Friday, December 24, 2010

NU Vs Gerakan Trans-Nasional

Abd Moqsith Ghazali

Baru-baru ini PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) mengeluarkan seruan penting, sebagaimana dilansir NU Online pada tanggal 24 & 25 April 2007. PBNU meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan transnasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan ini dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan bukan sebagai jalan hidup. Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator dari gerakan mereka itu. Padahal, tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama.

Kiai Hasyim Muzadi pun mulai gerah terhadap tindakan mereka yang menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU. Tak berhenti sampai di situ, mereka itu, tandas Hasyim, telah mengambil alih mesjid-mesjid yang didirikan warga NU dulu. Hasyim meminta agar warga NU menjaga mesjid-mesjid tersebut agar tak dijadikan pangkalan untuk menyerang NU dan republik. Untuk menghalau gerakan mereka, demikian Hasyim, sekurangnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemantapan ideologi negara Pancasila. Dan semua gerakan politik di negeri ini harus berasaskan dan berdasarkan Pancasila, bukan yang lain. Kedua, perlunya mengukuhkan sendi-sendi Islam moderat hingga ke level bawah masyarakat. Yaitu, sejenis Islam yang berpandangan toleran ( tasamuh) terhadap pluralitas yang ada di Indonesia.

Sebagai orang yang terlahir dari kultur NU, saya memahami kegelisahan dan kewaspadaan yang disampaikan PBNU tersebut. Taushiyah itu kiranya tidak mengada-ada. Ia disusun pasti setelah PBNU memperhatikan data-data empiris, bukti-bukti otentik, dan mendengar laporan dari para kiai NU di daerah-daerah. Dan kewaspadaan NU tersebut cukup beralasan, karena kaum nahdiyyin tak rela Indonesia dalam petaka. Sebab, semua kita tahu bahwa NU adalah salah satu ormas keagamaan yang ikut mendesain berdirinya republik ini. Indonesia tegak, salah satunya, karena darah dan air mata para kiai NU dan warga nahdiyyin. Kaum nahdiyyin berjuang memanggul bambu runcing dan tongkat untuk mengenyahkan para penjajah di negeri ini. Kaum nahdiyyin bukan hanya berkorban harta benda bahkan jiwa mereka pertaruhkan untuk sebuah rumah bernama ” Indonesia”.
Demikian besarnya pengorbanan para kiai dan warga NU demi tegaknya Indonesia. Karena itu, wajar kalau NU geram terhadap perilaku sejumlah organisasi yang baru muncul seumur jagung untuk kemudian mengubah ideologi negara ini. Berkali-kali para kiai NU menegaskan bahwa Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya merupakan keputusan final. Bagi NU, Pancasila bukanlah ideologi transisi yang terpaksa diterima karena keadaan politik belum memungkinkan untuk menegakkan ideologi definitif, ideologi Islam misalnya. Sudah ada konsensus di kalangan NU, bahwa ideologi Pancasila bagi negara Indonesia adalah qath’i. Jelas, barangsiapa yang berkeinginan untuk mengubah Pancasila dan NKRI, maka baik langsung maupun tidak langsung akan berhadapan dengan ormas keagamaan terbesar itu. Keinginan Hizbut Tahrir untuk membentuk khilafah islamiyah misalnya suka atau tidak suka akan bertubrukan dengan para kiai NU. Begitu juga kehendak ormas-ormas kecil untuk menyulap Indonesia menjadi negara Islam tak akan luput dari penentangannya.

Sebagaimana NU, kita menghendaki agar Indonesia sebagaimana dikehendaki para founding father & mother akan tetap berlanjut. Untuk tujuan itu, komitmen kebangsaan dan ketundukan semua warga negara terhadap ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI mutlak diperlukan. Sebab, pengabaian terhadap ideologi negara hanya akan mengantar Indonesia ke proses balkanisasi yang mengerikan. Jika itu yang terjadi, maka Indonesia sebagai Indonesia bukan hanya akan tersisa dalam buku-buku sejarah, karena sosoknya sudah ilang kerta ning bumi, tapi sebelum itu perang saudara antar-anak-anak negeri menjadi tak terelakkan, dan kita jelas tak menginginkannya. Itu sebabnya, taushiyah PBNU patut diperhatikan

Abd Moqsith Ghazali, Peneliti the WAHID Institute dan Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar.

Sumber Tulisan, www.gusdur.net

http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/130/nu-vs-gerakan-trans-nasional

No comments:

Post a Comment