Majalah Historia, Kamis, 12 Agustus 2010 - 13:00:46 WIB
Teori  klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke  Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan  Islam.
BEBERAPA  teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para  pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam  di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang  menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah  teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti  lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.
Agaknya teori-teori klasik itu  menyandarkan validitasnya pada lapoan perjalanan yang ditulis Marcopolo  yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M,  telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari  Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di  Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab  Syafi'i. Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di  Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam,  yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun.  Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari.  Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para  pedagang Arab.
M.C. Ricklefs memiliki serangkaian  intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam  kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan  itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan  setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan  apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk  Indonesia.
Sampai dengan awal abad ke-14 M,  Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada  pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal.  Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara  secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum  Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.
Kekuatan politik itu ditandai dengan  berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh  Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi  pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan  dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti  Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.
Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai  menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu  nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M. Dalam hikayat ini diceritakan  tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan  mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa  suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra,  yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita  tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau  Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong  meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta  sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.
Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu.  Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka.  Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian  pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya  cara mengucapkan dua kalimat syahadat.
Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi.  Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan  adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua  kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa  yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.
Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga).  Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis  yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama  kisah di dalamnya.
Dari keseluruhan historiografi  tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal  penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar  kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi  agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga  menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa  dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.
Kembali kepada persoalan diskursus teori  klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam  juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu  sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke  Nusantara.
Juga perlu dicatat kiranya tentang dua  dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di  Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang  ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah  satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap  hal-hal yang diperdebatkan,  kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J.  Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.
Naskah kedua berisi tentang primbon yang  berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid  ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus  mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan  kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa  selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX  dan XX.
Dalam historiografi Indonesia, teori  klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal  itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang  mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet  Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar  Islam. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah  Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak  varian. Dalam bukunya, 
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden  Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau  Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung  Ka Lo, alias Sultan Trenggana.
Pelarangan  versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina  dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang  saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah  Islam Nusantara.
 Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya 
Arus Cina Islam Jawa  juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta  bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi  dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang  misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya  julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden  Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan  it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa  ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak  dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh  mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas. [
BONNIE TRIYANA]Retrieved from: http://www.majalah-historia.com/berita-289-islam-arab-atau-islam-cina.html