutnya ‘agama’—Sunda Wiwitan (Sunda permulaan; lama).
Menurut cerita, Madrais masih memiliki hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Oleh ibunya, anak yang belum genap satu tahun itu kemuian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari kejaran Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia kemuian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan. Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.
Selama hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan kepada rakyat pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang popular di kalangan penganut Sunda Wiwitan adalah makan dan minumlah dari hasil keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.
Sadar Kebangsaan
Madrais hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, ketika seluruh kekayaan bangsa Indonesia: sumber daya alam, ilmu pengetahuan, agama, budaya, hingga akal sehat sudah hilang dari manusianya.
Dalam kondisi yang demikian, Madrais tampil sebagai putera pribumi yang sadar dan merasa harus bangkit dari kehancuran sebagai bangsa. Kritik yang disampaikan Madrais, yang selanjutnya menjadi ajaran yang ia tanamkan kepada para pengikutnya adalah: tidak adanya tatanan sosial untuk menciptakan keadilan di masyarakat, tidak berfungsinya agama-agama dalam melahirkan manusia yang saling menghargai kedaulatan sebagai bangsa, dan hilangnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang berdaulat di muka bumi.
Tiga hal ini, menurut saya, menjadi saka guru ajaran Kiai Madrais. Pangeran Madrais mengajarkan pentingnya kesadaran sebagai manusia dan bangsa yang mengenal cara dan ciri manusia, antara lain, welas asih (cinta) kepada sesama, tata kerama, berbudaya, berbahasa, beraksara dan wiwaha danaraga (mempertimbangkan segala keputusan dan perilaku dalam hidup). Sebagai manusia harus sadar atas keberadaannya sebagai ciptaan Sang Maha Kuasa. Cara-ciri ini, rupa, bahasa dan budaya tidak bisa dihindari. Karena merupakan karunia Tuhan, maka harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan.
Eksistensi Ajaran Madrais
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Di tempat ini juga terdapat gedung Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga adat dan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini.
Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu. Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek paseban. Salah satu kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya tahun baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini sebagian masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk iarak dalam satu episode pawai yang meriah.
Di komplek gedung Paseban TPT juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga.  Pangeran Jatikusuma, pimpinan ajaran Sunda Wiwitan saat ini juga membangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Perjalanan para penganut ajaran Sunda Wiwitan tidak selamanya mulus. Ada lembaran-lembaran kelam yang meninggalkan trauma tersendiri bagi warga adat dan penganut ajaran Kiai Madrais. Salah seorang anak Jatikusuma, Gumirat Barna Alam harus berurusan dengan pengadilan Jakarta Timur pada 1997. Gumirat ingin menikah dengan cara adat dan ajaran yang mereka yakini. Namun saat itu kantor catatan sipil tidak mengizinkan, sampai akhirnya harus diselesaikan di meja hijau.
Sejarah yang Kabur
Perjalanan sejarah terkadang bisa memutar-balik fakta. Pada satu waktu seseorang diproklamirkan sejarah sebagai sosok agung, dan pada masa berikutnya orang yang sama dijatuhkan—juga oleh sejarah itu sendiri—ke derajat pecundang.
Demikian yang terjadi pada Pangeran (Kiai) Madrais saat ini. Citra yang menempel pada sosok bangsawan keturunan keraton Gebang lama ini adalah seorang pemberontak, penyebar aliran sesat, orang yang tidak beragama, sampai anak haram. Selain itu juga ada masyarakat yang meyakininya sebagai bangsawan, kiai (agamawan), cendekia, tokoh pembela rakyat dalam menghadapi penjajah, sampai orang sakti yang rendah hati.
Menurut pendapat rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, Khozin Nasuha, misalnya, Madrais sejatinya seorang pimpinan pesantren. Bahkan nama Madrais, menurut salah seorang warga Cigugur, merupakan pengucapan dari nama muslim, Ahmad Rais. Namun komentar ini disanggah oleh para cucu Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang muslim. Memang ia pernah belajar keislaman di pesantren, tetapi itu karena minatnya yang besar dalam hal ajaran keagamaan dan kemanusiaan yang universal.
Kita patut bangga memiliki pendahulu seperti Pangeran Madrais. Wallahu a’lam bis-shawab.
-Ali Romdhoni MA, Peneliti dan dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati, Jawa Tengah.

From: http://amanat-online.com/madrais-menyemai-tradisi-menuai-diskriminasi/