Sunday, April 1, 2012

Filosofi Ajaran Wetu Telu di Bayan-Lombok Utara

By Muhammad Syairi

Adat dan Agama Harus Seimbang
“Agama adalah pemberian dari tuhan sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan. Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Wetu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjkan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat Bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat - istiadat tidak dikesampingkan agar tetap ber imbang dan seimbang.
1328965480652176190
Komunitas adat ketika memasuk kampu (rumah adat)

Sumber lain yang berhasil ditemui adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “ Sebelum menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang tarawih kyai adat dimasjid Kuno Bayan. Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipaki harus dibacakan secara berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apa bila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2 posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal 3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem penaggalan.

Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas pokok yang sama, yaitu sebagai imam, sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilyah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan disemua wilayah adat, sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.

“Terkiat makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai, Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta- pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimana pun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin dapat berjalan dengan baik.

Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilkinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan terutang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat . Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kerarifan lokal yang dimilkinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan.

Wetu Telu Bukan Agama
Kepercayaan dan pendapat yang menyebar pada sebagian besar dikalangan luar meyakini bahwa Wetu Telu itu adalah ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat atau komunitas adat Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.

Pandangan masyarakat luas yang berkembang seperti ini sangat disesalkan oleh semua tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat atau komunitas adat Bayan pada khususnya, terlebih secara tertulis telah dipublikasikan melalui sebuah buku yang berjudul Satu Agama Banyak Tuhan, karya Kamarudin Zaelani yang diterbitkan oleh percetakan Pantheon Media Pressindo bulan Maret 2007 lalu, isi yang tertuang yang ada dalam buku tersebut dinilai sangat mendiskriditimasi komunitas adat Bayan karena sumber yang ditemui masih sepihak dan belum memahami apa sebenarnya Wetu Telu tersebut.

Keluhan tersebut langsung dilontarkan beberapa Tokoh adat, Tokoh Agama, tokoh Masyarakat komunitas adat Bayan Kecamatan Bayan, KLU, seperti, Raden Gedarip (64), Raden Jambe, Haji Amir (63) dan Kardi Am.a.

Lalu seperti apakah Wetu Telu yang selama ini diyakini sebagai agama oleh kalangan luas…?
“Haji Amir (63) tokoh adat sekali gus tokoh Agama yang juga mantan Kepala Desa Loloan, Bayan, KLU priode tahun 1968-1998, menuturkan, “ Wetu Telu itu adalah filosofi yang diyakini komunitas adat Bayan yang memiliki arti, makna serta penjabaran yang sangat luas dan mendalam tentang kehidupan manusia, Tuhan dan lingkungannya, yang kesemuanya itu tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, dimana folosofi ini juga kental dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islam.

“Wetu Telu juga menggambarkan filosofi tentang “ Wet Tau Telu (tiga bagian wilayah atau sistim Pemerintahan-red) diantaranya, Adat, Agama dan Pemerintah, ketiga unsur ini jika dilihat berdasarkan fungsinya tidak mungkin dapat terpisahkan dimana tugas dan fungsinya juga tidak mungkin dapat disatukan atau disamakan satu dengan yang lainnya.

Filosofi lain juga meyakini Wetu dan Metu itu yakin adanya Tuhan, Nabi Muhammad Saw, Ibu, Bapak, dan Anak serta menyakini adanya Nabi Adam sebagai manusia pertama yang dilahirkan dan diturunkan kebumi. Kemudian isi bumi atau alam diyakini dilahirkan melalui tiga cara atau tiga unsur, (Metu) yaitu, Tioq (tumbuh), Menteloq (bertelur) dan terakhir melalui proses Beranak.

“Gambaran lain yang sering diucapakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Inaq, Amaq, Allah (Ibu, Bapak dan Tuhan) juga sebagai ungkapan kalau sorga itu berada dibawah telapak kaki ibu, filosofi ini juga masuk dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islama dimana semua ummat Islam harus tunduk dan patuh terhadap ajaran tersebut.

Keyakinan lain juga tergambar dari tiga aspek kehidupan yaitu Air, Agin dan Tanah, ketiga unsur ini juga menjadi dasar utama semua mahlauk hidup yang ada dimuka bumi dapat tumbuh, hidup serta berkembang biak, apa bila ketiga elemen ini ada dan dilestarikan.

Ketiga unsur lain tentang makna serta filosofi Wetu Telu yaitu Adanya tiga unsur yang mengayomi dan menuntun serta membina manusia atau masyarakat, yaitu dari Kyai yang berdasarkan keturunan dan memiliki tugas khusus dibidang agama, Tokoh Adat yang mengatur soal adat dan istiadat, dan yang terakir adalah pemerintah yang juga khusus membidangi sistim pemerintahan.

Filosofi yang di Kaitkan dengan Asal Usul Kejadian Manusia
Asal usul dan kejadian ummat manusia yang ada dimuka bumi ini juga dapat dilihat dan dipahami apa bila kita sudah mampu dan mendapatkan beberapa unsur penting berikut ini, diantaranya “ Jati Diri, Aji Diri, Lihat Diri dan Sembah Diri, beberapa unsur ini juga erat kaitannya dengan ajaran, kajian serta aspek yang terkandung dalam Adat, Agama dan Pemerintah, tambah Kardi, A.Ma, salah satu Tokoh Masyarakat Desa Loloan, Bayan, KLU.

Wetu Telu juga merupakan 5 fase yang dilewati manusia sebelum dilahirkan kemuka bumi, yang pertama adalah fase alam roh, kemudian alam roh melibatkan tuhan melalui janin, kemudian baru menginjak alam dunia setelah dilahirkan dari perut sang ibu, fase berikutnya adalah alam barzah atau alam kubur dan yang terakhir adalah fase alam akherat.

Kelima fase yang dilewati manusia ini juga sudah nyata tertuang dalam ajaran agama Islam yang memerintahkan ummatnya untuk mengerjakan sholat 5 waktu sehari semalam (Shubuh, Duhur, Ashar, Isya’, dan Magrib), selain itu ada lima unsur juga diyakini mutlak sebagai pemberian dari Tuhan, yaitu, Penglihat (mata), Pendengar (telinga), penciuman (hidung), Perasa atau peraba (kulit) dan yang terakhir adalah Hidup. Dasar Lima atau fase ini juga tertuang dalam sistem dan lambang Negara Republik Indonesia yang memiliki 5 dasar yaitu Panca Sila.

Senada dengan itu, Raden Gedarip (64), Tokoh Adat Bayan, juga menambahkan, “ Kembali kita garis bawahi kalau Wetu Telu itu sama sekali bukan ajaran Agama atau waktu Sholat yang hanya dikerjakan 3 kali atau waktu Puasa yang dikerjakan pada saat awal, tengah dan akhir bulan Ramadhan saja, akan tetapi Wetu Telu itu adalah filosofi, paham atau sebutan dari proses kejadian antara Ibu, Bapak, dan Allah atau Tuhan.

Filosofi lain yang kental juga yaitu Hubungan antara Tuhan dengan Manusia, Hubungan Manusia Dengan Manusia dan Hubungan Manusia dengan Alam, ketiga unsur ini juga harus sejalan dan bersama tapi tidak mungkin dapat disamakan, karena sudah memilki fungsi dan tugas tersendiri yang sudah jelas terpisah namun tidak dapat dipisahkan.

Retrieved from: http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/11/filosofi-ajaran-wetu-telu-di-bayan-lombok-utara/

No comments:

Post a Comment