http://digilib.uin-suka.ac.id/3165/1/BAB%20I,V.pdf
Local Variants of Islam in Indonesia: Minority Religions and Religious Sects with Islamic Origin or Influence
Monday, December 31, 2012
Saturday, December 15, 2012
Pondok Pesantren LDII Burengan Kediri
I. Pendahuluan
Hingga saat ini kajian ilmiah mengenai Pondok
Pesantren Burengan (PPB) yang terletak di kota Kediri sebagai salah satu
pondok pesantren besar di Indonesia masih belum memadai. Padahal selama
satu dekade terakhir ini PPB mengalami perkembangan yang luar biasa.
Sejak tahun 2001 misalnya, PPB mengelola dan mendidik siswa (santri)
mukim rata-rata berjumlah 1700 orang.1 Angka itu belum mencakup santri kalong yang pada saat tertentu secara periodik dapat mencapai 3000 orang.2
PPB tidak hanya mendidik santri-santri yang berasal dari berbagai
wilayah di Indonesia tetapi juga dari luar negeri seperti Singapura
Malaysia, Perancis, Belanda, Suriname, dan sebagainya. Dengan demikian
alumni PPB juga menyebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia dan luar
negeri.
Apa yang digambarkan di atas berhubungan dengan
efektifitas dan efisiensi dari sistem pendidikan yang diterapkan di PPB.
Sistem pendidikan di pesantren ini terutama berbasiskan pada kajian
intelektual dari sumber ilmu Islam yaitu Al Qur’an an Al Hadits. Metode
pembelajaran yang diterapkan di pesantren ini berpegang pada kajian
tekstual yang ditransformasikan dalam bentuk-bentuk kultural yang
bersifat kontektual dan kemudian dimanifestasikan dalam prilaku yang
islami.
Keunikan PPB juga dapat dilihat dari sarana dan
prasarana yang dimilikinya. Pesantren ini memiliki sarana gedung yang
cukup representatif baik untuk ruang belajar, tidur, kamar mandi,
perpustakaan, aula pertemuan dan olah raga, masjid, dapur dan
sebagainya. Masjid yang berada di komplek pondok juga dilengkapi dengan
menara setinggi 90 M. Apa yang paling menarik adalah kebersihan podok
pesantren kelihatan sangat terjamin. Hal ini berbeda dengan citra pondok
pesantren tradisional selama ini yang diidentikkan dengan penyakit
kulit karena kejorokannya. Hal yang juga menarik adalah bahwa ribuan
alumni lulusan PPB ini terserap oleh kebutuhan masyarakat modern yang
haus secara spiritual. Mereka menjadi mubaligh di berbagai penjuru di
Indonesia dan beberapa negara di luar negeri.
Dengan latar belakang itulah artikel ini akan
mengkaji bagaimana sistem pendidikan PPB sehingga mampu berkembang
menjadi pondok pesantren yang mampu menjadi rahmatan lil alamin bukan
hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Artikel
ini akan lebih memfokuskan pada kajian model pembelajaran hukum-hukum
Islam di PPB. Penekanan pada kajian model pembelajaran ini sangat
penting karena model pembelajaran akan mempengaruhi dan menentukan pola
berpikir dan berperilaku para santri alumni dalam kehidupan masyarakat.3
II. Potret Pondok Pesantren Burengan
A. Sejarah Singkat
Pondok Pesantren LDII Burengan atau juga dikenal
dengan nama Pondok Burengan terletak di jalan H.O.S. Cokroaminoto 195
Kediri, propinsi Jawa Timur. Pondok Burengan memiliki sejarah yang cukup
panjang. Pondok pesantren ini didirikan oleh K.H. Nurhasan Al Ubaidah
pada tahun 1952 dengan nama Pondok Pesantren Burengan-Banjaran Kediri.
Pada waktu itu kondisi bangunan pondok masih sangat sederhana yaitu
dengan dinding bambu dan lantai tanah. Dengan perjuangan dakwah yang
tidak mengenal lelah dan penuh dengan pengorbanan akhirnya K.H. Nurhasan
Al Ubaidah berhasil mengembangkan pondok pesantren ini dengan cepat.
Pada awal perkembangannya, strategi dakwah yang
digunakan adalah dengan menyelengarakan asrama khataman Al Qur’an dan
Hadits yang diselenggarakan dengan cara keliling (dengan tempat yang
berpindah-pindah). Bahkan tidak jarang K.H. Nurhasan melayani debat
terbuka dengan para kyai terkenal di kawasan Jawa Timur.4
Asrama khataman yang pertama diselenggarakan pada tahun 1954 yang pada
waktu itu diikuti oleh 30 laki-laki dan 10 perempuan. Pada tahun 1956,
kegiatan asrama Al Qur’an diselenggarakan di Jalan Panggung Sasak
Surabaya dengan diikuti oleh sekitar 100 orang. Strategi dakwah semacam
ini sangat menarik perhatian masyarakat yang haus akan ilmu Al Qur’an
dan Hadits. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1950-an hingga akhir
tahun 1960-an terjadi konflik yang semakin memanas antara partai-partai
politik yang Islam dengan partai-partai politik yang sekuler.
Pada tahun 1973 K.H. Nurhasan Al Ubaidah menderita
sakit sehingga tidak mampu lagi untuk mengelola Pondok Burengan. Pada
akhirnya Dewan Guru Pondok memilih Drs. Bachroni Hertanto selaku
Pimpinan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) sebagai pimpinan pondok hingga
wafatnya pada tahun 1985. Selanjutnya Direktorium Pusat LEMKARI
berserta dengan Dewan Guru Pondok dan anggota civitas akademika lain
memilih Drs. H. Imam Supardi sebagai Pimpinan pondok. Namun demikian
karena kesibukannya sebagai pegawai negeri, ia kemudian mengundurkan
diri sebagai pimpinan pondok pada tahun 1989. Untuk selanjutnya
terpilihlah H. Abdul Hamid Mansur, S.H. untuk menjadi ketua pimpinan
Pondok Pesantren LEMKARI. Pada tahun 19-20 November 1990 LEMKARI
menyelenggarakan Musyawarah Besar (MUBES) ke-4 di Jakarta yang
memutuskan antara lain perubahan nama LEMKARI menjadi LDII.5
Dengan demikian namanya juga berubah menjadi Pondok Pesantren LDII
Burengan-Banjaran Kediri. Nama ini dipakai hingga saat ini. Pada saat
ini pimpinan pondok dipegang oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E.
B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan
Puncak dari struktur organisasi pondok pesantren
adalah Dewan Penasehat yang beranggotakan dua orang. Dewan Penasehat
mempunyai tugas memberikan garis besar arah kebijakan pengembangan
pondok pesantren di masa depan. Di samping memiliki fungsi konsultatif,
Dewan Penasehat juga memiliki fungsi kontrol dan evaluasi terhadap
kinerja yang dilakukan oleh Pimpinan Pondok. Dengan demikian Dewan
Penasehat memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menentukan arah
perkembangan pondok.
Di bawah Dewan Penasehat terdapat Pimpinan Pondok
yang merupakan badan eksekutif tertinggi yang bertugas menjabarkan dan
mengimplementasikan arah kebijakan pengembangan pondok pesantren yang
digariskan oleh Dewan Penasehat. Pimpinan Pondok bertanggungjawab atas
pengelolaan seluruh perputaran roda kehidupan pondok sehari-hari.
Berkembang dan mundurnya pondok ditentukan oleh kinerja Pimpinan Pondok
yang dibantu oleh Wakil Pimpinan Pondok dan jajaran stafnya. Pada saat
ini Pimpinan Pondok dijabat oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E. sedangkan
Wakil Pimpinan Pondok dipegang oleh H. Umar Shodiq.
Dalam pengelolaan kegiatan sehari-hari Pimpinan
Pondok dibantu oleh staf yang terdiri dari Sekretaris dan Bendahara.
Sekretaris bertanggungjawab kepada Pimpinan Pondok dalam pelaksanaan
tugasnya di bidang administrasi umum pondok. Dalam mengemban tugas,
sekretaris dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Sementara itu tugas
Bendahara adalah mengelola keuangan pondok dan mempertangungjawabkannya
kepada Pimpinan Pondok. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bendahara dibantu
oleh Wakil Bendahara.
Untuk pelaksanaan tugas harian dalam rangka
menggerakkan dinamika pondok, Pimpinan Pondok dibantu juga oleh
Koordinator Bidang dan Seksi-seksi. Dalam hal ini terdapat satu
koodinator yaitu Koordinator Bidang Pendidikan yang dibantu oleh seorang
Sekretaris Seksi Pendidikan dengan membawahi: Seksi Pendidikan Siswa,
Seksi Pendidikan Generasi Penerus, dan Seksi Pendidikan Warga. Seksi
Pendidikan Siswa bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan proses
pembelajaran para santri secara umum. Seksi Pendidikan generasi penerus
(Generus) menjalankan fungsi untuk membina para santri dan remaja
lingkungan pondok untuk mendalami ilmu Al Qur’an dan Hadits dengan
harapan agar mereka dapat menjalankan hidupnya dengan menjadi mubaligh.
Sementara itu seksi Pendidikan Warga bertugas menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan pengajian dan kegiatan keagamaan lain dengan sasaran
anggota keluarga para pengurus dan guru pondok. Selain itu juga terdapat
sembilan Seksi di luar pendidikan yaitu Seksi Pembangunan, Seksi
Keamanan, Seksi Hubungan Masyarakat, Seksi Konsumsi, seksi Kendaraan,
Seksi Kebersihan, Seksi Olah Raga, Seksi Kesehatan, serta Pembantu Umum.
Di dalam struktur Bidang Pendidikan terdapat Dewan
Guru yang merupakan kumpulan dari para pengajar atau ustad yang mengajar
berbagai ilmu agam di Pondok. PPB memiliki 40 orang guru yang terdiri
dari 30 guru pria dan 10 orang guru wanita. Anggota Dewan Guru ini
sebagian besar menetap di dalam lingkungan pondok, sedangkan sisanya
tinggal di luar pondok. Semua guru adalah para alumnus terbaik dari PPB.
Namun demikian mereka direkrut menjadi guru PPB setelah mereka
menjalani pengabdian sebagai mubaligh di daerah-daerah tugass. Pada saat
mereka bertugas di daerah-daerah itulah para guru senior memantau dan
menilai kinerja mereka. Jika mereka dapat menjalankan tugas dengan baik
tanpa ada cacat moral dan sosial, maka mereka bisa direkrut menjadi guru
di PPB sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Secara formal, Pondok Burengan tidak dapat dipisahkan
dengan organisasi LDII. Antara Pondok Burengan dan organisasi LDII
memiliki ikatan historis dan emosional yang sangat erat. Pondok Burengan
merupakan pondok pesantren yang berada di bawah payung organisasi LDII.
Sebaliknya organisasi LDII mewadahi kepentingan-kepentingan Pondok
Burengan dalam berhubungan dengan lembaga-lembaga lain baik pemerintah
maupun non-pemerintah. Dimensi-dimensi kegiatan dakwah dari organisasi
LDII terutama yang menyangkut pendidikan para mubaligh dipersiapkan dan
digodog oleh Pondok Burengan. Jadi ada semacam hubungan timbal balik
antara keduanya.
Penggodogan santri calon mubaligh sebetulnya bukan
hanya dilakukan di PPB saja tetapi juga di pondok-pondok pesantren yang
lebih kecil yang disebut Pondok Mini. Pondok Mini ini berfungsi mendidik
dan mempersiapan santri lokal agar dapat lolos test masuk PPB. Bagi
daerah yang belum memiliki Pondok Mini dapat mempersiapkan hal ini di
Pondok Gading Mangu di Kertosono. Pada saat ini hampir setiap daerah
setingkat kabupaten / kota atau setingkat DPD (Dewan Pimpinan Daerah)
LDII Kabupaten/ Kota sudah memiliki pondok mini. Namun demikian belum
ada jumlah yang pasti mengenai hal ini. Yang jelas bahwa saat ini LDII
sudah memiliki cabang di 32 propinsi (DPD Propinsi), 302 DPD Kabupaten/
Kota, 1637 PC (Pengurus Cabang) di tingkat kecamatan, dan 4.500 PAC
(Pengurus Anak Cabang) di tingkat desa.6
Perlu dikemukakan di sini bahwa para pengurus Pondok
dipilih dengan menggunakan dasar ‘musyawarah untuk mufakat’ di antara
anggota Dewan Pimpinan Pusat LDII, Dewan Guru Pondok, dan civitas
akademika yang lain. Prosedur ini memang sesuai dengan ajarah Islam yang
menganjurkan kepada umat selalu bermusyawarah dalam memecahkan
persoalan umat. Musyawarah diyakini dapat mengakomodasi berbagai
pendapat dan kepentingan dalam bingkai yang sama. Oleh karena itu tidak
pernah terjadi percekcokan di antara warga pondok dalam persoalan
pemilihan pengurus Pondok.
C. Fasilitas
Pondok pesantren yang terletak di tengah kota Kediri
ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap yang dapat digunakan untuk
proses pembelajaran para santri. Secara umum dapat dikatakan bahwa PPB
memiliki kapasitas untuk menampung santri mukim sebanyak sekitar 2000
orang baik laki-laki maupun perempuan dan sekitar 50 orang pengurus dan
guru pondok beserta keluarganya.
Bangunan-bangunan pondok terletak di atas tanah
seluas 3,4 hektar yang terdiri dari antara lain: kantor pondok 2 lantai,
bangunan parkir 7 lantai, gedung Aula Wali Barokah 3 lantai, Gedung DMC
Asrama Putra 50 kamar 3 lantai, Asrama Putri 70 kamar 3 lantai, Masjid
Baitil A’la 3 lantai, Menara Agung setinggi 99 meter, bangunan kamar
tamu umum pria 2 lantai, kamar tamu umum wanita, kamar tamu Wisma
Tenteram, Gedung Pengajian, Kantor Organisasi DPP LDII, bangunan rumah
para pengasuh dan pengajar, Unit Kesehatan Pria, Unit Kesehatan Wanita,
Dapur Asrama, ruang makan tamu, ruang olah raga fitness, lapangan olah
raga tenis lantai, dan berbagai unit bangunan lain seperti dapur kamar
mandi, ruang tamu, dan sebagainya. Beberapa dari gedung-gedung itu
penggunaanya diresmikan oleh para pejabat negara seperti Gedung Aula
wali barokah diresmikan oleh Menteri Siswono Yudho Usodo.
PPB tidak memiliki gedung untuk sekolah formal sebab
PPB mengkhususkan pada kajian kitab dengan beberapa tambahan pelajaran
praktis untuk kehidupan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan tujuan
PPB yang memang khusus mencetak para pendakwah Islam. Biasanya mereka
yang masuk PPB sudah menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat
tertentu. Baru setelah mereka lulus PPB dan bertugas di daerah, maka
sebagian mereka ada yang melanjutkan sekolah formal sambil menjadi
mubaligh.
Para santri putri (santriwati) dan santri putra
(santriwan) dipisahkan dengan menempati gedung yang berbeda, meskipun
jaraknya tidak terlalu jauh dan masih satu kompleks. Antara asrama puta
dan putri terpisahkan oleh masjid. Namun demikian pada jalan menuju ke
masjid dibuat tanda pemisah yang terbuat dari tali antara jalan yang
khusus santriwati dan santriwan agar di antara mereka tidak
senggol-senggolan atau bertabrakan.
Selain memiliki sarana meja-kursi untuk mengaji
sebanyak ± 1.500 unit juga terdapat fasilitas antara lain mobil van 4
unit, truk 2unit, minibus 1 unit, dan sepeda motor sebanyak 20 unit.
Selain itu, untuk sarana belajar juga disediakan perpustakaan dan
fasilitas komputer serta tempat praktek untuk pelajaran ketrampilan
seperti menjahit, memasak, dan sebagainya. Selain itu PPB juga memiliki
koperasi atau yang disebut Usaha Bersama (UB) yang menyediakan berbagai
keperluan sehari-hari dan sembako (sembilan bahan pokok). Selain itu
juga ada unit UB yang menangani penjualan kitab-kitab yang dibutuhkan
oleh para santri dan para peziarah yang datang dari luar kota yang ingin
ber-silaturrahim di PPB. Selain disediakan oleh UB, berbagai keperluan
ibadah dan pakaian termasuk-kitab-kitab juga dijual oleh kios-kios yang
dimiliki oleh keluarga pengurus PPB dan Dewan Guru yang tinggal di dalam
kompleks PPB. Fasilitas lain adalah tersedianya air minum di dalam
dispenser yang dapat digunakan oleh dan untuk kesejahteraan seluruh
civitas akademika
Satu hal yang menyolok adalah bahwa
fasilitas-fasilitas tersebut di atas tampak bersih dan terawat serta
tidak terkesan adanya kekumuhan yang secara umum merupakan salah satu
ciri khas dari pondok pesantren. Hal ini barangkali tidak luput dari
peran seksi Kebersihan pondok yang dapat memberdayakan segala sumber
daya yang ada di kampus.
III. Sistem Pendidikan
Visi yang ingin dicapai oleh Pondok Pesantren LDII
adalah terlaksananya cita-cita yang dikenal dengan ‘Tri Sukses Pondok
LDII’ yang mencakup sukses dalam bidang akhlak, alim, dan
trampil/mandiri. Dalam bidang akhlak, pondok ini berusaha untuk mencetak
manusia yang berwatak akhlakul karimah, mempunyai budi pekerti luhur,
mempunyai tata karma, dan sopan santun dalam pergaulan masyarakat dan
keluarga. Para alumni diarapkan menjadi manusia yang memiliki jati diri,
berwatak budi luhur, mampu bergaul dengan masyarakat, menghargai orang
tua, dan mentaati segala peraturan dan perundang-undangan. Dalam bidang
ilmu, pondok ini berusaha untuk mencetak manusia-manusia yang berilmu,
mempunyai bekal ilmu agama Islam yang mantap serta mampu mengamalkan
ilmu agama secara benar baik secara pribadi maupun sebagai warga
masyarakat. Di bidang ketrampilan dan kemandirian, pondok ini bertekad
untuk mencetak insane mandiri. Oleh karena ini di samping para santri
menerima pelajaran ilmu-ilmu agaa, merekajuga diberi bekal ketrampilan
ssuai dengan bakatnya seperti kerampilan menjahit/ bordir, pertukangan
batu/ kayu, elektronik, perbengkelan, pertanian, dan sebagainya. Denbgan
demikian diharapkan setelah mereka lulus dari pondok tidak akan
menggantungkan diri dapa keluarga dan orang tua, tetapi dapat hidup
mandiri.
Sistem pengajaran di PPB tidak didasarkan atas
penjejangan yang ketat sebagaimana sekolah formal. Misalnya dalam hal
penerimaan santri tidak ada batasan waktu. Setiap bulan PPB dapat
menerima santri baru atau bahkan setiap hari. Sebaliknya setiap saat PPB
juga meluluskan santri-santrinya tergantung dari kesiapan para santri
untuk menjalani test kelulusan, baik kelulusan masing-masing tingkat
maupun kelulusan akhir. Dengan demikian pada dasarnya sistem
pembelajaran di PPB ini meskipun dilaksanakan secara klasikal berdasar
kelompok pembelajaran tetapi sesungguhnya bersifat individual. Bagi
santri yang merasa sudah mampu dapat sewaktu-waktu mengajukan untuk test
kelulusan tingkat ataupun test kelulusan akhir.
A. Kurikulum
Pondok Pesantren LDII Burengan merupakan ‘pondok
tradisional plus’. Dalam hal ini santri tidak hanya diberi pelajaran
ilmu agama saja tetapi juga dibekali ketrampilan sehingga bisa tercipta
sumber daya manusia yang trampil dan mandiri yang dilandasi iman dan
taqwa kepada Tuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan
di pondok pesantren ini bersifat non formal. Dalam hubungan ini, sistem
pendidikan tidak mengenal adanya tingkatan formal dan akhir tahun
ajaran. Para santri dikelompokkan atas dasar spesialisasi kitab dan daya
serap ilmu yang diajarkan. Setiap santri yang sudah merasa siap dapat
mengajukan ujian untuk memperoleh kelulusan.
Ada berbagai kelompok pembelajaran sesuai dengan
tingkat kompetensi masing-masing santri mulai dari kelas anak-anak,
pemula, hingga kelas untuk persiapan ujian. Paling tidak ada sembilan
kelompok pembelajaran yaitu Cabe Rawit (usia 5-12 tahun), Menulis Arab,
Bacaan Al Qur’an, Tafsir Lambatan Jawa, Tafsir Lambatan Indonesia,
Tafsir Cepatan Jawa, Tafsir Cepatan Indonesia, Ujian/ Test, dan
Lanjutan/ Terampil.
Pada kelompok pembelajaran Cabe Rawit, pelajaran yang
diberikan adalah hafalan doa-doa shalat, praktek shalat, hafalan doa
harian, thoharoh, menulis huruf Arab dan Pegon, pendidikan akhlak. Pada
kelompok pembelajaran Menulis Arab diajarkan mata pelajaran menulis
huruf Hijaiyah, menulis Pegon, materi Pegon. Adapun kelompok
pembelajaran Bacaan Al Qur’an diberi pelajaran tajwid dan materi bacaan.
Sementara itu kelompok pembelajaran Tafsir Lambatan Jawa memberikan
pelajaran kajian Al Qur’an dan Hadits dalam bahasa Jawa yang disertai
dengan materi kelompok lambatan, sedangkan kelompok Tafsir Lambatan
bahasa Indonesia diberikan dalam bahasa Indonesia. Demikian juga
kelompok pembelajaran cepatan baik bahasa Jawa maupun Indonesia
materinya sama hanya saja disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan
ditambah materi kelompok cepatan.
Sementara itu kelompok pembelajaran ujian/ test (tiga
bulan) memberikan pelajaran lebih komprehensif yaitu: bacaan Al Qur’an,
Tafsir Al Qur’an, Metode Dakwah, Manajemen, Penyuluhan Hukum,
Penyuluhan Kesehatan, dan Keputrian. Adapun kelompok pembelajaran
Terampil/ Lanjutan berlangsung selama 1 tahun dengan mendapatkan materi
Tafsir Kutubussitah (Kajian enam hadits sahih).
B. Bahan Ajar
Bahan ajar pokok yang digunakan dalam proses
pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan adalah sumber asli agama Islam
yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Para kyai dan santri memanfaatkan kedua
kitab itu sebagai sumber primer. Kitab-kitab yang sifatnya sekunder
karya para ulama tidak digunakan. Memang betul bahwa hampir semua pondok
pesantren mendasarkan diri pada Al Qur’an dan Hadits, namun bahan ajar
yang digunakan tidak langsung pada kajian-kajian kedua kitab itu, tetapi
menggunakan kitab-kitab sekunder karya para ulama besar terdahulu
seperti kitab fiqih, tauhid, dan sebagainya. Di samping kedua kitab
utama itu juga diajarkan beberapa ilmu tambahan seperti ilmu tawid,
menulis Arab, bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Usul Fiqih, Mustholah Hadits,
dan sebagainya. Sementara itu materi ketrampilan terdiri dari berbagai
kursus sesuai dengan bakat mereka. Sedangkan materi yang berkaitan
dengan kemasyarakatan dan pemerintahan, pondok ini mengajarkan olah
raga, bakti sosial, bahasa Indonesia, metode dakwah, manajemen, dan
sebagainya.
Kitab Al Qur’an yang menjadi bahan kajian sama dengan
kitab yang dipakai oleh masyarakat umum seperti terbitan Toha Putera,
Gunung Agung, dan sebagainya. Seringkali kitab Al Qur’an yang digunakan
oleh para santri dan kyai berasal dari terbitan negara-negara Timur
Tengah, khususnya Beirut. Terbitan ini diperoleh ketika para santri
menunaikan ibadah haji di Mekkah ataupun titip kepada calon haji untuk
dapat dibelikan di sana. Kadang-kadang mereka memperoleh kitab itu dari
oleh-oleh sahabat mereka yang baru saja datang dari Mekkah. Seringkali
kitab-kitab terbitan luar negeri ini berfungsi ganda yaitu sebagai bahan
ajar dan sekaligus sebagai kebanggaan yang dipajang di almari. Sudah
barang tentu kitab-kiab hadits yang dibeli di Mekah ataupun Madinah
merupakan kitab-kitab hadits besar. Namun demikian ada juga yang
memperoleh kitab itu dengan cara membeli dari toko-toko kitab di
Indonesia.
Biasanya kitab Al Qur’an yang dipakai oleh para kyai
dan santri berupa kitab ‘kosongan’ dalam arti bukan kitab yang sudah
diberi terjemahan. Para santri, khususnya santri pemula, lebih memilih
kitab Al Qur’an yang lembaran halamannya memiliki space yang lebar yang
memungkinkan mereka dapat mengisinya dengan makna yang diajarkan oleh
sang kyai di sela-sela di antara baris yang ada. Dengan demikian
kitab-kitb yang sudah dimaknai (seperti terbitan Departemen Agama) tidak
digunakan dalam PPB.
Bahan ajar pokok ke dua adalah kitab-kitab hadits
atau sunnah nabi. Kitab ini merupakan kitab yang dihimpun oleh para
penghimpun hadits yang berisi segala pikiran, ucapan, tindakan dan
tauladan Nabi Muhammad SAW. Kesaksian dari orang-orang yang masih sempat
berguru dengan pendiri PPB yaitu KH Nur Hasan Al Ubaidah mengatakan
bahwa kyai itu menguasai ilmu Hadits (memberi makna dan keterangan)
sebanyak 49 jenis himpunan Hadits yang terdiri dari 6 hadits yang
biasanya dikategorikan sebagai kutubussitah (yang tingkat kesahihannya
diakui semua sekte Islam kecuali Syiah dan beberapa sekte yang
mengingkari keabsahan hadits nabi) dan sisanya adalah berbagai hadits
komplemen. Kitab-kitab hadits kutubussitah terdiri dari himpunan hadits
yang disusun oleh Buchori, Muslim, Ibn Majjah, Abi Daud, Sunan Tirmidzi,
dan Nasa’i.
Selain kitab hadits-hadits besar, juga dijumpai bahan
ajar yang berupa kitab-kitab himpunan. Kitab himpunan merupakan
cuplikan-cuplikan hukum-hukum atau dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits
yang disusun berdasarkan bidang atau topic tertentu seperti
Kitabussholah (kitab tentang shalat), Kitabudda’wat (kitab kumpulan
doa-doa), Kitabul Ilmi (kitab tentang kewajiban belajar ilmu agama),
Kitabul Imaroh (kitab tentang keimaman), dan sebagainya. Berdbeda dengan
kitab Al Qur’an dan Hadits, kitab-kitab himpunan ini disusun sendiri
oleh pondok pesantren. Dalil-dalil yang dituangkan dalam kitab-kitab
himpunan ini merupakan dasar-dasar hukum yang kuat dan applicable.
Jika dilihat dari isinya, kitab-kitab himpunan ini
merupakan pengantar bagi para pemula atau jamaah baru. Penggunaan kitab
himpunan untuk para pemula ini didasari atas pertimbangan jika mereka
langsung belajar dari kitab-kitab besar saja maka berbagai jenis amalan
urgen yang harus segera dilakukan tidak bisa segera diamalkan secara
benar. Oleh karena itu jika ada jamaah baru maka di samping mereka
mengkaji kitab-kitab besar, juga diberikan kitab-kitab himpunan agar
dapat segera beramal secara benar sehingga jika meninggal sewaktu-waktu
mereka sudah dalam pengamalan yang benar. Dalam hubungan itu kitab-kitab
hadits besar merupakan bahan ajar pengayaan dan pendalaman.
Bahan ajar yang juga sangat penting dalam menjaga
keimanan para santri adalah nasehat-nasehat ulama yang dituangkan dalam
bentuk teks tertulis. Teks ini disebarluaskan dan menjadi bahan
pembinaan baik bagi para santri di pondok pesatren Burengan maupun warga
LDII secara umum. Teks nasehat ini berisi nasehat-nasehat dalam konteks
mengatasi persoalan-persoalan actual dengan menggunakan dasar-dasar
hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Hadits. Dalam hukum Islam nasehat ulama
merupakan salah satu bentuk dasar hukum Islam yang disebut ijma’ atau
ijtihad.
C. Kegiatan Santri
Para santri biasanya bangun atau dibangunkan pada
waktu pukul 02.00 dini hari untuk melakukan sholat malam (sholat
tahajud, sholat hajad, sholat tasbih, dan sebagainya), dzikir, dan doa
sepertiga malam yang terakhir yang diyakini merupakan waktu yang
mustajab (manjur) untuk memanjatkan doa kepada Allah. Bagi santri yang
tidak mengantuk dan masih memiliki semangat akan terus melakukan doa
hingga menjelang waktu sholat subuh. Setelah menunaikan sholat subuh,
para santri kemudian mengaji Al Qur’an secara umum, yaitu bacaan, makna,
dan keterangan. Pengajian yang diselenggarakan di masjid Baitil A’la
ini diikuti oleh semua kelompok pembelajaran. Mereka duduk dengan santai
di lantai masjid dengan memegang kitab mereka masing-masing. Kegiatan
ini berlangsung hingga pukul 06.00. Setelah itu para santri kemudian
istirahat. Pada umumnya mereka melakukan persiapan belajar dan ada juga
yang mencuci pakaian. Mereka makan pagi mulai pukul 07.00.
Pelajaran dimulai pukul 08.00 hingga pukul 09.30
sesuai dengan kelompok pembelajaran mereka masing-masing. Setelah
istirahat selama setengah jam, mereka belajar lagi dari pukul 10.00
hingga pukul 11.00. Setelah itu mereka diberi kesempatan untuk istirahat
hingga sholat dhohor. Kegiatan selanjutnya adalah makan siang dan
istirahat hingga pukul 14.00. setelah itu mereka menerima pelajaran lagi
hingga waktu sholat asar sekitar pukul pukul 15.00. Setelah sholat
mereka istirahat sambil nderes atau memperdalam kitab secara sendirian
ataupun dengan teman-teman kelompok ataupun sekedar membaca Al Qur’an.
Setelah mandi dan makan sore mereka bergegas ke
masjid untuk persiapan sholat maghrib. Sambil menunggu imam sholat,
biasanya mereka membaca Al Qur’an. Setelah sholat maghrib dilanjutkan
dengan nasehat dari pengurus pondok ataupun dari ustadz. Kegiatan ini
berlangsung hingga menjelang sholat isya’. Setelah sholat isya’
dilanjutkan dengan pelajaran hingga pukul 10.00. Setelah itupara santri
dipersilahkan untuk istirahat tidur. Namun demikian biasanya nderes
terlebih dahulu sebelum tidur. Mereka dibangunkan pukul 02.00 malam. Apa
yang menarik adalah setelah bangun mereka harus mengadakan apel sesuai
dengan kelompok masing-masing dan diabsen untuk melakukan sholat malam
dan doa sepertiga malam yang terakhir.
Selain kegiatan harian sebagaimana yang digambarkan
di atas juga ada kgiatan mingguan. Kegiatan ini khsusus untuk melatih
para santri untuk dapat berorasi di depan publik. Kegiatan ini dilakukan
setiap hari Jumat pukul 13.30 yang dilakukan secara berkelompok dan
bergiliran. Tidak ada kegiatan bulanan secara khsusus di PPB. Sementara
itu kegiatan semesteran atau semesteran berupa khataman Al Qur’an,
kemudian enam bulan berikutnya khataman Al Qur’an lagi, namun enam bulan
berikutnya bukan khataman Al Qur’an tetapi khataman khutubussitah
(kitab hadits enam) dan setelah itu kembali khataman Al Qur’an dan
seterusnya. Biasanya kegiatan khataman ini bukan hanya diikuti oleh para
santri yang ada di PPB tetapi juga dari pondok mini lain yang ada di
seluruh Indonesia, bahkan tidak sedikit pula para warga LDII dari
seluruh penjuru dunia yang memiliki kesempatan dan biaya akomodasi
mengikuti kegiatan ini. Kegiatan tahunan lain adalah pondok romadhlon.
Kegiatan ini diisi dengan kajian-kajian kitab secara marathon mulai
setelah shalat subuh pada pagi hari hingga pukul 22.00. Bahkan pada
sepuluh hari terakhir di bulan romadhlon (malam lailatul qodar) kegiatan
pengajian dilakukan hingga pukul 24.00. Jumlah santri pun juga
mengalami peningkatan hampir dua kali lipat, karena banyak peserta yang
berasal dari luar santri PPB.
D. Rekruitmen Santri
Dalam dunia Islam sangat dipercayai bahwa ilmu
merupakan hidupnya agama, ‘al ilmu hayatul islam’. Jadi hidup dan mati
Islam dan para pemeluknya tergantung pada apakah ilmu agama Islam itu
dikuasai dan diamalkan oleh muslim atau tidak. Jika ilmu Islam tidak
tersosialisasikan di kalangan umat Islam, maka roh Islam akan hilang.
Oleh karena itu sangat mudah untuk dipahami jika kegiatan pengajian ilmu
Islam menjadi sangat krusial dan mendapatkan prioritas utama di Pondok
Pesantren LDII Burengan ini.
Meskipun sosialisasi nilai-nilai Islam sudah
dilakukan di masjid-masjid LDII yang tersebar di seluruh propinsi di
Indonesia dengan intensitas yang cukup tinggi (rata-rata 4 kali
seminggu), namun pembentukan kader-kader pendakwah di masjid-masjid dan
masyarakat merupakan kunci pengembangan Islam. Oleh sebab itu
sesugguhnya masjid-masjid dan surau LDII yang tersebar di desa-desa
maupun kota-kota merupakan pesantren-pesantren massal. Dengan demikian
efek pengembangan dalam masyarakat juga menjadi semakin cepat.
Rekruitmen dan penerimaan santri di Pondok Pesantren
LDII Burengan dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah sistem
‘kiriman’. Dalam sistem ini masjid-masjid di tingkat PAC (Pengurus Anak
Cabang)/ pada tingkat dengan dikoordinasikan oleh PC (Pengurus Cabang)/
pada tingkat kecamatan melalui mekanisme organisasi LDII mengirimkan
pemuda-pemudi yang memiliki akhlak yang baik dan kemampuan yang memadai
untuk mengikuti pendidikan di Burengan. Bisanya, pada tingkat PC mereka
mengirimkan tiga calon mubaligh untuk belajar di Pondok Burengan. Masa
belajar mereka rata-rata satu tahun. Setelah lulus mereka diwajibkan
untuk mengikuti ‘tugasan’ atau ditugasi di daerah-daerah yang
membutuhkan. Jika ditugaskan di Luar Jawa, para mubaligh tugasan ini
minimal harus bertugas selama satu setengah tahun, sedangkan jika
ditugaskan di Jawa, mereka memiliki masa tugas lebih pendek yaitu satu
tahun. Adapaun biaya yang digunakan untuk pendidikan santri kiriman itu
adalah sodaqoh dari dari jamaah dan seringkali juga berasal dari ‘bapak
angkat’. Dengan demikian ada upaya saling tolong-menolong dalam
pencerdasan kaum santri ini.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai ‘mubaligh
tugasan’, jika mereka diminta oleh daerah tugasan untuk meneruskan
menjadi pendakwah di daerah tugasan itu maka merekapun memiliki
kebebasan untuk menentukan sikap apakah menerima ataukah menolak. Mereka
juga mempunyai kebebasan untuk memilih menerima tugasan baru dengan
cara melaporkan diri ke Pondok Burengan untuk ditugaskan kembali sesuai
dengan permintaan masyarakat.
Cara yang kedua adalah rekruitmen secara sukarela
dari para jamaah yang berkeinginan untuk belajar di Pondok Burengan.
Biasanya mereka berasal dari keluarga ulama atau dari keluarga yang
menginginkan anaknya menjadi ulama. Namun demikian untuk menjadi santri
yang berasal dari rekruitmen sukarena ini harus mondok dulu di Pondok
Gading Jombang atau ‘pondok mini’ lain. Baru setelah lolos seleksi
mereka dapat belajr di Pondok Burengan. Jadi mekanisme test juga
dilakukan oleh Pondok Burengan. Bagi mereka yang lolos test masuk dapat
langsung belajar di Pondok Burengan, namun yang tidak lolos test harus
mondok dulu di pondok mini.
Ditinjau dari asal sosial mereka, para santri yang
kemudian menjadi mubaligh atau pendakwah sangat bervariasi. Ada santri
yang berasat dari keluarga miskin dan sebaliknya tentu juga ada santri
yang berasal dari keluarga kaya. Sangat menarik bahwa para santri di
Burengan berasar dari berbagai daerah di Indonesia, bahhkan juga dari
luar negeri. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya masid-majin LDII
yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan bahwa juga di luar negeri
seperti Malaysia, Singapuira, Brunei, Suriname, Eropa dan sebagainya.
Setelah para santri dapat menyelesaikan paket
pembelajaran (baik di Burengan maupun di pondok pesantren LDII yang
lain), mereka langsung ditugaskan di masjid-masjid. Mereka akan
menyebarkan ilmunya kepada jamaah-jamaah yang sesuai dengan sistem
pembelajaran di pesantren. Dengan demikian pada hakekatnya semua warga
LDII juga merupakan santri. Jadi tidak ada proses ‘elitisasi’ ilmu Islam
karena hakekatnya setiap orang Islam harus berilmu dan ini berarti
setiap warga LDII juga ulama.
E. Metode Pembelajaran
Dalam Islam, pembelajaran pada hakekatnya adalah
proses pemindahan pesan-pesan dari satu orang kepada orang lain. Metode
pembelajaran yang digunakan baik dalam pondok pesantren maupun pengajian
di masjid-masjid yang diikuti oleh jamaah biasa adalah metode
sebagaimana yang digunakan oleh Nabi. Jadi ada semacam gerakan pemurnian
dalam metode pembelajaran. Dalam agama Islam, sejak nabi Muhammad SAW
dan para khalifah serta sahabat , proses pemindahan pesan-pesan yang
terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits dilakukan melalui metode membaca,
menulis, dan mendengar yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai verbal
communication. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ‘Kalian
mendengar (ilmu dariku), kemudian kalian didengar oleh murid kalian dan
murid kalian didengar ole muridnya’ (Hadits Riwayat Abu Dawud). Jadi
metode transfer ilmu dalam PPB mencakup dua aspek sekaligus yaitu
komunikasi lisan (oral communication) dan komunikasi tulisan (written
communication).
Oleh karena metode ini bukan hanya diterapkan di
Pondok Burengan saja tetapi juga di seluruh pondok LDII maka para jamaah
biasa sudah terbiasa dengan metode pembelajaran di pesantren. Metode
ini merupakan metode pembelajaran di mana guru menyampaikan makna dan
keterangan serta sejarah turunnya ayat-ayat atau hadits yang
bersangkutan. Materi yang diampaikan oleh mubaligh itu berasal dari
gurunya dan seterusnya sambung-menyambung hingga sampai kepada para
sahabat dan Nabi. Demikian juga para santri akan menyampaikan bahan ajar
itu kepada orang lain menjadi binaannya. Jadi metode pembelajaran ini
saling mengikat secara keilmuan atau guru dan murid memiliki hubungan
yang tiada terputus bagaikan rantai yang teputus-putus.
Dalam kontek ini, pelaksanaan metode pembelajaran
Islam yang murni dan konsisten akan mengokondisikan kemurnian ajaran
Islam itu sendiri. Metode ini menjauhkan pikiran-pikiran ke arah
reintepretasi terhadap hukum-hukum Islam yang akan menimbulkan
perpecahan-perpecahan agama. Memang ijtihad diakui sebagai salah satu
dasar hukum tetapi ijtihad ini diarahkan untuk memberi jalan keluar
terhadap persoalan-persoalan aktual dengan dasar hukum Al Qur’an dan
Hadits.
Sebaliknya pembelajaran yang islami ini juga dapat
dilakukan dengan cara murid, karena mungkin murid sudah pandai,
membacakan kitab, makna, dan keterangan. Sementara itu guru
mendengarkan, membenarkan atau menyalahkan. Jika santri sudah membacakan
kitab di hadapan guru dan jika sang guru bisa menerimanya maka ilmu
sang murid sudah sah. Cara seperti ini isebut sebagai munawalah.
F. Jaringan Pembelajaran
Sebagaimana yang terjadi dalam dunia pesantren pada
umumnya, hubungan kyai dan santri tidak hanya terbatas pada hubungan
dalam bidang ilmu agama yaitu ketka santri sedang berguru, tetapi juga
masa-masa setelah mereka keluar dari pesantren. Pondok Burengan dan
pondok-pondok pesantren LDII membangun jaringan hubungan antara kyai dan
santri tidak hanya dalam kehidupan pondok pesantren tetapi juga ketika
santri telah lulus.
Dalam komunitas LDII, hubungan kyai dengan santri
atau dengan jamaah biasa tidak hanya didasarkan atas hubungan-hubungan
kekerabatan sesama muslim, namun juga lewat hubungan ilmu agama. Dalam
hal ini ada program rutin di mana secara periodik mubaligh-mubaligh
dikirim ke Pondok Burengan penyegaran kajian Al Qur’an dan Hadits.
Kegiatan ini disebut ‘asrama’. Biasanya ‘asrama’ pada musim tertentu
mengkaji kitab tertentu pula seperti khusus Al Qur’an saja atau Hadits
Muslim saja, dan sebagainya. Asrama berlangsung selama beberapa hari
atau kadang juga beberapa minggu sesuai dengan taget pengkataman kitab
tertentu atau juz tertentu. Kegiatan ‘asrama’ ini dapot dipandang
sebagai kegiatan refresh atau penyegaran kembali terhadap ilmu yang
dikuasai oleh para santri yang barangkali sudah lama tidak lagi
mengkajinya. Dengan demikian mereka akan segar dan ingat kembali ilmu
yang ditulisnya dalam kitab-kitab mereka.
Dapat juga asrama ini diselenggarakan denggan cara
mengundang kyai untuk menyampaikan kajian ilmu mereka di daerah-daerah.
Kyai dari Pondok Burengan dapat datang sesuai dengan permohonan daerah.
Dapat pula terjadi secara resmi kyai diutus oleh Pondok Burengan ke
daerah-daerah untuk menyampaikan pembelajaran di masjid-masjid di
daerah. Sementara itu di tingkat daerah, metode semacam ini juga
diselengarakan dengan peserta para mubaligh di tingkat lokal (di tingkat
PAC atau setingkat desa dan PC atau setingkat kecamatan). Bahkan para
peserta itu bukan hanya para mubaligh lulusan Pondok Pesantren Burengan,
tetapi juga para pengurus atau takmir di tingkat lokal. Dengan demikian
hubungan antara kyai dengan santri dan jamaah dalam bidang keilmuan
masih terjaga dengan baik.
IV. Hubungan Sosial dengan masyarakat
A. Penugasan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
rekruitmen santri di Pondok Pesantren Burengan berasal baik dari kiriman
takmir-takmir masjid maupun dari para jamaah yang secara sukarela ingin
memperdalam secara efektif ilmu agama di pondok pesantren.7
Para santri yang telah menamatkan pelajaran di Pondok Pesantren
Burengan biasanya langsung ditugaskan oleh pondok untuk mengabdikan
ilmunya di masjid-masjid yang memang membutuhkan. Seperti diketahui
bahwa masjid-masjid ini merupakan suatu unit komunitas terkecil yang
sebetulnya secara langsung memiliki umat. Oleh karena itu para takmir
masjid ini sebetulnya yang mengetahui secara pasti apakah mereka
membutuhkan tambahan mubaligh atau tidak. Mereka yang biasanya
menyampaiakn kebutuhan akan mubaligh untuk kemudian pengurus pada
tingkat kota atau kabupaten menyampaiakan kepada Pondok Burengan. Pada
saat sekarang ini sudah jarang satu masjid hanya memiliki satu mubaligh.
Kebanyakan setiap masjid sudah memiliki dua hingga 3 mubaligh dan
bahkan banyak pula yang memiliki tiga mubaligh, terutama di kota-kota.
Selama penugasan pertama itu para mubaligh pemula
langsung terjun di masjid-masjid untuk melayani para jamaah. Mereka
harus berkonsultasi dengan mubaligh-mubaligh setempat. Selain itu mereka
juga harus berkoordinasi dengan para pengurus atau takmir masjid
setempat dalam pelayanan umat. Demikian juga para mubaligh muda ini
harus melakukan pendekatan dengan para jamaah setempat beserta
masyarakat yang ada di sekitar masjid yang mungkin hanya sebagian kecil
yang ikut kegiatan pengajian di masjid-masjid LDII. Dengan demikian
peran mubaligh sangat signifikan dalam pembentukan citra warga LDII di
tingkat lokal. Sang mubaligh muda harus dapat bertindak sebagai suri
tauladan bagi jamaah setempat.
Selama masa penugasan para mubaligh muda ini biasanya
tidak diperbolehkan pulang ke rumah orang tua. Mental mereka digembleng
untuk terbiasa jauh dengan orang tua serta dapat mandiri. Suatu hal
yang menarik adalah bahwa selama bertugas, kehidupan ekonomi mereka
secara ‘bil ma’ruf’ atau secukupnya ditanggung oleh jamaah masjid yang
dibinanya.
Setelah masa penugasan selesai, mereka dibebaskan
untuk pulang ke rumah orang tua. Untuk selanjutnya mereka harus siap
untuk ditugaskan ke berbagai daerah baru jika mereka masih menginginkan.
Untuk selanjutnya daerah (tingkat kota atau kabupaten) yang akan
menentukan di masjid mana mereka harus mengabdi.
B. Praktik Budi Luhur
Dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan
ditekankan bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an dan hadits secara
intelektual belum cukup. Para santri ditekankan untuk memiliki afeksi
dan psikomotor islami sebagai manifestasi dari pemahamannya terhadap
hukum Islam. Jika pemahaman secara intelektual terhadap hukum Islam
barangkali lebih berhubungan dengan kehidupan pribadi, tetapi
aspek-aspek sikap dan tingkah laku lebih banyak berhubungan dengan orang
lain. Aspek-aspek yang disebutkan terakhir inilah yang akan menciptakan
pencintraan terahadp warga LDII. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap
gerakan yang dibawa oleh LDII sangat bergantung kepada aspek sikap dan
tingkah laku para mubaligh pada khususnya dan warga LDII pada umumnya.
Oleh karena itu Pondok Pesantren Burengan selalu menekankan pentingnya
memiliki budi luhur atau akhlaqul karimah bagi segenap warga LDII.
Praktik budi luhur di dalam masyarakat mencakup
beberapa hal, antara lain mengagungkan dan taat kepada orang tua,
mengagungkan kepada para ulama, budi luhur terhadap sesama muslim, dan
budi luhur terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Sikap
mengagungkan dan taat kepada orang tua (selagi tidak perintah maksiat)
merupakan amal sholih dan sekaligus perintah dari Allah meskipun orang
tua itu bukan seorang muslim. Praktik budi luhur kepada orang tua
anatara lain bertutur kata dengan bahasa yang halus atau sopan, bila
disuruh segera melaksanakan jika tidak maksiyat, bila dinasehati anak
harus mendengarkan dan tidak memotong pembicaraan, senang membantu
pekerjaan orang tua di rumah, tidak bohong dan jujur kepada mereka, dan
sebagainya.
Bersikap mengagungkan kepada para ulama merupakan
suatu kewajiban. Kepada para santri dan warga LDII selalu ditekankan
tentang pentingnya sikap mengagungkan kepada para pengurus. Hal ini
berkaitan dengan kepercayaan bahwa mereka memiliki andil yang besar
dalam mencerdaskan masyarakat. Para ulama dan mubaligh juga merupakan
‘wasilah’ atau perantara bagi ilmu-ilmu Islam. Beberapa contoh sikap dan
prilaku yang menunjukkan sikap mengagungkan ulama antara lain:
memanggil dengan panggilan yang sopan, berbicara dengan nada suara yang
rendah, jika ulama berbicara maka harus mendengarkan, tidak
membelakanginya ketika sedang dalam pengajian, jika ulama berbuat
kesalahan ketika mengajar tidak boleh dihina, dan sebagainya.
Terhadap sesama muslim juga dikembang sikap budi
luhur. Sesama muslim harus dibangun sikap ukhuwah islamiyah atau
persaudaraan dalam Islam. Di dalam pembelajaran di Pondok Pesantren
Burengan, semangat persaudaaan Islam ini betul-betul sangat ditekankan.
Hal ini antara lain dapat diliohat dari semangat dan sikap bahwa harta
sesama muslim adalah haram untuk diambil secara tidak sah, sesama muslim
tidak boleh saling menghina dan menjatuhkan namanya. Di samping itu
ditekankan bahwa sesama muslim tidak bolah saling membunuh. Ajaran moral
yang Islami semacam ini sangat menarik sebagai bekal yang berarti bagi
santri alumni Pondok Burengan Kediri.
Keberadaan warga LDII di tengah-tengah masyarakat
bagaikan ikan yang berada di dalam air. Oleh karena itu pembinaan akhlak
di Pondok Pesantren Burengan juga selalu menekankan betapa pentingnya
para alumni pondok membangun hubungan baik dan kemitraan dengan
masyarakat di mana mereka mengabdikan ilmu agamanya. Mereka yakin bahwa
dakwah dengan perbuatan (bil khal) menjadi sarana yang hebat untuk
mnyebarkan Islam. Beberapa ajaran dalam kaitannya dengan budi luhur
kepada masyarakat antara lain: apabila bertemu dengan tentangga menyapa,
apabila melewati sekelompok masyarakat menyapa dengan sopan, melayat
warga yang sedangminggal dengan memberikan sumbangan, menjenguk tetangga
yang sakit, ikut berpartisipasi dalam kerja bakti, meminta ijin jika
tidak bisa mengikuti kegiatan RT, menyadari kekurangan dan mudah
memaafkan, dan sebagainya.
Di samping itu ajaran moral yang betul-betul
ditekankan di Pondok Burengan dan bahkan di masjid-masjid LDII yang lain
adalah adanya enam tabiat luhur yang mencakup rukun, kompak, kerjasama
yang baik, jujur, amanah, mujhid muzhid (hemat). Dengan ‘doktrin’ moral
ini diharapkan para alumni Pondok Burengan betul-betul menjadi warga
masyarakat dan warga negara yang baik yang akan mampu menciptakan iklim
kedamaian dalam masyarakat.
C. Kerjasama dengan Masyarakat Sekitar
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa
pesantren bukanlah symbol dari ‘elitisasi’ ilmu Islam. Dalam hubungan
itulah Pondok Burengan berusaha untuk menghilangkan kesan adanya
keterpisahan antara pondok pesantren dengan masyarakat di sekitarnya. Di
bidang ekonomi, Pondok Burengan meluncurkan program ekonomi mandiri
dengan cara mendirikan UB (Usaha Bersama) yang merupakan unit retail
yang bukan hanya melayani warga pondok namun juga melayani masyarakat di
sekitarnya.
Selain itu di bidang kemasyarakatan Pondok Burengan
juga menjalin hubungan yang sinergis dengan pemerintah kabupaten Kediri
untuk memperkuat ukhuwah antara ulama dengan umara. Bukti yang dapat
dikemukakan di sini adalah keikutsertaan Pondok Burengan dalam lembaga
Paguyuban Antar Umat Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lembaga ini merupakan badan kerjasama antar umat beragama dalam
mengatasi berbagai persoalan yang harus dipecakan bersama-sama.
V. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
Meskipun gerakan dakwah yang dilakukan oleh Pondok
Pesantren LDII Burengan merupakan gerakan dakwah untuk kembali kepada
kemurnian Al Qur’an dan Al Hadits, namun dengan menerapkan model
pembelajaran yang berorientasi kepada pembinaan akhlak (konsep budi
luhur) ternyata menghasilkan sebuah gerakan dakwah Islam yang damai yang
lebih menekankan segi-segi budaya dan intelektualitas dalam
mengaktualisasi hukum-hukum agama.
Aktualisasi budi luhur atau akhlaqul karimah yang diajarkan di Pondok Pesantren Burengan dapat berlangsung relatif permanen karena dikondisikan oleh jaringan pembelajaran yang solid yang termanifestasikan dalam hubungan yang selalu terjaga antara alumni pondok dengan lembaga pondok lewat media ‘asrama’ yang diselenggarakan secara periodik.
Aktualisasi budi luhur atau akhlaqul karimah yang diajarkan di Pondok Pesantren Burengan dapat berlangsung relatif permanen karena dikondisikan oleh jaringan pembelajaran yang solid yang termanifestasikan dalam hubungan yang selalu terjaga antara alumni pondok dengan lembaga pondok lewat media ‘asrama’ yang diselenggarakan secara periodik.
Pendekatan kultural dan intelektual dalam menanamkan
hukum-hukum Islam yang murni telah melahirkan gerakan dakwah Islam yang
damai.
1
Bahkan pada tahun 1997, Pondok Pesantrenini tercatat memiliki santri
sebanyak 1728 orang dengan perincian 868 laki-laki dan 860 perempuan.
Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Data Potensi Pondok Pesantren
Seluruh Indonesia Tahun 1997 (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), hlm.
819.
2
Santri mukim merupakan sebutan untuk santri yang bertempat tinggal di
pondok pesantren selama belajar di pesantren, sedangkan santri mukim
merupakan santri yang bertempat tinggal di luar komplek pondok
pesantren.
3
Lihat misalnya Muhtarom H.M., ‘Urgensi Pesantren dalam Pembentukan
Kepribadian Muslam’, dalam: Ismail S.M., Nurul Huda, dan Abdul Kholiq
(eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 39-48.
4
Istilah asrama mengacu kepada kegiatan pengkhataman kitab secara
marathon dalam waktu tertentu. Dalam acara ini para peserta, terutama
yang berasal dari luar kota, biasanya menginap atau berasrama di pondok
pesantren sehingga dapat sepenuhnya mengikuti kajian kitab.
5
Ludhy Cahyana, Islam Jamaah di Balik Pengadilan Media Massa: Suatu
Analisis mengenai Pembunuhan Karakter terhadap Lemkari/ LDII (Jakarta:
Benang Merah, 2003), hlm. 36-40.
6
Abdullah Syam, ‘Laporan Pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat Lembaga
Dakwah islam Indonesia Periode 1998-2005’, dalam DPP LDII, Himpunan
Keputusan MUNAS VI Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Jakarta 11-13 Mei
2005 (Jakarta: DPP LDII, 2005), hlm. 43-44.
7
Setiap masjid LDII biasanya memiliki paling tidak 1 mubaligh yang
secara khusus memberikan pengajian-pengajian baik untuk anak-anak maupun
remaja dan orang dewasa, baik pemula (mualaf) maupun orang yang sudah
lama memeluk Islam (mukalaf).
source: Asian Research Center, Toyo University, Jepang kerjasama Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.Retrieved from: http://ldiionline.wordpress.com/pondok-pesantren-ldii-burengan-kediri/
Friday, December 14, 2012
Islam and Political Minorities: a Study on the Religious Towani Tolotang Community in South Sulawesi
By Zuly Qodir
This presentation will give a description of the ethnographical border and political top minority group located in South Sulawesi, i.e. the believers Towani Tolotang. Despite its minority status, this community seems to be influential in politics by which currently become the will of the political regime of Muslims and Hindus, where both of them are scrambling for mutual acknowledge and enter in the tradition of the religion: Islam or Hinduism. This community develops variety of strategies with which its peculiar identity is able to survive in various forms, such as in economyand politics. This presentation is based on field research and library for several years dealing with political citizens pressed for by the large number of discriminatory treatment.
Presented at the Fourth Al-Jami’ah Forum and Conference "Sharing Identity and Religious Tradition: Islam and other factors in South East Asia"
Venue:
PAU Building/Rektorat
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Indonesia
14-16 December 2012
Organised by:
Al-Jami’ah Research Centre
Sunan Kalijaga State Islamic University
http://www.aljamiah.org
Available at: http://aljamiah.org/images/stories/umum/book_of_abstracts.pdf
This presentation will give a description of the ethnographical border and political top minority group located in South Sulawesi, i.e. the believers Towani Tolotang. Despite its minority status, this community seems to be influential in politics by which currently become the will of the political regime of Muslims and Hindus, where both of them are scrambling for mutual acknowledge and enter in the tradition of the religion: Islam or Hinduism. This community develops variety of strategies with which its peculiar identity is able to survive in various forms, such as in economyand politics. This presentation is based on field research and library for several years dealing with political citizens pressed for by the large number of discriminatory treatment.
Presented at the Fourth Al-Jami’ah Forum and Conference "Sharing Identity and Religious Tradition: Islam and other factors in South East Asia"
Venue:
PAU Building/Rektorat
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Indonesia
14-16 December 2012
Organised by:
Al-Jami’ah Research Centre
Sunan Kalijaga State Islamic University
http://www.aljamiah.org
Available at: http://aljamiah.org/images/stories/umum/book_of_abstracts.pdf
Thursday, December 13, 2012
Tuesday, November 13, 2012
What happened to the smiling face of Indonesian Islam?
Bruinessen, Martin Van. 2011. What happened to the smiling face of
Indonesian Islam?: Muslim intellectualism and the conservative turn in
post-Suharto Indonesia. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University.
The transition from authoritarian to democratic rule in Indonesia has been accompanied by the apparent decline of the liberal Muslim discourse that was dominant during the 1970s and 1980s and the increasing prominence of Islamist and fundamentalist interpretations of Islam. This paper attempts to go beyond a superficial reading of these developments and explores the conditions that favored the flourishing of liberal Muslim thought during the New Order as well as the various factors that from the 1980s onwards supported the rise of transnational Islamist movements, at the expense of the established mainstream organizations, Muhammadiyah and NU.
Available online at: http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP222.pdf
The transition from authoritarian to democratic rule in Indonesia has been accompanied by the apparent decline of the liberal Muslim discourse that was dominant during the 1970s and 1980s and the increasing prominence of Islamist and fundamentalist interpretations of Islam. This paper attempts to go beyond a superficial reading of these developments and explores the conditions that favored the flourishing of liberal Muslim thought during the New Order as well as the various factors that from the 1980s onwards supported the rise of transnational Islamist movements, at the expense of the established mainstream organizations, Muhammadiyah and NU.
Available online at: http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP222.pdf
Monday, November 12, 2012
The threat to 'smiling Islam'
Martin Van Bruinessen
Princeton University Press; distributed in the UK by Wiley. Pounds 35 (paperback, Pounds 11.50). 0 691 05047 3.
Until the late 1980s, Islam made so little noticeable impact on Indonesia's politics that few outsiders were aware that this is in fact the world's largest Muslim country. Seven out of eight Indonesians are Muslims, making their numbers 200 million by the end of 2000, or more than those of all Arab countries combined. A large proportion of Indonesian Muslims adhere to syncretistic beliefs and practices (rituals relating to earth spirits, ancestor spirits, deities from the Hindu pantheon), and reject the formal obligations, such as daily prayer, that stricter Muslims consider essential to Islam. Since Clifford Geertz's classic study of Islam in an East Javanese town in the 1950s, it has become common to refer to these syncretists as abangan and to their stricter brothers as santri.
Indonesia's first two Presidents, Sukarno and Suharto, were both known to be abangan, and the state bureaucracy and military were long dominated by abangan and Christians. The latter, only some 8 per cent of the total population, were over-represented because of their better education, one of the lasting effects of Dutch colonization, the former because until recently few if any santri were ever promoted to the upper echelons of the state apparatus. Both Presidents, as well as the armed forces, deeply distrusted their santri Muslim subjects as a potential threat to the unity and integrity of the Republic, because of several early efforts to turn the country into an Islamic state.
President Sukarno kept power by carefully managing a balance between the armed forces and the two major mass-based political movements, Islam (santri) and Communism (abangan). General Suharto's rule started with the physical elimination of Communism, coordinated by his army but willingly carried out by Muslim killing squads. The only significant organized forces remaining then were the Muslim parties and associations, and efforts to depoliticize Islam have been one of the most consistent aspects of Suharto's policies. Protest against these policies and against the Suharto dictatorship in general was forcefully repressed; by the end of the 1980s, Muslim opposition was to all purposes silenced.
It looked like a dramatic reversal of these policies when, in the late 1980s, Suharto began gradually distancing himself from his erstwhile abangan and Christian allies (most visibly represented by his most powerful general, the Catholic Bennie Moerdani) and made overtures towards former Muslim critics. He allowed and even patronized the establishment of a new Muslim association, ICMI, that had at least one clear political objective: affirmative action on behalf of educated santri, who had an acute awareness of being under-represented in economic, political and cultural life. The Christian ministers who had been in charge of the economy were, in 1992, replaced by Muslims, several generals of santri background were promoted to the highest positions, and Muslim civil servants found that joining ICMI was virtually obligatory for their careers.
Suharto moreover supported various efforts designed to give Islam a more prominent role in social and political life, such as an Islamic bank, a well-funded Muslim newspaper and a Muslim think tank -the latter two being alternatives to influential Catholic and Chinesecontrolled institutions that many Muslims had long perceived as hostile.
Whereas expressions of anti-Christian or anti-Chinese sentiment had in the past been swiftly and vigorously suppressed, radical Muslim groups that specialized in the assertive defence of Islam against perceived non-Muslim conspiracies appeared to enjoy high protection in the 1990s. They were among Suharto's staunchest supporters in his final days and later aggressively supported his first successor, Habibie, against the secular-oriented wings of the reform movement. Since the election of Abdurrahman Wahid to the presidency and the first cautious attempts to curb the still significant power of Suharto and his closest associates, such radical Muslim groups have proliferated and contributed much to the inter-religious conflicts that destabilized Wahid's government and now threaten that of his successor, Megawati.
Robert Hefner's important book, Civil Islam, is the most detailed study of Islam in the Suharto period to appear to date, and ICMI and the power struggles of the 1990s receive ample coverage. Hefner takes pains to show that that Islamization and democratization have come from committed Muslim intellectuals.
His rich descriptions show an awareness of the varied and conflicting interests of Suharto, Habibie, ICMI's Muslim intellectuals and the other actors involved in bringing Islam back into the public sphere. His chief emphasis is, however, on the gradual Islamization of public discourse that began well before Suharto gave his blessings to ICMI. He focuses especially on the development of liberal and tolerant Muslim discourses under the New Order, without which ICMI would not have been possible, whatever the political purposes it was designed to serve.
Hefner is an anthropologist with an interest in social history, who established his reputation with two excellent monographs on the Tengger, a Hindu community in East Java, and their abangan and santri Muslim neighbours. He observed there how the previously self- contained Hindu and abangan communities were little by little Islamicized, and he understood this to be a natural concomitant of their opening up and integration into a larger social and economic world. In this context, Islam stood, besides much else, for modernity and cosmopolitanism. In the 1990s, Hefner shifted his research interest to the role of Islam in the national public sphere, where he perceived analogous processes at work. Hence, probably, his focus on ICMI as the expression of an underlying process of modernizing Islamization.
Hefner writes with special sympathy on those influential currents in Indonesian Islam -represented most prominently by Nurcholish Madjid and Wahid -that advocate pluralism and tolerance and that have contributed significantly to the democratic reform movement, but he also discusses other currents, including some definitely uncivil ones. Most of his informants were ICMI activists, and he gives a clear view of the complexity of this part of the Islamic spectrum, where staunch Suharto supporters, principled opponents, pragmatic careerists, pious apolitical intellectuals and NGO activists intermingled. On the whole, I find his representation of the Muslim liberals a little too idyllic; he takes their words too often at face value and too uncritically reproduces their favourite self-image of a "smiling Islam" (as other Indonesian Muslims call it in self-mockery). The liberals could only flourish because of the Suharto regime, whose legitimizers and apologists they remained almost until the end.
ICMI as a whole, and not only those few members whom Hefner describes as "regimist", was much more part of the regime than Hefner's informants were willing to admit.
The most prominent Muslim opponent of ICMI was the always controversial Wahid, the leader of the "traditionalist" Nahdlatul Ulama, which probably is the largest Muslim organization in the world. In the 1990s, Wahid, who had long been by far the most interesting public personality in Indonesia, gradually grew into the most brilliant player in Indonesia's shadow-play politics. The efforts by Suharto and various military-Muslim coalitions to cut Wahid down to size, Wahid's own alliances with (mostly non-santri) pro-democracy actors (including Megawati) and secularist military figures, and his later accommodation with the Suharto family (at a price) constitute another important strand of Hefner's narrative.
In the course of the political power struggles of the mid-1990s, churches and Chinese shops were burnt down, as Muslim mobs went on the rampage in towns such as Situbondo, Banjarmasin and Tasikmalaya -not accidentally, places where Wahid's Nahdlatul Ulama is dominant. In each case, the arson and looting were started by unidentified groups brought in from outside, but local people later joined in. Wahid, perceiving a conspiracy to destroy him politically and to stigmatize his organization, made great efforts to restore trust between Christians and Muslims, and was quick to accuse his military and Muslim enemies, mentioning several of them by name. Hefner records Wahid's accusations, the substance of which was corroborated by later developments, with less scepticism than they were greeted with by most Indonesian journalists. There were military men and Muslim activists who deliberately incited ethnic and religious conflict as Suharto's reign was approaching its end. Hefner sketches the dirty politics of those final years, and notably the role that a handful of unsavoury Muslim activists in league with Muslim generals played in efforts to weaken or destroy Wahid's and Megawati's grassroots movements as well as the Chinese business elite.
The book ends with Suharto's fall in 1998 and therefore fails to discuss the rise of Abdurrahman Wahid to the presidency in October 1999 and his deposition in less than two years, and the civil war that broke out between Christians and Muslims in the Moluccas, leading to increasing radicalism among Muslims everywhere in the country. Readers will find the book quite helpful, nevertheless, in making these recent developments understandable.
Hefner's "civil" Muslims have not been much in evidence in recent press reports on the country; they appear to be helpless in the face of the rising tide of military-connected militant jihadist groups and of calls for the enactment of the shariah. The September 11 terrorist attacks, and especially the Western response to them, have given Indonesia's Muslim radicals the opportunity to make their voice widely heard. Yet, liberal Muslims of the type on whom Robert Hefner focuses remain an important and influential group. In the struggle for openness and democratization, they are a crucial factor
Retrieved from: http://www.marufcanada.com/web/islamicpopulation.com/asia/Indonesia/The%20threat%20to%20%27smiling%20Islam%27.html
Monday, November 5, 2012
Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia
Jurnal MAARIF, Vol.7 No.1 Desember 2012, pp. 43-55.
Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia)
‘Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang,
untuk sesuatu golongan?... Sudah tentu tidak!... bukan negara yang demikian itulah kita punya
tujuan. Kita hendak mendirikan suatu
negara “semua buat semua”’
--Sukarno, Lahirnya Pancasila, 1947,
7--
‘Dasar Ketuhanan Yang Mahaesa jadi dasar yang memimpin
cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala
yang benar, adil dan baik… Ketuhanan Yang Mahaesa tidak lagi hanya dasar hormat
menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan
kebenaran, kebaikan, kejujuran persaudaraan’
--Mohammad Hatta, Pengertian
Pancasila, 1977, 18--
Abstrak
Meski
Indonesia telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama terhadap agama-agama
minoritas dalam konstitusi dan perundang-undangan yang lain, namun pada
kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak beragama kelompok
minoritas. Karena itu, pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
permasalahan idologis atau teologis apa yang menghambat pelaksanaan hak-hak
pemeluk agama-agama minoritas? Tulisan ini berargumen bahwa ada tiga persoalan
dasar yang bersifat ideologis yang menghambat kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia. Ketiga hal itu adalah sila pertama Pancasila,
paradigm tentang agama yang berkembang di masyarakat Indonesia, dan adanya
penetapan bahwa subyek perlindungan adalah agama itu sendiri, bukan pemeluk agama.
Sunday, October 28, 2012
Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam
Martin van Bruinessen,
‘Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam’,
Paper presented at the 29th Indonesia Update conference, Australian National
University, Canberra, September 30 – October 2, 2011.
With over 220 million Muslims, Indonesia has the largest community of Muslims in the world. Nevertheless, Indonesian Muslims do not play a role in global Muslim thought and action that is commensurate with their numbers. Indonesian Muslims have been eager to learn from Arab as well as Indian, Turkish and Persian thinkers, but do not seem to think they may have something valuable to offer in return. In Indonesian bookshops one finds the translated works of classical and modern Arabic authors, as well as studies of and by major Indian, Pakistani, Iranian and Turkish authors. But Malaysia is the only other country where one can find works by Indonesian Muslim authors, and there are virtually no serious studies of Indonesian Islam by scholars of other Muslim nations. The Arab world has shown a remarkable lack of interest in Asia in general, let alone in the social and cultural forms of Islam in Southeast Asia.1 Though more outward looking, other Muslim regions of Asia have not taken a serious interest in their Southeast Asian co-religionists either.
Retrieved from: http://igitur-archive.library.uu.nl/th/2012-0210-200244/Bruinessen_Indonesian_Muslims_in_the_larger_world_of_Islam.pdf
‘Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam’,
Paper presented at the 29th Indonesia Update conference, Australian National
University, Canberra, September 30 – October 2, 2011.
With over 220 million Muslims, Indonesia has the largest community of Muslims in the world. Nevertheless, Indonesian Muslims do not play a role in global Muslim thought and action that is commensurate with their numbers. Indonesian Muslims have been eager to learn from Arab as well as Indian, Turkish and Persian thinkers, but do not seem to think they may have something valuable to offer in return. In Indonesian bookshops one finds the translated works of classical and modern Arabic authors, as well as studies of and by major Indian, Pakistani, Iranian and Turkish authors. But Malaysia is the only other country where one can find works by Indonesian Muslim authors, and there are virtually no serious studies of Indonesian Islam by scholars of other Muslim nations. The Arab world has shown a remarkable lack of interest in Asia in general, let alone in the social and cultural forms of Islam in Southeast Asia.1 Though more outward looking, other Muslim regions of Asia have not taken a serious interest in their Southeast Asian co-religionists either.
Retrieved from: http://igitur-archive.library.uu.nl/th/2012-0210-200244/Bruinessen_Indonesian_Muslims_in_the_larger_world_of_Islam.pdf
Thursday, October 25, 2012
Indigenous Community Identity Within Muslim Societies in Indonesia: A Study of Katab Kebahan Dayak in West Borneo
Prasojo Z.H. 2011. "Indigenous community identity within muslim
societies in Indonesia: A study of Katab Kebahan Dayak in West Borneo". Journal of Islamic Studies. 22 (1): 50-65.
Zaenuddin Hudi Prasojo
Pontianak State College for Islamic Studies West Borneo, Indonesia
Zaenuddin Hudi Prasojo
Pontianak State College for Islamic Studies West Borneo, Indonesia
Abstract
The discourse of locality versus
globalization has become a topic of interest in the social sciences and
cultural studies.
Globalization representing the modern world has
provoked the awakening of ‘the silent voice’ of local traditions,
especially
those of indigenous communities. This paper
examines the contribution of globalization to the dynamics of religion,
ethnicity,
and identity in a local, Muslim indigenous
community, the Katab Kebahan Dayak, in West Kalimantan. As the dynamics
of society
in West Borneo have come under increasing influence
from the outside world, the Dayak identity has become more important to
people living in the region. It is generally
thought that the Dayak are affiliated either to local religious
practices and/or
to Christian churches, while the Malays are
considered as Muslim. However, Katab Kebahan Dayak community members
have kept
their ethno-religious identity as Muslim Dayak.
This paper explores the process of ethno-religious identity formulation
in
this community and the influences of globalization
on inter-group relations within ethnic groups in Melawi District, West
Kalimantan. It affirms that the Katab Kebahan Dayak
community members consider themselves as historically of Dayak origin
and are proud of that. They trace their Muslim
ancestry to more than five generations ago and feel no need to switch
their
ethnic identity. The research shows that the
interactions they have with both Malay Muslim and Dayak communities
around the
region have strengthened their Muslim identity.
This paper contributes to the discourse on local traditions within
Muslim
societies, and argues in favour of the endurance of
local indigenous traditions in response to modern globalization.
http://jis.oxfordjournals.org/content/22/1/50.abstract
Wednesday, October 24, 2012
Reaktualisasi Ajaran Samin
Suara Merdeka, 21 Oktober 2012 | 20:27 wib
Oleh Junaidi Abdul Munif
Samin, begitulah khalayak umum menyebut mereka. Mereka bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati hingga Tuban. Meski tak mengenyam pendidikan formal, warga Samin memiliki sikap hidup lebih santun daripada yang berpendidikan tinggi. Saminisme, ajaran hidup kaum Samin, selalu mengedepankan kejujuran dan kesahajaan.
BAGI mereka, gaya hidup orang modern sudah keluar dari koridor tujuan penciptaan manusia di bumi. Egoisme, hedonisme, kebohongan, dan kerakusan kekuasaan adalah gaya hidup manusia modern. Korupsi (mencuri), debat kusir, dan saling fitnah tampaknya bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan saat ini. Dan, kaum Samin meyakini itulah yang memicu kerusakan di dunia.
Harmonisasi, bagi mereka, adalah tujuan utama menjalani hidup. Samin Surosentiko, pelopor ajaran saminisme, menyatakan tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. "Yang dinamakan sifat wisesa adiluhung) adalah bertindak sebagai wakil Allah," tutur Samin.
Alam dan jiwa masyarakat Samin seolah-olah sudah menyatu. Alam ibarat ibu mereka, karena alam menghidangkan kekayaan melimpah untuk dinikmati kapan pun. Karena itu mereka begitu mencintai dan menjaga alam. Wajar ketika investor asing (semen) datang dan hendak mengeksploitasi Pegunungan Kendeng, mereka berada di garda terdepan: melawan!
Orang Samin juga tidak kenal istilah berdagang. Karena berdagang, bagi mereka, selalu melahirkan unsur 'ketidakjujuran'. Mereka memilih sistem barter karena berlandaskan kejujuran dan tidak merugikan pihak lain. Bagi orang Samin, bohong adalah tabu. Mereka juga tidak menerima bantuan dalam bentuk uang.
Tabu Berbohong
Raden Kohar atau Samin Surosentiko adalah otak intelektual paham saminisme. Samin lahir 1859 di Desa Plosokediren, Randublatung, Kabupaten Blora. Sang ayah bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal sebagai Samin Sepuh. Samin Surosentiko memiliki pertalian darah dengan Kiai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) tahun 1802-1826.
Sastroatmodjo (2003) mengemukakan, saminisme muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang sewenang-wenang. Mereka tidak melawan secara fisik, tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda.
Misalnya, tidak mau membayar pajak. Resistensi itu akhirnya membuat mereka memiliki tatanan, adat istiadat, dan kebiasaan tersendiri. Samin Surosentiko juga melawan kekuasaan kolonial lewat ekspansi gagasan dan pengetahuan. Samin Surosentiko mentransformasikan gagasan melalui ceramah di pendapa-pendapa pemerintahan desa. Inti ceramahnya seolah olah ingin membangun Kerajaan Amartapura.
Artinya, Samin menghendaki masyarakat bersifat jatmika (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmika selalu berpegangan pada budi pekerti. Dianggap penghasut masyarakat, tahun 1907 Samin Surosentiko ditangkap Belanda. Dia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera barat, dan di sanalah maut menjemput tahun 1914.
Samin Surosentiko mewariskan sebuah kitab sastra adiluhung sebagai falsafah hidup orang Samin, yakni Serat Jamus Kalimasada. Saat ini, orang Samin sering disebut sebagai Wong Sikep yang berarti, jujur, dan baik. Kini, krisis moralitas melanda bangsa ini. Hedonisme dan pragmatisme bak dewa yang selalu disembah- sembah manusia. Rakus, tamak, dan perbuatan keji lain menjadi efek pasti kedua dewa itu.
Arus globalisasi sering dijadikan kambing hitam sebagai pemicu. Kendati demikian, masyarakat Samin bergeming dan tetap memegang prinsip hidup mereka. Karena itulah, saminisme sangat layak dijadikan cerminan hidup. Keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan adalah representasi masyarakat Samin.
Seolah-olah tak dijumpai celah dalam kehidupan mereka untuk berbuat iri, dengki, rakus, dan perbuatan negatif lain. Sikap Mulia Ada sebuah kisah menarik sebagai ilustrasi. Suatu ketika ada orang asing tersesat di desa masyarakat Samin. Karena kelaparan dan melihat buah pisang yang masak, orang asing itu pun memetik. Namun sang pemilik memergoki. Sang pemilik sama sekali tidak marah, bahkan berkata, "Kenapa mencuri, jika meminta saja diberi?"
Sungguh, suatu sikap yang mulia. Dalam Serat Jamus Kalimasada, Samin Surosentiko mengatakan, "Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong." Ya, masyarakat Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati kepada orang lain, dan mengambil milik orang (mencuri). Sebab, semua tindakan itu merupakan awal kerusakan di bumi.
Ketika ditanya soal kejujuran, Hardjo Kardi, 'kepala adat' Samin, mengatakan, "Kejujuran adalah segalanya. Kejujuran harus menjadi dasar dan pegangan bagi manusia untuk mendapatkan kekuatan. Jangan pernah dengki dan iri hati. Semua manusia sama. Membedabedakan manusia tabu dalam mayarakat kami."
Secara eksplisit, ucapan indah itu mengindikasikan mereka senantiasa menerapkan sikap toleransi dan pluralitas. Bandingkan dengan fenomena yang acap menghinggapi manusia saat ini. Hampir setiap hari kita disuguhi tindakan amoral dari berbagai pihak. Sungguh ironis.
Bangsa yang tersohor dengan kesantunan dan kesopanan sudah bermetamofosis menjadi bangsa kurang beradab, jika tidak boleh dikatakan bangsa amoral dan biadab.
- Abdullah Hanif, pemerhati budaya asal Blora, kini mukim di Bantul
(RED/CN27)
Retrieved from: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2012/10/21/610/Reaktualisasi-Ajaran-Samin
Oleh Junaidi Abdul Munif
Samin, begitulah khalayak umum menyebut mereka. Mereka bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati hingga Tuban. Meski tak mengenyam pendidikan formal, warga Samin memiliki sikap hidup lebih santun daripada yang berpendidikan tinggi. Saminisme, ajaran hidup kaum Samin, selalu mengedepankan kejujuran dan kesahajaan.
BAGI mereka, gaya hidup orang modern sudah keluar dari koridor tujuan penciptaan manusia di bumi. Egoisme, hedonisme, kebohongan, dan kerakusan kekuasaan adalah gaya hidup manusia modern. Korupsi (mencuri), debat kusir, dan saling fitnah tampaknya bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan saat ini. Dan, kaum Samin meyakini itulah yang memicu kerusakan di dunia.
Harmonisasi, bagi mereka, adalah tujuan utama menjalani hidup. Samin Surosentiko, pelopor ajaran saminisme, menyatakan tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. "Yang dinamakan sifat wisesa adiluhung) adalah bertindak sebagai wakil Allah," tutur Samin.
Alam dan jiwa masyarakat Samin seolah-olah sudah menyatu. Alam ibarat ibu mereka, karena alam menghidangkan kekayaan melimpah untuk dinikmati kapan pun. Karena itu mereka begitu mencintai dan menjaga alam. Wajar ketika investor asing (semen) datang dan hendak mengeksploitasi Pegunungan Kendeng, mereka berada di garda terdepan: melawan!
Orang Samin juga tidak kenal istilah berdagang. Karena berdagang, bagi mereka, selalu melahirkan unsur 'ketidakjujuran'. Mereka memilih sistem barter karena berlandaskan kejujuran dan tidak merugikan pihak lain. Bagi orang Samin, bohong adalah tabu. Mereka juga tidak menerima bantuan dalam bentuk uang.
Tabu Berbohong
Raden Kohar atau Samin Surosentiko adalah otak intelektual paham saminisme. Samin lahir 1859 di Desa Plosokediren, Randublatung, Kabupaten Blora. Sang ayah bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal sebagai Samin Sepuh. Samin Surosentiko memiliki pertalian darah dengan Kiai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) tahun 1802-1826.
Sastroatmodjo (2003) mengemukakan, saminisme muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang sewenang-wenang. Mereka tidak melawan secara fisik, tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda.
Misalnya, tidak mau membayar pajak. Resistensi itu akhirnya membuat mereka memiliki tatanan, adat istiadat, dan kebiasaan tersendiri. Samin Surosentiko juga melawan kekuasaan kolonial lewat ekspansi gagasan dan pengetahuan. Samin Surosentiko mentransformasikan gagasan melalui ceramah di pendapa-pendapa pemerintahan desa. Inti ceramahnya seolah olah ingin membangun Kerajaan Amartapura.
Artinya, Samin menghendaki masyarakat bersifat jatmika (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmika selalu berpegangan pada budi pekerti. Dianggap penghasut masyarakat, tahun 1907 Samin Surosentiko ditangkap Belanda. Dia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera barat, dan di sanalah maut menjemput tahun 1914.
Samin Surosentiko mewariskan sebuah kitab sastra adiluhung sebagai falsafah hidup orang Samin, yakni Serat Jamus Kalimasada. Saat ini, orang Samin sering disebut sebagai Wong Sikep yang berarti, jujur, dan baik. Kini, krisis moralitas melanda bangsa ini. Hedonisme dan pragmatisme bak dewa yang selalu disembah- sembah manusia. Rakus, tamak, dan perbuatan keji lain menjadi efek pasti kedua dewa itu.
Arus globalisasi sering dijadikan kambing hitam sebagai pemicu. Kendati demikian, masyarakat Samin bergeming dan tetap memegang prinsip hidup mereka. Karena itulah, saminisme sangat layak dijadikan cerminan hidup. Keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan adalah representasi masyarakat Samin.
Seolah-olah tak dijumpai celah dalam kehidupan mereka untuk berbuat iri, dengki, rakus, dan perbuatan negatif lain. Sikap Mulia Ada sebuah kisah menarik sebagai ilustrasi. Suatu ketika ada orang asing tersesat di desa masyarakat Samin. Karena kelaparan dan melihat buah pisang yang masak, orang asing itu pun memetik. Namun sang pemilik memergoki. Sang pemilik sama sekali tidak marah, bahkan berkata, "Kenapa mencuri, jika meminta saja diberi?"
Sungguh, suatu sikap yang mulia. Dalam Serat Jamus Kalimasada, Samin Surosentiko mengatakan, "Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong." Ya, masyarakat Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati kepada orang lain, dan mengambil milik orang (mencuri). Sebab, semua tindakan itu merupakan awal kerusakan di bumi.
Ketika ditanya soal kejujuran, Hardjo Kardi, 'kepala adat' Samin, mengatakan, "Kejujuran adalah segalanya. Kejujuran harus menjadi dasar dan pegangan bagi manusia untuk mendapatkan kekuatan. Jangan pernah dengki dan iri hati. Semua manusia sama. Membedabedakan manusia tabu dalam mayarakat kami."
Secara eksplisit, ucapan indah itu mengindikasikan mereka senantiasa menerapkan sikap toleransi dan pluralitas. Bandingkan dengan fenomena yang acap menghinggapi manusia saat ini. Hampir setiap hari kita disuguhi tindakan amoral dari berbagai pihak. Sungguh ironis.
Bangsa yang tersohor dengan kesantunan dan kesopanan sudah bermetamofosis menjadi bangsa kurang beradab, jika tidak boleh dikatakan bangsa amoral dan biadab.
- Abdullah Hanif, pemerhati budaya asal Blora, kini mukim di Bantul
(RED/CN27)
Retrieved from: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2012/10/21/610/Reaktualisasi-Ajaran-Samin
Wednesday, October 17, 2012
Agama Jawa Sunda
Hisyam, Muhamad. 2004. "Agama Jawa Sunda." In Isma'il, Ibnu Qoyim. Religi lokal & pandangan hidup: kajian tentang masyarakat penganut religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Permalim), Samimisme, dan agama Jawa Sunda. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan. pp. 137-74.
Available online
Available online
The Samin movement
Benda, Harry Jindrich, and Lance Castles. 1969. The Samin movement. New Haven, Conn: Yale University, Southeast Asia Studies.
In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), no: 2, Leiden, 207-240
In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), no: 2, Leiden, 207-240
The Samin and Samat movements in Java
The, Siauw Giap. 1967. "The Samin and Samat movements in Java: two examples of peasant resistance". Revue Du Sud-Est Asiatique Et De L'Extrême-Orient. (2): 303-310.
The, Siauw Giap. 1968. The Samin movements in Java: complementary remarks.
The Siauw Giap. 1969. The Samin and Samat movements in Java: two examples of peasant resistance. Bruxelles: Université Libre.
Raka, Anak Agung Gde. 1972. The Samin movement and Bantam uprising of 1926: two cases of social unrest in Java during the colonial period. S.l: s.n.].
Robert Cribb. 2010. Samin Movement.
The, Siauw Giap. 1968. The Samin movements in Java: complementary remarks.
The Siauw Giap. 1969. The Samin and Samat movements in Java: two examples of peasant resistance. Bruxelles: Université Libre.
Raka, Anak Agung Gde. 1972. The Samin movement and Bantam uprising of 1926: two cases of social unrest in Java during the colonial period. S.l: s.n.].
Robert Cribb. 2010. Samin Movement.
Encyclopedia article : English | |
Database: | World History: The Modern Era |
---|---|
Summary: |
The Samin Movement was a peasant movement founded around 1890 in the Blora area of Central Java by Surontiko Samin.
|
Some observations on the Samin movement of North-Central Java. Suggestions for the theoretical analysis of the dynamics of rural unrest
King, Victor T. 1973. "Some observations on the Samin movement of North-Central Java. Suggestions for the theoretical analysis of the dynamics of rural unrest." Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 129 (1973), no: 4, Leiden, 457-481. Igitur. Igitur. http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/view/1874.
The Samin movement and millenarism
Korver, A. Pieter E. 1976. "The Samin movement and millenarism." Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 132 (1976), no: 2/3, Leiden, 249-266. Igitur. Igitur. http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/view/2205.
Feeding the dead: reformulating Sasak mortuary practices
Telle, Kari G. 2000. "Feeding the dead: reformulating Sasak mortuary practices". Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde. 156 (4): 771-805.
Telle, Kari. 2011. "Spirited warriors: conspiracy and protection on Lombok". Engaging the Spirit World : Popular Beliefs and Practices in Modern Southeast Asia. 42-61.
Telle, Kari G. 2007. "Nurturance the spectre of neglect: Sasak ways of dealing with the dead". Kinship and Food in South East Asia. 121-148.
Telle, Kari. 2009. "Spiritual places and ritual dynamics among Sasak Muslims on Lombok". Anthropological Forum : an International Journal of Social and Cultural Anthropology and Comparative Sociology. 19 (3): 289-306.
Telle, Kari G. 2003. "The smell of death: theft, disgust and ritual practice in Central Lombok, Indonesia". Beyond Rationalism : Rethinking Magic, Witchcraft and Sorcery. 75-103.
Telle, Kari G. 2003. Place, heart and ritual: contested practices in a Muslim community in central Lombok. PhD Thesis. Bergen: University of Bergen, Dept. of Social Anthropology.
Telle, Kari. 2011. "Spirited warriors: conspiracy and protection on Lombok". Engaging the Spirit World : Popular Beliefs and Practices in Modern Southeast Asia. 42-61.
Telle, Kari G. 2007. "Nurturance the spectre of neglect: Sasak ways of dealing with the dead". Kinship and Food in South East Asia. 121-148.
Telle, Kari. 2009. "Spiritual places and ritual dynamics among Sasak Muslims on Lombok". Anthropological Forum : an International Journal of Social and Cultural Anthropology and Comparative Sociology. 19 (3): 289-306.
Telle, Kari G. 2003. "The smell of death: theft, disgust and ritual practice in Central Lombok, Indonesia". Beyond Rationalism : Rethinking Magic, Witchcraft and Sorcery. 75-103.
Telle, Kari G. 2003. Place, heart and ritual: contested practices in a Muslim community in central Lombok. PhD Thesis. Bergen: University of Bergen, Dept. of Social Anthropology.
Tuesday, October 16, 2012
Millenarianism and the Saminist movement
Anderson, Benedict R. O'G. 1977. "Millenarianism and the Saminist movement." In Benedict R. O’G. Anderson, Mitsuo Nakamura, and Mohammad Slamet. Religion and social ethos in Indonesia. Victoria: Monash University, pp. 48- ?.
Subscribe to:
Posts (Atom)