Representasi Islam “Madzhab” Indonesia
(Resensi dan catatan kritis untuk buku : Mengindonesiakan Islam, karya Dr. Mujiburrahman)
“Bangsa-bangsa lain tidak akan tegak berdiri
menyambut sebuah ‘kebangkitan’ dengan berpijak pada tradisi orang lain,
tetapi mereka harus berpijak pada tradisinya sendiri.
Namun bukan tentu bukan dalam kerangka tradisi
di mana kita melebur di dalamnya dengan segenap gerak dan gelombangnya,
tetapi lebih diperlakukan sebagai ‘produk kebudayaan’ manusia ,
sebagai produk ilmiah yang senantiasa berkembang.
Dari sini kita belajar berpijak pada tradisi kita sendiri
secara sadar, kritis dan rasional”.
(Muhammad ‘bid al- Jabiri)
Cita-cita dan proyeksi “kebersatuan” dan “kebersandingan” antara ‘nilai-nilai Islam’ dan nilai dasar kebangsaan, sejatinya merupakan ketegangan gagasan yang hari ini semakin kian menarik untuk dibaca. Medan ketegangan ini secara ‘epistemologis’ merupakan cara dari bagaimana kedua nilai tersebut bereksistensi dan bertahan dalam gerak peradaban ke depan yang semakin cepat. Tidak memungkiri, di banyak hal, perbincangan tentangnya kadang syarat dengan tendensi-tendensi ‘politik’ dan ‘ideologi’ yang dibawa oleh masing-masing nilai tersebut. Sejarah politik Indonesia yang terepresentasikan dalam ruang-ruang kontestasi partai politik tidak jauh-jauh juga masih membawa dimensi perbincangan ini. Katagori Clifford Geertz dalam memandang dan membaca representasi kekuatan keagamaan islam Indonesia seperti ‘priyayi’, ‘abangan’ dan ‘santri’ beberapa hal masih cukup membantu untuk membaca beberapa dinamika sosial politik kekinian. Tentu saja katagori Geertz perlu dilengkapi dan ditambahi dengan bebeberapa analisis perkembangan kontemporer. Dalam kergaman gerak perubahan, setiap katagori adalah alat bantu sekaligus batasan untuk membantu merepresentasikan sesuatu hal. Fakta yang semakin kompleks akan mendorong setiap katagori perlu mendialogkan dengan realitas yang berjalan. Seperti halnya diskursus katagori tentang ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ harus juga dibaca dalam titik pangkal prinsip ini.
Kontestasi politik Pemilu 2009 tetap menyisakan tarik-menarik ketegangan di antara nilai tersebut. Meskipun sudah mengalami berbagai evolusi perkembangan, ‘diskursus’ tentang bagaimana ‘state’ harus dibangun dan ditata apakah melalui dasar-dasar ‘kebangsaan’ yang lebih menghargai pluralitas keberagaman dan visi modern negara atau nilai-nilai religiusitas Islam tetap menjadi persoalan yang menarik. Dengan berbagai dinamikanya, kutub pendikotomian kadang semakin menunjukan batasan yang semakin tipis dan terbuka. Entah memang karena keniscayaan politik atau cara strategi berpolitik, masing-masing ‘kutub’ seolah tidak mau terjebak pada ‘identitas’ yang ‘kaku’ dan ‘dingin’. Menarik sebagai contoh adalah betapa partai-partai Islam sekarang tidak lagi memposisikan semata sebagai ‘representasi islam’ tetapi sekaligus juga ingin mengusung ‘jawaban” atas kebutuhan nasional secara lebih besar. Tidak menjadi asing bahwa ‘diskursus’ tentang ‘nasionalisme’ atau ‘keindonesiaan’ tidak lagi hanya menjadi ‘klaim’ dari ‘partai-partai politik yang berdasar atas azas dan ideologi “nasionalisme’. Tak pelak hadir pertanyaan kritis berikutnya, apakah ‘nasionalisme’ atau ‘keislaman’ yang kini menjadi ‘orientasi’ yang sedang diperebutkan? Apakah ia justru sebenarnyalah hanya terhenti pada “diskursus mengapung” yang lebih berorientasi pada ‘komodifikasi politik’ semata ketimbang ‘proyeksi ideologis’ yang lebih jauh?
Islam, nasionalisme dan berbagai ketegangan ‘dikursus’
Pada dinamika sejarah keislaman Indonesia secara lebih luas, mencatatatkan prinsip pandangan yang beragam dalam meletakkan ‘keberagamann’ yang diyakini tepat dan cocok di Indonesia. Dua kutub besar sebagai cara pandang tentangnya mengakar dan megerucut pada diskursus di antara ‘universalisasi’ dan ‘partikularisasi’ Islam diletakkan pada ‘ruang hidup keindonesiaan’. Sebagian meyakini bahwa nilia-nilai kearifan dan keberagaman konteks lokal amatlah menjadi modal dasar penting bagaimana mengembangakan ‘keberagamaan’ dalam nilai-nilai keindonesiaan. Pada prinsip yang lebih besar, Islam dan nilai keindonesiaan tidak diposisikan dalam hubungan yang antagonistik. Berbagai potensi nilai keindonesiaan diyakini merupakan fondasi dan ruang hidup penting bagaimana “Islam Indonesia bisa menunjukan wajahnya’. Relasi ‘universalitas keislaman’ dan ‘partikularitas kebangsaan’ Indonesia tidaklah dilihat sebagai dua wajah nilai yang saling ‘meniadakan’. Keduanya merupakan nilai komplenter yang saling memperkaya satu dengan yang lainnya. Transformasi dan evolusi keagamaan tidaklah harus dibanguin melalui ekspresi ‘kekuasaan’, ‘penaklukan’, dan ‘formalisasi’ yang meniadakan ruang hidup pada bumi yang dipijaknya sendiri. Dalam perspektif yang lebih maju, ia dipandang sebagai pencerminan Islam yang lebih transformatif ketimbang formalis semata. Upaya ‘mengkontekstualisasikan’ nilai-nilai Islam dalam nafas dan kebutuhan ‘keindonesiaan’ merupakan mandat yang harus dijalankan. Titik terpentingnya adalah mengembangkan dan menghidupkan Islam dalam ranah kearifan ‘madzhab’ Indonesia.
Pandangan yang meletakkan aspek ‘dialogis’ sekaligus ‘akomodatif’ sebagai cara untuk membentuk ‘pola-pola keberagamaan’ cenderung banyak dianut oleh prinsip bahwa ‘sejatinya sebagai ekspresi keagamaan, ia tidak bisa melepaskan dengan pertemuannya dengan ekspresi nilai-nilai yang melingkupinya. Menutup diri atasnya justru merupakan sikap ‘ahistoris’ yang akan melemahkan agama secara jangka panjang. Kebertahanan Islam tentu akan sangat ditentukan bagaimana ia bisa menyelaraskan dan mensinergikan dengan nilai-nilai dasar yang bertumbuh dalam jantung bumi Indonesia. Meminjam thesis Berger dalam tulisannya di “The Desecularization of the World”, strategi membangun ‘kebertahanan’ dan eksistensi keagamaan mempunyai tiga kecenderungan pola yang digunakan 1)`Stratregi penaklukan atau revolusi keagamaan; 2) pengasingan diri; 3) dialog. Setiap kecenderungan ini memberikan bentuk ekspresi keagamaan berbeda dan masing-masing pilihan akan mengandung beberapa konsekuensi pengaruh yang berbeda pula pada usaha mendialogkan ‘universalitas’ dan ‘partikularitas’ dalam wujud praktiknya. Fenomena perkembangan ‘modernitas’ dan segala laju perubahan yang dibawanya turut menyumbang sekaligus mendorong berbagai gesekan dan persentuhan yang tidak bisa dihindari dalam dinamika Islam.
Dunia dengan segala entitas kebudayaannya mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pandangan meyakini bahwa perubahan dunia adalah keniscayaan wajah yang tidak terhindari. Tetapi problem seriusnya tidak semata pada titik keyakinan ini. Problem yang menggelayut adalah “kemana perubahan itu akan menuju” dan bagaimana setiap nilai, pandangan dan tradisi Islam melihat ‘perubahan’ dalam kacamatanya masing-masing. Pluralitas pada titik inilah yang tidak jarang melahirkan posisi diskursus yang berbeda pada setiap ekspresi keberagamaan yang satu dengan yang lainnya. Sebagian menerima dan berdiri menjadi ‘loyalis buta’ yang setia terhadap sikap terbukanya pada perubahan. Ia semata dilihat sebagai “keniscayaan abadi” yang tidak bisa dicegah. Mengingkarinya adalah sebuah kesia-siaan. Lebih ekstrimnya, setiap perubahan seperti yang terbawakan dalam episode globalisasi, neoliberalisme dan semacamnya dilihat sebagai harapan baru yang menjanjikan. Diujung yang lain, berdiri sekian pandangan yang begitu sangat ekstrim mencurigai, menentang dan bahkan meletakkan perubahan sebagai ‘monster’ yang harus dibinasakan. Perubahan adalah ‘mengganggu status quo tradisi’. Ia selalu dipandang sejatinya hanya akan meluluhlantahkan ‘kesakralan nilai’ dan menghancurkan bangunan diri keislaman. Dari sekian dikotomi ekstrim ketegangan itu, tidak sedikit pula yang lebih realistis dan rasional meletakan ‘perubahan’ sebagai entitas yang harus dibaca secara ‘adil’ dan sekaligus penuh dengan kritik kedalaman. Dialektika kebudayaan akan selalu bisa ditemukan di ruang dan di tempat manapun. “Ikut” tetapi tidak ‘hanyut” adalah sebagian prinsip dipegang untuk menhadapi setiap perubahan.
Diskursus tentang tema-tema ‘pembaharuan Islam’ tidak bisa melepaskan diri dari keniscayaan modernisme. Sebagian yang lain menatap penuh optimistis terhadap misi pembaharuan namun tidak sedikit pula yang begitu resistensi terhadap segala ide-ide apapun tentang pembaharuan Islam. Perspesi yang dimunculkan oleh ide gerakan ini tidak jarang juga melahirkan banyak perdebatan. Tentu pertanyaannya selalu diarahkan pada kecurigaan adanya inflitrasi ide-ide barat dalam gerakan pembaharuan Islam. Modernisasi dan kecurigaan sekularisisasi atas ide-ide Islam yang pernah ditujukan kepada pemikir muslim seperti Nurcholish Madjid merupakan salah satu gambaran dinamika perkembangan persepsi tentang ide-ide pembaharuan. Tidak selalu didekatkan dengan ide-ide sekularisasi, kecurigaan dan resistensi ini juga pernah diarahkan pula pada sosok oemikir seperti Kiai Ahmad Dahlan tentang anggapan ide-ide ‘rasionalisasi’ dan ‘purifikasi’ Islam. Diskursus ketegangan lebih terletak pada kesangsian dan sekaligus ketidakpercayaan bahwa ‘pembaharuan Islam’ bersumber dari ‘epistemologi’ dasar-dasar nilai Islam. Walaupun tidak jarang, para pemhabaru Islam lebih meyakinkan bahwa justru ‘mandat dari gerakan ini’ adalah untuk mengembangkan Islam dari berbagai ruang stagnasi dan kemandegan akibat berbagai penetrasi kebudayaan-kebudayaan yang merugikan Islam. Perubahan tidak perlu dibaca secara tendensius dan prasangka membabi-buta. Ia perlu disentuh sekaligus disikapi secara kritis. Apakah ia akan menghasilkan dialog yang ‘afirmatif’ atau ‘kontradiktif’ tentu akan sangat ditentukan dengan dinamika objektif yang berlangsung.
Mencari ‘ekspresi keberagamaan’ yang ‘dialogis’
Tidak bisa dipungkiri sekian polemik yang berhadapan di antara diskursus seperti ‘barat’ dan ‘islam’, ‘fundamental’ dan ‘liberal’, ‘perubahan’ dan ‘tradisi’, ‘universalisme’ dan ‘partikularusme’, ‘sinkretisme’ dan ‘pemurnian’, ‘pluralisme’ dan ‘sentralisme’, ‘modernis’ dan ‘tradisionalis’ merupakan ekspresi tidak terhindari dari buah pembacaan dan interpretasi tentang perubahan dan masa depan Islam yang ingin diletakkan. Dalam realitas ketegangan entitas-entitas nilai ini, ia tidak bergerak dalam ‘ruang’ dan ‘medan’ yang kosong. Variabel dan konteks ‘politik’, ‘sosiologis’, ‘antropologis’ dan dimensi ‘historis’ menyumbang sekian pengaruh yang cukup penting dalam dinamika diskursus ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ tersebut.
Beberapa tema menarik di atas, yang mengkaitkan kesalinghungan antara spirit perkembangan Islam dan konteks keindonesiaan cukup kompleks dan menarik diangkat oleh Dr. Mujiburrahman dalam bukunya “Mengindonesiakan Islam”. Buku yang merupakan hasil pengumpulan karya tulisnya tentang Islam dan Indonesia lebih ingin menunjukan ruang kompleksitas tentang diskursus keislaman di Indonesia. Di struktur isi penulisannya, Mujiburrahman menorehkan beberapa ide kontroversi yang saat ini masih terus bergulir terutama tentang diskursus pluralisme, negara, islam dan sekaligus beberapa isi kontemporer tentang agama dan demokrasi. Ada beberapa catatan yang sengaja diangkat penulis ini untuk memberi bobot karya lebih berkualitas terutama perihal pembacaan teoritik dan beberapa perspektif pengkajian keislaman kontemporer yang harus dipegang sebagai pisau analisis.
Apa yang terlihat fokus dalam deretan bab yang telah disusun oleh penulis buku ini secara eksplisit ingin mengurai berbagai tautan fenomena dan problem penting di dalamnya di sekitar persoalan ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’. Terhadap dua bahan penting ini, Mujiburrahman membangun landasan perspektif yang berangkat dari keyakinan teoritis bahwa entitas keduanya tidak bisa dilihat secara dikotomis dan berhadapan. Islam dan ‘nasionalisme ’ justru membingkai dan merias wajah kekhasan yang dimiliki oleh Islam Indonesia. Dengan keragaman, pluralitas, dan khasanah bangsa yang unik maka Islam Indonesia akan sangat sulit untuk dibentuk menjadi islam yang monolitik dengan melepaskan aspek ruang hidup yang plural. Memaksakan ekspresi keagaman dengan satu sentralitas tunggal keberagamaan dan menghindar dari nilai-nilai dan bumi tradisi yang dipijaknya justru secara prinsip kontraproduktif. Membuka diri secara demokratis mempertemukan berbagai posisi pandangan keislaman akan lebih membangun kualitas keberagamaan itu sendiri. Optimisme terhadap hal itu selalu terlihat ditekankan dalam tiap kesimpulan bab. Meskipun bukan sebuah proses yang begitu saja mudah, tetapi Mujiburrahman meyakini bahwa ‘ketegangan-ketegangan dialog’ , pada prinsipnya akan membantu melahirkan nilai-nilai baru yang saling melengkapi.
Sebagai karya yang berusaha memotret problematika diskursus keislaman dan problem-problem kontemporer tentang islam dan keindonesiaan, karya ini perlu mendapatkan apresiasi. Spirit terhadap perlunya ruang ‘kebertemuan’ terhadap berbagai keragaman nilai dengan segala etos penghargaan menjadi poin yang meanrik untuk dicermati. Tampanya, menurut Mujiburrahman akan selalu berujung pada ‘konflik’ dan ‘pertentangan’ yang tidak akan pernah usai. Kearifan dan keberanian untuk berdialog adalah kunci. Selaras dengan potensi dan karakteritik keberagaman ekspresi keislaman di Indonesia , maka poin ‘penghargaan’ yang saling melengkapi dan tidak meniadakan satu sama yang lain haruslah digarisbawahi. Keyakinan prinsip ini pula yang memberi garis tegas pada pandangan Mujiburrahman yang sangat yakin terhadap khasanah nilai-nilai ‘keindonesiaan’ yang bisa mengembangkan masa depan Islam di nusantara ini. Tentu secara normatif pula masih harus digenapi dengan usaha serius dan komitmen kerja keras untuk mewujudkannya.
‘Keindonesiaan’ yang selalu ‘berproses’
Masih ada catatan kritis yang tertinggal untuk karya buku ini. Menelusuk dalam ‘logika imanen’ premis dasar dalam karya ini terasa masih meninggalkan ‘ruang kosong’ yang belum begitu dalam disentuh oleh Mujiburrahman terutama tentang pendalaman lebih detail tentang dinamika internal dalam entitas nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip pandangannya belum meninggalkan jauh dari model dan realitas keindonesiaan yang masih dibaca dalam kerangka pandangan “nation state’. Sebuah ikwal tentang cara pandang yang cukup berkembang dalam fase-fase paskakemerdekaan bangsa-bangsa. Jika kita kontekskan dengan realitas sekarang, justru ada spirit berbeda yang dibawa dalam pergerakan dan perkembangan diskursus ‘nasionalisme’. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa bukankah ‘nasionalisme’ adalah bagian diskursus politik yang lebih merupa dalam ‘politik identitas’ ketimbang dinamika lebih kongkrit yang sekarang sedang bergulir. Definisi politiknya lebih menggambarkan ‘masyarakat’ yang dibayangkan sebagai mekanisme membangun dasar pijakan keindonesiaan. Tentu sifatnya bisa jadi lebih berdimensi politis ketimbang kultural yang dibayangkan oleh penulis buku ini sejak awal. Jika melihat perubahan keindonesiaan yang begitu pesat dengan laju gerak ‘imperialisme’ pasar yang begitu berpengaruhnya, maka jangan-jangan “keindonesiaan’ yang sedang diperbincangkan menjadi lebih hanya menjadi ‘bayangan’ yang sudah tidak kokoh lagi. Orang bahkan akan cukup kesulitan untuk merumuskan secara lebih detail dan utuh tentang apa yang disebut “nilai keindonesiaan’. Artinya pula, spirit “mengindonesiakan islam” juga menjadi premis yang masih ‘mengapung’ dan masih belum terlalu kokoh dasar pijakannya. Tentu ada satu catatan yang artinya pula perlu ditampilkan. Jika ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ adalah ‘entitas diskursif’ yang terus bergerak, maka apapun yang kemudian kita sebut sebagai “mengindonesiakan islam’ bisa jadi adalah gerak sejarah yang terus ‘mencari’ dan tentu tidak terburu untuk disimpulkan sebagai sebuah bentuk dan wajah ‘keislaman’ yang final.
Retrieved from: http://risangpribadi.blogspot.com/2009/05/representasi-islam-madzhab-indonesia.html (Dec 17, 2010)
No comments:
Post a Comment