Showing posts with label Agama Djawa Sunda. Show all posts
Showing posts with label Agama Djawa Sunda. Show all posts

Wednesday, October 17, 2012

Agama Jawa Sunda

Hisyam, Muhamad. 2004. "Agama Jawa Sunda." In Isma'il, Ibnu Qoyim. Religi lokal & pandangan hidup: kajian tentang masyarakat penganut religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Permalim), Samimisme, dan agama Jawa Sunda. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan. pp. 137-74.

Available online

Sunday, October 7, 2012

Paseban Tri Panca Tunggal Kuningan

Oleh Bambang Aroengbinang . Kuningan . 28 July, 2012

Paseban Tri Panca Tunggal adalah sebuah cagar budaya nasional di daerah Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang menyerupai sebuah padepokan dan tempat menimba ilmu budi dan kebatinan serta seni budaya, yang didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, pewaris tahta Kepangeranan Gebang, Cirebon Timur, pada tahun 1840.

Adalah karena berkali-kali melawan kehendak VOC, maka pada awal abad ke-18 Kepangeranan Gebang diserbu dan dibumihanguskan oleh VOC, gelar kepangeranan pun dicabut, dan wilayah Gebang yang mencakup daerah Ciawi sampai ke perbatasan Cilacap akhirnya dibagi-bagi untuk Keraton Kanoman, Kacirebonan dan Kasepuhan.
Paseban Tri Panca Tunggal
Bangunan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, dengan atap bertingkat dan di puncaknya terdapat tonggak ulir berujung kelopak dan bulir bunga berbentuk bulat gemuk lonjong yang menyerupai roket terbalik. Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal ini telah mengalami renovasi pada 1971 dan 2007.
Paseban Tri Panca Tunggal
Foto di atas adalah ruangan bagian depan sebelah kiri yang disebut Pendopo, dengan payung kerajaan di sebelah kanan. Di tengah terdapat lambang burung Garuda yang tengah mengepak sayap, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf Sunda “Purwa Wisada”, yang disangga oleh sepasang naga bermahkota yang ekornya saling mengait. Di tengah lingkaran terdapat sebuah simbol, yang tampaknya merupakan lambang Tri Panca Tunggal.

Tidak lama setelah kami masuk ke dalam gedung Paseban Tri Panca Tunggal, seorang wanita muda berparas ayu menemui kami, dan memperkenalkan diri bernama Juwita Jati, dengan nama panggilan Tati. Pangeran atau Kyai Madrais, adalah kakek buyut Tati. Ayah Tati, Pangeran Jati Kusumah, adalah yang sekarang memimpin Paseban Tri Panca Tunggal.

Menurut penuturan Tati, Pendopo menggambarkan keadaan ketika manusia sudah lahir di alam dunia. Karenanya tangga pada pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini aslinya ada 5 buah, melambangkan panca indera yang harus menjadi saringan bagi manusia, baik yang bersumber dari dalam ke luar atau pun dari luar ke dalam.
Paseban Tri Panca Tunggal
Ruang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini ditopang oleh 11 pilar, dengan dasar tiang berbentuk lingkaran. Ruangan lain di Paseban Tri Panca Tunggal adalah Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih direnovasi, terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di atasnya terdapat hiasan mahkota.
Paseban Tri Panca Tunggal
Di sebelah belakang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal terdapat ruang Sri Manganti yang digunakan sebagai tempat pertemuan, seperti persiapan upacara Seren Taun yang diselenggarakan setahun sekali. Ruang Sri Manganti Paseban Tri Panca Tunggal juga dipergunakan sebagai tempat untuk menerima tamu, dan upacara pernikahan. Tati bertutur bahwa ruang Sri Manganti di Paseban Tri Panca Tunggal adalah ruang rasa di mana manusia harus menemukan sebuah kebijakan dalam hidup.
Paseban Tri Panca Tunggal
Relief Resi Wisesa Sukmana Tunggal yang berada di ruang Jinem. Setelah Kepangeranan Gebang dibumihanguskan oleh VOC, satu-satunya putra mahkota yang masih hidup adalah Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, yang ketika itu masih kanak-kanak.

Pangeran Madrais kemudian dititipkan pada Ki Sastrawardhana yang tinggal di Cigugur, dengan pertimbangan keamanan dan karena Cigugur pernah pula digunakan oleh Tentara Mataram sebagai basis ketika menyerang VOC di Batavia. Di usia 18 tahun, di tahun 1840, Pangeran Madrasi membangun gedung Paseban ini.
Paseban Tri Panca Tunggal
Dua gadis remaja yang masih menggunakan seragam sekolah menengah pertama tampak tengah belajar menari, dibimbing oleh seorang pelatih di Ruang Jinem. Ruang Jinem, menurut Tati, menggambarkan proses penciptaan, dimana ada karakter dan pengaruh 4 unsur, yaitu tanah, air, angin, dan api. Ruangan Jinem ini cukup luas dengan empat buah soko guru berukuran besar terbuat dari beton dengan umpak berukir, dan beberapa pilar kayu yang juga berukir halus di beberapa bagiannya.
Paseban Tri Panca Tunggal
Seperangkat gamelan yang berada di ruang Jinem Paseban Tri Panca Tunggal. Pada tahun 1978, Paseban Tri Panca Tunggal ditetapkan oleh pemerintah sebagai Cadar Budaya Nasional, dan uniknya Paseban Tri Panca Tunggal mendapatkan dana renovasi dari Dinas Pekerjaan Umum, bukan dari dinas yang lain.
Paseban Tri Panca Tunggal
Sebuah ukiran kayu unik yang berada di bagian sebelah kanan ruang Jinem Paseban Tri Panca Tunggal. Menurut penuturan Tati, nama Paseban Tri Panca Tunggal berasal dari kata Paseban yang berarti tempat pertemuan, Tri yang terdiri rasa – budi – pikir, Panca adalah panca indera, dan Tunggal adalah yg Maha Tunggal.

Arti filosofisnya, ketika manusia bisa mengharmoniskan, menyelaraskan atau menyeimbangkan rasa – budi – pikir, lalu menerjemahkannnya melalui panca indera ketika mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak, melangkah, maka itulah yg akan memanunggalkan manusia dengan Yang Maha Tunggal.
Paseban Tri Panca Tunggal
Sisi pandang lain dari ruang Jinem. Semasa hidupnya Pangeran yang lebih dikenal sebagai Kyai Madrais itu memberi ajar kerohanian dan agama, namun sempat bermasalah karena adanya perbedaan dengan ajaran baku, dan setelah identitasnya diketahui oleh Belanda ia pun difitnah dan diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908.
Paseban Tri Panca Tunggal
Ukiran di atas pintu masuk Paseban Tri Panca Tunggal. Konon pada 1936, ketika Gunung Ceremai sedang aktif-aktifnya, Kyai Madrais naik ke puncak gunung bersama 200 pengikutnya untuk meredakannya secara mistik. Kyai Madrais meninggal tahun 1939, dan dimakamkan di Pemakaman Pasir, Cigugur. Paseban Tri Panca Tunggal kemudian dipimpin oleh Pangeran Tedjabuwana Alibasa sampai tahun 1964, dan dilanjutkan Pangeran Djati Kusumah, sampai akhirnya diserahkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam, satu-satunya saudara laki-laki Tati.

Paseban Tri Panca Tunggal

Kampung Wage, Kelurahan Cigugur,
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan
GPS: -6.96929, 108.45660

Retrieved from: http://thearoengbinangproject.com/2010/12/paseban-tri-panca-tunggal-kuningan/

Saturday, October 6, 2012

Ki Madrais: A Village’s Legendary Spiritual Leader

Jakarta Globe, Benito Lopulala | January 15, 2009

Ki Madrais, born in 1825, is an important figure in the history of the Seren Taun rice harvest festival in Cigugur village.

During his years as an Islamic studies teacher at Heubeul Isuk Islamic boarding school, some 10 kilometers west of the village, Ki Madrais is said to have had an astonishing thirst for religious and spiritual knowledge.

When he preached, Ki Madrais accommodated the principles of Islam — which came to Java Island in the 11th century — with the belief system of his ancestors.

However, his influence over the villagers was viewed suspiciously by the Dutch, who governed the country at the time. Other Muslim leaders in the region also disapproved of Ki Madrais’s teachings, and in 1901 the Dutch administration imprisoned him in Merauke, on Papua Island, for “disturbing public order.”

Ki Madrais spent the following years in and out of prison.

In 1908, he established a new belief system, based on that of his ancestors. His followers were grouped under the name Agama Djawa Sunda.

In 1936, Mount Ciremai in Kuningan stirred to life, with smoke and lava issuing from the summit.

According to legend, Madrais — who would then have been 111 years old — and 200 followers climbed up to the crater of the volcano, taking gamelan instruments with them. In the hope of stopping the terrible advance of the lava, they played music to the mountain.

Villagers whose fathers or mothers joined the 1936 outing said the lava did not flow into the town. This success contributed to the Madrais legend.

In 1964, Madrais’ son, Tedja Buana, (the father of Djatikusuma, a leader in Cigugur) converted to Catholicism, renouncing Agama Djawa Sunda.

The decision was based on a dream he had three years prior, in which Madrais appeared to him, telling him to seek protection under the shade of a white banyan tree.

Buana, interpreting his dream, noticed the similarity between the banyan tree and the Christmas tree, and turned to Christianity for protection.

At the time, Buana was not aware of perils that were to come.

Cigugur villagers say that after the failed coup attempt of 1965, those who refused to follow a state-sanctioned religion were labeled atheists and were therefore vulnerable to being accused of harboring communist sympathies. This put their lives at risk.

Without the white banyan tree dream and Buana’s conversion, many people would have been killed in Cigugur, the villagers say.

But in 1981, about 2,000 Catholic villagers decided to follow a new belief system, closely modeled on Agama Djawa Sunda.

In 1982, however, the government intervened, making it illegal to practice Agama Djawa Sunda or any other religion not supported by the state.

Despite this, three hundred followers continued to follow the belief system, while the rest returned to Islam or Christianity.

After that, there was a period of time in Cigugur village during which the celebration of the Seren Taun rice harvest festival was illegal.

The village in Kuningan district, West Java Province, has often been praised for its religious tolerance.

Villagers, when asked, will say they are proud to have more than one religion in their family’s background.

And yet religious harmony was a long time coming to Cigugur.

Retrieved from: http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/ki-madrais-a-villages-legendary-spiritual-leader/304939

Friday, October 5, 2012

Sejarah Gedung Paseban Tri Panca Tunggal

Oleh Yolla Miranda

Kuningan yang berbatasan dengan Kabupaten Cirebon di sebelah utara, Kabupaten Majalengka di sebelah barat, Kabupaten Ciamis dan Cilacap di sebelah selatan, dan Kabupaten Brebes di sebelah timur, serta berbatasan alamnya berupa Gunung Ciremai di barat, Sungai Cijolang di selatan, Situ Marahayu di timur, dan Sungai Cisanggarung, serta sebagian jalan Caracas-Sindanglaut di utara ini memiliki satu-satunya cagar budaya yang melindungi seluruh warisan daerah dan nasional, yaitu Gedung Paseban Tri Panca Tunggal yang berada di wilayah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.


Gedung Paseban Tri Panca Tunggal dahulu kala merupakan tempat tinggal seorang pelopor perjuangan di daerah Kuningan. Tempat ini diresmikan pemerintah pada 14 Desember 1976 dengan No. 3632/C.1/DSP/1976 sebagai Cagar Budaya yang dilindungi. Ditetapkan sebagai tempat pewaris budaya karena pada saat itu, tokoh perjuangan Kuningan meninggalkan banyak budaya-budaya yang ia bawa dari pengaruh Belanda dan pemikirannya sendiri, sehingga gedung ini pun bertujuan untuk melestarikan budaya daerah Kuningan.

Sejak dahulu, masyarakat Kuningan sudah mendengar bahwa pendiri Gedung Paseban Tri Panca Tunggal ini adalah Kiai Madrais yang juga dikenal sebagai pemimpin suatu aliran keagamaan.
Gedung ini disebut pula sebagai pusat Agama Djawa Sunda. Beberapa kelompok masyarakat menganggapnya sebagai keraton, karena Kiai Madrais biasa dipanggil Pangeran Madrais. Adapun sebutan Pangeran tersebut sangat identik dengan keraton.

Sekitar abad XVIII, saat penjajahan dan perbudakan merajalela di Indonesia, di daerah Cirebon (sebelah utara Kuningan) pun tidak terlepas dari segala akibat buruknya. Akibat berupa kerja paksa atas kekuasaan VOC itu sampai menyebar ke wilayah Kuningan dan sekitarnya, Majalengka dan Indramayu. Eksploitasi agraris yang terkenal pada waktu itu dalam kerangka Preanger Stelsel (Volentjn Froncois Deskriijfing Van groot Java mayor Dodrecht Amsterdam, 1726).

Pada masa Cirebon menjadi pasal Mataram, terutama fasilitas Cirebon pada Matam sangat nampak sewaktu Panembahan Girilaya, yang lebih banyak tinggal di Mataram dan juga dari Cirebon diwajibkan menyerahkan upeti, bulu bakti pada Mataram.

Kemudian, pemberontakan yang dipimpin oleh Tarunajaya yang menghancurkan Karta sekitar tahun 1677 dengan bantuan Tarunajaya serta kedua putra Panembahan Girilaya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya kembali ke Cirebon. Sekembalinya mereka berdua, maka daerah Cirebon dibagi menjadi dua, walaupun sebenarnya melanggar pesan leluhur yang melarang untuk membagi dua kekuasaan. Tetapi justru pembagian ini menimbulkan perpecahan di antara kedua putra Panembahan Girilaya tersebut. Hal tersebut sangat menggembirakan pihak penjajah agar bisa melumpuhkan bangsa ini.

Bersamaan dengan pecahnya perang Banten melawan VOC, dikirim pula pasukan dari Batavia untuk menyerang Cirebon dan akhirnya pada tanggal 14 Januari 1681 Cirebon harus membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi sekutu VOC dan protektorat. Padahal pada masa itu Mataram pun sebenarnya masih menganggap sebagai pasalnya.

Dengan adanya perjanjian tersebut, pada tahun 1689 Pangeran Gebang meminta VOC untuk memisahkan wilayah Gebang dari Cirebon. VOC mengabulkan permintaan Pangeran Gebang, karena VOC sendiri memerlukan sekutu yang dapat diandalkan di sebelah timur Cirebon.

Daerah yang membentang dari pantai Cirebon sebelah utara sampai Cijulang di selatan ditetapkan sebagai wilayah kekuasaan Pangeran Gebang. Dengan begitu jalan lintas utama dari kerajaan Mataram ke Priangan melalui Subang (Kuningan Selatan) ada di bawah penguasaan VOC karena daeraha Pangerang Gebang. Istana Gebang pada waktu itu ialah Gebang Hilir, sekarang berada kurang lebih 9 kilometer dari kota Losari.
Dari hasil perjanjian dengan Mataram 1705 dibentuklah oleh VOC keresidenan Cirebon yang wilayahnya meliputi: Indramayu, Parakamuncang, Limbangan, Sukapura, dan Galuh, setelah itu pula membawahi Sultan Cirebon dan Pangeran Gebang, sejak tahun 1706 diangkat seorang Sultan Kasepuhan menjadi pengawas Bupati di Priangan yaitu Pangeran Aria yang memangku jabatan sampai meninggal tahun 1723. Bentuk keresidenan Cirebon ini berlangsung sampai tahun 1809 (Ensiklopedia van Ned. Indie Eerstdeel tweededruk, 1957 K. 474).

Tahun 1708 dikeluarkan pula ketetapan oleh VOC bahwa daerah yang diserahkan Mataram, kepala-kepalanya tetap berkuasa kepada penduduk di daerah tersebut seperti Sumenep, Pamekasan, Semarang, Gebang, Cirebon, Sumedang, Indramayu, Pamanukan, Ciasem, Tanjungpura dan Priangan (A van der Chysned. Ind plakaat boek 1602-1811 plakaat 21-2-1708).

Sebetulnya, pengangkatan Pangeran Aria merupakan suatu siasat VOC dengan mengharapkan pengaruhnya berdasarkan keturunan yang akan berwibawa terhadap bupati-bupati, karena sejak tahun 1705 seluruh Jawa Barat menjadi daerah rodi atau kerja paksa dan menyerahkan wajib hasil bumi kepada VOC. Hal ini yang mengakibatkan penderitaan masyarakat semakin parah, demikian pula yang terjadi di Cirebon.

Bahaya kelaparan dan berjangkitnya wabah penyakit di samping penindasan yang terus menerus menimpa masyarakat mengakibatkan munculnya berandalan-berandalan yang tersebar dimana-mana. Dalam perempatan abad terakhir dari abad XVIII, akhirnya meletus pemberontakan rakyat di bawah pimpinan Mirsa. Pemberontakan tersebut diarahkan kepada orang China sebagai sasarannya setelah dilakukan pemberontakan pula pada VOC dan pemerintahan yang buruk dari Raja Cirebon. Beberapa kali pemberontakan itu ditindas, namun berkobar lagi yang akhirnya dalam tahun 1796 pecah lagi pemberontakan rakyat, sampai tahun 1799 VOC dibubarkan dan daerah kekuasaannya diserahkan kepada pemerintahan Belanda.

Pertentangan rakyat itu akhirnya meluap pada tahun 1802. Pemerintah Belanda tidak mampu menindas pemberontakan dengan kekerasan tapi dapat diakhiri terutama melalui persuasif sehingga para pemberontak diantaranya Sidung Arisim dan Suwarsa menyerahkan diri pada Belanda karena pemerintahannya menjanjikan akan meringankan beban rakyat.

Setelah itu pemerintah Belanda mencabut kedudukan Pangeran Gebang dengan tuduhan pemerasan kepada rakyat. Dengan dikeluarkannya Reglemen Van Het Beheer Van de Cheribonsche Landen pada 2 Februari 1809, maka keresidenan Cirebon yang terbentuk tahun 1705 itu berakhir dan selanjutnya akan dijadikan dua Prefektura, daerah Sultan Cirebon dan Pangeran Gebang serta tanah Priangan Cirebon.

Ketika Sultan Cirebon diperlakukan sebagai pegawai Raja Belanda Heerarchi kepangkatan berada langsung di bawah Prefektura yang harus tunduk kepada pemerintahan Belanda. Kemudian para Sultan Cirebon pada akhirnya akan dipertahankan untuk memberikan tanda-tanda atau simbol-simbol penghormatan, serta kewibawaan untuk memelihara kemulyaan sultan-sultan penduduk pribumi.

Para sultan diberi tanah dan cacahnya menurut ketetapan apa yang disebut tanah sultan serta Pangeran Gebang akan dibagi diantara tiga sultan, yaitu:
1) Kasepuhan : 1.239 jung sawah dan 80.635 cacah.
2) Kanoman : 4.304 jung sawah dan 76.622 cacah.
3) Kacirebonan : 4.293 jung sawah dan 80.250 cacah.

Kuningan yang semula termasuk wilayah tanah Pangeran Gebang diperuntukkan bagi Sultan Kasepuhan ialah, Kuningan, Cikaso, dan pegunungan Gebang. Dicabutnya Pangeran Gebang dari kedudukannya serta dibagikannya pula daerah dengan dasar tuduhan memeras rakyat itu merupakan pemutar balikan kenyataa, karena kerusuhan yang diuraikan terdahulu dimanna sasarannya kepada orang China, penindasan VOC serta terhadap pemerintah yang buruk dari raja Cirebon ialah gerakan rakyat dari wilayah Gebang termasuk Kuningan.

Karena bujukan, pemberontakan seperti Sidung Arisin dan Suwarsa terkecoh dan menyerahkan diri pada pemerintahan Belanda. Sebenarnya, Pangeran Gebang merestui rakyat dan wilayahnya untuk melancarkan aksi pemberontakan terhadap penindasan VOC. Pangeran Gebang ialah keturunan dari Pangeran Wirasuta Upas dan yang diangkat sebagai Pangeran Gebang setelah dibentuk keresidenan Cirebon sekitar tahun 1705. Sutawijaya merupakan keturunan yang keenam.

Setelah Gebang dihilangkan kekuasaannya dan wilayahnya keturunan Gebang selanjutnya ialah Pangeran Alibasa yang menetap di Gebang Udik. Dalam catatan silsilah keluarga terurai keturunan Gebang sebagai berikut:
1) Pangeran Wira Sutajaya
2) Pangeran Seda Ing Demung
3) Pangeran Nata Manggala
4) Pangeran Seda Ing Tambak
5) Pangeran Seda Ing Garogol
6) Pangeran Dalem Kebon
7) Pangeran Sutajaya Upas
8) Pangeran Sutajaya Kedua
9) Pangeran Alibasa

Pangeran Alibasa ini yang kemudian menikah dengan R. Kastewi, keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura Susukan, melahirkan seorang putra bernama Pangeran Sadewa Alibasa yang dalam silsilah keluarga disebut pula dengan nama Pangeran Surya Nata atau Pangeran Kusuma Adiningrat.

Dalam keterangan keluarga dan dari keturunan Ki Satrawadana di Cigugur Kuningan, diceritakan bahwa putra Pangeran Alibasa Gebang itu tidak dilahirkan di Gebang, tetapi dilahirkan di Susukan Ciawi Gebang yang kemudian dititipkan kepada Ki Sastrawadana di Cigugur sekitar tahun 1825 dengan pesan agar diakui sebagai anak. Anak tersebut karena diketahui bukan anak Ki Sastrawadana, maka disebut pula sebagai anak titipan dari R. Kastewi Susukan Ciawi Gebang yang tidak dijelaskan siapa ayah anak tersebut.
Dalam usia 10 tahun, anak tersebut sudah ikut bekerja kepada Kuwu Sagarahiang sebagai gembala kerbau miliknya. Menurut keterangan dari Ngabihi Sagarahiang, ia berperan pada teman-temannya bahwa nama sebenarnya adalah Madrais, anak Ki Sastrawadana dari Cigugur.

Sekitar tahun 1840 mulai dikenal nama Madrais di Cigugur, tetapi sering pula meninggalkan Cigugur dengan maksud berkelana sampai akhirnya kembali lagi dan mendirikan peguron atau pesantren dengan mengajarkan agama Islam dan dikenal sebagai Kiai Madrais. Beliau terkenal juga di pesantren Heubeul Isuk dan Ciwedus sebagai seseorang yang pandai serta berpengaruh.

Dalam pesantren, Kiai Madrais di samping mengajarkan kerohanian dan agama Islam, juga kepada santrinya selalu menganjurkan untuk dapat lebih menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri (Djawa Sunda) serta tidak dibenarkan bila hanya mau menjiplak, memakai cara ciri budaya bangsa lain apalagi sampai tidak dapat menghargai bangsanya sendiri.

Penampilan Kiai Madrais dalam pesanternnya dalam metode ajaran agak berbeda dengan yang lainnya. Kemudian akhirnya menjadi masalah. Terutama setelah adanya beberapa perubahan seperti khitanan yang tidak diwajibkan bagi para pengikutnya, penguburan jenazah diharuskan memakai peti dinyatakan sebagai penyimpangan dari agama Islam. Masalah ini tidak luput dari intaian pemerintah Belanda dan mulai tercium pula siapa Kiai Madrais sebenarnya.

Walaupun dikabarkan bahwa Kiai Madrais tidak ada yang tahu jelas siapa orangtuanya, namun akhirnya diketahui juga bahwa sesungguhnya beliau merupakan keturunan Pangeran Gebang dari R. Kastewi.
Lalu, tiba-tiba saja muncul konflik lain. Pemerintah Belanda menuduh Kiai Madrais melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Hal ini adalah alasan serta tuduhan serupa dengan masalah yang pernah dilancarkan Belanda kepada Surajaya, Pangeran Gebang dahulu.

Kiai Madrais kemudian diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908. Keluarganya pun terus menerus diawasi oleh Belanda, bahkan dilarang untuk menghubungi beliau. Setelah kembali dari Merauke, rumah Kiai Madrais yang kemudian disebut Paseban Tri Panca Tunggal tetap dipantau oleh Belanda. Seluruh santri yang berada di bawah awasan Kiai Madrais dilarang menemui beliau.

Paseban adalah tempat berkumpul dan bersyukur dalam merasakan ketunggalan selaku umat Gusti Yang Widi Wasa dengan meyakinkan kemanunggalan dalam pengolah kesempurnaan getaran dati tiga (Tri) unsur yang disebut Sir, Rasa, serta Pikir. Dimana unsur lainnya, Panca Indera dalam menerima dan merasakan keagungan Gusti, begitu pula dalam laku kehidupan benar-benar merupakan ketunggalan selaku manusia dan kemanunggalan antara sipta, rasa, dan karsa diwujudkan dalam tekad, ucap, serta lampah menyatakan ciri manusia seutuhnya dalam memancarkan pamor budaya bangsa dengan ketentuan hokum kodrati.

Sebelum Kiai Madrais diasingkan, beliau kerap kali membuat ukiran pada dinding-dinding rumahnya dengan motif tumbuhan, alam, maupun ukiran dengan daya ciptanya sendiri. Beliau juga terkenal aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti mengikuti pementasan tari buyung, tari buncis, dan tari rudat, serta nyiblung (musik air). Tarian-tarian dan musik itu diciptakan oleh masyarakat Cigugur. Nyiblung berawal dari kebiasaan masyarakat yang sering kali mandi di pancuran sungai. Sedangkan tari buyung sering dipertontonkan saat upacara seren taun yang merupakan budaya masyarakat Kuningan dalam menyambut hasil panen yang berlimpah.




Setibanya dari Merauke, Kiai Madrais tidak melanjutkan membuka pesantrennya, namun lebih memilih berusaha dalam bidang pertanian, selain menanam padi, beliau terkenal sebagai seseorang yang pertama kali menanam bawang merah di daerah Cigugur. Karena hal inilah, Kiai Madrais memiliki sedikit kesempatan untuk bertemu dengan para pengikutnya, sehingga beliau sering kali masuk keluar penjara, sampai akhirnya setelah ditekan dengan keharusan menyanjung pemerintahan Belanda dalam pesantrennya, barulah Kiai Madrais diperbolehkan lagi untuk meneruskan ajarannya. Beberapa orang Belanda ada yang terus menerus mengawasi beliau di Cigugur, yaitu: Yakob, Steepen, Relles, dan Destra. Mereka itulah yang membuat statue.
Tahun 1936, sewaktu gunung Ciremai menampakkan kegiatannya, Kiai Madrais dengan 200 pengikutnya mendaki sampai ke puncak gunung Ciremai yang sedang aktif untuk meredakannya dengan cara kebatinan. Sekembalinya, beliau langsung membuat rumah di lereng gunung Ciremai yang dikenal dengan nama Curug Goong, kini menjadi salah satu objek wisata. Di sanalah Kiai Madrais menetap selama 3 tahun, sampai akhirnya meninggal pada tahun 1939, dan dimakamkan di pemakaman Pasir Cigugur.

Begitulah catatan sejarah mengenai Gedung Paseban Tri Panca Tunggal yang memang lebih dikenal dengan nama Kiai Madrais. Setelah beliau meninggal, bimbingan pada santri-santri dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuwana Alibasa sampai tahun 1964. Selanjutnya, diwariskan kembali ke anak Pangeran Tedjabuwana, Pangeran Djati Kusumah. Dan saat ini diturunkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam, putra Pangeran Djati Kusumah.

Sekarang, gedung tersebut menjadi cagar budaya yang menyimpan warisan-warisan masyarakat Kuningan pada zaman dahulu serta peninggalan benda-benda pusaka yang dimiliki Kiai Madrais.

Retrieved from: http://clubyolla.wordpress.com/2010/05/21/sejarah-gedung-paseban-tri-panca-tunggal/

Thursday, October 4, 2012

Kebenaran Takkan Gugur di Cigugur

Warisan Indonesia, November 18, 2011 5:59 am

Mengenalkan ajaran “Djawa Sunda” yang merupakan filosofi dari andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda atau memilih dan menyaring roh kehidupan alam untuk menyempurnakan menjadi roh insan, Kiai Madrais dipuja sekaligus dicerca.

KISAH bermula ketika pada 1822 (versi lain menyebut tahun 1859) lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim Nyi Raden Kastewi. Ayah sang bayi adalah Pangeran Sutawijaya Alibassa Wijayaningrat, seorang Pangeran yang memerintah di Kepangeranan Gebang, sebuah wilayah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri pada awal abad awal ke-18 di sebelah timur Kesultanan Cirebon.

Sejarah mencatat, sebelum Banten, Sunda Kelapa, dan Caruban (Cirebon) dikenal sebagai pelabuhan penting, Gebang telah memerankan fungsi kemaritiman di pantai utara Jawa, sebelum kelak dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Hindia Belanda yang “meminjam tangan” kekuasaan politik lokal pada masa itu.
Kembali pada kisah Kiai Madrais. Selain sebagai pemimpin Keraton Gebang, ayah Kiai Madrais adalah seorang ahli kebatinan dan pemimpin keagamaan di wilayahnya. Sedang ibunya, Nyi Raden Kastewi, adalah keturunan bangsawan Susukan (Ciawigebang)—sekarang wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (ed. A. Budi Susanto: 2007).

Ketika Gebang dalam tekanan Pemerintah Hindia Belanda, sang istri yang sedang hamil diungsikan oleh Pangeran Sutawijaya Alibassa ke rumah seorang kuwu (kepala desa) Padara (sekarang Cigugur) bernama Ki Sastrawadana. Kepala desa ini adalah bekas pasukan Mataram Islam ketika Sultan Agung, Raja Mataram kala itu, menyerang Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ke Batavia. Ki Sastrawadana menolak kembali ke Mataram dan memilih tinggal di Cigugur.

Sekarang ini, Cigugur yang berada di ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut (dpl) di kaki Gunung Ciremei (3.087 meter) merupakan nama sebuah desa sekaligus ibu kota kecamatan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Koleksi Paseban Tri Panca Tunggal
Menurut Pangeran Djatikusumah (79), cucu sekaligus penerus ajaran Kiai Madrais, semula kakeknya bernama kecil Taswan. Kelak setelah dewasa bernama Sadewa Alibassa Wijayakusuma Ningrat atau dikenal dengan nama Pangeran Surya Nata. Pada perkembangan berikutnya, ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Madrais atau Kiai Madrais. Sebutan ‘kiai’ sesungguhnya sebutan penghargaan kepada seorang tokoh atau pemimpin yang sangat dihormati dan dituakan.

Saat berusia 10 tahun, Kiai Madrais bekerja pada Kuwu Sagarahiang sebagai penggembala kerbau. Baru sekitar 1840 nama Kiai Madrais mulai dikenal di Cigugur. Pada masa itu, Ki Madrais sering berkelana keluar masuk Cigugur hingga akhirnya menetap di desa itu. Di desa inilah Kiai Madrais mendirikan pesantren dengan mengajarkan agama Islam. Kepada santri-santrinya, dia selalu mengingatkan untuk dapat lebih menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri (Djawa Sunda).

Kiai Madrais dikenal oleh masyarakat awam dan kalangan pesantren, mengajarkan tuntunan hidup yang disebut sebagai “Jati Sunda”. Pemerintah Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru menyebut ajaran itu dengan sebutan Ajaran Djawa Sunda (ADS) yang merupakan kependekan dari “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda” atau memilih dan menyaring roh kehidupan alam untuk menyempurnakan menjadi roh insan.

Dituturkan Djatikusumah, sebagai pemimpin umat, Kiai Madrais dikenal memiliki cara pandang yang sangat luas dalam wawasan kebangsaan dan kemanusiaan melalui ajaran yang menyangkut “Cara dan Ciri Manusia” yang meliputi: welas asih (cinta kasih), tata krama (aturan berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi (kreativitas dan sopan santun berbahasa), wiwaha yuda na raga (sikap bijak dan penuh pertimbangan) serta “Cara dan Ciri Bangsa” yang meliputi: rupa, aksara, adat, dan budaya. Tuntunan hidup Madraisme ini dianggap berbahaya oleh kolonial Belanda karena akan dianggap membakar semangat pariotisme dan nasionalisme. (WI/E. Pudjiachirusanto/Bambang Triyono)

— Baca artikel lengkapnya di Majalah Warisan Indonesia Vol.01 No.11 —

Retrievd from: http://warisanindonesia.com/2011/11/kebenaran-takkan-gugur-di-cigugur/

Wednesday, October 3, 2012

Menyusur Agama Djawa Sunda dari Cigugur

Oleh Mustafid Sawunggalih
 
Cigugur adalah sebuah desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang lalu, ketika penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang terdiri dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas 116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang seluas 2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai kuburan, jalan raya, pengairan, dan lain-lain. Data ini pasti sudah jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi peruntukan lahannya, tetapi juga struktur kepemilikannya.
Pada tahun 1848 di tempat ini berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang Pangeran Alibasa I. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur Islam. Pada usia muda Pangeran Madrais mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai “paguron” yang ada di Jawa Barat. Kisah pengembaraan pendiri ADS tersebut dapat tergambar dalam tulisan berikut:
“…Dina burej keneh nalika juswa antawis 10 ka 13 taun, mantenna masantren. Nanging kapaksa nunda teu diladjengkeun kumargi nampi “wisikan gaib (ilham) nu maparin pituduh mantenna kedah ngalalana sareng tatapa mulat salira. Teu talangke deui ladjeng wae andjeuna angkat ngalalana mipir-mipir pasisian, mapaj-mapaj padukuhan, kasuklakna-kasiklukna, lembur-lembur diasruk, desa-desa disakrak, kota-kota pakemitan alit diungsi. Babakuna nu djadi djugdjugan tempat-tempat nu kakotjap sanget, angker, sungil djadi pamundjungan, pamudjaan djalma rea. Mantenna didinja tatapa ngisat salira. Teu kantun paguron2 taja kalangkung, nungtik lari nyiar bukti ngudag kanjataan nu jadi rasiah alam lahir bathin..”
“… Ketika masih kecil, yaitu pada usia antara 10 sampai 13 tahun, ia tinggal di pesantren. Namun terpaksa ditunda karena menerima “bisikan gaib” (ilham) yang memberi petunjuk agar ia pergi, menelusuri dusun-dusun, baik besar maupun kecil. Yang biasanya dituju adalah tempat-tempat yang dikenal umum sebagai tempat angker yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Di tempat-tempat itulah ia bertapa. Tempat bergurupun tak ada yang terlewat, dengan maksud mencari bukti, mengejar kenyataan yang menjadi rahasia semseta alam, baik lahir maupun batin...”
Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak penting dalam sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dari Cigugur, ADS berkembang ke pelosok Jawa Barat seperti Indramayu, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Padalarang, Bogor, Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta. Jumlah penganut ADS dipercaya pernah mencapai lebih dari 100.000 orang, namun yang tercatat dalam buku cacah jiwa hanya sekitar 25.000 orang.
Selama masa penjajahan Belanda, Pangeran Madrais dan ADS-nya dianggap sebagai kelompok radikal dan berbahaya. Pimpinan ADS ditangkap untuk diadili di Kuningan dan di Tasikmalaya, namun kemudian dibebaskan. Dari tahun 1901 sampai 1908 pimpinan ADS dibuang ke Meraoke dengan tuduhan sebagai pemberontak dan pemeras rakyat. Setelah kembali dari pembuangan, pimpinan ADS membina kembali para pengikutnya, yang ternyata menjadi semakin radikal dalam memperjuangkan dan melaksanakan ajaran agamanya merki ditinggal oleh pemimpinnya. Pemerintah Belanda menganggap ADS semakin berbahaya, karena itu Pangeran Madrais kembali ditangkap dan dimasukan ke rumah sakit gila di Cikeumeuh, Bogor. Penangkapan itu ternyata makin menambah solidaritas kelompok ADS untuk tidak menyerah pada keadaan. Selama di rumah sakit jiwa Pangeran Madrais ADS tidak berhenti mengajar, meski yang diajarnya adalah pasien penyakit jiwa. Melihat itu, pimpinan ADS dikeluarkan dari rumah sakit tersebut karena pemerintah khawatir pasien rumah sakit terpengaruh oleh ajarannya yang dianggap radikal. Namun demikian, pembebasan pimpinan ADS tersebut disertai dengan ancaman agar tidak lagi melakukan kegiatan keagamaan. Untuk tujuan tersebut, rumah kediaman pimpinan ADS, yang sekaligus merupakan pusat kegiatan ADS, dijaga ketat selama duapuluh empat jam. Pada tahun 1926 semua petugas Belanda di Cigugur ditarik dan dipindah-tugaskan. ADS-pun diperbolehkan lagi melakukan kegiatannya secara legal, bahkan pada tahun 1927 tata cara perkawinan ADS diakui secara hukum. Dari satu sisi masa-masa ini dapat dianggap sebagai masa cerah bagi perkembangan ADS, karena mereka tidak mendapat rintangan dari pihak pemerintah Belanda, namun di sisi lain merupakan awal kesulitan baru, karena muncul anggapan bahwa Pangeran Madrais dan ADS-nya bekerja sama dengan - bahkan dianggap sebagai kaki tangan Belanda.
Pada tahun 1940, tepatnya pada tanggal 18 Sura 1872 tahun Jawa, Pangeran Madrais yang adalah pendiri dan pimpinan ADS, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di sebelah barat Cigugur. Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh puteranya Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat. Dalam masa kepemimpinan puteranya inilah ADS dihadapkan pada berbagai tantangan berat. Pertama, waktu Jepang masuk Cigugur, tuduhan bahwa Madrais dan para pengikutnya adalah kaki tangan Van der Plas semakin gencar. Di bawah ancaman penguasa militer Jepang, pimpinan ADS dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pembubaran ADS. Dengan mempertimbangkan keselamatan para penganutnya dari berbagai penganiayaan, pimpinan ADS yang baru menyetujui penandatanganan surat pernyataan tersebut. Ia sendiri beserta keluarganya mengungsi ke Bandung dan kemudian pergi ke Tasikmalaya. Dari tempat pengungsian tersebut itulah pimpinan ADS meminta ketegasan para pengikutnya untuk tetap bertahan atau menyerah. Semangat para penganut ADS nampaknya tidak luntur dengan tekanan. Hal ini terbukti dengan pendirian sebagian besar dari mereka yang tetap menyatakan kesetiaannya kepada ADS, meskipun berada di bawah tekanan. Mereka menjemput pimpinan ADS dari tempat pengungsiannya untuk dibawa kembali ke Cigugur.
Para penganut ADS sering menganggap penindasan penguasa Jepang sebagai hasil hasutan orang-orang yang tak menyukai kehadiran mereka. Anggapan tersebut memperburuk hubungan penganut ADS dengan umat Islam setempat. Namun jika melihat strategi dasar Jepang yang menggunakan kekuatan Islam untuk kepentingan ekspansinya di Asia, khususnya Indonesia, maka boleh jadi penindasan terhadap ADS, bukan semata-mata sebagai hasil hasutan umat Islam, namun lebih merupakan pelaksanaan strategi umum ekspansi Jepang seperti yang juga dilakukan di Aceh. Setelah Jepang menyerah, dan Indonesia telah menyatakan kemerdekaan, Belanda masih dua kali melakukan agresi militer. Pada tahun 1947 Cigugur kembali dikuasai oleh tentara Belanda. Tanggal 21 Desember 1954, pusat kegiatan ADS diserang dan dibakar oleh tentara DI/TII. Meski kebakaran tersebut tidak fatal karena hanya memusnahkan bagian belakang gedung, namun secara psikologis cukup mengintimidasi. Setelah peristiwa tersebut, Pangeran Tedjabuana dan keluarganya memutuskan pindah ke Cirebon dan dari sanalah kepemimpinannya dijalankan. Tahun 1955 ADS berhasil menjadi anggota Badan Kongres Kebatinan Indonesia yang disingkat BKKI. Sejak itu pula para penganut ADS dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka nyaris tanpa halangan.
Namun akhirnya sepuluh tahun kemudian di saat Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan asing, tepatnya tanggal 21 September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan ADS ketika itu terpaksa harus membuat pernyataan bermeterai yang isi pokoknya membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri menjadi penganut Katolik. Selain menandatangani surat tersebut, pimpinan ADS juga meminta para pengikutnya untuk tidak lagi meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Hal tersebut dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai akibat dari terbitnya Surat Keputusan Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang menetapkan bahwa perkawinan ADS yang selama itu dianggap sah secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah lagi menurut hukum. Penetapan tersebut tertuang secara jelas dalam Surat Keputusan No.01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64. Surat Keputusan tersebut memang tidak secara langsung menyangkut pembubaran ADS, namun pada kenyataannya membuat kesulitan bagi para penganutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya ketika harus berurusan dengan pemerintah, termasuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak Surat Keputusan tersebut menuntut para penganut ADS untuk menikah lagi secara hukum menurut tata cara agama tertentu.
Sebagai akibat peristiwa tersebut, terjadilah perpindahan masal para penganut ADS menjadi penganut agama Katolik. Dan dengan demikian pula mulailah kegiatan Gereja Katolik di Cigugur. Di samping melakukan pembinaan nilai-nilai dan cara hidup Katolik, pihak gereja juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi umat yang mendapat sambutan baik tanpa ada persoalan yang berarti, baik yang datang dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Namun demikian, setelah lebih kurang 16 tahun Gereja Katolik melakukan kegiatannya, tepatnya pada tahun 1981 Pangeran Djatikusumah yang adalah cucu Pangeran Madrais, mendirikan sebuah aliran kepercayaan baru yang diberi nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang disingkat PACKU. Secara politis berdirinya PACKU dimungkinkan oleh GBHN 1978, yang mengakui eksistensi aliran kepercayaan dalam wilayah hukum NKRI di samping lima agama yang telah lama diakui secara resmi oleh negara. Setelah PACKU berdiri, sekitar 2.000 orang Katolik eks ADS di seluruh daerah keuskupan Bandung mengajukan surat pernyataan mengundurkan diri dan keluar dari Katolik yang kemudian masuk menjadi anggota PACKU. Surat pernyataan tersebut ditandatangani atau diberi cap jempol oleh yang bersangkutan dan ditujukan kepada pastor di masing-masing paroki. Peristiwa masuknya sebagian umat Katolik eks ADS menjadi anggota PACKU dibarengi dengan terjadinya pertentangan, bukan saja pada tingkat perbedaan pendapat melainkan juga pertentangan sikap dan tindakan, di antara mereka yang masuk PACKU dan mereka yang tetap tinggal menjadi Katolik. Pertentangan tersebut menemukan bentuknya yang tragis ketika hal tersebut terjadi di dalam konteks keluarga. Sebagai ilustrasi, banyak suami-isteri yang mendadak ”perang dingin” karena sang suami masuk PACKU tetapi isterinya tidak atau sebaliknya. Ada pula kasus di mana kedua orangtua masuk PACKU tetapi anak-anaknya tidak, karena begitu tegang hubungan mereka kedua orangtua tersebut tega menyetop uang saku dan biaya sekolah anaknya yang ada di Bandung. Sebuah konflik internal yang intens antar anggota keluarga mengenai suatu hal yang bersifat hakiki, baik secara religius, ideologis maupun politis yang ternyata juga terdeteksi oleh para perumus kebijakan negara.
Setahun setelah peristiwa tersebut, tanpa diduga pemerintah menganggap PACKU sebagai neo-ADS yang telah membubarkan diri pada tahun 1964, oleh karena itu PACKU kemudian dilarang dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Kep. 44/K.2.3/8/82. Sebagai akibat larangan tersebut, secara hukum status sekitar 2.000 orang penganut PACKU tersebut menjadi ilegal dan secara politik menjadi tidak benar (legally and politically incorrect). Menghadapi situasi tersebut, sebagian besar dari mereka segera kembali menjadi Katolik yang diterima kembali dengan penuh curiga, sebagian kecil masuk Islam, beberapa masuk Kristen Pasundan, sisanya termasuk Pangeran Djatikusumah beserta keluarganya tetap menyatakan diri secara resmi sebagai penghayat aliran kepercayaan. Pada saat penelitian dilakukan pada tahun 1986, secara statistik, jumlah mereka ada 350 orang yang dicatat dalam tabel kependudukan sebagai kelompok lain-lain. Meski saat ini jumlah mereka tidak berkembang, namun baik secara politik dan secara hukum mereka mempunyai ruang dan diakui sebagai bagian dari kekayaan masyarakat dan budaya bangsa, khususnya sejak Abdurachman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Untuk mereka yang hirau dan giat memperjuangkan terwujudnya kerukunan antar umat beragama di tanah air, kisah komunitas religius ADS dari Cigugur memberi ilustrasi, betapa rentan dan sensitifnya akibat sebuah kebijakan negara ketika melakukan intervensi dalam kehidupan beragama. Ada dua kepentingan yang hampir tidak pernah mesra, kepentingan negara dan kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat religius lokal seperti para penganut ADS. Hampir semua kebijakan negara yang dibuat dalam kaitan dengan para pemeluk ADS, baik kebijakan pemerintah kolonial Belanda, Jepang, maupun Indonesia, hampir semuanya memihak pada kepentingan negara. Nyaris tidak ada kebijakan negara yang menempatkan kepentingan para penganut ADS sebagai bagian dari publik yang berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan dari negara. Oleh karena itu, secara teoritik kasus Cigugur juga menyisakan beberapa pertanyaan yang menarik sebagai bahan permenungan secara akademik. Pertama, apakah pengalaman iman seseorang atau suatu komunitas hanya merupakan urusan individu atau komunitas bersangkutan, ataukah juga merupakan urusan publik yang menuntut campur tangan negara? Kedua, jika hal tersebut merupakan urusan publik, sejauh mana pemerintah dapat melakukan intervensi melalui kebijakan publik? Ketiga, secara strategis bagaimana intervensi tersebut harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kesadaran orang pada beberapa pemahaman teoritik mengenai agama dengan berbagai aspeknya. Tulisan ini memfokuskan diri pada bagaimana agama dengan berbagai aspeknya dapat difahami secara sosiologis, sehingga dapat memahami segala implikasi yang mungkin terjadi, ketika sebuah intervensi harus dilakukan.
Setiap tahun pada tanggal 22 Rayagung (Dzul-hijjah), di Cigugur diadakan “Pesta Rakyat” semacam Sekaten di Yogyakarta yang terkenal dengan nama “SEREN TAUN”. Acara ini semula yang diprakarsai oleh keturunan Raden Sutawijaya dari Keraton Cirebon yang pada jaman dahulu mengungsi ke Cigugur karena tidak mau berkooperasi dengan pemerintah VOC. Seren Taun merupakan tradisi permohonan syukur masyarakat khususnya Jawa Barat sebagai masyarakat agraris kepada Sang Pencipta Kehidupan.

Referensi:
Strathof, Sadjarah Ngadegna Agama Djawa Sunda (ADS), Garut, 1970
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka Jaya, 1980
Ekadjati, Edi S. 1984.Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Hendropuspito, D, OC. 1983. Sosiologi Agama. Jogyakaarta: Yayasan Kanisius.
Kantapradja, Kamil.1985. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Masagung.

Retrieved from: http://mustafidwongbodo.blogspot.com/2009/12/menyusur-agama-djawa-sunda-dari-cigugur.html

Tuesday, October 2, 2012

Konsep Tuhan dalam Agama Djawa Sunda

Oleh Piun Novrin

1. Pengantar
Tuhan itu begitu misterius. Setiap agama memiliki caranya yang khas untuk mencoba mengenal siapakah Tuhan itu. Dalam makalah ini, saya ingin mengangkat konsep Tuhan dalam pemahaman Agama Djawa Sunda. Pertanyaan dasarnya adalah bagaimanakah Agama Djawa Sunda (ADS) membangun konsep tentang Tuhan? Lalu, apa korelasi antara konsep Tuhan itu dengan pokok-pokok ajaran yang dimiliki oleh ADS?
Tulisan ini terdiri dari 3 bagian. Pertama, penulis akan memaparkan latar belakang singkat mengenai ADS. Kedua, akan dipaparkan konsep Tuhan yang diyakini oleh para penganut ADS. Dan, ketiga, penulis akan melihat peran konsep Tuhan tersebut dalam pokok ajaran yang dihayati oleh penganut ADS.
2. Latar belakang singkat Agama Djawa Sunda
Agama Djawa Sunda lahir pada tahun 1848 di Gebang, Cirebon Timur. Pendiri ADS adalah Pangeran Sadewa Madrais Kusuma Wijaya Ningrat. Ia merupakan putra dari Pangeran Alibassa I, Sultan dari Kasultanan Gebang. ADS seringkali disebut juga sebagai Madraisme mengingat pendirinya yang bernama Madrais. Agama ini kemudian berkembang cukup pesat di daerah Cigugur, Kuningan. Penganutnya tersebar luas di berbagai daerah di Jawa Barat. Sekitar tahun 1940-an, tercatat bahwa anggota ADS mencapai sekitar 60.000 orang, sebelum akhirnya ADS ini dibubarkan karena dianggap melawan pemerintah kolonial. Selanjutnya, di tahun 1960-an sebagian besar anggota ADS masuk ke dalam Gereja Katolik.
Istilah “Djawa” dan “Sunda” dalam ADS tidak ada kaitannya sama sekali dengan identitas pulau atau ke-suku-an Jawa dan Sunda. Semboyan utama dari ADS adalah “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda”. Dengan semboyan tersebut, frase “Djawa Sunda” dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata “Djawa” adalah singkatan dari andjawat (mengambil) dan andjawab (menjawab atau melaksanakan). Sementara itu, kata “Sunda” adalah singkatan dari kata-kata Roh susun-susun kang den tunda (Roh yang tersusun-susun tertunda atau yang ada di dunia). [1]
Semboyan itu mengandung makna bahwa di dalam dunia ini, terdapat berbagai macam roh. Selain roh manusia, terdapat pula roh-roh lain yang berdiam di dalam benda dan makhluk ciptaan Tuhan seperti binatang, tumbuhan, batu, api, angin, tanah, dll. Konsep mengenai roh ini nantinya akan begitu mempengaruhi seluruh ajaran ADS berikut dengan konsep Tuhan yang dipercayainya.
Asas dan tujuan ADS adalah mengabdi kepada perintah Tuhan dan kepada perikemanusiaan. Ungkapan yang terkenal dari ADS adalah sampurnaning hirup, sajatining mati (hidup sempurna, mati sejati).[2] Manusia itu hendaknya jangan hanya hafal dan mengerti dengan akal budinya saja, melainkan juga mengarahkan seluruh tindakan dan perbuatannya kepada perintah Tuhan. Para penganut ADS memandang agama bukan hanya sebagai kepercayaan saja, melainkan lebih sebagai ukuran hidup. Dengan agama, mereka senantiasa mengukur apakah hidupku ini sudah selaras atau belum terhadap perintah Tuhan dan perintah kemanusiaan. Ukuran ini dikenakan pada setiap sir-rasa-pikir (kehendak, ucapan, perbuatan, pikiran) yang muncul. Dengan begitu, penghayatan agama tidak jatuh dalam fanatisme sempit belaka, melainkan benar-benar menjadi nafas hidup, urat nadi dalam hidup seseorang.
3. Konsep Tuhan dalam Agama Djawa Sunda
Menurut kepercayaan ADS, Tuhan itu ada dan maha pencipta, mahaesa, mahakuasa maha adil, maha pengasih dan penyayang, serta seru sekalian alam. Tuhan tidak jauh dan terpisahkan dari semua ciptaan-Nya, terutama manusia. Allah tidak berbentuk dan tidak dapat ditentukan tempat tinggalnya. Para penganut ADS memeluk paham monoteisme, tetapi mereka percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana. Istilah “Tuhan ada di mana-mana ini” lebih mengacu pada arti bahwa Tuhan (‘Zat’ atau ‘Sawab’ atau ‘Hurip’-Nya) ada di dalam diri setiap ciptaan-Nya. Hal ini berarti di dalam manusia ada zat Tuhan, di dalam tumbuhan ada zat Tuhan, di dalam hewan ada zat Tuhan, dan di dalam benda mati pun (api, air, angin, batu, dll) ada zat Tuhan.
Menurut ADS, Tuhan disebut sebagai Gusti Sikang Sawiji-wiji (wiji berarti inti). Tuhan adalah inti kelangsungan hidup di dunia ini. Sebagai inti dari segala kehidupan, Tuhan dapat ditransformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkret. Inti tersebut kemudian tertanam dalam setiap karya ciptaan-Nya. [3]
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Hanya manusialah yang memiliki Sir-Rasa-Pikir dan Akal-Budi (rasa rumasa dan rasa tumarima), sedangkan binatang dan tumbuhan hanya memiliki naluri. Pada manusia, zat/sawab Tuhan membentuk tujuh ‘oknum’ yaitu sifat-sifat Allah dan sifat-sifat manusia: sir, rasa, roh, hurip, nyawa, cahaya, dan sukma. Sementara itu, pada makhluk lain, zat/sawab/hurip Tuhan membentuk dua sifat yakni sifat pengarahan kembali kepada asal dan sifat kodrat (sifat kebinatangan atau sifat makhluk sesuai dengan wujud dan namanya).
Manusia, dalam konsep ADS, adalah medium atau perantara yang paling penting. Sifat pengarahan kembali kepada asal yang dimiliki oleh hewan atau tumbuhan membutuhkan manusia sebagai perantara. Sebagai contoh, manusia memakan kambing dan sayur kangkung. Dengan tindakan makan tersebut, maka, kambing dan sayuran kangkung itu dapat mengarah kembali kepada asal. Dari yang tadinya berbentuk kambing/kangkung, makhluk-makhluk itu kemudian berubah wujud menjadi makanan yang menghidupi manusia. Perubahan wujud itu menandakan bahwa sifat kepada yang asali telah terjadi.
Namun, manusia sebagai media perantara, tetap harus eling dan waspada sebab sifat pengarahan kembali ke asal tersebut tidak terpisahkan dari sifat kodratnya (seperti nafsu kebinatangan, sifat rakus, semaunya sendiri). Sifat kodrat yang tak terpisahkan ini akan mempengaruhi rasa dan pikiran manusia. Sebagai contoh, manusia makan tongseng asu (anjing). Nah, dengan makan daging anjing itu, mau tak mau sifat kebinatangan anjing ikut terserap pula ke dalam diri manusia. Itulah sebabnya, menurut kepercayaan ADS, manusia memiliki perasaan, pikiran, atau tindakan jahat: suka berkelahi, melampiaskan nafsu birahi seenaknya, sikap mudah marah seperti yang terdapat dalam sifat anjing.
Masuknya sifat-sifat makhluk seperti itu ke dalam diri manusia tidak hanya terjadi melalui tindakan makan, tetapi juga melalui tindakan melihat, mendengar, meraba, meminum (air, teh, susu) dan juga menghirup (udara). Oleh karena itu, para penganut ADS memiliki pedoman bahwa Pelawangan anu lima (panca indra) adalah jembatan batin manusia.
Dengan demikian, tugas besar manusia menjadi jelas yakni menjaga diri dan membersihkan batin agar pengaruh kodrat dari makhluk-makhluk lain dapat dinetralisir. Konsep “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda” menjadi semakin jelas. ADS mempercayai bahwa di sekitar manusia, terdapat berbagai macam roh yang dapat mempengaruhi dirinya. Oleh karena itu, manusia perlu terus-menerus mengadakan “consideratio”: memilih dan mengambil pengaruh roh-roh yang baik dan menjauhkan diri dari pengaruh roh-roh atau sifat kodrat yang buruk.
Bagaimana cara mengadakan consideratio tersebut? ADS menjawabnya dengan jalan memperteguh iman kepada Tuhan dan membuka kesadaran batin terhadap sisi kemanusiaan. ADS memberikan sejumlah perangkat norma kepada para penganutnya untuk melakukan pemilihan roh ini yakni dengan jalan triwikrama (senantiasa mengoreksi sir-rasa-pikir yang muncul dalam benak manusia). Atau, perang mandalerang sajeroning kurungan (memerangi hawa nafsu jahat dalam batinnya sendiri). Atau, wiwaha yuda negara (senantiasa melakukan pertimbangan manakala menginginkan sesuatu). Apabila manusia secara konsisten melakukan andjawat lan andjawab roh-roh yang ada di sekitarnya, niscaya manusia akan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan yakni menjadi sadar akan diri, identitas, dan jati dirinya sendiri.
Pemujaan penganut ADS kepada Tuhan terjadi secara langsung yakni melalui doa, olah tapa, atau berdialog dalam batin. Dan dapat pula terjadi secara tidak langsung yakni dengan amal kasih kepada sesama, menjunjung tinggi bangsa dan negara, serta taat pada peraturan yang berlaku. Salah satu hal yang menarik dalam ADS adalah cara semedinya. Mereka menyebutnya sebagai Nyipta Sisakapura.[4] Dalam semedi itu, seseorang berusaha untuk melihat dan menghadirkan wajahnya sendiri sebagai bahan meditasi. Bentuk semedi macam ini cukup sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesetiaan dan kesabaran untuk dapat mencapai tingkat semedi yang khusyuk. Lagi-lagi, dalam hal ini tekanannya adalah “wajah diri sendiri”. Untuk mencapai kebahagiaan, pertama-tama orang harus mengenal dirinya sendiri serta dapat memetakan roh-roh apa saja yang mempengaruhi dirinya selama ini. Dengan demikian niscaya, manusia akan mengenal Tuhan.
4. Penerapan konsep akan Tuhan dalam pokok ajaran ADS
Konsep Tuhan yang dimiliki oleh ADS nyata tersurat dalam pokok-pokok ajaran mereka yang dikenal sebagai pikukuhtilu[5], yakni sebagai berikut. Pertama, Ngaji Badan. Ngaji berarti mengkaji, menyaring, memilih. Badan berarti segala unsur alam raya yang menyebabkan manusia ada dan hidup. Maksud dari ajaran ini adalah bahwa manusia harus selalu mampu menjaga rasa dan pikirannya agar tidak menyeleweng. Caranya adalah dengan memilih dan menimbang-nimbang gerakan batin atau kecenderungan roh yang sedang mempengaruhi dirinya. Yang baik diikuti dan yang jahat dihindari.
Kedua, Iman Kana Tanah. Iman berarti ingat atau eling. Tanah berarti asal mula kehidupan. Dengan demikian, ajaran iman kana tanah ini mempunyai maksud agar manusia senantiasa ingat akan segala unsur alam raya yang telah membentuk dirinya. Manusia memiliki keunggulan tersendiri yakni dipercaya Tuhan untuk mengolah unsur-unsur alam raya. Maka, hendaknya manusia selalu ingat kepada ‘tanah’, ingat akan ciri khas dirinya, serta mendayagunakan sumber alam yang ada sebaik-baiknya demi kehidupan manusia dan keseimbangan alam.
Ketiga, Ngiblating Ratu Raja. Ngiblat berarti mengarah, memiliki orientasi tertentu, atau menghadap. Ratu berarti yang bisa meratakan atau mengatur/menata. Alam yang harus diatur bukan saja alam raya, tetapi juga alam yang terdapat dalam diri manusia yakni sir, rasa, dan pikiran. Seringkali rasa sirik atau munafik sering mengacaukan tatanan alam manusia. Oleh karena itu, Ngiblating Ratu Raja berarti orang yang mampu meratakan atau mengatur bukan saja orang lain tetapi juga dirinya sendiri.
5. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Agama Djawa Sunda memiliki pandangan bahwa Tuhan itu ada dan Mahaesa. “Zat” atau “sawab” Tuhan merupakan inti yang terdapat dalam setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Namun, setiap makhluk juga memiliki sifat kodrat negatif yang tidak bisa dilepaskan dari inti/zat Tuhan tersebut.
Di sisi lain, manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara ciptaan lainnya. Untuk dapat hidup sempurna mati sejati, manusia perlu terus-menerus berusaha memilih (andjawat) dan mengambil (andjawab) roh-roh yang baik dan menjauhi pengaruh roh-roh jahat yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, manusia akan sampai pada kesadaran akan dirinya sendiri. Lalu, kesadaran itu akan semakin mendekatkan relasinya dengan Tuhan.
Daftar Pustaka
Kristiyanto, A. Eddy (ed.). Spiritualitas Dialog: Narasi Teologis tentang Kearifan Religius. Yogyakarta: Kanisius, 2010, s.v. “Madraisme: Memapar Khazanah Rohani Agama Djawa Sunda” hlm. 173-223.
Subagya, Rahmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1981.
“Agama Jawa Sunda” oleh Muhamad Hisyam dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/

[1] A. Eddy Kristiyanto, “Madraisme: Memapar Khazanah Rohani Agama Djawa Sunda” dalam Spiritualitas Dialog: Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 177.
[2] Ibid. hlm. 192.
[3] “Agama Jawa Sunda” oleh Muhamad Hisyam dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchKatalog/ byId/6298 (diunduh tgl. 18 Mei 2011).
[4] Op.cit, Spiritualitas Dialog, hlm. 188.
[5] Ibid., hlm. 182.

Retrieved from: http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/28/konsep-tuhan-dalam-agama-djawa-sunda/

Monday, October 1, 2012

Pangeran Djatikusumah: Mempertahankan Tradisi, Terasing di Negeri Sendiri

Warisan Indonesia, November 29, 2011 11:18 am
 
SEBAGAI penerus ajaran Kiai Madrais, Pangeran Djatikusumah (79) adalah sosok yang paling tepat untuk menjelaskan ajaran serta peran tokoh “perlawanan senyap” itu pada masa penjajahan Belanda. Berikut perbincangan Warisan Indonesia dengan pemimpin Komunitas Adat Cigugur itu di sela-sela persiapan “Seren Taon” yang tahun ini berlangsung pada 14-19 November 2011. Berikut petikannya.

Bisa diceritakan bagaimana Komunitas Adat Cigugur ini bermula?
Secara getok tular (mulut ke mulut) dari leluhur kami. Dulu sembunyi-sembunyi, dengan datangnya Islam, ada yang namanya Islam abangan, nah kami dikatakan Sunda Wiwitan, istilah wiwitan itu maknanya yang pertama. Sebelum kedatangan agama dari luar Nusantara, kami sudah ada. Pegangannya adalah yang dikenal dengan tritangtu, yakni tri tangtu dibuana, tritangtu dinaraga, tritangtu dinagara, jadi itu juga termasuk apa yang ada dalam pikiran, naluri, rasa, dan pikir.

Jadi, sebelum Kiai Madrais lahir, komunitas ini sudah ada. Dasarnya, kepercayaan pada ajaran lama Sunda Wiwitan. Semasa Kiai Madrais ada masalah, ketika Belanda memorakporandakan Kepangeranan Gebang karena menolak kedatangan Belanda. Gebang akhirnya bekerja sama dengan Mataram menyerang Batavia. Masyarakat Gebang sering melakukan kraman—kerusuhan untuk menyabotase— tanam paksa di daerah kekuasaan Cirebon yang bekerja sama dengan kompeni. Akhirnya, ada yang menyampaikan kepada pemerintahan Belanda bahwa kerusuhan itu direstui oleh Pangeran Gebang. Sejak itulah kekuasaan Gebang dilumpuhkan dan wilayahnya dibagikan kepada tiga kasultanan, yaitu Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan.

Akhirnya, Pangeran Gebang mengungsikan putranya, Kiai Madrais, ke Cigugur ini. Karena Cigugur daerah basis tentara Mataram manakala ingin menyerang Batavia. Kiai Madrais yang dulunya Pangeran Sadewa Alibassa, mengajarkan kerohanian. Pada waktu itu, asal ada orang tua mengajarkan kerohanian disebut kiai dan tempatnya disebut pesantren.

Kiai Madrais tidak hanya mengajarkan agama Islam, muridnya ada yang Khonghucu dan agama lain. Beliau mengarahkan agar umat benar-benar menghayati ajaran agama. Bahwa engkau orang muslim tidak akan menjadi orang Arab, engkau seorang Katolik atau Kristen tidak menjadi orang Romawi atau Eropa, engkau penganut Hindu tidak menjadi orang India, engkau tetap berpijak di bumi Sunda.

Kiai Madrais tidak mengatakan Sunda itu sebagai Jawa Barat saja, tetapi Sunda Besar dan Sunda Kecil, yang tak lain adalah Nusantara ini. Belanda akhirnya curiga, lalu menghimpun kekuatan dan kami dipecah belah dengan stigma dan label sebagai orang kafir yang menyesatkan. Hingga akhirnya Kiai Madrais dibuang ke Tanah Merah, Merauke (Papua) selama tahun 1901-1908.

Jadi, kami ini meneruskan ajaran Kiai Madrais itu. Ada yang murni artinya memakai ajaran Sunda, ada yang Islam, ada Kristen, tetapi mereka tetap percaya ajaran leluhur. Maka setiap tahun yang jatuh pada 22 Rayagung ada upacara syukuran yang diselenggarakan secara plural, doa lintas agama. (WI/E. Pudjiachirusanto/ Bambang Triyono)
 
— Baca artikel lengkapnya di Majalah Warisan Indonesia Vol.01 No.11 —

Retrieved from: http://warisanindonesia.com/2011/11/pangeran-djatikusumah-mempertahankan-tradisi-terasing-di-negeri-sendiri/