Wednesday, October 24, 2012

Reaktualisasi Ajaran Samin

Suara Merdeka, 21 Oktober 2012 | 20:27 wib


Oleh Junaidi Abdul Munif

Samin, begitulah khalayak umum menyebut mereka. Mereka bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati hingga Tuban. Meski tak mengenyam pendidikan formal, warga Samin memiliki sikap hidup lebih santun daripada yang berpendidikan tinggi. Saminisme, ajaran hidup kaum Samin, selalu mengedepankan kejujuran dan kesahajaan.
BAGI mereka, gaya hidup orang modern sudah keluar dari koridor tujuan penciptaan manusia di bumi. Egoisme, hedonisme, kebohongan, dan kerakusan kekuasaan adalah gaya hidup manusia modern. Korupsi (mencuri), debat kusir, dan saling fitnah tampaknya bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan saat ini. Dan, kaum Samin meyakini itulah yang memicu kerusakan di dunia.

Harmonisasi, bagi mereka, adalah tujuan utama menjalani hidup. Samin Surosentiko, pelopor ajaran saminisme, menyatakan tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. "Yang dinamakan sifat wisesa adiluhung) adalah bertindak sebagai wakil Allah," tutur Samin.

Alam dan jiwa masyarakat Samin seolah-olah sudah menyatu. Alam ibarat ibu mereka, karena alam menghidangkan kekayaan melimpah untuk dinikmati kapan pun. Karena itu mereka begitu mencintai dan menjaga alam. Wajar ketika investor asing (semen) datang dan hendak mengeksploitasi Pegunungan Kendeng, mereka berada di garda terdepan: melawan!

Orang Samin juga tidak kenal istilah berdagang. Karena berdagang, bagi mereka, selalu melahirkan unsur 'ketidakjujuran'. Mereka memilih sistem barter karena berlandaskan kejujuran dan tidak merugikan pihak lain. Bagi orang Samin, bohong adalah tabu. Mereka juga tidak menerima bantuan dalam bentuk uang.

Tabu Berbohong 
Raden Kohar atau Samin Surosentiko adalah otak intelektual paham saminisme. Samin lahir 1859 di Desa Plosokediren, Randublatung, Kabupaten Blora. Sang ayah bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal sebagai Samin Sepuh. Samin Surosentiko memiliki pertalian darah dengan Kiai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) tahun 1802-1826.

Sastroatmodjo (2003) mengemukakan, saminisme muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang sewenang-wenang. Mereka tidak melawan secara fisik, tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda.

Misalnya, tidak mau membayar pajak. Resistensi itu akhirnya membuat mereka memiliki tatanan, adat istiadat, dan kebiasaan tersendiri. Samin Surosentiko juga melawan kekuasaan kolonial lewat ekspansi gagasan dan pengetahuan. Samin Surosentiko mentransformasikan gagasan melalui ceramah di pendapa-pendapa pemerintahan desa. Inti ceramahnya seolah olah ingin membangun Kerajaan Amartapura.

Artinya, Samin menghendaki masyarakat bersifat jatmika (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmika selalu berpegangan pada budi pekerti. Dianggap penghasut masyarakat, tahun 1907 Samin Surosentiko ditangkap Belanda. Dia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera barat, dan di sanalah maut menjemput tahun 1914.

Samin Surosentiko mewariskan sebuah kitab sastra adiluhung sebagai falsafah hidup orang Samin, yakni Serat Jamus Kalimasada. Saat ini, orang Samin sering disebut sebagai Wong Sikep yang berarti, jujur, dan baik. Kini, krisis moralitas melanda bangsa ini. Hedonisme dan pragmatisme bak dewa yang selalu disembah- sembah manusia. Rakus, tamak, dan perbuatan keji lain menjadi efek pasti kedua dewa itu.

Arus globalisasi sering dijadikan kambing hitam sebagai pemicu. Kendati demikian, masyarakat Samin bergeming dan tetap memegang prinsip hidup mereka. Karena itulah, saminisme sangat layak dijadikan cerminan hidup. Keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan adalah representasi masyarakat Samin.

Seolah-olah tak dijumpai celah dalam kehidupan mereka untuk berbuat iri, dengki, rakus, dan perbuatan negatif lain. Sikap Mulia Ada sebuah kisah menarik sebagai ilustrasi. Suatu ketika ada orang asing tersesat di desa masyarakat Samin. Karena kelaparan dan melihat buah pisang yang masak, orang asing itu pun memetik. Namun sang pemilik memergoki. Sang pemilik sama sekali tidak marah, bahkan berkata, "Kenapa mencuri, jika meminta saja diberi?"
Sungguh, suatu sikap yang mulia. Dalam Serat Jamus Kalimasada, Samin Surosentiko mengatakan, "Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong." Ya, masyarakat Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati kepada orang lain, dan mengambil milik orang (mencuri). Sebab, semua tindakan itu merupakan awal kerusakan di bumi.

Ketika ditanya soal kejujuran, Hardjo Kardi, 'kepala adat' Samin, mengatakan, "Kejujuran adalah segalanya. Kejujuran harus menjadi dasar dan pegangan bagi manusia untuk mendapatkan kekuatan. Jangan pernah dengki dan iri hati. Semua manusia sama. Membedabedakan manusia tabu dalam mayarakat kami."

Secara eksplisit, ucapan indah itu mengindikasikan mereka senantiasa menerapkan sikap toleransi dan pluralitas. Bandingkan dengan fenomena yang acap menghinggapi manusia saat ini. Hampir setiap hari kita disuguhi tindakan amoral dari berbagai pihak. Sungguh ironis.

Bangsa yang tersohor dengan kesantunan dan kesopanan sudah bermetamofosis menjadi bangsa kurang beradab, jika tidak boleh dikatakan bangsa amoral dan biadab.

- Abdullah Hanif, pemerhati budaya asal Blora, kini mukim di Bantul
(RED/CN27)

Retrieved from: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2012/10/21/610/Reaktualisasi-Ajaran-Samin

No comments:

Post a Comment