NU.or.id, Rabu, 17/06/2015 19:02
Oleh KH Afifuddin Muhajir
Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar. Sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Al-Quran dan Sunah. Memang betul Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu. Akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Quran dan Sunah).
Islam juga memiliki acuan maqasidus syariah (tujuan syariat). Maqasidus syariah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqro (penelitian).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang dilakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali daripadanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh simpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyatul khams), yaitu hifzhud din, hifẓhul ʻaql, hifẓhun nafs, hifzhul mal, dan hifzh al-ʻirḍ.
Ulama Ushul Fiqih membagi maslahat pada tiga bagian. Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiyah. Kedua, maslahat mulgoh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga, maslahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrowi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negara khilafah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurutnya, “الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا”, kepemimpinan negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.
Maqasidus syariʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
1. Dalam memahami nususus syariah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan maqasidus syariʻah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual.
2. Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Al-Quran dan Sunah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyas, Istiḥsan, Saddudz dzariʻah, ʻUrf, dan maslaḥah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyas ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.
Istiḥsan ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Saddudz dzariʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan pada mafsadat.
ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqasidus) syariʻah.
Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai hujjah syarʻiyyah pada firman Allah,
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻraf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻud,
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.”
As-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsuṭ,
الثابت بالعرف كاالثابت بالنص
“Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.”
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat ilahiyah sementara yang kedua adalah insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipraktikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniyah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain nususus syariʻah dan maqasidus syariʻah, Islam juga memiliki mabadiꞌus syariʻah (prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasaṭhiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (al-Baqarah: 143)
Wasaṭhiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-waqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti taslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realitas yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Banyak kaidah fiqih yang mengacu pada prinsip waqiʻiyyah, di antaranya:
الضرر يزال
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى
دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم
Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran-aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhuluna fi dinillahi afwaja). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya mencopy-paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara fiqih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah fiqih ibadat mengatakan “الله لا يعبد الا بما شرع”, Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah fiqih muamalat mengatakan, “المعاملات طلق حتى يعلم المنع”, muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahlis Sunah di negara ini dalam periode berikutnya.
Islam Nusantara ialah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu. Pasalnya yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial Pancasila adalah sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi syariat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada kaidah “درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”, menolak mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.
Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah semringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.
Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi perusakan-perusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.
Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasad) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (sholah). Tugas kita adalah mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3-4). Wallahu A’lam.
*) KH Afifuddin Muhajir, Katib Syuriyah PBNU. Ia merupakan guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo. Tulisan ini dikutip dari situs jejaring Ma’had Aly setempat. Ia baru saja meluncurkan karya Fathul Mujib sebagai syarah kitab Taqrib.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60241-lang,id-c,kolom-t,Meneguhkan+Islam+Nusantara+Untuk+Peradaban+Indonesia+dan+Dunia-.phpx
Oleh KH Afifuddin Muhajir
Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar. Sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Al-Quran dan Sunah. Memang betul Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu. Akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Quran dan Sunah).
Islam juga memiliki acuan maqasidus syariah (tujuan syariat). Maqasidus syariah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqro (penelitian).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang dilakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali daripadanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh simpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyatul khams), yaitu hifzhud din, hifẓhul ʻaql, hifẓhun nafs, hifzhul mal, dan hifzh al-ʻirḍ.
Ulama Ushul Fiqih membagi maslahat pada tiga bagian. Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiyah. Kedua, maslahat mulgoh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga, maslahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrowi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negara khilafah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurutnya, “الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا”, kepemimpinan negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.
Maqasidus syariʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
1. Dalam memahami nususus syariah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan maqasidus syariʻah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual.
2. Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Al-Quran dan Sunah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyas, Istiḥsan, Saddudz dzariʻah, ʻUrf, dan maslaḥah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyas ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.
Istiḥsan ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Saddudz dzariʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan pada mafsadat.
ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqasidus) syariʻah.
Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai hujjah syarʻiyyah pada firman Allah,
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻraf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻud,
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.”
As-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsuṭ,
الثابت بالعرف كاالثابت بالنص
“Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.”
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat ilahiyah sementara yang kedua adalah insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipraktikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniyah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain nususus syariʻah dan maqasidus syariʻah, Islam juga memiliki mabadiꞌus syariʻah (prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasaṭhiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (al-Baqarah: 143)
Wasaṭhiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-waqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti taslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realitas yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Banyak kaidah fiqih yang mengacu pada prinsip waqiʻiyyah, di antaranya:
الضرر يزال
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى
دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم
Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran-aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhuluna fi dinillahi afwaja). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya mencopy-paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara fiqih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah fiqih ibadat mengatakan “الله لا يعبد الا بما شرع”, Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah fiqih muamalat mengatakan, “المعاملات طلق حتى يعلم المنع”, muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahlis Sunah di negara ini dalam periode berikutnya.
Islam Nusantara ialah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu. Pasalnya yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial Pancasila adalah sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi syariat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada kaidah “درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”, menolak mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.
Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah semringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.
Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi perusakan-perusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.
Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasad) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (sholah). Tugas kita adalah mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3-4). Wallahu A’lam.
*) KH Afifuddin Muhajir, Katib Syuriyah PBNU. Ia merupakan guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo. Tulisan ini dikutip dari situs jejaring Ma’had Aly setempat. Ia baru saja meluncurkan karya Fathul Mujib sebagai syarah kitab Taqrib.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60241-lang,id-c,kolom-t,Meneguhkan+Islam+Nusantara+Untuk+Peradaban+Indonesia+dan+Dunia-.phpx
No comments:
Post a Comment