Wednesday, July 18, 2012

Melongok Kampung Islam Wetu Telu di Lombok Barat, NTB (2)

Senin, 14 Juli 2008


Masjid Islam Wetu Telu
Dalam Setahun Hanya 3 Kali Digunakan
Masjid Islam Wetu Telu sungguh berbeda dengan masjid-masjid Islam (murni) pada umumnya. Dalam setahun, masjid Islam Wetu Telu hanya digunakan tiga kali pada tiap-tiap Idul Fitri, Idul Adha dan Mauludan. Di luar hari-hari itu, pintu masjid yang sama sekali tidak berjendela itu akan selalu dalam keadaan terkunci.
***
Di salah satu sudut areal Bale Adat Gubuk Karangbajo, di Desa Karangbajo, Kecamatan Bayan, Lombok Barat, NTB – terdapat sebuah masjid tua. Berkisah tentang masjid tersebut, Ketua Adat Islam Wetu Telu Rianom mengatakan kepada kami, bahwa usia masjid adat Islam Wetu Telu di Karangbajo itu sudah cukup tua. Usianya sudah mencapai ratusan tahun.
Tetapi yang namanya masjid di sini, jangan dibayangkan seperti umumnya masjid. Masjid umat Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo, Kecamatan Bayan, Lombok Barat, NTB, ini dindingnya terbuat dari anyaman kulit bambu. Sedang atapnya terbuat dari sakek, bukan rumbia ataupun ijuk. Lantainya tanah, tanpa dilapis semen, tegel, marmer atau keramik.
Seingat Rianom, sudah beberapa kali masjid tersebut mengalami renovasi. Hanya saja, sepanjang sejarah renovasi masjid tua Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini, tidak pernah sampai mengganti saka gurunya. Saka guru yang terdiri dari empat pilar kayu khusus itu, dari pertama kali didirikan hingga sekarang tak pernah sekalipun diganti.
Seperti yang dikemukakan Rianom kepada kami, dari dulu hingga sekarang empat pilar penyangga atap masjid yang berada di dalam masjid itu tak pernah diganti. “Saka guru atau empat pilar itu terbuat dari jenis kayu santaguri yang sekarang ini sudah sangat langka,” jelas Rianom ketika mendampingi kami melihat-lihat keadaan masjid tua itu.
Atap masjid, terdiri dari dua trap. Arsitektur bangunannya, sepintas tampak seperti bangunan joglo. Tidak seperti umumnya masjid-masjid besar, masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini tanpa kubah. Selain itu, juga tidak ada menara yang tinggi menjulang seperti masjid-masjid besar pada umumnya.
Keanehan masjid Islam Wetu Telu yang kami temui di Desa Karangbajo, bukan hanya itu saja. Betapa tidak, pada masjid tersebut hanya terdapat satu pintu saja, dan tanpa satu pun jendela. Yang kami bayangkan, betapa gerahnya berada dalam masjid tersebut jika bertepatan dengan musim kemarau.
SELALU TERKUNCI
Ketika hal ini kami tanyakan kepada Rianom, jawabnya: “Masjid Islam Wetu Telu lain dengan masjid-masjid Islam Wetu Lima (maksudnya, Islam murni, Red.),” terang Rianom. “Karena, dalam satu tahun masjid Islam Wetu Telu hanya digunakan tiga kali, yaitu pada setiap Idul Fitri, Idul Adha, dan Mauludan,” lanjut Rianom.
Pantas saja, ketika kami mendengar adzan Maghrib berkumandang dari kejauhan, pintu masjid tersebut tetap terkunci. Juga tak tampak umat Islam Wetu Telu yang berbondong-bondong ke masjid itu untuk melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Masjid itupun hanya berdiri bisu, dan sayap-sayap malam pun mulai mengepak memayunginya.
Suasana di sekitar masjid itupun tiba-tiba terkesan wingit. Untungnya, sebelum malam turun, kami sudah mengambil keadaan dalam masjid itu. Tetapi, ya itu, tidak bisa leluasa. Sebab, kami mengambil foto keadaan dalam ruangan masjid itu hanya lewat celah dinding anyaman bambu yang terdapat di dekat pintu masuk masjid.
Kami pun menanyakan kepada Rianom, “Tidak bisakah pintu masjid ini dibuka, biar kami bisa mengambil foto suasana dalam masjid ini dengan leluasa dan baik?” Atas pertanyaan tersebut, Rianom dengan serius menyatakan: “Tidak bisa! Pintu masjid ini hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu, seperti yang telah saya katakan tadi. Di luar Idul Fitri, Idul Adha, dan Mauludan, pintu masjid selalu terkunci!”
Apa boleh buat, kami pun akhirnya menyerah. Dengan keterbatasan tersebut, kami berusaha mendapatkan gambar semaksimal mungkin. Lewat celah yang sangat terbatas, kamera kami bidikkan ke sudut-sudut dalam ruangan masjid itu. Empat saka guru, yang katanya terbuat dari kayu langka jenis santaguri itupun kami bidik. Begitu juga dengan bedug kuno, yang lazim disebut grantung oleh masyarakat Islam Wetu Telu, tak luput dari rekaman kamera digital kami.
DORCE MENANGIS
Sebagai cagar budaya, masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo ini banyak mendapat kunjungan. Tetapi yaitu, di luar hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan Maulud, pengunjung jangan harap bisa memasukinya. Karena, pada hari-hari biasa, pintu masjid itu selalu dalam keadaan terkunci.
Beruntunglah artis gaek Dorce Gamalama. Karena kedatangannya ke masjid itu bertepatan dengan mauludan, dia pun bisa masuk ke masjid itu. Bahkan, seingat Rianom – di dalam masjid Islam Wetu Telu ini Dorce sempat menitikkan air mata. “Ya, sangat ingat betul, Dorce waktu berkunjung ke masjid kami sempat menangis. Katanya, mendapat bisikan gaib,” kenang Rianom mengisahkan kepada kami.
Masih segar dalam ingatan Rianom, ketika Dorce mengunjungi masjid itu, banyak sekali warga yang ingin melihat dari dekat sosok sang intertainer ini. “Ya, maklumlah, selama ini mereka kan hanya bisa melihat Dorce dari layar televisi. Begitu mendengar Dorce datang ke masjid kami, maka langsung saja mereka berduyun-duyun ingin melihatnya dari dekat dan secara langsung,” papar Rianom.
Bisikan gaib apa sebenarnya yang telah diterima Dorce di masjid ini? Seingat Rianom, Dorce mengaku mendapat bisikan agar lebih memperhatikan anak-anak yatim piatu, dan kedua orangtuanya. Rupanya, bisikan gaib itulah yang menurut Rianom membuat Dorce manangis tersedu-sedu di masjid Islam Wetu Telu di Desa Karangbajo.
Sekedar untuk diketahui, Dorce Gamalama terlahir dengan nama Yuliardi di Solok, Sumatera Barat, 1963. Kedua orangtuanya bernama Ahmad dan Dalifa. Masa kecil sarat dengan penderitaan. Ketika usianya baru tiga bulan, Dorce ditinggal mati oleh ibundanya. Kemudian, ketika berumur setahun sang ayah pun pergi untuk selama-lamanya. Sejak itu, praktis Dorce hidup tanpa belaian kasih sayang kedua orangtuanya.
Dorce kemudian diajak neneknya ke Jakarta. Dia tinggal bersama bibinya di bilangan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Dorce hidup terpisah dari saudara kandungnya, dan ketika berumur 10 tahun barulah dia untuk pertama kalinya bertemu beberapa kakaknya. Dorce pun menuntut haknya sebagai seorang adik. Tetapi sia-sia, sehingga untuk biaya sekolah Dorce yang saat itu dipanggil Dedi harus rela berjualan koran dan es mambo.
TIGA PEMUNCULAN
Menurut Rianom, Wetu Telu sendiri sebenarnya berasal dari kata metu telu atau tiga pemunculan hidup. Tiga pemunculan hidup yang dimaksud adalah tumbuh, telur dan beranak. Ketiga fase kehidupan dalam konteks kepercayaan Islam Wetu Telu ini, akhirnya menjadi semacam filosofis hidup.
Wetu Telu juga disebutkan Rianom sebagai agama tradisionil Sasak yang ajarannya sebagian bersumber dari ajaran Islam Wetu Lima dan sebagian lainnya bersumber dari ajaran tradisionil yang dikenal sebagai “Cakepan Nursada”. Sedang ajaran Islam Wetu Lima sendiri adalah “Cakepan Nurcahya”.
Rianom pun kemudian ingin meluruskan anggapan banyak orang tentang Wetu Telu yang banyak ditafsirkan sebagai “waktu tiga”. “Wetu Telu itu, sekali lagi bukan tiga waktu, tetapi tiga pemunculan hidup. Hendaknya, masyarakat tidak keliru dalam menginterprestasikan kata Wetu Telu itu sendiri,” tegasnya mewanti-wanti.
Diakui Rianom, Wetu Telu merupakan sebuah tradisi keagamaan Islam kuno yang kontroversi dalam masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok. Masyarakat seolah dihadapkan pada dilematis agama dan kebudayaan. Di satu sisi, masyarakat dituntut penegakan aqidah dan praktik keagamaan yang murni. Sedang di sisi lain, dituntut upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya lokal yang langka.
Menurut umat Islam Wetu Lima (Islam murni), penyelenggaraan keagamaan Wetu Telu dipandang banyak melanggar aqidah dan syirik, sarat dengan tradisi sesat yang cenderung ke arah pemujaan arwah dan benda-benda. Sementara menurut Wetu Telu sendiri, praktik-praktik keagamaan yang mereka selenggarakan adalah benar, dan ajaran itulah yang pertama mereka terima.
Tetapi, siapa sebenarnya tokoh di balik penyebaran Agama Islam di Pulau Lombok ini? Secara literal, nama Sunan Prapen banyak disebut-sebut. Rianom sendiri, juga mengakui hal ini. Dia menyebut Sunan Prapen bukan dengan sebutan Sunan Prapen, tetapi Pangeran Prapen, atau putra Sunan Giri.
“Islam di Lombok ini, sebenarnya lebih tua dengan Islam yang ada di Dompu dan Sumbawa,” ujar Rianom, ketika memaparkan sejarah penyebaran Islam di Tanah Sasak. Mengapa lebih Tua? Rianom pun menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya itu. Menurutnya, sebelum misi siar Islam ke Sumbawa dan Dompu, terlebih dulu Pangeran Prapen mengislamkan masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok. “Setelah dari Lombok, barulah beliau ke Dompu dan Sumbawa,” tutur Rianom.
Tidak disebutkan, bagaimana keislaman masyarakat Sasak sewaktu ditinggalkan Sunan Prapen untuk melanjutkan misi pengislamannya ke Sumbawa dan Dompu. Hanya saja, sekembalinya Sunan Prapen dari Sumbawa dan Dompu, dia kembali lagi ke Lombok untuk “menggarap” Tanah Sasak.
Babad Lombok I menurut Rianom menyebutkan, sekembalinya Pangeran Prapen dari Sumbawa dan Dompu setelah mengajarkan Islam yang sempurna di daerah itu, dia dengan dibantu oleh Raden Salut dan Raden Sumulya berusaha menyempurnakan ajaran Islam yang sebelumnya ditinggalkan di Tanah Sasak.
Menanggapi ajarannya, sebagian masyarakat lari ke pegunungan. Sebagaian lagi, takluk dan tunduk pada ajaran ini. Sedang sebagian lainnya, hanya tunduk saja. Para ahli sejarah seperti Dr. Goris dan Van Der Khan sepakat, bahwa kelompok yang hanya tunduk saja inilah yang menjadi penganut Wetu Telu. Sedang kelompok yang lari ke pegunungan menjadi penganut “Boda” yang merupakan agama asli Suku Sasak. Dan kelompok yang takluk dan tunduk inilah yang akhirnya menjadi pemeluk Islam Wetu Lima. # m.tohir (bersambung)

Retrieved from: http://pamorjurukunci.blogspot.com/2008/07/melongok-kampung-islam-wetu-telu-di_14.html

No comments:

Post a Comment