Monday, November 1, 2010

Mbah Maridjan, Transformasi "Islam-Jawa"

BENCANA MERAPI
Mbah Maridjan, Transformasi "Islam-Jawa"
Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010 | 03:51 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga berdoa di depan nisan juru kunci Gunung Merapi, Mas Penewu Soeraksohargo atau Mbah Maridjan, di Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (28/10).

Mbah Maridjan boleh dibilang salah satu pelaku fenomenal dalam transformasi teologis ”Islam-Jawa”. Kesejarahannya bisa ditarik benang merahnya dengan kesejarahan Wali Sanga.

Hubungan eksistensial Mbah Maridjan dengan Gunung Merapi bisa dirunut dalam proses perubahan kosmologi Jawa sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa sebelum abad ke-10 Masehi. Pada Mataram pertama yang berkedudukan di Yogyakarta sampai Kadiri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur, secara kosmologis kehidupan itu dibagi dua, yaitu adanya jagat atas dan jagat bawah.

Menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, jagat atas adalah tempat para dewa yang digambarkan terletak di atas gunung. Maka banyak gunung, terutama yang aktif, yang dikeramatkan, seperti Merapi, Semeru, Kelud, dan Bromo. Sementara jagat bawah berada di lembah yang ditempati manusia.

Kewajiban manusia adalah menjaga harmonisasi jagat bawah dengan jagat atas. Untuk itulah dibangun tempat-tempat suci dan secara periodik diselenggarakan ritual. Misalnya, keberadaan Candi Prambanan sebagai tempat suci ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Merapi. Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur, yang dibangun dalam tiga dinasti (Kadiri, Singasari, Majapahit) adalah tempat ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Kelud. Candi Jago di Malang, Jawa Timur, untuk tempat puja jagat atas di Gunung Semeru.

Salah satu ritual yang masih lestari sampai sekarang adalah ritual Kasada yang dihelat masyarakat subkultur Tengger di Gunung Bromo.

Sejalan dengan melemahnya pengaruh Hindu, konsep kosmologi Jawa mengalami perubahan di mana konsep jagat atas tempat dewa diganti menjadi tempat ”Sing Mbaureksa” yang artinya yang berkuasa. Konsep sosok ”Sing Mbaureksa” ini tidak begitu jelas. Hanya dipersepsi sebagai ruh atau makhluk gaib, tetapi bukan dewa, bukan jin atau malaikat. Manusia berkewajiban menjaga harmonisasi dengan ”Sing Mbaureksa” tersebut demi keselamatan dan kemaslahatan umat manusia.

Sujud

Dengan diangkat menjadi juru kunci Merapi, keberadaan Mbah Maridjan (83) adalah menjadi ujung tombak atau tokoh kunci terpeliharanya harmonisasi Keraton Yogyakarta (jagat bawah) dengan Merapi (jagat atas).

Bagi Mbah Maridjan, konsep ”Sing Mbaureksa” Merapi adalah Tuhan. Hal itu tecermin dari doa-doanya yang hanya ditujukan kepada Tuhan sebagai Sang Maha Selamat (al-Salam). Jasad Mbah Maridjan yang ditemukan dalam posisi sujud menjadi bukti bahwa dia melakukan ritual secara Islam.

Masalah tempat sujudnya di kamar mandi harus dilihat dalam konteks darurat. Dalam situasi normal, sujud di kamar mandi jelas dilarang Islam.

Tindakannya itu juga membuktikan bahwa dalam situasi yang sangat gawat Mbah Maridjan tetap pasrah kepada Tuhan. Tetap memohon bagi keselamatan rakyat Yogyakarta.

Posisi sujud sekaligus menunjukkan betapa Mbah Maridjan sangat mencintai buminya, Merapi. Dia memegang ajaran Jawa: sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati (sejengkal tanah akan dibela sampai mati).

Posisi itu juga menunjukkan betapa Mbah Maridjan setia dengan amanat yang dipanggulnya menjaga harmonisasi dengan Merapi. Menerima amanat harus dijaga dengan taruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.

Pola Mbah Maridjan menjaga Merapi, tidak gegabah kalau dibilang sebagai bentuk transformasi teologis ”Islam-Jawa”, yaitu tatkala dia menggeser pusat kepasrahan, permohonan dan pemujaan dari ”Sing Mbaureksa” kepada Tuhan.

Dia melakukan transformasi itu secara bijaksana untuk menjaga harmonisasi sosial. Dia tetap melakukan upacara adat, tetapi ”ruh” upacara yang berupa doa itu menggunakan ajaran tauhid. Ibaratnya, casing-nya tetap, tetapi isinya yang baru.

Pola ini sealur benang merah dengan pola transformasi teologis ”Islam-Jawa” Wali Sanga. Misalnya, tetap memelihara pelbagai bentuk selamatan tetapi ”ruh”- nya sudah diganti dengan ajaran tauhid.

Sunan Kudus melarang masyarakat menyembelih sapi sebagai cara menjaga harmonisasi dengan umat Hindu. Padahal, kalau cuma berpijak pada syar’i, tindakan Sunan Kudus itu menyimpang karena melarang barang yang halal.

Dengan pola transformasi teologisnya—hasil ijtihadnya— itu, Mbah Maridjan berusaha memelihara agar umat tak terperosok ke dalam syirik. Tradisi Jawa tetap terpelihara, tatanan Keraton tetap dihormati dan dilestarikan, tetapi tak terjadi gejolak sosial. (ANWAR HUDIJONO)