Senin, 14 Juli 2008
Retrieved from: http://pamorjurukunci.blogspot.com/2008/07/melongok-kampung-islam-wetu-telu-di_14.html
Masjid Islam Wetu Telu
Dalam Setahun Hanya 3 Kali Digunakan
Masjid Islam Wetu Telu sungguh berbeda dengan masjid-masjid Islam (murni) pada umumnya. Dalam setahun, masjid Islam Wetu Telu hanya digunakan tiga kali pada tiap-tiap Idul Fitri, Idul Adha dan Mauludan. Di luar hari-hari itu, pintu masjid yang sama sekali tidak berjendela itu akan selalu dalam keadaan terkunci.
***
Di
salah satu sudut areal Bale Adat Gubuk Karangbajo, di Desa Karangbajo,
Kecamatan Bayan, Lombok Barat, NTB – terdapat sebuah masjid tua.
Berkisah tentang masjid tersebut, Ketua Adat Islam Wetu Telu Rianom
mengatakan kepada kami, bahwa usia masjid adat Islam Wetu Telu di
Karangbajo itu sudah cukup tua. Usianya sudah mencapai ratusan tahun.
Tetapi
yang namanya masjid di sini, jangan dibayangkan seperti umumnya masjid.
Masjid umat Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo, Kecamatan Bayan, Lombok
Barat, NTB, ini dindingnya terbuat dari anyaman kulit bambu. Sedang
atapnya terbuat dari sakek, bukan rumbia ataupun ijuk. Lantainya tanah,
tanpa dilapis semen, tegel, marmer atau keramik.
Seingat
Rianom, sudah beberapa kali masjid tersebut mengalami renovasi. Hanya
saja, sepanjang sejarah renovasi masjid tua Islam Wetu Telu di Desa
Karangbajo ini, tidak pernah sampai mengganti saka gurunya. Saka guru
yang terdiri dari empat pilar kayu khusus itu, dari pertama kali
didirikan hingga sekarang tak pernah sekalipun diganti.
Seperti
yang dikemukakan Rianom kepada kami, dari dulu hingga sekarang empat
pilar penyangga atap masjid yang berada di dalam masjid itu tak pernah
diganti. “Saka guru atau empat pilar itu terbuat dari jenis kayu
santaguri yang sekarang ini sudah sangat langka,” jelas Rianom ketika
mendampingi kami melihat-lihat keadaan masjid tua itu.
Atap
masjid, terdiri dari dua trap. Arsitektur bangunannya, sepintas tampak
seperti bangunan joglo. Tidak seperti umumnya masjid-masjid besar,
masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini tanpa kubah. Selain itu,
juga tidak ada menara yang tinggi menjulang seperti masjid-masjid besar
pada umumnya.
Keanehan
masjid Islam Wetu Telu yang kami temui di Desa Karangbajo, bukan hanya
itu saja. Betapa tidak, pada masjid tersebut hanya terdapat satu pintu
saja, dan tanpa satu pun jendela. Yang kami bayangkan, betapa gerahnya
berada dalam masjid tersebut jika bertepatan dengan musim kemarau.
SELALU TERKUNCI
Ketika
hal ini kami tanyakan kepada Rianom, jawabnya: “Masjid Islam Wetu Telu
lain dengan masjid-masjid Islam Wetu Lima (maksudnya, Islam murni,
Red.),” terang Rianom. “Karena, dalam satu tahun masjid Islam Wetu Telu
hanya digunakan tiga kali, yaitu pada setiap Idul Fitri, Idul Adha, dan
Mauludan,” lanjut Rianom.
Pantas
saja, ketika kami mendengar adzan Maghrib berkumandang dari kejauhan,
pintu masjid tersebut tetap terkunci. Juga tak tampak umat Islam Wetu
Telu yang berbondong-bondong ke masjid itu untuk melaksanakan sholat
Maghrib berjamaah. Masjid itupun hanya berdiri bisu, dan sayap-sayap
malam pun mulai mengepak memayunginya.
Suasana
di sekitar masjid itupun tiba-tiba terkesan wingit. Untungnya, sebelum
malam turun, kami sudah mengambil keadaan dalam masjid itu. Tetapi, ya
itu, tidak bisa leluasa. Sebab, kami mengambil foto keadaan dalam
ruangan masjid itu hanya lewat celah dinding anyaman bambu yang terdapat
di dekat pintu masuk masjid.
Kami
pun menanyakan kepada Rianom, “Tidak bisakah pintu masjid ini dibuka,
biar kami bisa mengambil foto suasana dalam masjid ini dengan leluasa
dan baik?” Atas pertanyaan tersebut, Rianom dengan serius menyatakan:
“Tidak bisa! Pintu masjid ini hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu,
seperti yang telah saya katakan tadi. Di luar Idul Fitri, Idul Adha, dan
Mauludan, pintu masjid selalu terkunci!”
Apa
boleh buat, kami pun akhirnya menyerah. Dengan keterbatasan tersebut,
kami berusaha mendapatkan gambar semaksimal mungkin. Lewat celah yang
sangat terbatas, kamera kami bidikkan ke sudut-sudut dalam ruangan
masjid itu. Empat saka guru, yang katanya terbuat dari kayu langka jenis
santaguri itupun kami bidik. Begitu juga dengan bedug kuno, yang lazim
disebut grantung oleh masyarakat Islam Wetu Telu, tak luput dari rekaman
kamera digital kami.
DORCE MENANGIS
Sebagai
cagar budaya, masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini banyak
mendapat kunjungan. Tetapi yaitu, di luar hari raya Idul Fitri, Idul
Adha dan Maulud, pengunjung jangan harap bisa memasukinya. Karena, pada
hari-hari biasa, pintu masjid itu selalu dalam keadaan terkunci.
Beruntunglah
artis gaek Dorce Gamalama. Karena kedatangannya ke masjid itu
bertepatan dengan mauludan, dia pun bisa masuk ke masjid itu. Bahkan,
seingat Rianom – di dalam masjid Islam Wetu Telu ini Dorce sempat
menitikkan air mata. “Ya, sangat ingat betul, Dorce waktu berkunjung ke
masjid kami sempat menangis. Katanya, mendapat bisikan gaib,” kenang
Rianom mengisahkan kepada kami.
Masih
segar dalam ingatan Rianom, ketika Dorce mengunjungi masjid itu, banyak
sekali warga yang ingin melihat dari dekat sosok sang intertainer ini.
“Ya, maklumlah, selama ini mereka kan hanya bisa melihat Dorce dari
layar televisi. Begitu mendengar Dorce datang ke masjid kami, maka
langsung saja mereka berduyun-duyun ingin melihatnya dari dekat dan
secara langsung,” papar Rianom.
Bisikan
gaib apa sebenarnya yang telah diterima Dorce di masjid ini? Seingat
Rianom, Dorce mengaku mendapat bisikan agar lebih memperhatikan
anak-anak yatim piatu, dan kedua orangtuanya. Rupanya, bisikan gaib
itulah yang menurut Rianom membuat Dorce manangis tersedu-sedu di masjid
Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo.
Sekedar
untuk diketahui, Dorce Gamalama terlahir dengan nama Yuliardi di Solok,
Sumatera Barat, 1963. Kedua orangtuanya bernama Ahmad dan Dalifa. Masa
kecil sarat dengan penderitaan. Ketika usianya baru tiga bulan, Dorce
ditinggal mati oleh ibundanya. Kemudian, ketika berumur setahun sang
ayah pun pergi untuk selama-lamanya. Sejak itu, praktis Dorce hidup
tanpa belaian kasih sayang kedua orangtuanya.
Dorce
kemudian diajak neneknya ke Jakarta. Dia tinggal bersama bibinya di
bilangan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Dorce hidup terpisah dari
saudara kandungnya, dan ketika berumur 10 tahun barulah dia untuk
pertama kalinya bertemu beberapa kakaknya. Dorce pun menuntut haknya
sebagai seorang adik. Tetapi sia-sia, sehingga untuk biaya sekolah Dorce
yang saat itu dipanggil Dedi harus rela berjualan koran dan es mambo.
TIGA PEMUNCULAN
Menurut Rianom, Wetu Telu sendiri sebenarnya berasal dari kata metu telu atau
tiga pemunculan hidup. Tiga pemunculan hidup yang dimaksud adalah
tumbuh, telur dan beranak. Ketiga fase kehidupan dalam konteks
kepercayaan Islam Wetu Telu ini, akhirnya menjadi semacam filosofis
hidup.
Wetu
Telu juga disebutkan Rianom sebagai agama tradisionil Sasak yang
ajarannya sebagian bersumber dari ajaran Islam Wetu Lima dan sebagian
lainnya bersumber dari ajaran tradisionil yang dikenal sebagai “Cakepan
Nursada”. Sedang ajaran Islam Wetu Lima sendiri adalah “Cakepan
Nurcahya”.
Rianom
pun kemudian ingin meluruskan anggapan banyak orang tentang Wetu Telu
yang banyak ditafsirkan sebagai “waktu tiga”. “Wetu Telu itu, sekali
lagi bukan tiga waktu, tetapi tiga pemunculan hidup. Hendaknya,
masyarakat tidak keliru dalam menginterprestasikan kata Wetu Telu itu
sendiri,” tegasnya mewanti-wanti.
Diakui
Rianom, Wetu Telu merupakan sebuah tradisi keagamaan Islam kuno yang
kontroversi dalam masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok. Masyarakat
seolah dihadapkan pada dilematis agama dan kebudayaan. Di satu sisi,
masyarakat dituntut penegakan aqidah dan praktik keagamaan yang murni.
Sedang di sisi lain, dituntut upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya lokal yang langka.
Menurut
umat Islam Wetu Lima (Islam murni), penyelenggaraan keagamaan Wetu Telu
dipandang banyak melanggar aqidah dan syirik, sarat dengan tradisi
sesat yang cenderung ke arah pemujaan arwah dan benda-benda. Sementara
menurut Wetu Telu sendiri, praktik-praktik keagamaan yang mereka
selenggarakan adalah benar, dan ajaran itulah yang pertama mereka
terima.
Tetapi,
siapa sebenarnya tokoh di balik penyebaran Agama Islam di Pulau Lombok
ini? Secara literal, nama Sunan Prapen banyak disebut-sebut. Rianom
sendiri, juga mengakui hal ini. Dia menyebut Sunan Prapen bukan dengan
sebutan Sunan Prapen, tetapi Pangeran Prapen, atau putra Sunan Giri.
“Islam
di Lombok ini, sebenarnya lebih tua dengan Islam yang ada di Dompu dan
Sumbawa,” ujar Rianom, ketika memaparkan sejarah penyebaran Islam di
Tanah Sasak. Mengapa lebih Tua? Rianom pun menjawab sendiri pertanyaan
yang dilontarkannya itu. Menurutnya, sebelum misi siar Islam ke Sumbawa
dan Dompu, terlebih dulu Pangeran Prapen mengislamkan masyarakat Suku
Sasak di Pulau Lombok. “Setelah dari Lombok, barulah beliau ke Dompu dan
Sumbawa,” tutur Rianom.
Tidak
disebutkan, bagaimana keislaman masyarakat Sasak sewaktu ditinggalkan
Sunan Prapen untuk melanjutkan misi pengislamannya ke Sumbawa dan Dompu.
Hanya saja, sekembalinya Sunan Prapen dari Sumbawa dan Dompu, dia
kembali lagi ke Lombok untuk “menggarap” Tanah Sasak.
Babad
Lombok I menurut Rianom menyebutkan, sekembalinya Pangeran Prapen dari
Sumbawa dan Dompu setelah mengajarkan Islam yang sempurna di daerah itu,
dia dengan dibantu oleh Raden Salut dan Raden Sumulya berusaha
menyempurnakan ajaran Islam yang sebelumnya ditinggalkan di Tanah Sasak.
Menanggapi
ajarannya, sebagian masyarakat lari ke pegunungan. Sebagaian lagi,
takluk dan tunduk pada ajaran ini. Sedang sebagian lainnya, hanya tunduk
saja. Para ahli sejarah seperti Dr. Goris dan Van Der Khan sepakat,
bahwa kelompok yang hanya tunduk saja inilah yang menjadi penganut Wetu
Telu. Sedang kelompok yang lari ke pegunungan menjadi penganut “Boda”
yang merupakan agama asli Suku Sasak. Dan kelompok yang takluk dan
tunduk inilah yang akhirnya menjadi pemeluk Islam Wetu Lima. # m.tohir (bersambung)Retrieved from: http://pamorjurukunci.blogspot.com/2008/07/melongok-kampung-islam-wetu-telu-di_14.html
No comments:
Post a Comment