Studia Islamika, Volume 2, Number 2, 1995: 147-163
Oleh. Muhammad Ghufron Zainul Alim 
Abstraks. Tidak dapat 
dihindari bahwa kehadiran Islam di kepulauan Nusantara sedikit banyak 
memicu konflik keagamaan di wilayah ini. Masyarakat setempat telah 
terbiasa hidup dalam sistem ajaran Hindu-Buddha selama berabad-abad. 
Pengaruh kedua agama ini tidak hanya berkisar pada urusan ritual, 
melainkan telah berakar dalam pelbagai aspek kehidupan. Kemapanan ini 
kemudian goyah ketika Islam hadir dengan menawarkan suatu konsep 
kehidupan yang berbeda. Melalui data sejarah dapat dilihat bagaimana 
kerajaan Majapahit harus tunduk di bawah kerajaan Demak yang dipegang 
oleh kaum Muslim. Tentu saja tidak semua konflik muncul dalam bentuk 
pertikaian politik. Konflik antara Hindu-Buddha dan Islam dapat pula 
muncul dalam ekspresi sastra. Pada masa-masa itu, misalnya muncul 
tulisan-tulisan seperti Serat Gatoloco atau Serat Darmogandul, yang jelas menunjukkan adanya ketegangan atau konflik keagamaan. Kata "Allah" misalnya, diplesetkan ke dalam bahasa Jawa "olo" yang berarti jelek. "Rasulullah" (utusan Allah) diubah menjadi "rasa salah"; dan Muhammad disamakan artinya dengan istilah Jawa "makam" yang berarti kuburan.
Konsekuensi lain dari kehadiran Islam 
adalah lahirnya ajaran sinkretik. Ia muncul sebagai bagian dari sikap 
akomodatif sebagian masyarakat Nusantara terhadap pola-pola budaya besar
 yang masuk ke dalam wilayah ini. Model ajaran tersebut pada mulanya 
tersebar di pelbagai wilayah Nusantara dan merupakan gerakan-gerakan 
yang tidak terlembagakan. Namun demikian, pada masa kemerdekaan 
Indonesia, kelompok ini mengalami masa kebangkitan dalam gerakan 
keagamaan yang lazim disebut Aliran Kebatinan atau Aliran Kepercayaan 
dan mulai dilembagakan pada 1954. Kelompok ini berusaha memisahkan diri 
dari agama yang ada, khususnya Islam, dan menuntut untuk diakui sebagai 
agama tersendiri. Usaha ini tampak, misalnya, dari kongres mereka di 
Yogyakarta pada September 1970, di mana mereka meminta pemerintah 
mengakui Aliran Kebatinan sebagai agama. Kelompok ini berkeyakinan bahwa
 tuntutan mereka sesuai UUD 1945, khususnya pasa 29, yang memuat: (a) 
negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa; dan (b) negara menjamin
 kebebasan beragama.
Tuntutan kelompok Aliran Kebatinan ini 
memicu polemik yang berkepanjangan. Para tokoh agama di Indonesia, 
khususnya Islam, memberi perhatian yang besar dalam menanggapi tuntutan 
kelompok ini. Hampir semua tokoh agama menentang keras tuntutan 
diakuinya Aliran Kebatinan sebagai agama. Prof. Muhammad Rasjidi menulis
 buku Islam dan Kebatinan untuk membongkar warisan kebudayaan Jawa yang banyak bertentangan dengan Islam, seperti dicontohkan dalam kasus Serat Gatoloco di atas. Selain buku ini Kitab Sasangka Jati,
 rujukan Aliran Pangestu, salah satu anggota Aliran Kebatinan, juga 
dipandang mengandung ajaran yang menyimpang. Kitab ini memuat 
ajaran-ajaran yang mencampuradukkan sistem ajaran Islam dan Kristen. 
Misalnya, kitab ini memandang kedudukan Allah, Rasul, dan Muhammad 
sebagai satu kesatuan sebagaimana halnya dengan Tuhan, Jesus dan Roh 
Kudus dalam Kristen.
Download
