Wednesday, April 4, 2012

Menelusuri Kearifan Tradisional di Kaki Rinjani

LOMBOK UTARA: Berkunjung ke Pulau Seribu Masjid rasanya kurang lengkap jika hanya melakukan pendakian ke Gunung Rinjani atau ke pantai-pantai terkenal di pulau Lombok yang belakangan disebut juga Pulau Sejuta sapi. Karena di Pulau inilah akan dikembangkan sejuta sapi oleh Gubernur provinsi Nusa Tenggara Barat, KH. Zainul Majdi MA.
Padi di kaki RinjaniOrang Sasak asli, demikianlah sebutan suku di Pulau Lombok, dan penduduk yang masih kuat memegang kearifan adat tradisional bermukim di Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara atau sering di sebut dengan masyarakat Dayan Gunung. Kecamatan Bayan yang terletak di hamparan kaki Rinjani memiliki luas wilayah 356,75 km2 dengan jumlah penduduk 42.741 jiwa,  berjarak 80 Km (3 jam) dari Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Di Kecamatan Bayan terdapat sebuah wilayah yang dikenal dengan sebuatan “Bayan Beleq” (Bayan adalah bahasa Arab yang berarti penjelasan atau penerangan, sedangkan Belek-bahasa Sasak, artinya besar). Bayan oleh banyak kalangan menyebut sebagai tempat dan pertama penyebaran agama Islam, dan termasuk salah satu nama kerajaan yang tertua di Pulau Lombok. Hal ini dibuktikan dengan masih utuhnya cagar budaya Masjid Kuno Bayan.

Masjid Kuno Bayan memiliki nilai historis yang sangat tinggi sebagai bukti awal berkembangnya agama Islam di Pulau Lombok. Untuk masuk kedalam masjid tersebut kita juga tidak dapat sembarang berpakaian, harus menggunakan pakaian adat berupa sarung putih dan kemeja putih. Masjid yang dindingnya terdiri dari anyaman bambu dan sama sekali tidak menggunakan paku ini dibangun pada abad 17. Masjid Kuno Wetu Telu memiliki kompleks pemakaman leluhur yang dikeramatkan.

Makam-makam tersebut dinaungi rumah bambu dan beratap jerami (sirap) layaknya rumah adat. Salah satu leluhur yang dimakamkan di Masjid kuno ini adalah Lebai Antasalam yaitu salah satu penyebar agama Islam pertama di Pulau Lombok. Konon Lebai Antasalam lenyap secara misterius ketika melakukan sholat di masjid Kuno sehingga tempat ia lenyap ditandai dengan sebuah batu.

Kearifan tradisinal budaya Wetu Telu mengatur kehidupan komunitas dalam bertindak tanduk. Mereka mempercayai bahwa dalam hidup manusia bersiklus melalui dilahirkan, beranak pinak lalu mati. Siklus tersebut harus ditandai dengan proses ritual dalam mencapai status yang lebih tinggi untuk menghindarkan individu dari gangguan-gangguan dalam hidup.

Memasuki wilayah Bayan Beleq yang terdiri dari dusun Bayan Timur, Bayan Barat, dan Karang Salah serta gubug Karang Bajo Desa Karang Bajo sangat menarik. Khususnya di dusun Karang Bajo, sebagian besar penduduknya tinggal dirumah adat Sasak yang berdinding bambu, tanpa ventilasi jendela dan pintu hanya setinggi 1 meter.

Umumnya di tiap rumah memiliki sebuah Berugak yaitu bangunan setinggi 0,5 meter dari permukaan tanah beratap rumbia dan disangga dengan enam (sakanem) atau empat (sakepat) tonggak. Berugak ini berfungsi untuk menerima tamu pada upacara tertentu. Bagi yang sudah modern berugaknya, memakai atap seng. Yang menarik semua berugak di Bayan menghadap kearah yang sama yaitu arah selatan. Setelah ditelusuri ternyata orang Sasak percaya bahwa angin yang bertiup di Lombok sering datang dari arah Selatan.

Masyarakat Adat melaksanakan ibadah di masjid kuno BayanPenganut Wetu Telu ini percaya bahwa sangat tabu melupakan para leluhur karena akan ada bencana yang akan mereka alami seperti sakit, kematian, atau bencana alam. Sehingga hal ini mendorong mereka untuk tetap memelihara warisan leluhur, seperti rumah, tanah maupun benda pusaka lainnya. Mereka mendokumentasikan garis silsilah keluarga pada lembaran lontar dengan huruf Jawa Kuno yang hanya boleh dibaca oleh tokoh adat dan hanya dibacakan pada saat-saat tertentu.

Mereka sangat percaya adanya kehidupan lain yang menempati alam ini selain manusia. Sehingga mereka melaksanakan ritual “meminta ijin” ketika akan memanfaatkan air sungai sebagai irigasi yang biasa disebut selametan subak ataupun membangar apabila akan bercocok tanam yang bertujuan untuk meminta ijin menggunakan tempat-tempat yang diyakini dikuasai oleh makhluk lain tersebut. Upacara tersebut dilakukan di tepi sungai, secara tidak langsung adanya upacara ini berdampak positif dalam memelihara ikatan antar pengguna air sungai (subak).

Upacara –upacara yang dilakukan dalam rangka kegiatan bertani sangat banyak, mengingat 90% mata pencaharian masyarakat Bayan adalah petani. Umumnya ritual Siklus Padi (Adat Bonga Padi) dilaksanakan secara besar-besaran. Masyarakat Wetu Telu di Bayan berharap dengan melakukan ritual-ritual dalam bertani akan membawa hasil panen yang berlimpah.

Pada musim bercocok tanam mereka melaksanakan ngaji makam turun bibit, pada saat panen dilakukan ngaji makam ngaturang ulak kaya. Saat melakukan pemupukan ataupun pemberantasan hama mereka melakukan ngaji makam tunas setamba. Upacara tersebut dilakukan di dalam kampu penghulu berisi ritual mengosap yaitu membersihkan makam leluhur, mas doa yaitu mengumpulkan berkah arwah leluhur, menyembek menerima berkah arwah leluhur.

Selain itu secara individu, mereka menyelenggarakan rowah sambi sebelum menyimpan padi dalam lumbung yang biasa disebut sambi. Upacara ini bertujuan agar padi yang mereka simpan dalam Sambi akan cukup untuk konsumsi sehari-hari. Sambi ini juga sebagai identitas sosial, dimana semakin banyak memiliki Sambi maka semakin tinggi status sosialnya.

Kepemimpinan tradisional sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Wetu Telu. Pimpinan adat tertinggi dipegang oleh seorang Pemangku yang tinggal dalam sebuah Kampu yaitu sebuah kompleks pemukiman para tokoh adat mulai jaman dahulu.

Tradisi menjaga makam leluhur dan hutan disekitar makam, dilakukan seorang Perumbak. Hutan disekitar makam leluhur dianggap keramat sehingga dilarang menebang pohon, bercocok tanam maupun bertempat tinggal disana. Selain itu ada Dewan tetua yang disebut Toaq Lokaq yang terdiri dari anggota-anggota tertua komunitas desa yang sangat paham dengan nilai-nilai tradisi leluhur. Dan ada Penghulu (Kiai) yang bertugas membacakan doa dalam setiap ritual adat.

Masyarakat Wetu Telu di Bayan berpandangan bahwa nilai kultural tanah melebihi nilai ekonomisnya. Mereka benar-benar menjaga tanah situs yaitu tanah dimana semua bangunan suci berada seperti rumah pemakaman keramat, kompleks masjid kuno Wetu Telu, maupun hutan yang terdapat sumber mata air di dalamnya. Mereka melestarikan hutan karena disana terdapat mata air dan sungai kecil yang mengairi sawah-sawah.

Hutan tersebut dilindungi dan dinamakan hutan tabu yang tak seorangpun berhak menebang pohon maupun mengusik satwa yang ada di dalamnya. Mereka percaya pada kebendon yaitu kutukan apabila mengusik hutan-hutan itu. Begitu pula dalam mengambil kayu di hutan untuk kepentingan adat sudah ditentukan hari baiknya. Pemotongan kayu untuk memperbaiki Masjid Adat misalnya harus dilakukan pada tahun Alip yang datangnya dalam satu windu (8 tahun) sekali.

Retrieved from: http://pasarkomunitas.com/?lang=en&rid=64&id=268

No comments:

Post a Comment