Oleh Muhammad As’ad
Belajar Islam di barat versus belajar Islam di timur. Perdebatan ini sebenarnya sudah muncul sejak mulai banyaknya mahasiswa Indonesia belajar Islamic studies di negara-negara barat, apakah itu di Eropa, Australia ataupun di Amerika. Yang paling massif adalah di dua Universitas yang memang memberikan beasiswa master secara kontinu pada akhir tahun 80-an hingga sekarang, yaitu Universitas Leiden, Belanda dan Universitas Mcgill, Kanada. Sejak saat itu pula mulai banyak wacana muncul di permukaan mempertanyakan otoritas barat dalam bidang Islamic studies.
Berangkat dari dua pendekatan yang berbeda
Perbedaan yang ada antara studi Islam di barat dan di timur berawal dari dua metode pendekatan yang berbeda. Menurut Azyumardi Azra ada dua pendekatan dalam kajian Islam, yaitu pendekatan teologis dan pendekatan sejarah agama (1994:2). Dengan perbedaan pendekatan tentu akan diperoleh hasil yang berbeda. Pendekatan teologis banyak digunakan oleh negara-negara Islam pada umumnya terutama di timur tengah. Pendekatan ini lebih mengutamakan sisi normatif Islam, dari mulai penghafalan, penyebaran dan pengamalan ajaran Islam. Sedangkan pendekatan sejarah agama lebih banyak dilakukan pada studi Islam di barat. Mereka lebih menitik beratkan kepada aspek kritisisme dan empirisme. Dalam kacamata ini Islam ditinjau dengan parameter ilmiah yang ketat atau bahkan mungkin bisa dikatakan “sadis”.
Pada umumnya, ada dua hal yang selalu muncul di logika kawan-kawan yang menolak “Islamic studies” di barat. Yang pertama adalah anggapan bahwa bahwa Islamic studies ataupun layaknya studi asia atau timur jauh muncul sebagai bagian dari kolonialisme barat. Kita sering menamakannya sebagai studi orientalisme. Adalah benar bahwa studi-studi tersebut pada awalnya berpretensi untuk menjustifikasi serta mencari kelemahan untuk kepentingan kolonial. Contoh mudah yang seringkali digunakan adalah bagaimana seorang Snouck Hurgronje yang merupakan professor bahasa Arab dan ahli Islam di bumi pertiwi di Universitas Leiden disamping bekerja secara “ilmiah” untuk meneliti Islam Indonesia terkhusus studi dia terhadap aceh pada karyanya the Atjehnese juga digunakan untuk kepentingan kolonial. Ini kemudian dijadikan senjata dengan membuat generalisasi bahwa seluruh studi Islam di barat bertujuan untuk melemahkan dan menghancurkan Islam. Padahal sejak munculnya era nation-state dan dihapuskannya era penjajahan, paradigma ini jauh berubah. Studi-studi Islam di barat sudah banyak belajar dari kesalahan tersebut dan berusaha untuk menjadi lebih objektif
Kedua, studi Islam di barat menjadikan mahasiswa Islam menjadi liberal. Salah satu alasannya, karena belajar Islam di barat tidak menjadikan mahasiswa menjadi seorang yang alim. Adalah benar belajar studi Islam di barat tidak menjadikan seseorang menjadi alim karena hanya kepada orang Islam yang alim-lah kita bisa menjadi alim. Kalau kita minta orang barat menjadikan kita alim adalah salah kaprah. Karena itu hanya bisa didapatkan dari seorang muslim yang alim. Tetapi juga harus diingat bukan berarti mahasiwa yang belajar di barat tidak alim. Patut diketahui bahwa hampir semua mahasiwa Islamic studies di barat telah mengenyam pendidikan Islam sejak mereka berada di bangku sekolah dasar, apakah itu pondok pesantren ataukah yang lainnya. Bahkan tidak jarang mahasiswa S2 Islamic studies di barat menamatkan strata satu di timur tengah semisal Universitas al-Azhar. Artinya mereka semuanya terus berproses untuk menjadi seorang yang alim. Disamping terus mengamalkan ilmu-ilmu yang didapat ketika dulu di pesantren atau yang lainnya, mahasiswa Islamic studies mendapatkan tambahan pengetahuan berupa metodologi yang sebagian besar belum lengkap ataupun tidak diberikan oleh Universitas berbasis Islam. Intinya berusaha mendapatkan ilmu metodologi modern dari barat dengan tetap mengamalkan kaidah-kaidah Islam yang telah dipelajari selama ini (al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
Tentang dosen-dosen non muslim semakin menjadikan mahasiswa keluar dari ajaran Islam menurut hemat penulis tidak dapat dibenarkan. Pertama, mereka memahami betul tradisi kita sebagai seorang muslim, apakah itu puasa, sholat ataupun merayakan hari raya. Mahasiswa Islamic studies di Leiden selalu diberikan kelonggaran waktu untuk beribadah. Bahkan pada perayaan hari raya idul fitri tahun kemarin semua mahasiswa Islamic studies diberi libur meski itu bukan hari libur nasional di Belanda. Kedua, paradigma yang selalu digunakan oleh para pengajar tersebut adalah paradigma value free (bebas nilai), artinya mereka tidak menggunakan kepercayaan mereka untuk memengaruhi kepercayaan mahasiswa. Karena mahasiswa sudah dinilai mempunyai pemahaman keagaaman yang mendalam. Realita dilapangan yang memang penulis alami sendiri adalah adanya proses timbal balik. Artinya, mereka juga semakin mengenal bentuk Islam melalui proses belajar-mengajar yang dilakukan. Tidak ada proses mendelegitimasi bahwa Islam yang kita pahami salah. Mereka pun semakin paham bahwa Islam yang sesungguhnya bukanlah Islam yang sebagaimana digambarkan oleh media barat yang bersifat politis. Satu sisi positif dengan adanya studi Islam di barat adalah bangsa barat bisa mengenal Islam dengan lebih akademis dan objektif sehingga asumsi apriori yang bersifat propagandis tentang Islam sebagai agama yang menunjang kekerasan dan terorisme bisa segera dihilangkan .
Untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip salah satu pernyataan Harun Nasution yang ditulis di jurnal Ulumul Qur’an tahun 1994. Edisi tersebut membahas tentang pro-kontra studi Islam di barat. Menurut Harun Nasution mengirim mahasiswa Indonesia ke timur tengah untuk belajar studi Islam adalah penting karena disanalah terdapat sumber-sumber ilmu Islam dan bahasa Arab, sedangkan mengirim mahasiswa Indonesia ke barat juga baik karena akan semakin mengasah pemahaman Islam mereka dengan metodologi modern (Ulumul Qur’an:1994:29). Dengan mengacu pendapat tersebut, menurut hemat penulis tidaklah tepat untuk mempertentangkan dua pendekatan ini, menegasikan antara satu pendekatan dengan pendekatan lain akan kontraproduktif dengan masa depan umat Islam Indonesia. Alahkah baiknya dua pendekatan ini saling melengkapi demi kemajuan dan kedewasaan berpikir umat Islam Indonesia. [] Wallahu ‘alam bissawab
Retrieved from: http://muhammadasad.blogdetik.com/2009/11/24/studi-islam-di-barat-apakah-salah/ (August 9, 2010)
No comments:
Post a Comment