Abd. Mun’im DZ
  Ada berbagai versi mengenai tahun datangnya Islam ke wilayah  Nusantara, tetapi yang jelas ia datang setelah agama besar yang lain  seperti Hindu, Budha datang. Tetapi Islam bisa memperluas pengaruhnya di  kawasan ini dengan sangat luas dan mendalam dibanding dua agama  sebelumnya. Hal itu selain karena Islam mengajarkan kesetaraan dan  pembebasan, juga karena strategi penyebarannya. Islam disebarkan melalui  perangkat budaya dan bahkan warisan agama lama yang masih ada, yang  kemudian diislamisasi yang dalam ushul fiqihnya disebut dengan al-‘adah  muhakkamah (adat yang ditetapkan sebagai hukum Islam) sebagaimana banyak  dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw. 
  Sebenarnya proses ini tidak bersifat sepihak dan satu arah, tetapi  dua arah atau bahkan multi arah. Proses Islamisasi budaya Nusantara oleh  para wali sejak dan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Nusa Tenggara  hingga Maluku, sebenarnya dibarengi dengan proses penusantaraan  nilai-nilai Islam, sehingga keduanya tidak hanya ketemu, tetapi melebur  menjadi entitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Jawi atau Islam  Nusantara. Dari situ lahir berbagai kitab, serat, seni dan sebagainya.  Dalam pengertian itulah Islam Nusantara dipahami dan dijadikan istilah  dalam gerakan Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dewasa ini, sebagai pewaris  Islam yang dibentuk oleh para wali dan para ulama besar yang datang  sesudahnya. 
  Pengukuhan identitas ini penting karena kelompok Islam Ahlus Sunnah  bermazhab ini tidak banyak berkesempatan mencitrakan diri, sebaliknya  selalu dicitrakan orang lain secara buruk dan semena-mena dan cenderung  pejoratif seperti Islam tua, Islam kolot, Islam tradisional, Islam desa,  Islam sinkretik dan sebagainya. Dengan penamaan Islam Nusantara ini  mengembalikan Islam pada ciri awalnya yang positif, adaptif dan  apresiatif terhadap masyarakat serta adat dan kebudayaannya, baru  setelah itu diperkenalkan Islam sesuai dengan tarap berpikir dan  kesiapan mental mereka. 
  Sebagai suatu istilah, Islam Nusantara juga sangat memudahkan untuk  didefinisikan, karena Istilah Nusantara itu selain bersifat jami’  (mencakup), juga mani (menegasi dan membedakan). Jami’ dalam arti bahwa  Islam Nusantara ini meliputi kaum Muslimin yang ada di kawasan Asia  Tenggara, baik di Indonesai, Thailand, Malaysia, Brunei, Kamboja, Laos,  Vietnam dan Filipina. Sedang mani’ dalam arti bahwa Islam Nusantara  berbeda dengan Islam Timur Tengah atau Islam Maghribi dan sebagainya.  Mereka ini memiliki akidah, dan tradisi yang sama, karena memiliki  jaringan intelektual yang sama, sehingga madzhabnya sama, kitab yang  dibaca sama, dan seluruh ekpresi tadisinya juga menunjukkan banyak  kesamaan. 
  Eksistensi Islam Nusantara ini berangsur pudar ketika kolonialisme  Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, dan Belanda memecah kawasan ini  menjadi tanah jajahan mereka. Mereka tidak hanya mengeksploitasi sumber  daya alam, tetapi juga menjarah sumber-sumber kebudayaan. Bahkan setelah  merdeka, masing-masing menjadi negeri sendiri, sehingga hubungan mereka  tersekat oleh teritori, sementara jaringan mereka tetap utuh dan  berjalan secara intensif, meski disekat secara administratif oleh negara  bangsa. Sehingga menjadi jaringan antar negara. 
  Tetapi tantangan yang lebih parah adalah hadirnya Islam radikal dan  Timur Tengah dewasa ini yang merasuk ke pusat Islam Nusantara yang ada  di kawasan ini. Tradisi kenusantaraan semakin pudar. Nuansa Timur Tengah  yang dipaksakan, belum lagi upaya mereka membawa konflik Timur Tengah  ke kawasan ini, sehingga memicu berbagai ketegangan bahkan konflik di  kalangan pengikut Islam sendiri dan dengan penguasa setempat. Ini  terjadi ketika Islam yang baru datang ini mengubah strategi para wali  sehingga kehilangan kemampuan beradaptasi. 
  Dalam konteks inilah Islam Nusantara diperkenalkan kembali dengan  merajut kembali jaringannya serta memperkukuh jangkarnya dalam budaya  setempat, agar Islam kembali tampil sebagai sumber inspirasi dan  motivator bagi perkembangan peradaban di kawasan. Tanpa pengukuhan  karakter dasar ini Islam tidak akan bisa berbuat banyak menghadapi  gelombang modernitas dan globalisasi yang tidak kenal kompromi. Dengan  memperkuat jaringan dan memperteguh jangkar Islam Nusantara tidak akan  larut dalam kehidupan yang serba pragmatif, permisif dan serba  kompetitif. Bahkan diharapkan Islam Nusantara memberikan alternatif bagi  proses perjuangan peradaban ini. 
  Pembentukan Islam Nusantara 
  Sebagaimana sering disingung dalam buku sejarah bahwa Islam datang  ke Nusantara disiarkan oleh para saudagar dari Gujarat dan Kurdistan,  bahkan dari Champa dan Cina, bukan langsung dan Arab. Kenyatan ini  sering disalahtafsiri, dianggap Islam yang datang ke Nusantara tidak  murni bahkan dekaden, karena tercemar oleh berbagai tradisi yang  dilalui. Demikian pandangan menyesatkan dari para orientalis dan  akademisi pada umumnya. Sebaliknya, dalam pandangan kelompok Ahlus  Sunnah, Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai negara tersebut  merupakan Islam yang sangat matang, Islam yang sudah sangat  berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang dilewati  seperti tradisi Persia, India, Cina dan sebagainya, sehingga ketika  masuk ke Nusantara mereka bisa menyusun strategi dakwah yang pas. Karena  itu, nyaris tidak ada konflik dalam penyiaran agama, bahkan agama baru  ini bisa diterima di berbagai pusat kekuasaan. 
  Dalam penyiaran agama yang pertama kali perlu dikenali terlebih dulu  adalah adat masyarakat setempat. Demikian menurut Syekh Abdurauf Sinkel  (Syah Kuala) memberi nasehat kepada para santrinya. Hakim Agung pada  masa Sultan Iskandar Muda (1607) itu memang ulama yang ahli dalam  budaya. Tradisi itu kemudian dikembangkan oleh para muridnya antara lain  Syekh Burhanuddin Ulakan dalam menyiarkan Islam di Minangkabau, dengan  membiarkan tradisi berkembang walaupun tradisi mereka bertentanagan  dengan syariat. Dengan dalih bahwa yang menjadi target hanya kelompok  mudanya, dengan metode bermain. Dengan strategi itu, Islam Ahlus Sunnah  yang bermadzhab Syafi’i ini berkembang pesat di ranah Pagaruyung itu.  Berbeda dengan beberapa kawannya yang menolak nasehat gurunya akhirnya  diusir warga dan gagal menyiarkan Islam. 
  Bahkan jauh sebelumnya pada abad ke-15 ketika Sunan Bonang dan Sunan  Derajat pergi hendak berguru ke Mekah, ia betemu dengan ayahnya Maulana  Maghribi di Pasai, Aceh, setelah berguru di sana dan ilmunya dianggap  cukup disarankan pulang untuk berguru di Jawa saja. Karena justeru  mengenal tradisi lebih penting dalam menyiarkan Islam. Demikian juga di  Kalimanatan, Syekh Arsyad Al-Banjari menyiarkan Islam dengan penuh  bijaksana, demikian Syekh Abdus Shamad Al-Palimbangi di Sumatera Selatan  atau Syekh Khatib Sambas di Kalimantan Barat. Strategi dan tradisi  mereka relatif sama karena antar para ulama Ahlus Sunnah itu memiliki  jaringan yang sama dan mereka bahu-membahu dalam mengembangkan  ajarannya. 
  Para wali di Jawa demikian juga berusaha memperkenalkan Islam  melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu mempelajari Kekawian  (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan, dan dari situ  lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian ritual dan  seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana dakwah  dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang  tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang  hingga bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan  hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan  posisi mereka. 
  Kita saksikan juga para wali dan ulama di Sulawesi dan di Maluku,  mereka menulis berbagai gubahan syair, tidak hanya mengenai ajaran  Islam, tetapi juga tentang tradisi. Berbagai naskah ditulis untuk  mendekatkan masyarakat dengan Islam. Bahkan berbagal ajaran Islam  diidentifikasi sebagai produk lokal, sehingga mereka tidak merasa asing.  Setelah itu baru dperkenalkan dengan Islam yang sesungguhnya. Langkah  strategis itu menunjukkan keberhasilan yang luar biasa, sehingga para  pemeluk agama lama bersedia pindah ke Islam, karena Islam melindungi  bahkan turut memajukan tradisi mereka. 
  Tradisi ini bukan tanpa legitimasi dari pusat Islam di Mekah. Dalam  kenyataannya para ulama Nusantara banyak belajar dan bahkan mukim di  Tanah Suci. Mereka menjadi imam dan syekh yang sangat terhormat di  Haramain, sehingga didatangi santri dari seluruh penjuru dunia. Namun  demikian mereka tidak lupa mengemban tugas menjaga kelestarian Islam  Nusantara. Setelah para santri belajar dengan berbagai ulama di sana,  mereka menyepuhkan (mematangkan) ilmunya dengan para ulama Nusantara,  sehingga ketika kembali ke nusantara tidak berbenturan dengan umat dan  tradisi yang ada. 
  Para alumni Mekah itu kemudian kembali membuat jaringan Islam  Nusantara, mereka saling mengarang kitab dan saling mengajakan di  pesantren masing-masing. Misalnya kitab karangan Syekh Burhanuddin  Ar-Raniri dikembangkan oleh Syekh Arsyad Al-Banjari, yang kemudian kitab  itu dicetak secara luas oleh Syekh Salim Al Fathani di Mekah, dan  diajarkan pada muridnya di Patani, Brunei, Malaysia, dan Pilipina. 
  Pemangku Islam Nusantara 
  Tradisi keagamaan dan keilmuan Nusantara itu dikembangkan di  pesantren yang ada di Nusantara. Melalui jaringan keulamaan dan  kepesantrenan itulah tradisi Islam Nusantara dikembangkan. Langkah ini  membuat seluruh masyarakat Nusantara menjadi pendukung tradisi Islam  Ahlus Sunnah bermazhab empat. Kalangan ini tidak eksklusif dan pasif.  Terbukti ketika Portugis, Belanda, dan Inggris datang menjajah kawasan  ini dengan memaksakan sistem pendidikan Eropa dengan merongrong  pendidikan lokal, maka kalangan ulama pesantren dengan tegas  mempertahankan sistem pendidikan mereka sendiri. Pesantren bersikap non  koperatif, menolak segala bentuk kerjasama dengan kolonial untuk  melegitimasi penjajahannya. Dan pendidikan pesantren itulah jaringan  keilmuan Nusantara berkembang semakin intensif, sehingga bisa mengatasi  segala tekanan kolonial, bahkan akhirnya bisa menjadi basis perlawanan  terhadap penjajahan. 
  Untuk merespon bebagai perkembangan yang ada di masyarakat, baik  karena berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat, adanya pengaruh kuat  dan kebangkitan nasional, maupun menghadapi tantangan kolonialisme,  kalangan pemangku Islam Nusantara yang lekat dengan tradisi ini  berkembang secara luas di kawasan Nusantara dan Indonesia khususnya,  menghimpun diri dalam berbagai organisasi. Masyarakat Islam Sumatera  Barat mendirikan Persatuan Tarbiyah; masyarakat Aceh, Sumatera Utara  mendirikan Al-Washliyah; masyarakat Islam Jawa mendirikan Nahdlatul  Ulama; masyarakat Sulawesi mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad;  masyarakat Nusa Tenggara mendirikan Nahdlatul Wathon; dan masyarakat  Sulawesi-Maluku mendirikan Al-Khairat, dan masih banyak lagi. Mereka  itulah pendukukung dan penyangga Islam Nusantara yang militan hingga  saat ini. Konsolidasi ini penting terutama setelah kelompok Wahabi yang  menguasasi Mekah tahun 1924-1925 mengusir mukimin Nusantara yang ada di  Tanah suci. Kelompok ini tercerai-berai, sehingga mereka terpaksa  sebagian kembali ke tanah air dan mengkonsolidasi dalam bentuk  organisasi untuk mempertahankan paham keagamaan mereka. 
  Dengan adanya organisasi yang solid dan tersebar secara luas dengan  dukungan yang sangat kuat dari masyarakat, Islam Nusantara berkembang  sangat pesat dan berhasil mengambangkan tradisinya hingga terus  berkembang dan lestari hingga saat ini. Dengan adanya keislaman seperti  ini, kehidupan di Nusantara tetap rukun dan damai. Karena itu  mengukuhkan jangkar Islam Nusantara yang berupa pengembangan tradisi ini  merupakan jangkar penting bagi terlaksananya kehidupan damai di kawasan  ini.
  Islam Jenis ini tidak hanya membawa keamanan, tetapi turut  memberikan kontribusi besar bagi tumbuhnya peradaban Nusantara. Bebagai  seni arsitektur, seni sastra (filsafat), budaya, dan berbagai ekspresi  kebudayaan yang lain. Ekspresi keislaman ini yang membedakan keislaman  Nusantara dengan Islam di Timur Tengah dan Islam Maghribi pada umumnya. 
  Perbedaan ini bukan untuk mengekslusi, tetapi untuk memperkaya  ekspresi keislaman. Berbeda dengan Islam puritan dan kelompok Islam  radikal yang menolak keanekaragaman ekspresi keagamaan, yang hanya  menghendaki satu ekpresi yaitu ekspresi Timur Tengah bahkan hanya  ekspresi Arab atau Afganistan saja. Apalagi tanpa disertai proses  seleksi dan asimilasi, sehingga Islam tampil asing di tengah masyarakat  Islam sendiri, sehingga mengalami ketegangan dengan masyarakat setempat.  
  Di sinilah Islam Nusantara sebagaimana dirintis dan dikembangkan  para wali dan para ulama terdahulu, penting untuk dikukuhkan kembali  agar Islam kembali menjadi agama yang dekat dan akrab dengan masyarakat  Nusantara. Selain itu, sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem  pendidikan khas Nusantara, merupakan sistem pendidikan paling penting  dalam proses ini, dan ia merupakan salah satu jangkar Islam Nusantara.  Dengan adanya pesantren, Islam Nusantara yang dimaksudkan itu ada dan  bisa berkembang. Di pesantren itulah nilai-nilai kesusastraan diwariskan  dan diajarkan. Hingga saat ini, hanya di pesantren salaf yang tetap  mengajarkan berbagai kitab klasik dan melahirkan ulama. Ini sama sekali  tidak bisa digantikan oleh pendidikan modern model sekolah. 
  Karakter Dasar Islam Nusantara 
  Islam Nusantara disebut sebagai suatu entitas karena memiliki  karakter yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena  perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar  belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke sini  juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain: Pertama,  Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan  apapun tidak dilawan tetapi mencoba diapresiai kemudian dijadikan sarana  pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau  kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka.  Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga  Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai agama. Keempat,  Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa  meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka. 
  Dengan kenyataan ini maka bisa disaksikan agama Islam dipeluk oleh  seluruh penjuru Nusantara, tidak hanya di kota, tetapi sampai ke pelosok  desa bahkan ke daerah pedalaman paling dalam sekalipun yang susah  dijangkau. Bagi yang memperoleh pengetahuan keagamaan memadai mereka  menjadi Islam santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang  pemperoleh pengatahuan keagamaan, yang disebut dengan Islam abangan,  mereka secara ritual tidak taat, tetapi mereka kukuh memegang tradisi,  yang semuanya itu telah bernuansa Islami. Bagi kalangan Islam Nusantara,  mereka ini telah dianggap sebagai Muslim, sementara kelompok Islam yang  lain menganggap mereka sebagai orang belum muslim. Ketegangan Islam  dengan kelompok abangan ini tercermin dalam ketegangan kelompok Islam  dan nasionalis. 
  Bagi kalangan Islam Nusantara, perbedaan itu tidak signifikan, sebab  yang membedakan hanya tradisi, sementara secara akidah relatif sama.  Karena itu, mereka diterima sebagai komunitas atau umat Islam yang  sesungguhnya. Memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik dalam kehidupan  bermasyarakat, beragama, maupun dalam berbangsa dan bernegara, tanpa  sedikit pun mendiskriminasi, hanya karena beda tradisi keislamannya. 
  Makna Keberadaan Islam Nusantara 
  Hadirnya Islam Nusantara ini memiliki implikasi besar dan mendalam  terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ditandai antara lain:  pertama, dengan kuatnya hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang  dipijak (tanah air) maka sejak awal Islam ini gigih menolak kehadiran  imperialisme atau penjajahan bangsa asing. Bahkan pesantren dijadikan  basis perlawanan terhadap imperialisme: baik imperialisme politik maupun  imperialisme kebudayaan berupa hedonisme dan konsumerisme. 
  Kedua, sejak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela  kemerdekaan, mendirikan negara termasuk ikut menyusun konstitusi yang  bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi, sehingga  lahirlah Pancasila sebagai konsensus bersama menjelang bangsa ini  merdeka. Ketiga, dengan kecintaaannya pada tradisi dan tanah air, Islam  ini terbukti dalam sejarah bahwa Islam ini tidak pernah memberontak  terhadap pemerintah yang absah, karena pemberontakan ini dianggap  pengkhiatan terhadap negara yang telah dibangun bersama. 
  Dengan kenyataan ini ada baiknya saat ini jaringan Islam Nusantara  yang telah terbentuk selama beberapa abad itu diaktualisasikan kembali.  Ini akan lebih kuat ketika seluruh organisiasi Islam Ahlus Sunnah wal  Jamaah yang memangku Islam Nusantara ini bersatu melakukan kerja sama.  Ini bukan sebagai langkah mundur justru sebagai pijakan untuk maju ke  depan. Semakin jauh rancangan kita ke depan dituntut untuk mencari  pijakan yang kuat agar loncatan kita sampai pada arah yang dituju.  Dengan memiliki akar dan legitimasi tradisi itu program yang kita  rencanakan untuk membangun Islam yang toleran, dan apresiatif terhadap  budaya lokal serta peduli terhadap nasib masyarakat setempat akan  tercapai. Islam yang diperkenalkan bukan Islam yang mengancam, tetapi  Islam yang memberikan pengharapan, memberikan perlindungan dan  memberikan dorongan serta motivasi untuk kehidupan, baik dunia dan  akhirat. Di situlah peran para rohaniawan para ulama itu sangat  dibutuhkan agar kehidupan yang dibangun Iebih berisi dan Iebih bermakna.  []
  Abdul Mun’im DZ
  Ketua LajnahTa’lif wan Nasyr (LTN)NU  dan Direktur NU Online.
Ia juga Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar
Lakpesdam.or.id. 27/01/2009
http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/308/mengukuhkan-jangkar-islam-nusantara