Monday, July 2, 2012

Manembah, Ritualnya Kaum Aboge

MANEMBAH: Sarno Kusnandar tengah mempraktekkan manembah (semedi). (SM CyberNews/ Gatot Sigit)
Suara Merdeka, 21 Agustus 2010 | 08:48 wib

Laporan tim liputan Suara Merdeka (SM CyberNews) pada bagian pertama telah mengurai cerita Komunitas Aboge dalam berpuasa (kanal Ramadan). Apa itu Aboge, bagaimana tradisi penanggalan Alip Rabo Wage (Aboge), keduanya pun dipaparkan. Kini, kisah Aboge berlanjut di seputar ritual juga perayaan hari kemenangan, Lebaran. Berikut laporannya.

KOMUNITAS penganut sistem penanggalan Aboge rupanya tak hanya "khas" saat menentukan kapan dimulainya ibadah puasa. Selain tidak menjalankan Ibadah Tarawih, komunitas ini ternyata tak mengenal Salat Ied. Namun, mereka punya laku khusus.

Duduk bersila, mata ngayam-ayam (antara melek dan merem-red) dengan pandangan terpusat pada pangkal hidung (gunung tursina) sembari membaca japa mantra. Sementara telapak tangan tertangkup saling bersentuhan di depan dada. Itulah bentuk ritual khusus para Aboge usai menjalankan puasanya. Semedi yang biasanya dilakukan secara bersama-sama ini dikenal dengan istilah manembah.

Jika umat Islam memiliki kiblat sebagai penjuru utama dalam salat, tak demikian dengan Aboge. Barat, timur, utara maupun selatan tak masalah bagi kaum ini. Dengan kata lain, manembah dilakukan tanpa terikat arah tertentu. Selanjutnya, agar khusyuk, penggunaan minyak wangi menjadi syarat khusus.

Lalu, bagaimana dengan pakaian yang dikenakan? Pakaian adat Jawa berupa surjan juga blangkon hanya digunakan saat ritual pada hari besar tertentu, seperti tanggal 1 Suro. Di luar itu, tak ada ketentuan lain. Mereka yang mengenakan pakaian adat Jawa tersebut biasanya adalah para Aboge yang menganut tradisi Kejawen.

Sedikitnya 60 kepala keluarga dari pengikut Aboge berdiam di Dusun Binangun, Keluarahan Mudal, Kabupaten Wonosobo. Sisanya, tersebar di dusun lain dengan jumlah yang lebih kecil.

Sudah menjadi hal umum di kampung, manembah atau semedi bersama saat Idul Fitri dilakukan di rumah sesepuh Aboge. Di Dusun Binangun, ritual itu digelar dengan sederhana di kediaman Sarno Kusnandar pada malam 1 Syawal. Tak masalah meski rumah itu berhadapan dengan masjid. Memang, jarak antara dua bangunan itu sangat dekat, sekitar 10 meter.

Lebaran ala Aboge
Lebaran, semua umat muslim menantikan datangnya hari kemenangan ini, tak terkecuali penganut Aboge. Komunitas Aboge bukanlah kaum yang introvert. Saat Lebaran, mereka pun berbaur dengan warga muslim lainnya. Hanya saja, sebagian di antaranya masih fanatik, baru berkenan untuk silaturahmi ketika sudah waktunya, yakni saat telah jatuh 1 Syawal ala Aboge.

Jamaah masjid di kampung itu pun mengerti. Mereka akan segera bersilaturahmi dengan pengikut Aboge. Biasanya hal demikian terjadi ketika Lebaran umat muslim berdasarkan penanggalam Hijriah jatuh lebih dulu. Tak lama, seperti yang sudah-sudah, hanya berselang satu hari.

Berbeda halnya ketika Lebaran Aboge jatuh lebih dulu. Sarno Kusnandar menuturkan, saat para Aboge merayakan selamatan 1 Syawal-nya, warga sekitar non-Aboge pun turut. Hal ini setidaknya membuktikan, tak ada sekat antara para Aboge dalam bersosialisasi ditengah masyarakat, terutama dalam hal toleransi beragama.

Bahkan, keluarga Aboge di satu rumah, belum tentu memiliki keturunan yang pasti "mengikut" orang tuanya. Seperti dialami Sarno (57). Anak ke-empat dan ke-lima Sarno bukan lah pengikut Aboge.

"Satu rumah belum tentu sama. Saya, istri dan anak nomor satu sampai tiga ikut penanggalan Aboge, tapi anak ke-empat, ke-lima dan menantu ikut penanggalan Hijriah," jelas Sarno ditemui di rumahnya belum lama ini.

Kehidupan beragama di Dusun Binangun setidaknya menjadi refleksi kerukunan dari besarnya toleransi umat beragama. Dengan kesederhanaannya, pola pikir yang belum begitu "terjamah" kompleksitas permasalahan modern, Aboge berlaku apa adanya. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah perbedaan, itulah Aboge.

(Rahayu Kurniawati, Bambang Iss/CN16)

Retrieved from: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2010/08/19/601

1 comment:

  1. Assalamu’alaikum wr wb salam kenal, saya H Bakri Syam dari pakanbaru riau, setelah saya simak paparan di atas tampaknya perhitungan Islam ABOGE ada persamaan dengan perhitungan rasullulah saw, tetapi ada perbedannya yg saya ketahui diantaranya : 1) tahun 1 bukan huruf Alif tetapi huruf Ha. 2) sebab mulai membilang dari nol. uruf tahu yg ke 7 bukan jin 3 tetapi urufnya Dal 4 . yg mau saya tanyakan ,apa dasar perhitungan / landasannya kok dapat ketetapan seperti itu, dari saya seperti ini :
    ” Telah berkata Rasulullah SAW:
    “Aku lihat dimalam Israk denganku akan sej umlah kalimat di tiang Arasy sebagai berikut : “Allahul Hadi” satu kali, “Hudallah” lima kali, “Jamalul Fi’li” tiga kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali, “Dinullah” empat kali, “ Badi ussamawati walArdhi” dua kali, “Wailun liman asha” enam kali
    , “Dinullah” empat kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali, “Jamalul fi’li” tiga kali, “Hudallah” lima kali, “Wailun Liman asha” enam kali, “allahul hadi” satu
    kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali ,“Dinullah” empat kali,“Hudallah” lima kali, Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Allahul Hadi” satu kali “Jamalul Fi’li”tiga kali.”
    Berkata Rasulullah SAW:
    “Ambil olehmu awal kalimat yang delapan pertama menjadi huruf Tahun dan awal kalimat yang sebanyak dua belas kedua menjadi huruf Bulan, maka himpunlah huruf tahun dengan huruf bulan, artinya jumlahkanlah, maka mulailah membilang dari hari Rabu atau Kamis , dan dihari mana sampai bilangan, maka hari itu adalah awal bulan itu
    ”, dan Rasulullah SAW berkata:

    “Takwim adalah jalanku, selain puasa Ramadhan”.

    ReplyDelete