Monday, April 13, 2015

JELANG MUKTAMAR KE-33: NU Teks dan Karakter Islam Nusantara

NU.or.id, Senin, 13/04/2015 20:17

Oleh Mahrus eL-Mawa*

Fenomena kekerasan atas nama agama, baik secara personal maupun institusional, hingga saat ini tidak dapat diterima umat manusia, terutama umat yang beragama dengan cinta, damai, dan kearifan (love, peace and wisdom). Islam sebagai agama yang mengedepankan rahmatan lil alamin dimanapun, sudah pasti menolak kekerasan tersebut.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang dilahirkan sejak 1926 untuk memberikan kedamaian umat Islam Indonesia, terutama dalam menjalankan tradisi dan ritual keagamaan, hingga saat ini. NU telah merumuskan beberapa prinsip dalam hal mengantisipasi persoalan sosial keagamaan, yaitu tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), tawasut (moderat), ta’adul (keadilan), dan amar ma’ruf nahi munkar.

Seiring dengan fenomena kekerasan atas nama agama oleh kelompok Islam tertentu tersebut, dan merasa dirinya yang paling benar pemahaman keislamannya, dimanapun, menjadikan NU yang akan melaksanakan Muktamarnya ke-33 perlu menegaskan kembali jati diri Islam Nusantara.

Gagasan Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan data-data filologis (naskah catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat.


Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan tradisi masyarakat, makanya
terdapat ungkapan di Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton terdapat ajaran martabat tujuh dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.

Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan kedamaian umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya juga mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut tertulis dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak, dst.

Jelas sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal adaptasi dan akulturasi aksara/bahasa. Hal serupa juga dalam hal sosialisasi ajaran Islam yang disampaikan secara praktis di masyarakat, terdapat adaptasi seni dan budaya lokal.

Wacana Islam Nusantara untuk saat ini acapkali diadaptasikan sebagai Islam Asia Tenggara (rumpun Melayu), dan belakangan menjadi Islam Indonesia. Beberapa buku menunjukkan hal itu, Azyumardi Azra (Edisi Revisi, 2004), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII [The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama in the Seventeeth and Eighteenth Centuries (KITLV, 2004)],  L.W.C. van den Berg (1989), Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara [terjemahan dari Le Hadhramaut Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien], Ahmad Ibrahim, dkk. (1989), Islam di Asia Tenggara [Readings on Islam in Southeast Asia], Slamet Muljana (2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara; Kedua buku terakhir tersebut merupakan beberapa bukti bahwa Islam Asia Tenggara itu Islam Nusantara dengan rumpun Melayu, dan Islam Nusantara itu Islam Indonesia. Baru belakangan muncul beberapa karya dengan Islam Indonesia, seperti Michael Laffan (2011), The Makings of Indonesian Islam (Orientalism and the Narraration of a Sufi Past). 

Membicarakan Islam Nusantara bukan sekadar mengungkap kesejarahan Islam sebelum kaum asing menjajah (mempengaruhi) sejumlah wilayah di Nusantara, tetapi juga mengungkap kaitan ajaran Islam dengan tradisi lokal yang berbeda dengan tradisi Islam mainstream dari asalnya, Arab, terutama di Indonesia. Berkaitan dengan itu, jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 26 Tahun 2008 tentang Islam Nusantara barangkali dapat menjadi bacaan awalnya.

Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam Sufistiknya, hal itu bisa dilihat dalam karya Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (2009) dan buku Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran Tasawuf (2013). Tentu saja, Islam Nusantara bukan hanya tasawuf, tetapi semua aspek ajaran Islam, seperti fiqh, tauhid, al-Qur’an, al-Hadis, dst.

Para ulama Nusantara dan karya-karyanya juga sudah dibuat daftarnya secara ringkas oleh Nicholas Heer (2008) dengan judul A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works. Diantara ulama Nusantara yang dikenal dengan Ahlussunah wal jamaah itu Syekh Ihsan ibn Muhammad Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri dengan judul kitab Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Ahkam Syurb al-Qahwah wa al-Dukhan, dan Siraj al-Talibin fi Syarh Minhaj al-Abidin; Muhammad As’ad ibn Hafid al-Jawi, an-Nubzah al-Saniyah fi al-Qawaid al-Nahwiyah (1304/1886); Muhammad Sa’id ibn Muhammad Tahir Riau, Kitab ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlid al-Nabi al-Azhar (1327/1909); Muhammad ibn (?) Salih ibn ‘Umar al-Samarani, Hadis al-Mi’raj, dst.

Adapun ulama-ulama yang sudah masyhur lainnya juga tercatat dengan baik, seperti Hamzah al-Fansuri al-Jawi, Syekh an-Nawawi al-Bantani al-Jawi, Syekh Abd ar-Rauf al-Singkili al-Jawi, Abd al-Samad al-Falimbani al-Jawi, Kiai Bisri Mustofa dengan Tafsir Pegon, al-Ibriz, dst.

Islam Nusantara, diakui atau tidak, masih dianggap sebagai Islam pinggiran (periferal) oleh para orientalis. Sekalipun bantahan terhadap anggapan seperti itu sudah dilakukan juga oleh islamolog, seperti A.H. Johns. Bahkan Johns (1965) pernah meneliti karya ulama tasawuf Nusantara Tuhfatul Mursalah ila ruh al-nabi dalam salinan bahasa dan aksara Jawa, dengan judul The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet.

Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa lokal tersebut untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan kekhasan Islam Nusantara, selain dari pemahaman moderatnya. Moderasi itu dengan cara akomodasi tradisi lokal dalam pemahaman keislamannya, seperti tahlilan, muludan, sedekah laut, mitoni, dst. yang selama ini hanya milik Islam tradisional Indonesia. Tradisi Islam Nusantara yang sudah berkembang tersebut ternyata juga berkembang di negara Timur Tengah, seperti Maroko, Yaman dan sekitarnya.

Moderasi Islam Nusantara ternyata dapat dilihat bukan hanya pada pengembangannya melalui akulturasi budaya semata, tetapi juga ketika Islam awal masuk ke Nusantara melalui suatu proses kooptasi damai yang berlangsung selama berabad-abad. Tidak banyak terjadi penaklukan secara militer, pergolakan politik, atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar negeri (Ahmad Ibrahim, dkk: 2).

Dengan demikian, melalui Islam Nusantara tidak perlu dengan gerakan paramiliter, kekerasan, penindasan, atau bentuk radikalisme lainnya, seperti yang dikembangkan organisasi Islam tertentu yang sedang marak belakangan ini.

Dengan demikian pribumisasi Islam Gus Dur sungguh sangat tepat untuk Islam Nusantara. Salah satu warisan Islam Nusantara, selain pesantren adalah naskah kuno (manuskrip). Naskah kuno ini dapat menjadi ciri khas lain dari Islam Nusantara, terutam pada aspek bahasa dan aksaranya. Pegon dan Jawi tidak pernah digunakan oleh orang Islam dimanapun, kecuali bangsa kepulauan Nusantara.

Karena itu, apabila terdapat naskah kuno berbahasa Jawa dengan aksara Arab di perpustakaan Jerman, Belanda, Perancis, Italia, dst, dapat dipastikan naskah itu berasal dari Nusantara (lihat, Henri Chamberl-Loir dan Oman Fathurrahman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Adapun di dalam negeri, berbagai katalog naskah dari daerah-daerah seperti Buton, Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, dst. Secara khusus, terdapat sebuah buku tentang Direktori Edisi Naskah Nusantara (1999).

Kajian terhadap naskah kuno tersebut saat ini sedang berkembang pesat, tidak hanya di perguruan tinggi umum (UI, UGM, UNPAD, dst) tetapi juga lembaga kementerian agama RI (Litbang, UIN, IAIN, dst.). Bahkan, beberapa pesantren dan keluarga keraton sebagai pemilik naskah kuno tersebut sudah dilibatkan menjadi peneliti, pengkaji, dan pemelihara naskah secara professional. Pengkaji naskah Nusantara ini bahkan menyebut studinya dengan nama filologi Nusantara.

Studi naskah di Nusantara memang tidak dapat disamakan dengan filologi di Eropa, Barat, atau latin dimana asal usul filologi berkembang. Begitupun kajian naskah Nusantara tidak dapat disamakan dengan studi filologi di Arab (ilmu tahqiq). Karena itu, Nusantara mempunyai kekhasannya sendiri, termasuk naskah-naskah di daerah. Kajian naskah di wilayah yang besar cakupannya, seperti Jawa, Melayu atau Batak, ternyata juga memunculkan filologi tersendiri, maka lahirlah filologi Jawa, filologi Melayu, dan filologi Batak.

Kajian naskah semacam itu, terutama naskah keagamaan Islam, mengingatkan penulis pada gagasan Gus Dur tentang pesantren sebagai sub-kultur dan pribumisasi Islam. Pesantren sebagai warisan Islam Nusantara hari ini juga mempunyai kontribusi besar terhadap dinamika filologi Nusantara, karena di pesantren juga mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dengan filologi Jawa dst. Karena itu, penulis juga pernah mengusulkan perlunya kajian filologi pesantren. Terlebih lagi, apabila dikaitkan dengan pribumisasi Islam dari Gus Dur, maka semakin lengkaplah kajian Islam Nusantara itu.

Berangkat dari catatan-catatan tersebut, kiranya, “Mengapa Islam Nusantara”, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini, dapat disingkat sebagai berikut:

1. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk beberapa kitab tertentu tetap menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis lokalitas, seperti karya Kyai Jampers Kediri.
2. Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu karakter Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan.  Tradisi yang baik tersebut perlu dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu lebih baik dari tradisi sebelumnya.
4. Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang keagamaan Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan ajaran fikih, dst. sejak abad ke-18/20 merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah berkembang dan dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat, terutama di komunitas pesantren.
5. Tradisi Islam Nusantara, ternyata juga trdapat keserupaan dengan praktik tradisi Islam di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko dan Yaman, sehingga Islam Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau umat Islam Indonesia semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari terorisme global.
6. Karakter Islam Nusantara, seperti disebut sebelum ini, tidaklah berlebihan jika dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.
7. NU sebagai organisasi yang dilahirkan untuk mengawal tradisi para ulama Nusantara, terutama saat keemasannya, Walisongo, penting kiranya untuk tetap mengawal dan menegaskan kembali tentang Islam Nusantara, yang senantiasa mengedapkan toleran, moderat, kedamaian dan memanusiakan manusia.

Selamat dan Sukses Muktamar NU ke-33, semoga benar-benar dapat merumuskan secara teoritis dan praktis tentang Islam Nusantara, sehingga dapat diaktualisasikan secara nyata di tengah masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagi umat Islam Indonesia.

Catatan pendek ini sebagai pengantar diskusi Halaqah pra-Muktamar NU ke-33 di PBNU, “Mengapa Islam Nusantara?”, diselenggarakan kerja sama Gus Durian, Panitia Muktamar dan Pasca Sarjana STAINU Jakarta, 10 April 2015. Draft only.

*Mahrus eL-Mawa, teman Belajar Mahasiswa Pasca Sarjana STAINU Jakarta dan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Saat ini, sedang menulis disertasi tentang filologi naskah Cirebon di FIB UI.

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,58821-lang,id-c,kolom-t,Teks+dan+Karakter+Islam+Nusantara-.phpx

No comments:

Post a Comment