(Wawancara majalah Islamia dengan Dr. Syamsuddin Arif)
Mengapa Anda merasa perlu belajar Islam ke Barat?
Saya  punya beberapa alasan. Pertama, selama ini banyak kalangan beranggapan  studi Islam di Barat lebih unggul dibanding Timur Tengah, terutama dalam  hal metodologi. Nah, saya ingin membuktikan sendiri sejauh mana  kebenaran asumsi tersebut. Apakah itu sekedar mitos, atau kenyataan.  Kedua, saya juga ingin membuktikan apakah benar yang sering dikatakan  selama ini, bahwa orientalis mengkaji Islam untuk menghancurkannya. Nah,  agar tidak dituduh bersikap a priori oleh para pendukung orientalis,  saya merasa perlu mempunyai pengalaman sendiri, ‘first-hand experience’,  bahwa saya pernah belajar sama orientalis. Ini penting, agar tidak kena  kata pepatah “man jahila syay’an ‘âdâhu”, orang yang belum mengenal  sesuatu cenderung memusuhinya. Terakhir, untuk legitimasi dan otoritas.  Sebab, diakui atau tidak, bangsa kita masih percaya kalau ‘jebolan’ luar  negeri, apalagi Amerika atau Eropa, maka lebih faham, lebih menguasai,  lebih qualified ketimbang lulusan dalam negeri atau lulusan Timur  Tengah. Karena itu, menurut saya, ada untungnya kalau kita pernah studi  di Barat, terutama ketika menghadapi para pengagum Barat yang arogan dan  merasa ‘superior’. Seperti kata hadis, sombong kepada orang sombong  adalah sedekah.   
Apa sih sebenarnya yang Anda pelajari di sana?
Rencana  semula saya mau belajar paleografi dan filologi, khususnya yang  berkaitan dengan tehnik dan seluk-beluk penyuntingan manuskrip,  Handschriftkunde istilahnya. Sekaligus mempelajari metodologi riset  orientalis. Untuk itu saya rencana mau mengedit kitab Abkâr al-Afkâr  karya Sayfuddin al-Amidi, yang juga pengarang kitab al-Ihkâm fi Ushûli  l-Ahkâm. Jadi, dirâsah wa tahqîq, gitu lah. Sebagian besar manuskripnya  sudah saya teliti waktu di Istanbul. Namun rencana tersebut berubah,  karena belakangan saya dapat info, ternyata kitab tersebut sudah  diterbitkan di Kairo. Akhirnya saya memutuskan untuk mengkaji satu  bagian saja dari kitab tersebut, yakni Qa’dah ke-4, seputar  masalah-masalah teologi. Saya beruntung, karena pembimbing saya,  Professor Hans Daiber, tidak banyak ‘cing-cong’ soal topik dan judul  yang saya pilih.

Anda belajar dengan orientalis. Apa tidak terpengaruh?
Pengaruh  apa dulu? Kalau yang Anda maksud pengaruh positif, seperti keseriusan  dan ketelitian dalam mengkaji suatu masalah, justru saya harapkan. Tapi  kalau pengaruh negatif, seperti sikap arogan, double-standard, pedantik,  reduksionistik, biased dan lain sebagainya yang melatarbelakangi  berbagai asumsi dan pendapat mereka, tentu saya berharap tidak. Memang  tidak sedikit yang terpengaruh, bahkan mengusung dan menyebarkan  pikiran-pikiran dan gagasan mereka setelah kembali ke tanah air.  Contohnya cukup banyak. Namun yang ‘kebal’ terhadap ‘virus’ mereka pun  banyak juga. Misalnya, Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbonne,  Muhammad Mustafa al-A’zami lulusan Cambridge, atau Syed Muhammad Naquib  al-Attas lulusan London. Mereka ini justru sangat kritis terhadap  tulisan dan pandangan orientalis. Jadi, sebenarnya masalah terpengaruh  atau tidak, menurut saya, tergantung orangnya. Kalau kita ‘ignorant’,  tidak mengerti tentang agama kita sendiri dan buta akan tradisi  intelektual kita, apalagi kalau sudah mengidap penyakit ‘inferiority  complex’ alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh  hasil kajian mereka. Ulâ’ika alladzîna isytrawû dh-dhalâlata bi l-hudâ.  Pendek kata, jangan sampai seperti istrinya Aladdin, menukar lampu lama  dengan lampu baru yang dijajakan oleh tukang sihir.
 
  
Menurut pengamatan Anda, bagaimana kondisi kajian Islam/orientalis di sana? 
Kalau  di Barat secara umum, yakni Eropa, orientalisme dalam arti kata kajian  terhadap kebudayaan dan peradaban Timur telah bermula ribuan tahun yang  lalu, paling tidak semenjak terjadi kontak dan interaksi antara  orang-orang Yunani (Greek) dengan orang Mesir kuno, Babylonia dan  Persia. Di abad Pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari  karya-karya ilmuwan Islam. Ex Oriente Lux, kata mereka: Cahaya berasal  dari Timur. Lalu sejak zaman Renaissance, orientalisme meluas skupnya,  tapi menyempit tujuannya. Sejak itu yang mereka pelajari tidak hanya  bahasa, agama dan peradaban Mesir kuno, Parsi, Zoroaster, Arab dan Islam  (yang mereka namakan Timur Dekat), tapi juga bahasa dan peradaban India  dan Cina (yang mereka sebut Timur Jauh) dengan agama Hindu dan  Buddha-nya. Namun motif dan tujuannya menyempit: sebagai alat dan  senjata untuk menjajah, menguasai dan mempengaruhi objeknya, yakni  bangsa dan peradaban Timur. Slogan mereka tersimpul dalam 3 G: gold, god  and glory. Jadi ada motif ekonomi, politik, dan agama di situ. Maka  lahirlah orang-orang semacam Snouck Hurgronje, Goldziher, Noeldeke,  Caetani, Zwemmer, Torrey, Lammens, Schacht, Wansbrough, Jeffery dan  Luxenberg. Mereka ‘take and give’ dengan penguasa dan gereja. Saya yakin  sampai sekarang pun motif-motif semacam itu masih ada, kalau bukan  justru dipelihara, meskipun manifestasinya tidak se‘vulgar’ dulu.  Belakangan cara mereka lebih halus. Contohnya karya Gerald Elmore, The  Concept of Sainthood in the Fullness of Time, terbitan E. J. Brill,  Leiden. Buku ini penampilannya luar dalam ‘wah’, tetapi isinya beracun.  Pembaca digiring pada kesimpulan bahwa Ibnu Arabi sebenarnya adalah  pengikut Yesus. Buku ini berasal dari disertasinya dibawah supervisi  Gerhard Boewering di Yale University, salah satu pusat kajian orientalis  terkemuka di Barat saat ini. Ini cuma satu contoh kasus. Ada banyak  Elmore, Brill, Boewering dan Yale-yale lain yang masih dan akan terus  aktif melakukan hal serupa, baik di Amerika, Eropa maupun Australia. Di  Jerman sendiri pusat-pusat kajian Islam terus berjalan dan berkembang,  di bawah naungan universitas dengan nama macam-macam: bisa Semitistik,  Orientalistik, Arabistik, ataupun Islamwissenschaft. Namun yang  ditekankan sama, yaitu penguasaan bahasa-bahasa utama seperti Arab,  Parsi, Turki, Hebrew dan Syriac. Ini penting, menurut mereka, agar bisa  mengkaji literatur langsung dari sumber aslinya.
 
   
   
Bagaimana ISTAC dibandingkan dengan pusat-pusat kajian Islam yang ada di Barat?
Saya  melihat ada beberapa kesamaan dan perbedaan antara ISTAC dengan  pusat-pusat kajian Islam di Barat. Kesamaannya antara lain terletak pada  penekanan terhadap penguasaan bahasa. Di ISTAC semua mahasiswa wajib  mempelajari dan menguasai minimal dua bahasa, Arab dan Parsi, yang  ditawarkan setiap semester, plus bahasa-bahasa Eropa selain Inggris,  seperti Greek, Latin, Perancis dan Jerman. Kedua, terletak pada  pengadaan fasilitas riset yang memadai, terutama perpustakaan yang  merupakan jantung setiap lembaga pendidikan tinggi. Dalam bidang kajian  pemikiran dan peradaban Islam, Barat dan Timur, koleksi perpustakaan  ISTAC boleh dikata adalah yang paling lengkap di Asia Tenggara. Adapun  perbedaannya terletak pada misi dan kurrikulumnya. Kalau studi Islam di  Barat misinya sudah jelas, untuk mempertahankan hegemoni intelektual  mereka. Sementara misi ISTAC adalah untuk membangun kembali peradaban  Islam dan jatidiri Umat Islam yang porak-poranda akibat hegemoni Barat.  Dan ini tercermin dalam kurikulumnya yang unik, dimana mata-kuliah yang  ditawarkan dikelompokkan dalam tiga bagian: Islamic Thought, Islamic  Science dan Islamic Civilization. Dengan begitu mahasiswa ISTAC  diarahkan dan dibentuk untuk menjadi ilmuwan yang mampu melihat dan  memahami persoalan dari berbagai sudut pandang.   
 
  
Apa yang Anda dapat belajar dengan al-Attas di ISTAC dan belajar dengan Daiber di Jerman?
Saya  belajar banyak dari Profesor al-Attas. Beliau termasuk intelektual  Muslim kelas dunia yang sangat prihatin terhadap kondisi Umat Islam saat  ini. Berbeda dengan kebanyakan cendekiawan lainnya, al-Attas dikenal  sangat berani dan konsisten. Pemikirannya jelas dan sistematis. Beliau  tidak pernah tunduk pada orientalis, Yahudi maupun Kristen. Tidak mau  kompromi dalam masalah-masalah usuluddin. Sangat kritis terhadap  pandangan-pandangan sekuler dan liberal. Tetapi secara personal sikapnya  terbuka dan toleran. Kalau dari Daiber yang patut diteladani adalah  keseriusan dan ketelitiannya. Saya juga terkesan dengan sikapnya yang  ramah dan murah-hati. Tetapi dalam soal pemikiran, Daiber tidak bisa  diikuti. Sikap intelektualnya cenderung skeptis. Jadi, kalau didesak  bagaimana pendapatnya tentang suatu masalah, dia tidak mau mengambil  posisi, giving no commitment. Sikap semacam inilah yang dikecam  al-Attas. Menurut beliau, seorang intelektual harus punya pendirian,  tidak boleh skeptis, harus jelas sikapnya, tidak boleh mengambang, dan  harus konsisten, tidak boleh plintat-plintut.
Bagaimana sikap orang Barat dan Jerman khususnya terhadap agama mereka?
Secara  umum sikap masyarakat Barat modern terhadap agama cenderung apatis,  masa bodoh dan tidak peduli. Semakin banyak yang bersikap skeptis dan  agnostis terhadap doktrin-doktrin agama. Efeknya makin sedikit yang  betul-betul mengamalkan ajaran agamanya. Sebaliknya, makin banyak yang  memilih keluar atau bahkan menjadi atheis. Namun kemudian mereka  merasakan ada sesuatu yang hilang. Mereka yang putus asa, merasa life is  meaningless, memilih jalan pintas bunuh diri. Mereka yang bertahan,  berusaha mengisi kekosongan jiwanya dengan cara masuk agama lain seperti  Islam, ikut pseudo-agama dan aliran-aliran sempalan seperti Theosophy,  Anthroposophy, Baha’i, atau pun praktek-praktek meditasi spiritual  seperti Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaya Yoga dan lain sebagainya.  Sebagaimana kata ahli sosiologi agama Peter L. Berger, trendnya sekarang  ini adalah setiap orang akan memilih sendiri apa yang ia inginkan,  sesuai dengan kebutuhan dan kesukaannya. Istilah sosiologinya: patchwork  religion, agama bikinan sendiri, hasil ‘comot’ sana-sini.
 
  
Fenomena  semacam itu juga terjadi di Jerman. Menurut data REMID  (Religionswissenschaftlicher Medien- und Informationsdienst e.V), dua  per tiga penduduk Jerman adalah penganut Kristen, dengan komposisi  Katolik kurang lebih 26,6 juta dan Protestan 26,3 juta orang. Tetapi  dari jumlah ini, hanya 12% yang mempercayai doktrin trinitas, dan cuma  sekitar 10% yang aktif dan rutin ke gereja. Pada tahun 1988, hampir  separuh pejabat pemerintah Jerman menolak bersumpah dengan nama Tuhan.  Mereka enggan mengucapkan “so wahr mir Gott helfe”. Menurut jajak  pendapat yang dilakukan McKinsey baru-baru ini, kredibilitas gereja di  Jerman merosot drastis. Setiap tahun, gereja kehilangan rata-rata  300.000 anggotanya. Juga semakin banyak yang menolak bayar sumbangan  wajib untuk gereja melalui potongan gaji per bulan 8% hingga 10%.  Seorang karyawan yang tidak ingin disebut namanya, misalnya bilang, dia  bayar ke gereja setiap bulan tidak kurang dari 100 Euro. Kalau dikalikan  dengan 53 juta orang, berati dana yang masuk ke gereja bisa mencapai  5,3 Milyar Euro (sama dengan 53 Trilyun Rupiah!). Mengapa meninggalkan  gereja? Jawaban yang dilontarkan orang Jerman adalah: “Viele sind vom  Christentum enttaeuscht” (Banyak yang kecewa dengan Kristen), “Religion  und Kirche sind zwei verschiedene Dinge” (Agama dan gereja adalah dua  hal yang berlainan, maksudnya harus dipisahkan), “Das Problem der  Kirchen ist, dass sie schon lange keines mehr sind” (Masalahnya adalah  gereja sudah lama tidak punya arti apa-apa lagi). Situasi konkritnya  digambarkan oleh Heiner Koch, salah seorang pengurus gereja di Koln:  “Banyak orang di Jerman sekarang ini menyamakan gereja dengan toko atau  supermarket. Mereka beli produk-produknya, semisal TK, SD dan  upacara-upacara tertentu. Sementara pendeta dan aturan hukumnya  diabaikan saja. Mereka bayar iuran gereja di kasir, lalu menunggu jasa  pelayanan segera. Besoknya, pergi ke toko sebelah, lihat produk apa yang  dijual oleh astrologi, psikoterapi atau buddhisme. Lalu minggu depan,  belanja lain di toko lain”. 
 
  
Sikap mereka terhadap Islam dan orang Islam?
Sikap  orang Jerman terhadap Islam agak sulit digeneralisir. Pada dasarnya  mereka cukup toleran dan liberal, tidak oppressif dan tidak memusuhi.  Sikap semacam ini merupakan buah dari gerakan reformasi, pencerahan  (Aufklarung), dan sekularisasi yang dimulai sejak beberapa ratus tahun  yang lalu. Orang Jerman menghargai kebebasan beragama  (Glaubensfreiheit). Ini memberikan ruang kepada agama-agama non-Kristen  termasuk Islam sehingga bisa berkembang. Sekarang ini jumlah Muslim di  Jerman diperkirakan mencapai 4 juta orang, kurang lebih seperempat dari  total jumlah Muslim se-Eropa, yaitu sekitar 16 juta orang. Ini angka  yang cukup signifikan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Wajar  kalau kemudian kalangan gereja, pemerintah, maupun intelektual mulai  bimbang dan bersikap ambivalent. Di satu sisi mereka berusaha toleran,  liberal dan sekuler. Di sisi lain mereka tidak mau Eropa di-islamkan.  Ada kekhawatiran apa yang terjadi pada Kristen di Anatolia dan Afrika  Utara pada abad ke-7 dan 8 Masehi akan terulang di Eropa, ungkap Klaus  Berger, staf pengajar Teologi Perjanjian Baru di Universitas Heidelberg  (“Unsere Situation erinnert an die der christlichen Laender Anatolien  und Nordafrika im 7. und 8. Jahrhundert, als ein morsches Christentum  einfach ueberrannt wurde”). Muncullah gagasan “EuroIslam” atau Islam  versi Eropa, yang tidak fundamentalis dan tidak fanatik, tetapi liberal  dan sekuler. Jangan Eropa yang di-islamkan, tapi Islamlah yang harus  di-eropakan. Begitu kira-kira mau mereka. Gagasan ini kelihatannya  ditanggapi serius oleh pemerintah Jerman. Maka pada 22 Agustus 2004  kemarin, sebuah pusat pendidikan guru agama Islam diresmikan di  Universitas Muenster. Tujuannya, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri  Dikdasmen, Ute Schaefer, untuk mengontrol pengajaran agama Islam di  sekolah-sekolah, agar siswa-siswa tidak diajarkan ‘macam-macam’  (“Islamunterricht unter staatlicher Aufsicht bietet ausserdem die  Gewaehr dafuer, dass jungen Menschen keine Inhalte vermittelt werden,  die nicht mit der Weltordnung des Grundgesetzes vereinbar sind”). Adapun  sikap ambivalent agamawan tercermin, misalnya, dalam oposisi mereka  terhadap rencana pembangunan masjid Turki di Kassel. Partai Kristen  Demokrat (CDU) setempat beralasan, masjid itu bisa jadi sarang kaum  fundamentalis, juga bisa menggoyahkan kultur Kristen-Barat yang ada  (“dies koennte die christlich-abendlaendische Leitkultur ins Wanke  bringen”). CDU pula yang mengusulkan agar kamera pemantau dipasang di  setiap masjid di seluruh Jerman.              
 
  
Anda mengikuti perkembangan kasus Luxenberg?
Ya.  Saya yakin Luxenberg itu tidak sendirian. Indikatornya cukup banyak.  Media Barat mengeksposnya besar-besaran, dari Frankfurter Allgemeine  (koran terkemuka Jerman), Le Monde (Paris), the Guardian (London), New  York Times, hingga Gatra di Indonesia, membuat laporan tentang bukunya,  die Syro-aramaeische Lesart des Koran. Kalangan akademis meresponnya  dengan sikap hypokrit dan ‘malu-malu kucing’; kritis tapi juga  mendukung. Maka Institute for Advance Study, Berlin, bekerja sama dengan  Seminar fuer Semitistik und Arabistik, Freie Universitaet Berlin, belum  lama ini menggelar symposium tentang buku Luxenberg itu. Kemudian Radio  Jerman (DeutschlandFunk) menyiarkan dialog interaktiv dengan nara  sumber Professor Manfred Kropp, direktur Deutsches Orient Institut  Beirut, dan Professor Claude Gilliot, pakar studi al-Qur’an dari  Universitas Aix-en-Provence, Perancis. Dan, tentu saja, lembaga-lembaga  Kristen menyambutnya dengan sangat antusias, apalagi lembaga semacam Mar  Gabriel-Verein zur Unterstuetzung der syrischen Christen e.V.,  University of St. Thomas, dan lain-lain. Jadi, apa yang dia lakukan  sebenarnya sudah menyerupai movement, gerakan menghabisi al-Qur’an  secara programatis. Christoph Luxenberg itu nama samaran. Nama  sebenarnya Ephraim Malki. Dia ini dosen di Universitas Saarbruecken.  Asalnya dari Libanon, tapi sudah warganegara Jerman. Dalam wawancaranya  baru-baru ini dengan koran Jerman Tageszeitung, dia mengatakan bahwa  terjemahan Inggrisnya segera terbit dan edisi keduanya sedang digarap  dan diperkirakan siap terbit akhir tahun ini. Ketika heboh soal  pelarangan jilbab di Perancis dan Jerman kemarin, dia menulis di koran,  bahwa ayat 31 surah an-Nur itu telah dibaca keliru dan disalah-artikan.  Menurut dia, kalimat “wal yadhribna bi-khumurihinna” mestinya diartikan  “hendaklah mereka mengikat sabuk mereka dipinggang”, bukan “menutup kain  kudung ke dada mereka”. Alasannya, dari bahasa Syro-aramaic “qmara”  yang artinya ikat pinggang. Lalu kata-kata “juyuub” dalam ayat itu  dirubah bacaannya menjadi “junuub”. Itu hasil utak-atiknya. Jadi dia  masih aktif sekali. Kasus Luxenberg ini juga membuktikan bahwa  orientalis yang anti-Islam masih banyak berkeliaran. Benarlah firman  Allah swt: “wa-lan tardhaa ‘anka ’l-yahuudu wa-la an-nashaaraa hattaa  tattabi‘a millatahum!”        
 
  
Apakah akan ada gemanya di Indonesia?
Tentu  ada. Kan baru-baru ini heboh soal buku “Jihad Kristen” karangan pendeta  Josias Lengkong. Argumennya mirip argumen Luxenberg. Dia bilang istilah  jihad sudah dikenal oleh kaum Nasrani sebelum Islam karena ada dalam  Bibel bahasa Arab. Saya melihatnya sebagai reworking dari tesisnya  Luxenberg. Orang kita kan memang suka barang impor, suka latah dan  ikut-ikutan. Seringkali tanpa mengerti maksud dan latarbelakangnya.  Orang Barat sekuler, ikut sekuler. Mereka liberal, ikut liberal. Mereka  kritik Bibel, kita kritik Qur’an. Nanti, mereka hancur, kita pun ikut  hancur.  
Bagaimana mengantisipasinya?
Kita harus  mengenal diri kita, mengenal agama kita, tradisi intelektual kita,  secara mendalam dan menyeluruh, kalau bisa. Kita harus punya  self-confidence, atau “pede” kata anak sekarang. Tidak minder dan silau  melihat pencapaian orang Barat. Kita juga harus melawan mereka dengan  cara-cara yang rasional dan ilmiah. Sekarang ini hegemoni politik,  ekonomi dan budaya sudah ditangan mereka. Dalam bidang keilmuan dan  intelektual, mereka juga berhasil menciptakan imej bahwa otoritas ada  pada mereka. Bahwa mereka lebih pakar dan lebih tahu tentang Islam  daripada orang Islam sendiri. Menurut saya, salah satu langkah konkrit  untuk mengkounter upaya-upaya seperti yang dilakukan oleh Luxenberg  adalah dengan memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah Islam,  sejarah al-Qur’an, sejarah Hadis dan Hukum Islam, serta mempelajari  sejarah Kristen dan Yahudi, plus menguasai bahasa-bahasa semitik selain  Arab, seperti Hebrew, Aramaic dan Syriac.   
Anda melihat perlunya cendekiawan Muslim belajar bahasa-bahasa Semitik selain Arab. Untuk apa?
Sebab  kelemahan kita memang di situ. Mereka tahu sejarah kita, sementara kita  buta sejarah mereka. Mereka menguasai segudang bahasa, semitik maupun  non-semitik, sementara kita tidak. Sehingga mereka bisa mengatakan:  “What you know, we know. What we know, you don’t know!” (Yang elu tau,  gue tau. Tapi yang yang gue tau, elu nggak tau!).
 
  
Keterangan Foto:
   1. Perpustakaan McGill Institute of Islamic Studies
   2. Situs Orientalisches Seminar Tübingen
   3. Kampus ISTAC Kuala Lumpur
Sumber: Google
Retrieved from: http://inci73.multiply.com/reviews/item/20 (August 9, 2010