Oleh Yolla Miranda
Kuningan yang berbatasan dengan Kabupaten Cirebon di sebelah utara,
Kabupaten Majalengka di sebelah barat, Kabupaten Ciamis dan Cilacap di
sebelah selatan, dan Kabupaten Brebes di sebelah timur, serta berbatasan
alamnya berupa Gunung Ciremai di barat, Sungai Cijolang di selatan,
Situ Marahayu di timur, dan Sungai Cisanggarung, serta sebagian jalan
Caracas-Sindanglaut di utara ini memiliki satu-satunya cagar budaya yang
melindungi seluruh warisan daerah dan nasional, yaitu Gedung Paseban
Tri Panca Tunggal yang berada di wilayah Kecamatan Cigugur, Kuningan,
Jawa Barat.
Gedung Paseban Tri Panca Tunggal dahulu kala merupakan tempat tinggal
seorang pelopor perjuangan di daerah Kuningan. Tempat ini diresmikan
pemerintah pada 14 Desember 1976 dengan No. 3632/C.1/DSP/1976 sebagai
Cagar Budaya yang dilindungi. Ditetapkan sebagai tempat pewaris budaya
karena pada saat itu, tokoh perjuangan Kuningan meninggalkan banyak
budaya-budaya yang ia bawa dari pengaruh Belanda dan pemikirannya
sendiri, sehingga gedung ini pun bertujuan untuk melestarikan budaya
daerah Kuningan.
Sejak dahulu, masyarakat Kuningan sudah mendengar bahwa pendiri
Gedung Paseban Tri Panca Tunggal ini adalah Kiai Madrais yang juga
dikenal sebagai pemimpin suatu aliran keagamaan.
Gedung ini disebut pula sebagai pusat Agama Djawa Sunda. Beberapa
kelompok masyarakat menganggapnya sebagai keraton, karena Kiai Madrais
biasa dipanggil Pangeran Madrais. Adapun sebutan Pangeran tersebut
sangat identik dengan keraton.
Sekitar abad XVIII, saat penjajahan dan perbudakan merajalela di
Indonesia, di daerah Cirebon (sebelah utara Kuningan) pun tidak terlepas
dari segala akibat buruknya. Akibat berupa kerja paksa atas kekuasaan
VOC itu sampai menyebar ke wilayah Kuningan dan sekitarnya, Majalengka
dan Indramayu. Eksploitasi agraris yang terkenal pada waktu itu dalam
kerangka
Preanger Stelsel (
Volentjn Froncois Deskriijfing Van groot Java mayor Dodrecht Amsterdam, 1726).
Pada masa Cirebon menjadi pasal Mataram, terutama fasilitas Cirebon
pada Matam sangat nampak sewaktu Panembahan Girilaya, yang lebih banyak
tinggal di Mataram dan juga dari Cirebon diwajibkan menyerahkan upeti,
bulu bakti pada Mataram.
Kemudian, pemberontakan yang dipimpin oleh Tarunajaya yang
menghancurkan Karta sekitar tahun 1677 dengan bantuan Tarunajaya serta
kedua putra Panembahan Girilaya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya
kembali ke Cirebon. Sekembalinya mereka berdua, maka daerah Cirebon
dibagi menjadi dua, walaupun sebenarnya melanggar pesan leluhur yang
melarang untuk membagi dua kekuasaan. Tetapi justru pembagian ini
menimbulkan perpecahan di antara kedua putra Panembahan Girilaya
tersebut. Hal tersebut sangat menggembirakan pihak penjajah agar bisa
melumpuhkan bangsa ini.
Bersamaan dengan pecahnya perang Banten melawan VOC, dikirim pula
pasukan dari Batavia untuk menyerang Cirebon dan akhirnya pada tanggal
14 Januari 1681 Cirebon harus membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi
sekutu VOC dan protektorat. Padahal pada masa itu Mataram pun sebenarnya
masih menganggap sebagai pasalnya.
Dengan adanya perjanjian tersebut, pada tahun 1689 Pangeran Gebang
meminta VOC untuk memisahkan wilayah Gebang dari Cirebon. VOC
mengabulkan permintaan Pangeran Gebang, karena VOC sendiri memerlukan
sekutu yang dapat diandalkan di sebelah timur Cirebon.
Daerah yang membentang dari pantai Cirebon sebelah utara sampai
Cijulang di selatan ditetapkan sebagai wilayah kekuasaan Pangeran
Gebang. Dengan begitu jalan lintas utama dari kerajaan Mataram ke
Priangan melalui Subang (Kuningan Selatan) ada di bawah penguasaan VOC
karena daeraha Pangerang Gebang. Istana Gebang pada waktu itu ialah
Gebang Hilir, sekarang berada kurang lebih 9 kilometer dari kota Losari.
Dari hasil perjanjian dengan Mataram 1705 dibentuklah oleh VOC
keresidenan Cirebon yang wilayahnya meliputi: Indramayu, Parakamuncang,
Limbangan, Sukapura, dan Galuh, setelah itu pula membawahi Sultan
Cirebon dan Pangeran Gebang, sejak tahun 1706 diangkat seorang Sultan
Kasepuhan menjadi pengawas Bupati di Priangan yaitu Pangeran Aria yang
memangku jabatan sampai meninggal tahun 1723. Bentuk keresidenan Cirebon
ini berlangsung sampai tahun 1809 (Ensiklopedia van Ned. Indie
Eerstdeel tweededruk, 1957 K. 474).
Tahun 1708 dikeluarkan pula ketetapan oleh VOC bahwa daerah yang
diserahkan Mataram, kepala-kepalanya tetap berkuasa kepada penduduk di
daerah tersebut seperti Sumenep, Pamekasan, Semarang, Gebang, Cirebon,
Sumedang, Indramayu, Pamanukan, Ciasem, Tanjungpura dan Priangan (A van
der Chysned. Ind plakaat boek 1602-1811 plakaat 21-2-1708).
Sebetulnya, pengangkatan Pangeran Aria merupakan suatu siasat VOC
dengan mengharapkan pengaruhnya berdasarkan keturunan yang akan
berwibawa terhadap bupati-bupati, karena sejak tahun 1705 seluruh Jawa
Barat menjadi daerah rodi atau kerja paksa dan menyerahkan wajib hasil
bumi kepada VOC. Hal ini yang mengakibatkan penderitaan masyarakat
semakin parah, demikian pula yang terjadi di Cirebon.
Bahaya kelaparan dan berjangkitnya wabah penyakit di samping
penindasan yang terus menerus menimpa masyarakat mengakibatkan munculnya
berandalan-berandalan yang tersebar dimana-mana. Dalam perempatan abad
terakhir dari abad XVIII, akhirnya meletus pemberontakan rakyat di bawah
pimpinan Mirsa. Pemberontakan tersebut diarahkan kepada orang China
sebagai sasarannya setelah dilakukan pemberontakan pula pada VOC dan
pemerintahan yang buruk dari Raja Cirebon. Beberapa kali pemberontakan
itu ditindas, namun berkobar lagi yang akhirnya dalam tahun 1796 pecah
lagi pemberontakan rakyat, sampai tahun 1799 VOC dibubarkan dan daerah
kekuasaannya diserahkan kepada pemerintahan Belanda.
Pertentangan rakyat itu akhirnya meluap pada tahun 1802. Pemerintah
Belanda tidak mampu menindas pemberontakan dengan kekerasan tapi dapat
diakhiri terutama melalui persuasif sehingga para pemberontak
diantaranya Sidung Arisim dan Suwarsa menyerahkan diri pada Belanda
karena pemerintahannya menjanjikan akan meringankan beban rakyat.
Setelah itu pemerintah Belanda mencabut kedudukan Pangeran Gebang
dengan tuduhan pemerasan kepada rakyat. Dengan dikeluarkannya Reglemen
Van Het Beheer Van de Cheribonsche Landen pada 2 Februari 1809, maka
keresidenan Cirebon yang terbentuk tahun 1705 itu berakhir dan
selanjutnya akan dijadikan dua Prefektura, daerah Sultan Cirebon dan
Pangeran Gebang serta tanah Priangan Cirebon.
Ketika Sultan Cirebon diperlakukan sebagai pegawai Raja Belanda
Heerarchi kepangkatan berada langsung di bawah Prefektura yang harus
tunduk kepada pemerintahan Belanda. Kemudian para Sultan Cirebon pada
akhirnya akan dipertahankan untuk memberikan tanda-tanda atau
simbol-simbol penghormatan, serta kewibawaan untuk memelihara kemulyaan
sultan-sultan penduduk pribumi.
Para sultan diberi tanah dan cacahnya menurut ketetapan apa yang
disebut tanah sultan serta Pangeran Gebang akan dibagi diantara tiga
sultan, yaitu:
1) Kasepuhan : 1.239 jung sawah dan 80.635 cacah.
2) Kanoman : 4.304 jung sawah dan 76.622 cacah.
3) Kacirebonan : 4.293 jung sawah dan 80.250 cacah.
Kuningan yang semula termasuk wilayah tanah Pangeran Gebang
diperuntukkan bagi Sultan Kasepuhan ialah, Kuningan, Cikaso, dan
pegunungan Gebang. Dicabutnya Pangeran Gebang dari kedudukannya serta
dibagikannya pula daerah dengan dasar tuduhan memeras rakyat itu
merupakan pemutar balikan kenyataa, karena kerusuhan yang diuraikan
terdahulu dimanna sasarannya kepada orang China, penindasan VOC serta
terhadap pemerintah yang buruk dari raja Cirebon ialah gerakan rakyat
dari wilayah Gebang termasuk Kuningan.
Karena bujukan, pemberontakan seperti Sidung Arisin dan Suwarsa
terkecoh dan menyerahkan diri pada pemerintahan Belanda. Sebenarnya,
Pangeran Gebang merestui rakyat dan wilayahnya untuk melancarkan aksi
pemberontakan terhadap penindasan VOC. Pangeran Gebang ialah keturunan
dari Pangeran Wirasuta Upas dan yang diangkat sebagai Pangeran Gebang
setelah dibentuk keresidenan Cirebon sekitar tahun 1705. Sutawijaya
merupakan keturunan yang keenam.
Setelah Gebang dihilangkan kekuasaannya dan wilayahnya keturunan
Gebang selanjutnya ialah Pangeran Alibasa yang menetap di Gebang Udik.
Dalam catatan silsilah keluarga terurai keturunan Gebang sebagai
berikut:
1) Pangeran Wira Sutajaya
2) Pangeran Seda Ing Demung
3) Pangeran Nata Manggala
4) Pangeran Seda Ing Tambak
5) Pangeran Seda Ing Garogol
6) Pangeran Dalem Kebon
7) Pangeran Sutajaya Upas
8) Pangeran Sutajaya Kedua
9) Pangeran Alibasa
Pangeran Alibasa ini yang kemudian menikah dengan R. Kastewi,
keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura Susukan, melahirkan seorang
putra bernama Pangeran Sadewa Alibasa yang dalam silsilah keluarga
disebut pula dengan nama Pangeran Surya Nata atau Pangeran Kusuma
Adiningrat.
Dalam keterangan keluarga dan dari keturunan Ki Satrawadana di
Cigugur Kuningan, diceritakan bahwa putra Pangeran Alibasa Gebang itu
tidak dilahirkan di Gebang, tetapi dilahirkan di Susukan Ciawi Gebang
yang kemudian dititipkan kepada Ki Sastrawadana di Cigugur sekitar tahun
1825 dengan pesan agar diakui sebagai anak. Anak tersebut karena
diketahui bukan anak Ki Sastrawadana, maka disebut pula sebagai anak
titipan dari R. Kastewi Susukan Ciawi Gebang yang tidak dijelaskan siapa
ayah anak tersebut.
Dalam usia 10 tahun, anak tersebut sudah ikut bekerja kepada Kuwu
Sagarahiang sebagai gembala kerbau miliknya. Menurut keterangan dari
Ngabihi Sagarahiang, ia berperan pada teman-temannya bahwa nama
sebenarnya adalah Madrais, anak Ki Sastrawadana dari Cigugur.
Sekitar tahun 1840 mulai dikenal nama Madrais di Cigugur, tetapi
sering pula meninggalkan Cigugur dengan maksud berkelana sampai akhirnya
kembali lagi dan mendirikan peguron atau pesantren dengan mengajarkan
agama Islam dan dikenal sebagai Kiai Madrais. Beliau terkenal juga di
pesantren Heubeul Isuk dan Ciwedus sebagai seseorang yang pandai serta
berpengaruh.
Dalam pesantren, Kiai Madrais di samping mengajarkan kerohanian dan
agama Islam, juga kepada santrinya selalu menganjurkan untuk dapat lebih
menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri (Djawa Sunda) serta tidak
dibenarkan bila hanya mau menjiplak, memakai cara ciri budaya bangsa
lain apalagi sampai tidak dapat menghargai bangsanya sendiri.
Penampilan Kiai Madrais dalam pesanternnya dalam metode ajaran agak
berbeda dengan yang lainnya. Kemudian akhirnya menjadi masalah. Terutama
setelah adanya beberapa perubahan seperti khitanan yang tidak
diwajibkan bagi para pengikutnya, penguburan jenazah diharuskan memakai
peti dinyatakan sebagai penyimpangan dari agama Islam. Masalah ini tidak
luput dari intaian pemerintah Belanda dan mulai tercium pula siapa Kiai
Madrais sebenarnya.
Walaupun dikabarkan bahwa Kiai Madrais tidak ada yang tahu jelas
siapa orangtuanya, namun akhirnya diketahui juga bahwa sesungguhnya
beliau merupakan keturunan Pangeran Gebang dari R. Kastewi.
Lalu, tiba-tiba saja muncul konflik lain. Pemerintah Belanda menuduh
Kiai Madrais melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Hal ini
adalah alasan serta tuduhan serupa dengan masalah yang pernah
dilancarkan Belanda kepada Surajaya, Pangeran Gebang dahulu.
Kiai Madrais kemudian diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908.
Keluarganya pun terus menerus diawasi oleh Belanda, bahkan dilarang
untuk menghubungi beliau. Setelah kembali dari Merauke, rumah Kiai
Madrais yang kemudian disebut Paseban Tri Panca Tunggal tetap dipantau
oleh Belanda. Seluruh santri yang berada di bawah awasan Kiai Madrais
dilarang menemui beliau.
Paseban adalah tempat berkumpul dan bersyukur dalam merasakan
ketunggalan selaku umat Gusti Yang Widi Wasa dengan meyakinkan
kemanunggalan dalam pengolah kesempurnaan getaran dati tiga (Tri) unsur
yang disebut Sir, Rasa, serta Pikir. Dimana unsur lainnya, Panca Indera
dalam menerima dan merasakan keagungan Gusti, begitu pula dalam laku
kehidupan benar-benar merupakan ketunggalan selaku manusia dan
kemanunggalan antara sipta, rasa, dan karsa diwujudkan dalam tekad,
ucap, serta lampah menyatakan ciri manusia seutuhnya dalam memancarkan
pamor budaya bangsa dengan ketentuan hokum kodrati.
Sebelum Kiai Madrais diasingkan, beliau kerap kali membuat ukiran
pada dinding-dinding rumahnya dengan motif tumbuhan, alam, maupun ukiran
dengan daya ciptanya sendiri. Beliau juga terkenal aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan, seperti mengikuti pementasan tari buyung, tari buncis,
dan tari rudat, serta nyiblung (musik air). Tarian-tarian dan musik itu
diciptakan oleh masyarakat Cigugur. Nyiblung berawal dari kebiasaan
masyarakat yang sering kali mandi di pancuran sungai. Sedangkan tari
buyung sering dipertontonkan saat upacara seren taun yang merupakan
budaya masyarakat Kuningan dalam menyambut hasil panen yang berlimpah.
Setibanya dari Merauke, Kiai Madrais tidak melanjutkan membuka
pesantrennya, namun lebih memilih berusaha dalam bidang pertanian,
selain menanam padi, beliau terkenal sebagai seseorang yang pertama kali
menanam bawang merah di daerah Cigugur. Karena hal inilah, Kiai Madrais
memiliki sedikit kesempatan untuk bertemu dengan para pengikutnya,
sehingga beliau sering kali masuk keluar penjara, sampai akhirnya
setelah ditekan dengan keharusan menyanjung pemerintahan Belanda dalam
pesantrennya, barulah Kiai Madrais diperbolehkan lagi untuk meneruskan
ajarannya. Beberapa orang Belanda ada yang terus menerus mengawasi
beliau di Cigugur, yaitu: Yakob, Steepen, Relles, dan Destra. Mereka
itulah yang membuat statue.
Tahun 1936, sewaktu gunung Ciremai menampakkan kegiatannya, Kiai
Madrais dengan 200 pengikutnya mendaki sampai ke puncak gunung Ciremai
yang sedang aktif untuk meredakannya dengan cara kebatinan.
Sekembalinya, beliau langsung membuat rumah di lereng gunung Ciremai
yang dikenal dengan nama Curug Goong, kini menjadi salah satu objek
wisata. Di sanalah Kiai Madrais menetap selama 3 tahun, sampai akhirnya
meninggal pada tahun 1939, dan dimakamkan di pemakaman Pasir Cigugur.
Begitulah catatan sejarah mengenai Gedung Paseban Tri Panca Tunggal
yang memang lebih dikenal dengan nama Kiai Madrais. Setelah beliau
meninggal, bimbingan pada santri-santri dilanjutkan oleh anaknya,
Pangeran Tedjabuwana Alibasa sampai tahun 1964. Selanjutnya, diwariskan
kembali ke anak Pangeran Tedjabuwana, Pangeran Djati Kusumah. Dan saat
ini diturunkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam, putra Pangeran Djati
Kusumah.
Sekarang, gedung tersebut menjadi cagar budaya yang menyimpan
warisan-warisan masyarakat Kuningan pada zaman dahulu serta peninggalan
benda-benda pusaka yang dimiliki Kiai Madrais.
Retrieved from: http://clubyolla.wordpress.com/2010/05/21/sejarah-gedung-paseban-tri-panca-tunggal/