Delimited Pluralisme: Kajian Sikap Pemerintah dan
Masyarakat terhadap Agama Lokal di Indonesia (Jurnal Character Building, Vol.
2, No. 1, Juli 2005)
Kebebasan beragama merupakan hak setiap orang. Namun dalam konteks negara Indonesia pada beberapa era lampau, kebebasan itu memiliki batas-batas. Penduduk negeri ini boleh memeluk agama apapun senyampang masih dalam koridor agama yang mendapat pengakuan dari negara. Jumlah agama yang diakui sebagai “resmi” oleh negara selalu berubah sesuai dengan kepentingan negara.
Kebebasan beragama merupakan hak setiap orang. Namun dalam konteks negara Indonesia pada beberapa era lampau, kebebasan itu memiliki batas-batas. Penduduk negeri ini boleh memeluk agama apapun senyampang masih dalam koridor agama yang mendapat pengakuan dari negara. Jumlah agama yang diakui sebagai “resmi” oleh negara selalu berubah sesuai dengan kepentingan negara.
Agama memang
tidak kalis dari interfensi politik. Para intelektual, misalnya, bisa
mendefinisikan agama dari yang paling minimal (loose) hingga paling
ketat. Untuk kepentingannya, negara pun bisa menetapkan kapan suatu agama
diberi kebebasan dan kapan dilarang; mana agama yang diakui dan mana yang tidak
diakui; apa agama yang resmi dan yang tidak resmi. Khong Hu Cu, misalnya, yang
pada masa presiden Soekarno diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia,
hanya dianggap sebagai kebudayaan setelah peristiwa G 30 S PKI. Contoh lain,
Agama Hindu dan Budha harus mengikuti
persyaratan pemerintah untuk bisa diakui sebagai agama resmi. Selain itu,
pandangan hidup (Weltanschauung) seseorang juga menentukan bagaimana ia
mempersepsikan keyakinan orang lain. Keyakinan “Victorian” pada orang-orang
Inggris, misalnya, menjadikan mereka memiliki anggapan bahwa suku-suku primitif
pastilah tidak memiliki agama.
Dampak dari
persoalan politik tersebut, sikap pluralis seseorang seringkali terperangkap
dalam frame yang telah didisain oleh negara. Para pemeluk agama-agama
resmi bisa bersikap toleran dan tidak saling mendakwahi satu sama lain. Namun
mereka tidak bisa toleran terhadap para pemeluk agama lokal. Bahkan, umat agama-agama
kecil ini senantiasa menjadi target misi. Berbagai persepsi keliru pun sering
muncul terhadap tradisi dan budaya dari agama-agama marginal tersebut.
Misalnya, mereka dianggap sebagai sempalan dari agama besar, bentuk tidak
sempurna dari ajaran tertentu, atau bahkan dianggap maladaptive terhadap
alam semesta.
Daftar Pustaka
Bowie, Fiona. The Anthropology of
Religion, Oxford: Blackwell Publisher, 2001.
Evans-Pritchard, E. E. Theories of Primitive Religion. Oxford:
Oxford University Press, 1972.
Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures, London:
Fontana, 1993.
Howell, Julia D. Islam, the New Age, and
Marginal Religions in Indonesia: Changing Meanings of Religious Pluralism, A
paper presented at the CESNUR 2003 Conference, Vilnius, Lithuania, April 9-12
2003.
Morris, Brian. Anthropological Studies of Religion
An Introductory Text, Cambridge University Press, 1987.
Qoyim, Ibnu. (ed.), Agama Lokal dan Pandangan
Hidup: Agama Kaharingan Masyarakat Dayak di Kalimantan dan Agama Sunda Wiwitan
Masyarakat Baduy di Banten, PMB-LIPI, 2003.
Qoyim, Ibnu. (ed.), Religi Lokal dan
Pandangan Hidup: Kajian tentang Masyarakat Penganut Religi Tolotang dan
Patuntung, Sipelebegu (Permalim), Saminisme dan Agama Jawa Sunda, Agama Sunda, PMB-LIPI, 2004.
Rita Smith Kipp and Rogers, Susan (eds.), Indonesian
Religious in Transition, Arizona: The University of Arizona Press, 1987.
Smart, Ninian. Dimensions of the Sacred, An Anatomy of the World’s Beliefs, London:
HarperCollinPublishers, 1996.
Syir’ah No.
40/IV?Maret 2005
Tanja,Viktor I.,
Pluralisme Agama dan Problem Sosial : Diskursus Teologi Tentang Isu-Isu Kontemporer,
Jakarta: Cides, 1998.
Thompson (ed.),Norman H., Religious
Pluralism and Religious Education, Alabama: Religious Education Press,
1988.
No comments:
Post a Comment