Wednesday, July 28, 2010

Mencari yang Autentik

Oleh : Dr. HAEDAR NASHIR

SEJARAH manusia dimulai dengan pertumpahan darah ketika dorongan ambisi dan iri hati tumpah ke segala arah mengalahkan jiwa yang bersih. Qabil mengawali tragedi klasik itu ketika membunuh saudara kembarnya, Habil, yang memutus matarantai generasi terbaik Adam alaihissalam di muka bumi.

Tragedi Qabil dan Habil ini membenarkan sebagian tafsir tentang watak anak cucu Adam yang bernama manusia sebagaimana dicemaskan malaikat, yang suka berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, ketika Allah memaklumatkan untuk menjadikan khalifah di muka bumi. Allah mengabadikan kisah buram Bani Adam ini dalam Al-Quran ayat ke 27, 29, 30, dan 31 Surat Al-Maidah sebagai ibrah bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.

Dengki dan ambisi Qabil bergelora menyaksikan saudara kembarnya memperoleh pasangan yang cantik dan sukses bekerja sebagai pemerah susu sapi, sehingga membangkitkan naluri primitifnya untuk melenyapkan karier hidup saudara kembarnya sendiri. Hawa nafsu Qabil telah mendorong dirinya begitu mudah membunuh, demikian penegasan Tuhan dalam Al-Quran (QS 5: 30).

Nafsu fuzara ( jahat ) telah mengalahkan jiwa muttaqa ( baik ). Nafsu yang tidak siap berkompetisi secara sehat menyaksikan saudaranya menggapai keberuntungan sehingga harus dipotongnya dengan cara biadab. Dari tragedi Qabil itulah lahir inspirasi paling klasik dan primitif tentang sebuah model perilaku menghalalkan segala cara demi meraih tujuan dalam pergumulan hidup anak cucu Adam sepanjang zaman di persada dunia ini.

Keberagamaan autentik

Tuhan sungguh memuliakan anak cucu Adam. Karena itu, Adam dan generasi keturunannya diberi amanat untuk menjadi khalafah di muka bumi. Manusia pun berbeda dari binatang dan makhluk Tuhan yang lain, diberi anugerah rohani dan akal pikiran agar pandai menimbang-nimbang segala perilaku dan tindakannya. Allah bahkan Mahakasih Sayang kepada manusia sehingga diturunkan Rasul dan Kitab Suci untuk membimbingnya ke jalan yang benar dan tidak terperosok pada jalan sesat. Tapi, manusia sering menyia-nyiakan Rahman-Rahim dan anugerah Tuhan itu, lalu terperosok pada tindakan-tindakan nista.

Karena itu, diperlukan ikhtiar terus-menerus untuk membangkitkan kembali dua fitrah terpenting dalam diri manusia itu, agar tidak liar seperti perilaku Qabil. Pertama, fitrah yang melekat dalam diri manusia, yakni al-qalbu al-salim ( hati yang autentik ) yang diberikan manusia sejak awal ( fitrah maqbulah ). Fitrah yang kedua ialah Kitab Suci sebagai fitrah yang diturunkan Tuhan melalui Nabi ( fitrah munajalah ) selaku pedoman hidup manusia. Keduanya harus dirawat dan ditumbuhsuburkan sehingga selalu menjadi pelita hidup yang mencerahkan. Jangan biarkan hidup meluap hanya dengan dorongan-dorongan primitif yang liar ke segala arah.

Bawalah agama pada setiap langkah dan pengambilan keputusan hidup. Agama jangan dibawa hanya ketika selaras dengan kepentingan, sementara ketika tak sejalan kemudian ditinggalkan. Agama bukan hanya urusan ilmu pengetahuan, tetapi tak kalah pentingnya adalah keyakinan dan tindakan. Tidak sedikit orang yang ilmu agamanya paripurna plus segala atribut gelar dan kehormatan, tetapi laku dan langkahnya jauh panggang dari api. Lisan berkata indah tentang nilai-nilai agama, tetapi perbuatan tak menggambarkan keberagamaan yang autentik. Inilah bentuk sekularisme terselubung. Bryan R Wilson telah lama meyakini bahwa sesungguhnya sekularisme yang mutlak itu tidak pernah ada dan agama di negeri-negeri sekuler sekalipun tetap hidup sebagai pilihan. Weber menyuarakan etika Protestan sebagai bentuk inspirasi agama dalam perkembangan kapitalisme, yang mengandung pengakuan akan fungsi agama bagi kehidupan modern. Islam pun kini mekar di negeri-negeri Barat, yang menunjukkan antitesis sekularisme.

Namun, ada peringatan dini dari Naisbitt. Melalui Megatrends 2000 Naisbitt mengingatkan tentang hadirnya spiritualitas agama yang melampaui formalisme agama. Bahwa di alam modern dan kehidupan dunia yang semakin kompleks saat ini diperlukan fungsi agama yang masuk ke jantung hati manusia, bukan sekadar melekat di kulit luar. Agama yang hadir secara substantif, yang dapat menjiwai denyut nadi kehidupan, sekaligus melahirkan model perilaku yang autentik dan utama. Bukan yang manis di bibir dan retorika, tetapi miskin rohani dan tindakan.

Rohani autentik

Ketika manusia berperilaku buruk dan jahat, sesungguhnya tindakan itu mengoyak fitrahnya yang autentik. Manusia itu pada dasarnya makhluk yang utuh dan mulia, lebih-lebih bagi orang beriman. Tapi, sering memerosokkan dirinya pada kehinaan hingga jatuh diri, fi-asfala safilin. Sabda Nabi, dalam diri manusia itu terdapat segumpal darah, apabila gumpalan itu dibersihkan maka bersihlah seluruhnya, sebaliknya manakala kotor maka kotorlah seluruh dirinya, itulah kalbu atau hati-nurani.

Kalbu manusia pada dasarnya juga bersih, bahkan mengandung potensi fitrah yang bening dalam sinar ke-Ilahian. Namun, sering karena berbagai situasi dan gelora nafsu yang tak terbendung, akhirnya kebeningan kalbu dikalahkan oleh seribu satu ambisi hawa nafsu sehingga manusia terperosok pada tindakan-tindakan anarkis dalam hidupnya. Manusia menjadi tidak manusiawi lagi. Manusia menjadi kehilangan autentisitas diri dan fitrahnya. Akhirnya, terjadi paradoks dalam perilaku manusia.

Formal beragama, berilmu agama, dan bernurani tetapi substansial kehilangan makna dan fungsi yang sublim atau bening. Kalbu atau hati nurani yang hidup sekadar berornamen luar laksana spiritualitas kembang api, tetapi menusuk ke jantung terdalam pada nurani yang autentik. Lahiriah bicara fasih tetang kebaikan, tetapi praktiknya jauh panggang dari api. Lisan indah berkata-kata tentang ikhlas dan ihsan, tetapi tindakan penuh kalkulasi matematika duniawi. Retorika agama melambung hingga ke angkasa raya, sementara bumi tempat berpijak kering makna hakiki karena demikian meluapnya orientasi hidup serba indrawi. Lalu, agama dan iman pun kehilangan kecerdasan rohaniahnya yang paling autentik atau fitri.

Karena itu, rohani beragama tampaknya penting untuk dicerdaskan dan dicerahkan kembali. Rohani yang cerdas tidak memancarkan spiritualitas kembang api, tetapi melahirkan kekayaan perilaku yang mempraktikkan kebaikan, kebenaran, dan keutamaan yang nyata. Menyisihkan duri di jalan, sabda Nabi, adalah bentuk dari iman. Bukan malah menyebarluaskan duri di sepanjang jalan kehidupan. Duri bukan sekadar fisik, tetapi dapat bermakna simbolis sebagai segala bentuk laku dan tindakan yang merusak tatanan kehidupan. Korupsi, menindas, menghalalkan segala cara, dan segala bentuk perilaku buruk adalah duri bagi kehidupan yang berlawanan dengan rohani yang fitri.

Rohani yang cerdas dan cerah memberi inspirasi pada otak, intelektualitas, dan psikomotor untuk berbuat ihsan kepada sesama. Ihsan yang fitri, yang tidak kulit luar dan dibuat-buat. Ihsan yang melahirkan amal saleh dan amal sahih, yang tidak berhenti di lisan dan retorika. Ihsan yang memancarkan perilaku baik, tulus, jujur, terpercaya, kata sejalan tindakan, halus budi, berkarakter kuat, peduli, dan berbagai tindakan ma’ruf dalam hidup. Bukan perilaku yang nifaq, lain di mulut lain di laku, kasar, buruk sangka, iri, dendam, menghalalkan segala cara, dan berbagai tindakan munkar dalam hidup.

Rohani yang cerdas dan cerah tidak membiarkan otak dan tindakan liar, yang oleh Allah disebut berperilaku hewaniah yang sesat. Rohani yang melahirkan kelembutan dan kedamaian, bukan kekerasan. Rohani yang toleran terhadap perbedaan, dengan tetap merawat iman dan prinsip hidup. Rohani yang melahirkan jalan lurus, yang ingin meraih sukses tanpa harus bertindak zalim terhadap sesama.•••

ØØØ

Dari : Refleksi Republika, Ahad, 25 Juli 2010

No comments:

Post a Comment