Oleh Piun Novrin
1. Pengantar
1. Pengantar
Tuhan
itu begitu misterius. Setiap agama memiliki caranya yang khas untuk
mencoba mengenal siapakah Tuhan itu. Dalam makalah ini, saya ingin
mengangkat konsep Tuhan dalam pemahaman Agama Djawa Sunda. Pertanyaan
dasarnya adalah bagaimanakah Agama Djawa Sunda (ADS) membangun konsep
tentang Tuhan? Lalu, apa korelasi antara konsep Tuhan itu dengan
pokok-pokok ajaran yang dimiliki oleh ADS?
Tulisan ini
terdiri dari 3 bagian. Pertama, penulis akan memaparkan latar belakang
singkat mengenai ADS. Kedua, akan dipaparkan konsep Tuhan yang diyakini
oleh para penganut ADS. Dan, ketiga, penulis akan melihat peran konsep
Tuhan tersebut dalam pokok ajaran yang dihayati oleh penganut ADS.
2. Latar belakang singkat Agama Djawa Sunda
Agama
Djawa Sunda lahir pada tahun 1848 di Gebang, Cirebon Timur. Pendiri ADS
adalah Pangeran Sadewa Madrais Kusuma Wijaya Ningrat. Ia merupakan
putra dari Pangeran Alibassa I, Sultan dari Kasultanan Gebang. ADS
seringkali disebut juga sebagai Madraisme mengingat pendirinya yang
bernama Madrais. Agama ini kemudian berkembang cukup pesat di daerah
Cigugur, Kuningan. Penganutnya tersebar luas di berbagai daerah di Jawa
Barat. Sekitar tahun 1940-an, tercatat bahwa anggota ADS mencapai
sekitar 60.000 orang, sebelum akhirnya ADS ini dibubarkan karena
dianggap melawan pemerintah kolonial. Selanjutnya, di tahun 1960-an
sebagian besar anggota ADS masuk ke dalam Gereja Katolik.
Istilah
“Djawa” dan “Sunda” dalam ADS tidak ada kaitannya sama sekali dengan
identitas pulau atau ke-suku-an Jawa dan Sunda. Semboyan utama dari ADS
adalah “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda”. Dengan
semboyan tersebut, frase “Djawa Sunda” dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kata “Djawa” adalah singkatan dari andjawat (mengambil) dan andjawab (menjawab atau melaksanakan). Sementara itu, kata “Sunda” adalah singkatan dari kata-kata Roh susun-susun kang den tunda (Roh yang tersusun-susun tertunda atau yang ada di dunia). [1]
Semboyan
itu mengandung makna bahwa di dalam dunia ini, terdapat berbagai macam
roh. Selain roh manusia, terdapat pula roh-roh lain yang berdiam di
dalam benda dan makhluk ciptaan Tuhan seperti binatang, tumbuhan, batu,
api, angin, tanah, dll. Konsep mengenai roh ini nantinya akan begitu
mempengaruhi seluruh ajaran ADS berikut dengan konsep Tuhan yang
dipercayainya.
Asas dan tujuan ADS adalah mengabdi kepada perintah Tuhan dan kepada perikemanusiaan. Ungkapan yang terkenal dari ADS adalah sampurnaning hirup, sajatining mati (hidup sempurna, mati sejati).[2]
Manusia itu hendaknya jangan hanya hafal dan mengerti dengan akal
budinya saja, melainkan juga mengarahkan seluruh tindakan dan
perbuatannya kepada perintah Tuhan. Para penganut ADS memandang agama
bukan hanya sebagai kepercayaan saja, melainkan lebih sebagai ukuran
hidup. Dengan agama, mereka senantiasa mengukur apakah hidupku ini sudah
selaras atau belum terhadap perintah Tuhan dan perintah kemanusiaan.
Ukuran ini dikenakan pada setiap sir-rasa-pikir (kehendak,
ucapan, perbuatan, pikiran) yang muncul. Dengan begitu, penghayatan
agama tidak jatuh dalam fanatisme sempit belaka, melainkan benar-benar
menjadi nafas hidup, urat nadi dalam hidup seseorang.
3. Konsep Tuhan dalam Agama Djawa Sunda
Menurut
kepercayaan ADS, Tuhan itu ada dan maha pencipta, mahaesa, mahakuasa
maha adil, maha pengasih dan penyayang, serta seru sekalian alam. Tuhan
tidak jauh dan terpisahkan dari semua ciptaan-Nya, terutama manusia.
Allah tidak berbentuk dan tidak dapat ditentukan tempat tinggalnya. Para
penganut ADS memeluk paham monoteisme, tetapi mereka percaya bahwa
Tuhan ada di mana-mana. Istilah “Tuhan ada di mana-mana ini” lebih
mengacu pada arti bahwa Tuhan (‘Zat’ atau ‘Sawab’ atau ‘Hurip’-Nya) ada
di dalam diri setiap ciptaan-Nya. Hal ini berarti di dalam manusia ada
zat Tuhan, di dalam tumbuhan ada zat Tuhan, di dalam hewan ada zat
Tuhan, dan di dalam benda mati pun (api, air, angin, batu, dll) ada zat
Tuhan.
Menurut ADS, Tuhan disebut sebagai Gusti Sikang Sawiji-wiji (wiji
berarti inti). Tuhan adalah inti kelangsungan hidup di dunia ini.
Sebagai inti dari segala kehidupan, Tuhan dapat ditransformasikan
menjadi daya atau energi yang sifatnya konkret. Inti tersebut kemudian
tertanam dalam setiap karya ciptaan-Nya. [3]
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Hanya manusialah yang memiliki Sir-Rasa-Pikir dan Akal-Budi (rasa rumasa dan rasa tumarima),
sedangkan binatang dan tumbuhan hanya memiliki naluri. Pada manusia,
zat/sawab Tuhan membentuk tujuh ‘oknum’ yaitu sifat-sifat Allah dan
sifat-sifat manusia: sir, rasa, roh, hurip, nyawa,
cahaya, dan sukma. Sementara itu, pada makhluk lain, zat/sawab/hurip
Tuhan membentuk dua sifat yakni sifat pengarahan kembali kepada asal dan
sifat kodrat (sifat kebinatangan atau sifat makhluk sesuai dengan wujud
dan namanya).
Manusia,
dalam konsep ADS, adalah medium atau perantara yang paling penting.
Sifat pengarahan kembali kepada asal yang dimiliki oleh hewan atau
tumbuhan membutuhkan manusia sebagai perantara. Sebagai contoh, manusia
memakan kambing dan sayur kangkung. Dengan tindakan makan tersebut,
maka, kambing dan sayuran kangkung itu dapat mengarah kembali kepada
asal. Dari yang tadinya berbentuk kambing/kangkung, makhluk-makhluk itu
kemudian berubah wujud menjadi makanan yang menghidupi manusia.
Perubahan wujud itu menandakan bahwa sifat kepada yang asali telah
terjadi.
Namun, manusia sebagai media perantara, tetap harus eling
dan waspada sebab sifat pengarahan kembali ke asal tersebut tidak
terpisahkan dari sifat kodratnya (seperti nafsu kebinatangan, sifat
rakus, semaunya sendiri). Sifat kodrat yang tak terpisahkan ini akan
mempengaruhi rasa dan pikiran manusia. Sebagai contoh, manusia makan tongseng asu
(anjing). Nah, dengan makan daging anjing itu, mau tak mau sifat
kebinatangan anjing ikut terserap pula ke dalam diri manusia. Itulah
sebabnya, menurut kepercayaan ADS, manusia memiliki perasaan, pikiran,
atau tindakan jahat: suka berkelahi, melampiaskan nafsu birahi
seenaknya, sikap mudah marah seperti yang terdapat dalam sifat anjing.
Masuknya
sifat-sifat makhluk seperti itu ke dalam diri manusia tidak hanya
terjadi melalui tindakan makan, tetapi juga melalui tindakan melihat,
mendengar, meraba, meminum (air, teh, susu) dan juga menghirup (udara).
Oleh karena itu, para penganut ADS memiliki pedoman bahwa Pelawangan anu lima (panca indra) adalah jembatan batin manusia.
Dengan
demikian, tugas besar manusia menjadi jelas yakni menjaga diri dan
membersihkan batin agar pengaruh kodrat dari makhluk-makhluk lain dapat
dinetralisir. Konsep “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den
tunda” menjadi semakin jelas. ADS mempercayai bahwa di sekitar manusia,
terdapat berbagai macam roh yang dapat mempengaruhi dirinya. Oleh karena
itu, manusia perlu terus-menerus mengadakan “consideratio”: memilih dan mengambil pengaruh roh-roh yang baik dan menjauhkan diri dari pengaruh roh-roh atau sifat kodrat yang buruk.
Bagaimana cara mengadakan consideratio
tersebut? ADS menjawabnya dengan jalan memperteguh iman kepada Tuhan
dan membuka kesadaran batin terhadap sisi kemanusiaan. ADS memberikan
sejumlah perangkat norma kepada para penganutnya untuk melakukan
pemilihan roh ini yakni dengan jalan triwikrama (senantiasa mengoreksi sir-rasa-pikir yang muncul dalam benak manusia). Atau, perang mandalerang sajeroning kurungan (memerangi hawa nafsu jahat dalam batinnya sendiri). Atau, wiwaha yuda negara (senantiasa melakukan pertimbangan manakala menginginkan sesuatu). Apabila manusia secara konsisten melakukan andjawat lan andjawab
roh-roh yang ada di sekitarnya, niscaya manusia akan melaksanakan apa
yang diperintahkan Tuhan yakni menjadi sadar akan diri, identitas, dan
jati dirinya sendiri.
Pemujaan
penganut ADS kepada Tuhan terjadi secara langsung yakni melalui doa,
olah tapa, atau berdialog dalam batin. Dan dapat pula terjadi secara
tidak langsung yakni dengan amal kasih kepada sesama, menjunjung tinggi
bangsa dan negara, serta taat pada peraturan yang berlaku. Salah satu
hal yang menarik dalam ADS adalah cara semedinya. Mereka menyebutnya sebagai Nyipta Sisakapura.[4]
Dalam semedi itu, seseorang berusaha untuk melihat dan menghadirkan
wajahnya sendiri sebagai bahan meditasi. Bentuk semedi macam ini cukup
sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesetiaan dan
kesabaran untuk dapat mencapai tingkat semedi yang khusyuk. Lagi-lagi,
dalam hal ini tekanannya adalah “wajah diri sendiri”. Untuk mencapai
kebahagiaan, pertama-tama orang harus mengenal dirinya sendiri serta
dapat memetakan roh-roh apa saja yang mempengaruhi dirinya selama ini.
Dengan demikian niscaya, manusia akan mengenal Tuhan.
4. Penerapan konsep akan Tuhan dalam pokok ajaran ADS
Konsep Tuhan yang dimiliki oleh ADS nyata tersurat dalam pokok-pokok ajaran mereka yang dikenal sebagai pikukuhtilu[5], yakni sebagai berikut. Pertama, Ngaji Badan. Ngaji berarti mengkaji, menyaring, memilih. Badan
berarti segala unsur alam raya yang menyebabkan manusia ada dan hidup.
Maksud dari ajaran ini adalah bahwa manusia harus selalu mampu menjaga
rasa dan pikirannya agar tidak menyeleweng. Caranya adalah dengan
memilih dan menimbang-nimbang gerakan batin atau kecenderungan roh yang
sedang mempengaruhi dirinya. Yang baik diikuti dan yang jahat dihindari.
Kedua, Iman Kana Tanah. Iman berarti ingat atau eling. Tanah berarti asal mula kehidupan. Dengan demikian, ajaran iman kana tanah
ini mempunyai maksud agar manusia senantiasa ingat akan segala unsur
alam raya yang telah membentuk dirinya. Manusia memiliki keunggulan
tersendiri yakni dipercaya Tuhan untuk mengolah unsur-unsur alam raya.
Maka, hendaknya manusia selalu ingat kepada ‘tanah’, ingat akan ciri
khas dirinya, serta mendayagunakan sumber alam yang ada sebaik-baiknya
demi kehidupan manusia dan keseimbangan alam.
Ketiga, Ngiblating Ratu Raja. Ngiblat berarti mengarah, memiliki orientasi tertentu, atau menghadap. Ratu
berarti yang bisa meratakan atau mengatur/menata. Alam yang harus
diatur bukan saja alam raya, tetapi juga alam yang terdapat dalam diri
manusia yakni sir, rasa, dan pikiran. Seringkali rasa sirik atau munafik sering mengacaukan tatanan alam manusia. Oleh karena itu, Ngiblating Ratu Raja berarti orang yang mampu meratakan atau mengatur bukan saja orang lain tetapi juga dirinya sendiri.
5. Kesimpulan
Dari
seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Agama Djawa Sunda
memiliki pandangan bahwa Tuhan itu ada dan Mahaesa. “Zat” atau “sawab”
Tuhan merupakan inti yang terdapat dalam setiap makhluk yang
diciptakan-Nya. Namun, setiap makhluk juga memiliki sifat kodrat negatif
yang tidak bisa dilepaskan dari inti/zat Tuhan tersebut.
Di
sisi lain, manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara
ciptaan lainnya. Untuk dapat hidup sempurna mati sejati, manusia perlu
terus-menerus berusaha memilih (andjawat) dan mengambil (andjawab)
roh-roh yang baik dan menjauhi pengaruh roh-roh jahat yang ada di
sekitarnya. Dengan begitu, manusia akan sampai pada kesadaran akan
dirinya sendiri. Lalu, kesadaran itu akan semakin mendekatkan relasinya
dengan Tuhan.
Daftar Pustaka
Kristiyanto, A. Eddy (ed.). Spiritualitas Dialog: Narasi Teologis tentang Kearifan Religius. Yogyakarta: Kanisius, 2010, s.v. “Madraisme: Memapar Khazanah Rohani Agama Djawa Sunda” hlm. 173-223.
Subagya, Rahmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1981.
“Agama Jawa Sunda” oleh Muhamad Hisyam dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/
[1] A. Eddy Kristiyanto, “Madraisme: Memapar Khazanah Rohani Agama Djawa Sunda” dalam Spiritualitas Dialog: Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 177.
[2] Ibid. hlm. 192.
[3] “Agama Jawa Sunda” oleh Muhamad Hisyam dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchKatalog/ byId/6298 (diunduh tgl. 18 Mei 2011).
[4] Op.cit, Spiritualitas Dialog, hlm. 188.
[5] Ibid., hlm. 182.
Retrieved from: http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/28/konsep-tuhan-dalam-agama-djawa-sunda/
No comments:
Post a Comment