21 Nov 2010
Lombok Utara, Suara komunitas - Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan Hari Raya Idul Adha atau dikenal dengan sebutan Hari Raya (lebaran) Qurban atau Hajji. Dan pada hari lebaran ini, umat Islam yang memilki kemampuan dianjurkan untuk menyembelih hewan qurban seperti kambing atau sapi yang dagingnya dibagikan kepada kaum fakir miskin.
Lombok Utara, Suara komunitas - Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan Hari Raya Idul Adha atau dikenal dengan sebutan Hari Raya (lebaran) Qurban atau Hajji. Dan pada hari lebaran ini, umat Islam yang memilki kemampuan dianjurkan untuk menyembelih hewan qurban seperti kambing atau sapi yang dagingnya dibagikan kepada kaum fakir miskin.
Namun
suasana yang sedikit berbeda, adalah lebaran qurban yang dilaksanakan
oleh komunitas adat “wetu telu” di Desa Bayan, dimana pelaksanaannya di
pusatkan di beberapa masjid kuno yang ada di Kecamatan Bayan, seperti
masjid kuno Semokan Desa Sukadana, Bayan dan masjid kuno Barung Birak
Desa Sambik Elen. Pelaksanaanya sendiri mundur tiga hari dari kebiasaan
kebanyakan umat Islam, yaitu tepatnya tanggal 13 Dzulhijjah 1431 H atau
bertepatan dengan hari Sabtu 20 Februari 1010.
Sejak pukul 10.00 wita, para penghulu, ketib, modim dan kiyai nyaka dan santri datang dengan mengenakan baju dan ikat kepala berwarna putih serta kain tenunan asli Bayan (dodot). Ketika sampai
didepan pintu masjid kuno yang berdiri ratusan tahun lalu itu, mereka
mengambil air disebuah tempat (tempayan) yang terbuat dari tanah untuk
mencuci kaki. Setelah itu, para kiyai ini berdiri sambil membaca do’a,
lalu berjongkok sebagai tanda hormat dan masuk ke dalam masjid.
Masjid yang berdiri
ratusan tahun silam ini, dikelilingi beberapa kuncup makam, seperti
makam sesait, makam reak dan makam Susuhunan Ratu. Sementara lantai
masjid masih tetap dari tanah dengan pagar bambu dan atap santek yang
terbuat dari bambu. Di dalam masjid terdapat sebuah bedug yang juga
usianya ratusan tahun. Sementara di mimbar sang khatib terdapat sebuah
ukiran bergambar kepala naga. Hanya saja pas di mimbar masjid atapnya sudah lapuk di makan usia, sehingga cahaya matahari masuk menyinari dalam ruangan masjid.
Masjid kuno Bayan dan
beberapa masjid kuno lainnya termasuk salah satu bukti sejarah masuknya
Islam ke Pulau Lombok, yang konon disebarkan oleh para wali Songo yang
mendarat melalui Labuhan Carik Desa Anyar. Demikian juga dengan nama
Bayan diberikan oleh para wali penyebar Islam. “Bayan itu artinya
penjelasan atau penerangan”, kata HM. Amir, salah seorang tokoh Desa
Loloan.
Satu hal lagi keunikan
dari para jama’ah yang melaksanakan syari’at lebaran qurban, yaitu para
penghulu, ketib (khotib), modim dan kiyai santri, dimana sebelum masuk
ke dalam masjid terlebih dahulu mereka mandi di kali yang dikenal dengan
mandi sunnah lebaran, dan begitu sudah masuk ke dalam masjid para
jama’ah tidak diperbolehkan lagi keluar. “Para jama’ah sebelum masuk
masjid, mandi dan mengambil air wudlu’ dulu di
kali, serta kalau sudah masuk ke masjid tidak boleh lagi dia keluar
walau ada keperluan sekalipun”, tutur Kertamalip, Kepala Desa Karang
Bajo yang mendampingi Koran BERITA, kemarin.
Sekitar pukul 11.30
wita, salah seorang modim (muazzin) berdiri untuk iqomah sebagai
pertanda sholat Idul Adha dimulai. Setelah itu berdiri salah seorang
penghulu untuk mengimami sholat Idul Adha pas di depan mimbar masjid.
Imam inipun didampingi dan berdiri sejajar dengan tiga kiyai lainnya.
Sementara jama’ah yang rata-rata mengenakan baju dan ikat kepala
berwarna putih berdiri bershaf pada dua sisi, yaitu disisi utara dan
selatan dalam masjid. Seperti biasa pada rakaat pertama terdiri dari
tujuh kali takbir, dan pada rakaat kedua lima kali takbir, lalu membaca
surat Fatihah serta membaca ayat Al-Qur’an.
Seusai sholat, sang
modimpun kembali berdiri mengucapkan takbir, tahmid dan tahlil
mengagungkan asma’ Allah. Dan tidak lama kemudian, naiklah sang ketib
(khotib) sambil memegang tongkat membaca khutbah yang semua isi
khutbahnya berbahasa Arab. Dan tepat pukul 12.10 wita terdengarlah
pemukulan bedug sebagai pertanda khutbah Idul Qurban berakhir, dan
dilanjutkan dengan bersalam-salaman antar para jama’ah.
Lalu mengapa
pelaksanaan hari besar Islam mundur tiga hari? Menjawab pertanyaan ini,
HM. Amir, mengatakan, masyarakat adat wetu telu di Bayan menggunakan
hitungan tanggal yang sudah baku secara turun temurun, yaitu ada 12
bulan, 8 nama tahun dan angka 9. “Dan bila ingin mengetahuinya lebih
jauh silahkan dicari, karena semuanya itu ada pada diri manusia”, kata
H. Amir.
Lebih jauh H. Amir
mengaku, memang banyak para tokoh kita kadang-kadang kurang mengenal
istilah wetu telu atau metu telu, sehingga apa yang dilakukan oleh
masyarakat adat seringkali disebut dengan waktu telu. “Padahal kalau
kita mau gali arti metu telu itu sendiri cukup dalam maknanya, seperti
memenuhi jagad raya ini ada tiga yaitu telur, tumbuh dan beranak.
Sementara arti adat itu sendiri adalah pekerjaan atau pelaksanaan
acara-acara ritual, baik keagamaan maupun adat”, jelasnya.
Sebagai manusia, kata
H. Amir, hidup dalam beberapa pase, dimana mula-mula berada dalam alam
ruh, lalu pindah kea lam rahim ibu, kemudia lahir kea lam dunia. Setelah
itu sambil menunggu kiamat tiba kitapun akan masuki alam barzah
(kubur), barulah setelah kiamat tiba ditentukan apakah kita akan masuk
neraka atau syurga tergantung dari amal yang dikerjakan didunia ini.
“Karenanya sebagai umat yang mengaku diri Islam perlu melaksanakan amal
baik agar kelak mendapat kebahagiaan di hari kemudian”, pintanya ketika
memberikan wejangan di depan jama’ah sholat Idul Adha di masjid kuno
Bayan.
Sementara proses
lebaran qurban, sebagian warga di masing-masing kampung, ada yang
menyembelih kambing dan ada juga yang memotong sapi sebagai kurbannya.
Semuanya itu dihidangkan kepada para pengulu, kiyai dan tokoh masyarakat
lainnya setelah selesai Idul Qurban. “menyangkut
pemotongan hewan, itu tergantung kesepakatan masing-masing kampong,
bahkan di Dusun Barung Birak Desa Sambik Elen, komunitas wetu telu
memotong kerbau untuk dihidangkan seusai sholat hari raya”, pungkas H.
Amir, yang didampingi kepala desa Karang Bajo, Kertamalip. (Ari)
Retrieved from: http://suarakomunitas.net/baca/12104/pelaksanaan-syari%E2%80%99at-lebaran-qur%E2%80%99ban-adat-wetu-telu.html?lang=id&rid=lembaga&id=56
No comments:
Post a Comment