Tuesday, December 28, 2010

Munawir Sjadzali: "Saya Tak Akan Membuat Kejutan"

Tempo, 1996

Foto Munawir SjadzaliDI usia 71 tahun, Munawir Sjadzali masih tampak sehat. Sudah hampir sepuluh tahun tak berada di lingkungan kabinet, Munawir sama sekali tak menderita post power sindrome seperti umumnya bekas pejabat. Barangkali karena dia memang sejak awal tak mendambakan menjadi seorang menteri. Maka, sesaat setelah diangkat menjadi Menteri Agama pada Maret 1983, dia bergurau, "Mudah-mudahan saya memang akan menjadi kiai." Menanggapi tugas memimpin departemennya, dia juga berujar santai, "Saya tak membawa misi baru," ujar orang Klaten, Jawa Tengah, yang lahir 7 November 1925. "Juga tak akan membuat kejutan, saya kan bukan jenderal."

Orangnya lugu dan pandai mendongeng. Di depan para ulama Jawa Barat, September 1985, ia mengisahkan persahabatan antara beruang dan petani. "Suatu ketika," ceritanya, "beruang marah lantaran seekor lalat mengganggu tidur petani." Beruang lantas mengambil batu besar, dan menghunjamkannya ke dahi petani yang dihinggapi lalat. "Siapa pun tidak meragukan kesetiaan beruang," ujarnya. "Tapi ketololannya membuat petani mati." Yang mirip beruang tolol, menurut Menteri, banyak terdapat di masyarakat. Berlagak membela agama, padahal mementingkan diri sendiri.

Kepada para santri di Pondok Pesantren Kebarongan, Banyumas, Jawa Tengah, ia pernah mengungkapkan masa kecilnya. "Dulu, saya bersekolah tak mengenal sarapan, apalagi sepatu," katanya. "Tapi tak pernah lalai." Selesai SMP, ia masuk Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum di Solo, 1943.

Untuk menebus ijazah, suatu ketika ibunya menjanjikan akan menjual gelugu (batang pohon kelapa) di depan rumahnya. Setelah ia menebus ijazah, tiba di rumah ia kaget: gelugu masih tetap tegak berdiri. Sang ibu ternyata menjual kainnya. "Lalu bagaimana kalau Ibu mau ganti kain?" Ibunya tenang menjawab, "Kan bisa memakai sarung punya Ayah." Anak sulung dari tiga bersaudara ini tidak kuat membendung air matanya. Ia tersedu, bersimpuh di pangkuan ibunya.

Munawir bercita-cita masuk Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Tetapi, ayahnya, Kiai Mughaffir--pemimpin pesantren kecil di Klaten, seorang ahli nahwu (tata bahasa Arab)--tidak mampu mengongkosi. Ia lantas mengajar di SD Islam Gunungjati, Ungaran, 1944. Pecah revolusi kemerdekaan, ia prajurit penghubung antara markas pertempuran di Salatiga dan badan- badan kelaskaran Islam.

Sehabis Revolusi, ia pindah ke Jakarta. Rajin keluar masuk perpustakaan, ia kemudian menulis buku Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam? Pada 1950 itu, rupanya Bung Hatta membaca buku tersebut, dan memanggilnya. "Menurut beliau," kata Munawir, "secara kualitas buku saya perlu dikembangkan--berani menentang klise."

Lewat Bung Hatta pula ia beroleh pekerjaan di Seksi Arab/Timur Tengah Departemen Luar Negeri. Dari sini harapannya belajar di luar negeri terkabul. Tetapi bukan di Kairo, melainkan di Inggris. Ia mendalami ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas Exeter, 1953.

Ketika menjabat sekretaris III KBRI di Washington DC, ia menjadi part timer student di Universitas Georgetown. Meraih gelar M.A. untuk filsafat politik dengan tesis Indonesia's Moslem Parties and Their Political Concepts, 1959. Sejak itu karier diplomatnya menanjak mulus.

Lewat berbagai jabatan di Deplu, ia pernah menjadi Dubes RI untuk Emirat Kuwait, merangkap Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab, sejak 1976. Lantas ia bersiap untuk kembali ke dunia kitab, tetapi urung karena diangkat sebagai Dirjen Politik Deplu, 1980. Tiga tahun kemudian, ia menjadi menteri agama.

Menikah dengan Murni, ayah enam anak dan kakek lima cucu ini, senang mendengarkan musik. Meskipun memiliki rekaman Tchaikovsky dan Beethoven, "Saya merasa lebih at home dan in betul bila menikmati gambus," tutur penggemar biduanita Mesir, Ummi Kalsum, ini.

Olah raganya, segera setelah salat subuh, berjalan-jalan di belakang rumahnya. "Kadang-kadang saya melakukan exercise bersepeda dalam kamar."

http://www.tempo.co.id/ang/pro/1996/munawir_sjadzali.htm

No comments:

Post a Comment