Sebentar lagi, Nahdlatul Ulama (NU) akan memasuki usia yang ke-82. Usia yang tidak muda lagi sebagai organisasi Islam. NU yang lahir 31 Januari 1926 di Suarabaya silam telah melahirkan banyak generasi. Generasi pertama yang telah dilalui oleh pendiri NU, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, telah berhasil meneruskan generasi Islam Nusantara yang cemerlang. Yakni, tradisi Islam yang telah diwariskan oleh para ulama Nusantara dengan karakternya yang berdialog dan berakomodasi dengan kebudayaan masyarakat. Sehingga tradisi Islam yang didakwahkan NU banyak dipraktikkan oleh masyarakat Islam Indonesia di berbagai pelosok.
Fachry Ali di tahun 1980-an pernah menyatakan, betapa besarnya potensi NU untuk memberikan corak umat Islam Indonesia sebagai kelompok alternatif dari ragam keislaman Indonesia yang belum menemukan bentuknya yang tetap. Pernyataan ini sebenarnya hanya menegaskan kenyataan yang ada betapa tradisi NU telah dipraktikkan oleh masyarakat Islam Indonesia. Hal ini bisa kita lihat bagaimana masyarakat Islam Indonesia, terutama di desa-desa yang mempraktikkan ritual-ritual keagamaan khas NU, seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, slametan, dan lain sebagainya. Inilah yang sejatinya disebut
sebagai tradisi Islam Nusantara yang telah diwariskan oleh para ulama pendahulu.
Tantangan NU
Namun, dalam periode sekarang, Islam Nusantara yang menjadi tradisi masyarakat telah mendapat tantangan baru dari gerakan-gerakan Islam trans-nasional yang berasal dari Timur Tengah. Paling tidak ada tiga tantangan yang sedang dihadapi NU dalam upayanya meneguhkan tradisi Islam Nusantara.
Pertama, gerakan Islam trans-nasional melakukan upaya-upaya untuk mengubah Islam Nusantara menjadi Islam Arab. Kekuatan tradisi yang mampu bertahan ratusan tahun sejak sebelum lahirnya NU, kini menghadapi gugatan dari gerakan Islam trans-nasional, yang dibungkus dalam gerakan antitahlil, antibid’ah, dan kembali ke purifikasi Islam. Meski secara umum, masyarakat Muslim Indonesia masih menggunakan tradisi Islam Nusantara, tetapi mereka tidak memiliki ikatan yang kuat dengan NU. Mereka hanya menjadi tradisi NU, bukan orang NU. Kecenderungan yang ada sekarang adalah banyak yang mempraktikkan tradisi NU tetapi mereka tidak mau mengaku menjadi orang NU.
Kedua, merekrut kader-kader dan jamaah NU. Gerakan ini telah berhasil memikat kader dan jamaah NU di beberapa daerah. Lompatnya kader dan jamaah NU ke gerakan Islam trans-nasional tidak dapat dilepaskan dari tidak terawatnya mereka dalam struktur dan sistem sosial NU. Merasa tidak dirawat dan cenderung dibiarkan, sehingga mereka berkiprah di tempat lain. Inilah problem serius organisasi Islam besar seperti NU, karena jumlah jamaahnya yang begitu banyak, sehingga cenderung tidak mempedulikan jamaahnya agar tetap terjaga dan militan.
Ketiga, banyaknya amal usaha NU yang mendapat pesaing baru. Kalau dulu masyarakat menyerahkan pendidikan agamanya ke pesantren, sekarang mereka menyekolahkan ke Sekolah Islam Terpadu, yang banyak dikelola oleh orang-orang non-NU. Dulu masyarakat mengikuti pengajian kiai, sekarang mereka pergi ke kursus-kursus agama. Dulu kiai menjadi panutan masyarakat, sekarang banyak pilihan baru.
Ketiga tantangan NU di hari ulang tahun yang ke-82, mestinya dapat direspons secara kreatif oleh elite-elite NU agar bergerak cepat membenahi problematika dan tantangan ke depan sesuai perkembangan sosial masyarakat. Tidak lagi terjebak pada soal politik kekuasaan yang pada gilirannya berisiko pada menurunnya tingkat apresiasi masyarakat. Keterlibatan para ulama NU dalam politik kekuasaan setidaknya ikut mempengaruhi apresiasi masyarakat yang masih memegang tradisi.
Tradisi Nusantara
Dalam Pidato Iftitah pada Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU, 27 Juli 2006 di Surabaya 2006, Rais Aam, KH MA Sahal Mahfudh menegaskan, sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap yang toleran terhadap nilai-nilai lokal. Terbukti dalam sejarah, NU tidak memberangus seluruh nilai-nilai lokal masyarakat, melainkan merangkul dan mengisi kebudayaan masyarakat. Karakter Islam Nusantara inilah yang menjadi tradisi masyarakat Islam Indonesia sejak penyebaran Islam yang pertama hingga sekarang.
Sejak lahirnya, NU memang memiliki keteguhan untuk menjaga tradisi Islam Nusantara atas pengaruh gerakan anti bid’ah di Indonesia yang dipengaruhi oleh Wahabi. Titik tolak ini telah membangkitkan ulama untuk menjaga tradisi Islam Nusantara agar tidak kehilangan orientasi Islam keindonesiaan yang menjadi corak tradisi Islam masyarakat. Para ulama yang telah meletakkan dasar-dasar Islam Nusantara kemudian diterjemahkan oleh NU dalam fikrah nahdliyyah (Garis Pemikiran NU). Yakni, garis pemikiran dan paradigma yang moderat (fikrah tawashutiyyah), toleran (fikrah tasamuhiyyah), seimbang (fikrah tawazuniyyah), reformatif (fikrah islahiyyah), dan metodik (fikrah manhajiyyah). Dalam kerangka ini, NU ingin memperteguh tradisi Islam Nusantara sebagai kerangka dasar Islam Indonesia.
Tradisi Islam Nusantara ini akan tetap terjaga ketika terjadi gerakan sosial dalam diri NU yang berorientasi pada jam’iyyah (organisasi) dan jamaah (umat/warga). Jika jam’iyyah tidak dikelola dan jamaah tidak dirawat dengan baik, maka potensi melompatnya jama’ah tak terhindari dan sistem keorganisasi akan semakin rapuh. Karena itulah, tradisi Islam Nusantara dalam kerangka fikrah nahdliyyah akan memberi sumbangan paling berharga bagi corak Islam Indonesia. Sebab, Islam keindonesiaan tidak akan berdiri kokoh selama tradisi Islam Nusantara rapuh, bahkan punah digantikan oleh tradisi Islam Arab yang dibawa oleh kelompok-kelompok Islam trans-nasional. Inilah pentingnya NU membangun dan meneguhkan tradisi Islam Nusantara yang telah diwariskan para ulama terdahulu.
Dimuat di Suara Pembaruan, Kamis 31 Januari 2008
h3. Khamami Zada
Penulis adalah Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan PP Lakpesdam NU
No comments:
Post a Comment