Suara Merdeka, 20 Agustus 2011
Purbalingga – Pengikut Aboge menjadi komunitas nyentrik di tengah umat Islam kebanyakan. Berbeda dalam cara menentukan awal tahun Hijriah menjadi ciri khasnya. Bagaimana mereka menjalani perbedaan itu dalam kerukunan, berikut laporannya.
Purbalingga – Pengikut Aboge menjadi komunitas nyentrik di tengah umat Islam kebanyakan. Berbeda dalam cara menentukan awal tahun Hijriah menjadi ciri khasnya. Bagaimana mereka menjalani perbedaan itu dalam kerukunan, berikut laporannya.
Komunitas
Aboge tersebar di eks Karesidenan Banyumas. Mereka memiliki kesamaan
sifat dan sikap keberagamaan. Penganut aboge sangat kental dengan ritus
kejawen yang diwariskan leluhurnya.Hampir dapat dipastikan, di setiap
tempat komunitas Aboge eksis, terdapat situs, benda, dan ritus yang
masih dijaga dan dilestarikan oleh pengikutnya.
“Tak hanya awal Puasa atau Bada (Lebaran),
kami biasa menggunakan perhitungan Jawa untuk berbagai kebutuhan. Mulai
dari kelahiran, perkawinan, kerja, hingga kematian, semua dilaksanakan
untuk mencari selamat,” ujar Santibi, pemuka komunitas aboge di Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, Banyumas.
Pengikut
aboge percaya bahwa satu bulan selalu genap 30 hari. Tidak ada bulan
ganjil yang berjumlah 29 hari sebagaimana dipercayai oleh orang Islam.
Makanya, pengikut aboge selalu mempunyai rumus perhitungan yang sama dan
abadi.
“Sampai kiamat pun perhitungannya sama.
Kami tidak akan menemui hari Rabu Manis ketika Lebaran karena itu hari
yang kami hindari,” jelas Santibi.
Penganut aboge di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas sampai saat ini tetap memelihara makam Mbah Toleh, tokoh penyebar Islam di Banyumas sekaligus pendiri Masjid Saka Tunggal yang dipercaya warga setempat dibangun sebelum Masjid Agung Demak.
Sementara di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang,
Banyumas, pengikut aboge hingga kini masih menjaga situs dan
melestarikan ritus budaya yang diwariskan tokoh misterius bernama Bonokeling.
Sedangkan di Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, dan Desa Kracak,
Kecamatan Ajibarang, Banyumas juga masih terjaga baik sebuah situs Pesanggrahan Kyai Langgeng.
Sampai
saat ini sebagian besar pengikut aboge kerap membuat upacara selamatan.
Tak terkecuali di bulan Ramadan. Sebelum Ramadan tiba, mereka akan
menggelar upacara sadranan. Sementara memasuki malam pertama, malam
belasan, dan malam “likuran” Ramadan, pengikut aboge juga melaksanakan
selamatan.
“Kami membawa makanan dari rumah
masing-masing untuk selamatan di tajug (mushala-red). Kalau usai shalat
Id, kami juga selamatan. Kami akan makan bersama usai mengadakan ziarah
kubur terlebih dulu,” kata Jamang Sudiworo, pemuka aboge di Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang.
Pengikut
aboge berpendirian bahwa apa yang mereka jalani adalah hal yang benar.
Mereka tak mau mengubah apa pun yang diwariskan oleh leluhur. Mereka
percaya jika tetap menjalankan ajaran leluhur, termasuk perhitungan
aboge, akan selamat dunia akhirat.
Secara syariat mereka mengikuti ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan secara tarekat sebagian dari mereka merupakan pengikut Tarekat Satariyah.
“Selama
jari masih bisa menghitung hari, bulan, dan tahun, maka kami akan tetap
mempertahankan perhitungan ini. Kami selalu mencari selamat,” ujar
Santibi.
Komunitas Islam Aboge Desa Onje, Mrebet, Purbalingga
Tak beda jauh dari warga aboge di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga.
Mereka menyambut datangnya bulan Puasa, yang menurut hisab jatuh pada
Selasa Pahing (2/8). Seperti yang sudah-sudah, ratusan jamaah yang
tinggal di desa yang jadi cikal-bakal Kabupaten Purbalingga itu
membersihkan Masjid Raden Sayid Kuning sekaligus perlengkapan beribadah, bersama-sama.
“Dua hari sebelum datangnya bulan Puasa, kami biasa bersih-bersih masjid dan makam Raden Sayid Kuning yang berdekatan dengan masjid,” ujar ulama aboge, Kyai Sudi Maksudi.
Raden Sayid Kuning merupakan tokoh kunci penyebaran Islam aboge di desa tersebut. Menantu Adipati Onje itu bernama asli Abdullah Syarif.
Bagi mereka, keberadaan masjid yang selalu ramai pada malam Jumat
Kliwon itu tidak sekadar benda cagar budaya yang berusia berabad-abad,
melainkan juga sebagai simbol pelestarian tarekat Islam aboge.
Malah, konon, para penganut aboge di desa yang kini dipimpin Bangin Irianto itu meyakini datangnya bulan Ramadan bila beduk di “rumah Tuhan” yang sempat mendapat sentuhan Syech Samsudin dan Sunan Gunungjati sudah berbunyi.
“Beduknya
bunyi sendiri. Benar-benar bunyi sendiri. Bunyinya memang pelan,
seperti kendaraan bermotor. Tapi tidak semua orang bisa mendengarnya,”
ujarnya, yang mengaku pernah sekali mendengarnya.
Kyai
Sudi menambahkan, bukan berarti bangunan yang di dalamnya terdapat dua
batu giok itu hanya eksklusif bagi penganut aboge. Masjid itu biasa
digunakan untuk seluruh masyarakat yang akan beribadah.
“Lagi
pula aboge bukan aliran sesat, cuma keyakinan kepada Tuhan. Makanya,
sampai kiamat juga tidak akan hilang. Kalau yang namanya NII, itu baru
masalah,” ujarnya. (Susanto, Bangkit Wismo-43)
No comments:
Post a Comment