Warisan Indonesia, November 29, 2011 11:18 am
SEBAGAI penerus ajaran Kiai Madrais, Pangeran Djatikusumah (79) adalah sosok yang paling tepat untuk menjelaskan ajaran serta peran tokoh “perlawanan senyap” itu pada masa penjajahan Belanda. Berikut perbincangan Warisan Indonesia dengan pemimpin Komunitas Adat Cigugur itu di sela-sela persiapan “Seren Taon” yang tahun ini berlangsung pada 14-19 November 2011. Berikut petikannya.
Bisa diceritakan bagaimana Komunitas Adat Cigugur ini bermula?
Secara getok tular (mulut ke mulut) dari leluhur kami. Dulu sembunyi-sembunyi, dengan datangnya Islam, ada yang namanya Islam abangan, nah kami dikatakan Sunda Wiwitan, istilah wiwitan itu maknanya yang pertama. Sebelum kedatangan agama dari luar Nusantara, kami sudah ada. Pegangannya adalah yang dikenal dengan tritangtu, yakni tri tangtu dibuana, tritangtu dinaraga, tritangtu dinagara, jadi itu juga termasuk apa yang ada dalam pikiran, naluri, rasa, dan pikir.
Jadi, sebelum Kiai Madrais lahir, komunitas ini sudah ada. Dasarnya, kepercayaan pada ajaran lama Sunda Wiwitan. Semasa Kiai Madrais ada masalah, ketika Belanda memorakporandakan Kepangeranan Gebang karena menolak kedatangan Belanda. Gebang akhirnya bekerja sama dengan Mataram menyerang Batavia. Masyarakat Gebang sering melakukan kraman—kerusuhan untuk menyabotase— tanam paksa di daerah kekuasaan Cirebon yang bekerja sama dengan kompeni. Akhirnya, ada yang menyampaikan kepada pemerintahan Belanda bahwa kerusuhan itu direstui oleh Pangeran Gebang. Sejak itulah kekuasaan Gebang dilumpuhkan dan wilayahnya dibagikan kepada tiga kasultanan, yaitu Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan.
Akhirnya, Pangeran Gebang mengungsikan putranya, Kiai Madrais, ke Cigugur ini. Karena Cigugur daerah basis tentara Mataram manakala ingin menyerang Batavia. Kiai Madrais yang dulunya Pangeran Sadewa Alibassa, mengajarkan kerohanian. Pada waktu itu, asal ada orang tua mengajarkan kerohanian disebut kiai dan tempatnya disebut pesantren.
Kiai Madrais tidak hanya mengajarkan agama Islam, muridnya ada yang Khonghucu dan agama lain. Beliau mengarahkan agar umat benar-benar menghayati ajaran agama. Bahwa engkau orang muslim tidak akan menjadi orang Arab, engkau seorang Katolik atau Kristen tidak menjadi orang Romawi atau Eropa, engkau penganut Hindu tidak menjadi orang India, engkau tetap berpijak di bumi Sunda.
Kiai Madrais tidak mengatakan Sunda itu sebagai Jawa Barat saja, tetapi Sunda Besar dan Sunda Kecil, yang tak lain adalah Nusantara ini. Belanda akhirnya curiga, lalu menghimpun kekuatan dan kami dipecah belah dengan stigma dan label sebagai orang kafir yang menyesatkan. Hingga akhirnya Kiai Madrais dibuang ke Tanah Merah, Merauke (Papua) selama tahun 1901-1908.
Jadi, kami ini meneruskan ajaran Kiai Madrais itu. Ada yang murni artinya memakai ajaran Sunda, ada yang Islam, ada Kristen, tetapi mereka tetap percaya ajaran leluhur. Maka setiap tahun yang jatuh pada 22 Rayagung ada upacara syukuran yang diselenggarakan secara plural, doa lintas agama. (WI/E. Pudjiachirusanto/ Bambang Triyono)
— Baca artikel lengkapnya di Majalah Warisan Indonesia Vol.01 No.11 —
Retrieved from: http://warisanindonesia.com/2011/11/pangeran-djatikusumah-mempertahankan-tradisi-terasing-di-negeri-sendiri/
SEBAGAI penerus ajaran Kiai Madrais, Pangeran Djatikusumah (79) adalah sosok yang paling tepat untuk menjelaskan ajaran serta peran tokoh “perlawanan senyap” itu pada masa penjajahan Belanda. Berikut perbincangan Warisan Indonesia dengan pemimpin Komunitas Adat Cigugur itu di sela-sela persiapan “Seren Taon” yang tahun ini berlangsung pada 14-19 November 2011. Berikut petikannya.
Bisa diceritakan bagaimana Komunitas Adat Cigugur ini bermula?
Secara getok tular (mulut ke mulut) dari leluhur kami. Dulu sembunyi-sembunyi, dengan datangnya Islam, ada yang namanya Islam abangan, nah kami dikatakan Sunda Wiwitan, istilah wiwitan itu maknanya yang pertama. Sebelum kedatangan agama dari luar Nusantara, kami sudah ada. Pegangannya adalah yang dikenal dengan tritangtu, yakni tri tangtu dibuana, tritangtu dinaraga, tritangtu dinagara, jadi itu juga termasuk apa yang ada dalam pikiran, naluri, rasa, dan pikir.
Jadi, sebelum Kiai Madrais lahir, komunitas ini sudah ada. Dasarnya, kepercayaan pada ajaran lama Sunda Wiwitan. Semasa Kiai Madrais ada masalah, ketika Belanda memorakporandakan Kepangeranan Gebang karena menolak kedatangan Belanda. Gebang akhirnya bekerja sama dengan Mataram menyerang Batavia. Masyarakat Gebang sering melakukan kraman—kerusuhan untuk menyabotase— tanam paksa di daerah kekuasaan Cirebon yang bekerja sama dengan kompeni. Akhirnya, ada yang menyampaikan kepada pemerintahan Belanda bahwa kerusuhan itu direstui oleh Pangeran Gebang. Sejak itulah kekuasaan Gebang dilumpuhkan dan wilayahnya dibagikan kepada tiga kasultanan, yaitu Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan.
Akhirnya, Pangeran Gebang mengungsikan putranya, Kiai Madrais, ke Cigugur ini. Karena Cigugur daerah basis tentara Mataram manakala ingin menyerang Batavia. Kiai Madrais yang dulunya Pangeran Sadewa Alibassa, mengajarkan kerohanian. Pada waktu itu, asal ada orang tua mengajarkan kerohanian disebut kiai dan tempatnya disebut pesantren.
Kiai Madrais tidak hanya mengajarkan agama Islam, muridnya ada yang Khonghucu dan agama lain. Beliau mengarahkan agar umat benar-benar menghayati ajaran agama. Bahwa engkau orang muslim tidak akan menjadi orang Arab, engkau seorang Katolik atau Kristen tidak menjadi orang Romawi atau Eropa, engkau penganut Hindu tidak menjadi orang India, engkau tetap berpijak di bumi Sunda.
Kiai Madrais tidak mengatakan Sunda itu sebagai Jawa Barat saja, tetapi Sunda Besar dan Sunda Kecil, yang tak lain adalah Nusantara ini. Belanda akhirnya curiga, lalu menghimpun kekuatan dan kami dipecah belah dengan stigma dan label sebagai orang kafir yang menyesatkan. Hingga akhirnya Kiai Madrais dibuang ke Tanah Merah, Merauke (Papua) selama tahun 1901-1908.
Jadi, kami ini meneruskan ajaran Kiai Madrais itu. Ada yang murni artinya memakai ajaran Sunda, ada yang Islam, ada Kristen, tetapi mereka tetap percaya ajaran leluhur. Maka setiap tahun yang jatuh pada 22 Rayagung ada upacara syukuran yang diselenggarakan secara plural, doa lintas agama. (WI/E. Pudjiachirusanto/ Bambang Triyono)
— Baca artikel lengkapnya di Majalah Warisan Indonesia Vol.01 No.11 —
Retrieved from: http://warisanindonesia.com/2011/11/pangeran-djatikusumah-mempertahankan-tradisi-terasing-di-negeri-sendiri/
jual viagra
ReplyDeletepil biru
obat kuat viagra
viagra aslia
obat kuat jakart
viagra asli
obat kuat viagra
toko viagra jakarta
kios viagra bandung
jual viagra depok
penjual viagra tangerang
viagra bekasi
viagra karawang
viagra purwakarta
musyrik
ReplyDelete