Showing posts with label Islam Aboge. Show all posts
Showing posts with label Islam Aboge. Show all posts

Tuesday, July 17, 2012

Perbedaan awal puasa Muhammadiyah, NU dan Aboge

Merdeka, Selasa, 17 Juli 2012 16:40:17
Reporter: Slamet Nusa

Penganut ajaran Islam Kejawen Alif Rebo Wage atau Aboge mempunyai cara tersendiri untuk menentukan kapan dimulainya puasa. Jika Muhammadiyah menggunakan hisab atau perhitungan dan Nahdlatul Ulama menggunakan Rukhyah, maka kaum Aboge menggunakan almanak Jawa untuk menentukan awal puasa. Apa perbedaannya?

"Hitungannya sudah paten, formulasi penanggalannya sudah jelas," kata Juru Bicara Trah Bonokeling, Sumitro, yang menggunakan perhitungan Aboge untuk menentukan awal puasa, Selasa (17/7).

Bagi dia, perhitungan menggunakan penanggalan Jawa mudah untuk dipelajari. Setiap pemuda, kata dia, akan diajari oleh orang tuanya untuk menghitung penanggalan. Selain untuk menentukan hari baik bagi yang akan melangsungkan hajatan, penanggalan itu juga digunakan untuk menentukan hari besar agama, termasuk puasa dan Lebaran.

Menurut dia, berdasarkan penanggalan Jawa, tahun ini merupakan tahun wawu di mana 1 Sura atau tahun baru Islam jatuh pada hari Senin Kliwon. Tahun baru tersebut disingkat Waninwon, atau Wawu Senin Kliwon.

Menurut dia, hitungan Waninwon tersebut menjadi patokan dalam sejumlah penanggalan termasuk penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal berdasarkan rumusan yang telah diyakini penganut Islam Aboge sejak ratusan tahun silam.

Penganut Islam Aboge meyakini bahwa dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.

Hari dan pasaran pertama pada tahun Alif jatuh pada Rabu Wage (Aboge), tahun Ha pada Ahad/Minggu Pon (Hakadpon), tahun Jim Awal pada Jumat Pon (Jimatpon), tahun Za pada Selasa Pahing (Zasahing), tahun Dal pada Sabtu Legi (Daltugi), tahun Ba/Be pada Kamis Legi (Bemisgi), tahun Wawu pada Senin Kliwon (Waninwon), dan tahun Jim Akhir pada Jumat Wage (Jimatge).

Hari dan pasaran pertama pada tahun berjalan ini menjadi patokan penentuan penanggalan berdasarkan rumusan yang berlaku bagi penganut Islam Aboge, misalnya Sanemro (Pasa Enem Loro) untuk menentukan awal Ramadan dan Waljiro untuk menentukan 1 Syawal.

Oleh karena sekarang tahun Wawu, kata dia, patokan Waninwon (Wawu Senin Kliwon) diturunkan pada rumusan Sanemro (Pasa Enem Loro), yakni awal puasa Ramadan jatuh pada hari keenam dengan pasaran kedua sehingga muncul Sabtu Manis atau Sabtu Legi.

"Hari pertama tahun Wawu jatuh pada Senin sehingga hari keenamnya adalah Sabtu. Pasaran pertama tahun Wawu jatuh pada Kliwon, sehingga pasaran keduanya pada Manis atau Legi," katanya.

Berdasarkan patokan Waninwon tersebut, kata dia, dapat diketahui bahwa 1 Syawal akan jatuh pada Senin Manis atau 20 Agustus 2012, karena mengacu para rumusan Waljiro (Syawal Siji Loro), yakni 1 Syawal jatuh pada hari pertama (Senin) dan pasaran kedua (Manis/Legi).

Perhitungan yang dipakai aliran Aboge telah digunakan para wali sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh ulama Raden Rasid Sayid Kuning berasal dari Pajang. "Bedanya kami dengan Muhammadiyah dan NU hanya pada penentuan tanggal, selain itu sama semua," katanya.

Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah dan NU?

Muhammadiyah menerapkan penentuan awal bulan menggunakan metode hisab, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan proses rukyat. Hal ini beralasan bahwa berdasarkan perkembangan iptek dan pola kehidupan masyarakat maka pelaksanaan rukyat dilakukan dengan menggunakan hisab. Dengan metode hisab dari Muhammadiyah ini maka dianggap sudah memasuki bulan baru manakala sudah dapat dilihat wujudul hilal atau nampaknya bulan baru setelah terbenamnya matahari.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyumas, Ibnu Hasan, meminta warga Muhammadiyah untuk saling menghormati. Menurutnya, Muhammadiyyah melihat posisi hilal 1,3 derajat tanggal 19 Juli sudah ufuk, maka 20 Juli ditetapkan awal Puasa. Mereka akan puasa genap 30 hari.

"Meskipun kita sudah ada kepastian tentang awal puasa, tetapi tetap menghormati yang menentukan puasa dengan melihat hilal," katanya.

Sedangkan NU dalam menentukan awal bulan Qomariyah (Hijriyah) pada awalnya hanya menerapkan metode rukyatul hilal, namun dalam perkembangannya juga mengkombinasikan dengan rukyat berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat sekaligus menerima kriteria imkanur rukyat. NU telah melakukan redefinisi hilal dan rukyat menurut bahasa, Alquran, As-Sunnah dan menurut sains sebagai landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadan, dan jatuhnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

NU akan menentukan pergantian bulan manakala bulan baru sudah terlihat setelah terbenamnya matahari setinggi 2 derajat, bila tidak maka bulan akan digenapkan menjadi 30 hari.

Sedangkan Ketua PCNU Banyumas, KH Taefur Arofat juga menegaskan, perbedaan penentuan awal puasa tidak bisa dihindari. "Tetapi memiliki komitmen sama, menghormati Muhammadiyah yang telah menentukan awal puasa. Karena saling menghormati mutlak menjadi kunci. Untuk NU, tetap akan menunggu hasil sidang isbat yang dilakukan pemerintah. Yang pasti, semuanya punya dasar, pada koridor dan tidak asal. Warga NU, tetap menunggu pemerintah, tidak perlu saling ejek," katanya.
[hhw]

Retrieved from:http://www.merdeka.com/peristiwa/perbedaan-awal-puasa-muhammadiyah-nu-dan-aboge.html

Monday, July 2, 2012

Manembah, Ritualnya Kaum Aboge

MANEMBAH: Sarno Kusnandar tengah mempraktekkan manembah (semedi). (SM CyberNews/ Gatot Sigit)
Suara Merdeka, 21 Agustus 2010 | 08:48 wib

Laporan tim liputan Suara Merdeka (SM CyberNews) pada bagian pertama telah mengurai cerita Komunitas Aboge dalam berpuasa (kanal Ramadan). Apa itu Aboge, bagaimana tradisi penanggalan Alip Rabo Wage (Aboge), keduanya pun dipaparkan. Kini, kisah Aboge berlanjut di seputar ritual juga perayaan hari kemenangan, Lebaran. Berikut laporannya.

KOMUNITAS penganut sistem penanggalan Aboge rupanya tak hanya "khas" saat menentukan kapan dimulainya ibadah puasa. Selain tidak menjalankan Ibadah Tarawih, komunitas ini ternyata tak mengenal Salat Ied. Namun, mereka punya laku khusus.

Duduk bersila, mata ngayam-ayam (antara melek dan merem-red) dengan pandangan terpusat pada pangkal hidung (gunung tursina) sembari membaca japa mantra. Sementara telapak tangan tertangkup saling bersentuhan di depan dada. Itulah bentuk ritual khusus para Aboge usai menjalankan puasanya. Semedi yang biasanya dilakukan secara bersama-sama ini dikenal dengan istilah manembah.

Jika umat Islam memiliki kiblat sebagai penjuru utama dalam salat, tak demikian dengan Aboge. Barat, timur, utara maupun selatan tak masalah bagi kaum ini. Dengan kata lain, manembah dilakukan tanpa terikat arah tertentu. Selanjutnya, agar khusyuk, penggunaan minyak wangi menjadi syarat khusus.

Lalu, bagaimana dengan pakaian yang dikenakan? Pakaian adat Jawa berupa surjan juga blangkon hanya digunakan saat ritual pada hari besar tertentu, seperti tanggal 1 Suro. Di luar itu, tak ada ketentuan lain. Mereka yang mengenakan pakaian adat Jawa tersebut biasanya adalah para Aboge yang menganut tradisi Kejawen.

Sedikitnya 60 kepala keluarga dari pengikut Aboge berdiam di Dusun Binangun, Keluarahan Mudal, Kabupaten Wonosobo. Sisanya, tersebar di dusun lain dengan jumlah yang lebih kecil.

Sudah menjadi hal umum di kampung, manembah atau semedi bersama saat Idul Fitri dilakukan di rumah sesepuh Aboge. Di Dusun Binangun, ritual itu digelar dengan sederhana di kediaman Sarno Kusnandar pada malam 1 Syawal. Tak masalah meski rumah itu berhadapan dengan masjid. Memang, jarak antara dua bangunan itu sangat dekat, sekitar 10 meter.

Lebaran ala Aboge
Lebaran, semua umat muslim menantikan datangnya hari kemenangan ini, tak terkecuali penganut Aboge. Komunitas Aboge bukanlah kaum yang introvert. Saat Lebaran, mereka pun berbaur dengan warga muslim lainnya. Hanya saja, sebagian di antaranya masih fanatik, baru berkenan untuk silaturahmi ketika sudah waktunya, yakni saat telah jatuh 1 Syawal ala Aboge.

Jamaah masjid di kampung itu pun mengerti. Mereka akan segera bersilaturahmi dengan pengikut Aboge. Biasanya hal demikian terjadi ketika Lebaran umat muslim berdasarkan penanggalam Hijriah jatuh lebih dulu. Tak lama, seperti yang sudah-sudah, hanya berselang satu hari.

Berbeda halnya ketika Lebaran Aboge jatuh lebih dulu. Sarno Kusnandar menuturkan, saat para Aboge merayakan selamatan 1 Syawal-nya, warga sekitar non-Aboge pun turut. Hal ini setidaknya membuktikan, tak ada sekat antara para Aboge dalam bersosialisasi ditengah masyarakat, terutama dalam hal toleransi beragama.

Bahkan, keluarga Aboge di satu rumah, belum tentu memiliki keturunan yang pasti "mengikut" orang tuanya. Seperti dialami Sarno (57). Anak ke-empat dan ke-lima Sarno bukan lah pengikut Aboge.

"Satu rumah belum tentu sama. Saya, istri dan anak nomor satu sampai tiga ikut penanggalan Aboge, tapi anak ke-empat, ke-lima dan menantu ikut penanggalan Hijriah," jelas Sarno ditemui di rumahnya belum lama ini.

Kehidupan beragama di Dusun Binangun setidaknya menjadi refleksi kerukunan dari besarnya toleransi umat beragama. Dengan kesederhanaannya, pola pikir yang belum begitu "terjamah" kompleksitas permasalahan modern, Aboge berlaku apa adanya. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah perbedaan, itulah Aboge.

(Rahayu Kurniawati, Bambang Iss/CN16)

Retrieved from: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2010/08/19/601

Sunday, July 1, 2012

Islam Aboge in Pictures

Jemaah Islam Aboge di Desa Sawangan, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, saat menggelar kenduri seusai Salat Id tahun 2010.
Retrieved from: http://regional.kompas.com/read/2011/09/01/09100193/Islam.Aboge.Ajaran.Warisan.Raden.Rasid.Sayid.Kuning

Usai salat Ied para penganut ajaran Aboge ini menggelar kenduri tanda syukur kepada Allah SWT. Acara kemudian dituntaskan dengan pemotongan hewan kurban. Arbi Anugrah/detikcom.
Retrieved from: http://foto.detik.com/readfoto/2008/12/10/131358/1051197/157/2/
kiai-mariye-menunjukkan--kitab--berisi-perhitungan-aboge
Retrieved from: http://bola.viva.co.id/news/read/237284-jamaah-aboge-baru-puasa-mulai-besok
Seorang penganut Aboge menunjukan kalender perhitungan versi mereka, Aboge dan An-Nadzir berbeda penetapan dan perhitungan alamanak islam dengan pemerintah
Retrieved from: http://mobile.seruu.com/kota/regional/artikel/jamaah-an-nadzir-baru-gelar-sholat-id-hari-ini

Saturday, June 30, 2012

References on Islam Aboge

References

  1.  Abdurrahman M. 2011. "Islam Aboge: Harmoni Islam dan Tradisi Jawa." Paper presented at the 11th Annual Conference on Islamic Studies, in Bangka Belitung, 10-13 October 2011.
  2. Ridhwan, Islam Blangkon: Studi Etnogra1 Karakteristik Keberagamaan di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, dalam Jurnal Istiqro’, Departemen Agama Republik Indonesia-Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Volume 07, Nomor 1, 2008.
  3. Ridwan, Islam Blangkon (studi etnogra1s karakteristik keberagamaan masyarakat Kabupaten Banyumas dan Cilacap). STAIN Purwokerto.
  4. Joko Sulistyo, Analisis Hukum Islam Tentang Prinsip Penanggalan Aboge Di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo, Tesis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2008.

Friday, June 1, 2012

Komunitas Islam Aboge, Beda Bukan Soal, Yang Penting Selamat

Suara Merdeka, 20 Agustus 2011

Purbalingga – Pengikut Aboge menjadi komunitas nyentrik di tengah umat Islam kebanyakan. Berbeda dalam cara menentukan awal tahun Hijriah menjadi ciri khasnya. Bagaimana mereka menjalani perbedaan itu dalam kerukunan, berikut laporannya.

Komunitas Aboge tersebar di eks Karesidenan Banyumas. Mereka memiliki kesamaan sifat dan sikap keberagamaan. Penganut aboge sangat kental dengan ritus kejawen yang diwariskan leluhurnya.Hampir dapat dipastikan, di setiap tempat komunitas Aboge eksis, terdapat situs, benda, dan ritus yang masih dijaga dan dilestarikan oleh pengikutnya.

“Tak hanya awal Puasa atau Bada (Lebaran), kami biasa menggunakan perhitungan Jawa untuk berbagai kebutuhan. Mulai dari kelahiran, perkawinan, kerja, hingga kematian, semua dilaksanakan untuk mencari selamat,” ujar Santibi, pemuka komunitas aboge di Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, Banyumas.
Pengikut aboge percaya bahwa satu bulan selalu genap 30 hari. Tidak ada bulan ganjil yang berjumlah 29 hari sebagaimana dipercayai oleh orang Islam. Makanya, pengikut aboge selalu mempunyai rumus perhitungan yang sama dan abadi.

“Sampai kiamat pun perhitungannya sama. Kami tidak akan menemui hari Rabu Manis ketika Lebaran karena itu hari yang kami hindari,” jelas Santibi.

Penganut aboge di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas sampai saat ini tetap memelihara makam Mbah Toleh, tokoh penyebar Islam di Banyumas sekaligus pendiri Masjid Saka Tunggal yang dipercaya warga setempat dibangun sebelum Masjid Agung Demak.

Sementara di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, pengikut aboge hingga kini masih menjaga situs dan melestarikan ritus budaya yang diwariskan tokoh misterius bernama Bonokeling. Sedangkan di Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, dan Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang, Banyumas juga masih terjaga baik sebuah situs Pesanggrahan Kyai Langgeng.

Sampai saat ini sebagian besar pengikut aboge kerap membuat upacara selamatan. Tak terkecuali di bulan Ramadan. Sebelum Ramadan tiba, mereka akan menggelar upacara sadranan. Sementara memasuki malam pertama, malam belasan, dan malam “likuran” Ramadan, pengikut aboge juga melaksanakan selamatan.

“Kami membawa makanan dari rumah masing-masing untuk selamatan di tajug (mushala-red). Kalau usai shalat Id, kami juga selamatan. Kami akan makan bersama usai mengadakan ziarah kubur terlebih dulu,” kata Jamang Sudiworo, pemuka aboge di Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang.

Pengikut aboge berpendirian bahwa apa yang mereka jalani adalah hal yang benar. Mereka tak mau mengubah apa pun yang diwariskan oleh leluhur. Mereka percaya jika tetap menjalankan ajaran leluhur, termasuk perhitungan aboge, akan selamat dunia akhirat.

Secara syariat mereka mengikuti ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan secara tarekat sebagian dari mereka merupakan pengikut Tarekat Satariyah.

“Selama jari masih bisa menghitung hari, bulan, dan tahun, maka kami akan tetap mempertahankan perhitungan ini. Kami selalu mencari selamat,” ujar Santibi.

Komunitas Islam Aboge Desa Onje, Mrebet, Purbalingga

Tak beda jauh dari warga aboge di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Mereka menyambut datangnya bulan Puasa, yang menurut hisab jatuh pada Selasa Pahing (2/8). Seperti yang sudah-sudah, ratusan jamaah yang tinggal di desa yang jadi cikal-bakal Kabupaten Purbalingga itu membersihkan Masjid Raden Sayid Kuning sekaligus perlengkapan beribadah, bersama-sama.

“Dua hari sebelum datangnya bulan Puasa, kami biasa bersih-bersih masjid dan makam Raden Sayid Kuning yang berdekatan dengan masjid,” ujar ulama aboge, Kyai Sudi Maksudi.

Raden Sayid Kuning merupakan tokoh kunci penyebaran Islam aboge di desa tersebut. Menantu Adipati Onje itu bernama asli Abdullah Syarif. Bagi mereka, keberadaan masjid yang selalu ramai pada malam Jumat Kliwon itu tidak sekadar benda cagar budaya yang berusia berabad-abad, melainkan juga sebagai simbol pelestarian tarekat Islam aboge.

Malah, konon, para penganut aboge di desa yang kini dipimpin Bangin Irianto itu meyakini datangnya bulan Ramadan bila beduk di “rumah Tuhan” yang sempat mendapat sentuhan Syech Samsudin dan Sunan Gunungjati sudah berbunyi.

“Beduknya bunyi sendiri. Benar-benar bunyi sendiri. Bunyinya memang pelan, seperti kendaraan bermotor. Tapi tidak semua orang bisa mendengarnya,” ujarnya, yang mengaku pernah sekali mendengarnya.

Kyai Sudi menambahkan, bukan berarti bangunan yang di dalamnya terdapat dua batu giok itu hanya eksklusif bagi penganut aboge. Masjid itu biasa digunakan untuk seluruh masyarakat yang akan beribadah.

“Lagi pula aboge bukan aliran sesat, cuma keyakinan kepada Tuhan. Makanya, sampai kiamat juga tidak akan hilang. Kalau yang namanya NII, itu baru masalah,” ujarnya. (Susanto, Bangkit Wismo-43)

Sumber: http://kotaperwira.com/komunitas-islam-aboge-beda-bukan-soal-yang-penting-selamat#ixzz1wpvgGvDx
http://facebook.com/kotaperwiracom

Retrived from: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/20/156702/

Thursday, May 31, 2012

Mengenal Islam Aliran Aboge dan Sistem Kalender Mereka

Meski pemerintah telah mengumumkan bahwa tanggal 1 Ramadhan jatuh pada 1 September, tetapi pengikut Islam aliran Raden Rasid Sayid Kuning atau Alip-Rebo-Wage (A-bo-ge) mulai menjalankan ibadah puasa pada Rabu (3/9).

"Hari ini (Rabu, red) puasa hari pertama bagi penganut Aboge," kata Maksudi penganut Aboge di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu.

Menurut dia, dasar penentuan 1 Ramadhan telah diyakini warga Aboge sejak abad 14, yakni dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wawu dan Jim akhir.

Dengan demikian, para penganut Aboge menyakini tanggal 1 Muharam yang lalu jatuh pada tahun Alip, dan pada hari Jumat dengan pasaran Pon.

a. Aliran Islam Aboge

Di wilayah Kabupaten Banyumas terdapat aliran Islam Aboge. Penganut Islam Aboge atau Alip-Rebo-Wage (A-bo-ge) merupakan pengikut aliran yang diajarkan Raden Rasid Sayid Kuning.

Saat ini terdapat ratusan pengikut aliran ini yang tersebar di sejumlah desa, antara lain Desa Cibangkong (Kecamatan Pekuncen), Desa Kracak (Ajibarang), Desa Cikakak (Wangon), dan Desa Tambaknegara (Rawalo) kabupaten Banyumas Jawa Tengah.

Selain itu, di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, juga terdapat ratusan penganut Islam Aboge.


b. Sistem Perhitungan Kalender Aboge

Perhitungan yang dipakai aliran Aboge telah digunakan para wali sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh ulama Raden Rasid Sayid Kuning dari Pajang.

Perhitungan ini merupakan gabungan perhitungan dalam satu windu dengan jumlah hari dan jumlah pasaran hari berdasarkan perhitungan Jawa yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.

Dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari.


c. Penganut Islam Aboge Mulai Puasa Hari Kamis 12 Agustus 2010

Penganut Islam Aboge (Alip Rebo Wage) di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, meyakini awal bulan Ramadhan akan jatuh pada hari Kamis, 12 Agustus 2010.

"Hal itu diketahui berdasarkan hasil perhitungan yang telah digunakan oleh leluhur kami hingga sekarang," kata tokoh masyarakat Islam Aboge, Santibi (65) di Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas, Minggu (8/8/2010).

Menurut dia, penganut Islam Aboge meyakini bahwa dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir.

Berdasarkan keyakinan ini, kata dia, penganut Aboge meyakini jika sekarang merupakan tahun Dal sehingga tanggal 1 Muharam-nya jatuh pada hari Sabtu dengan hari pasarannya Legi atau Dal-Tu-Gi (tahun Dal hari pertamanya Sabtu Legi).

Dengan demikian, lanjutnya, hari pertama tahun baru tersebut (1 Muharam) dijadikan patokan untuk melakukan perhitungan hari termasuk mengetahui awal puasa Ramadhan.

"Dalam hal ini, kami menggunakan perhitungan yang menyebutkan bulan, hitungan hari, dan hitungan pasaran yang diturunkan dari Dal-Tu-Gi tersebut," katanya. Menurut dia, dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari.

Oleh karena itu, kata dia, seperti dilansir antaranews.com, untuk menghitung awal puasa Ramadhan menggunakan perhitungan Sa-Nem-Ro (puasa-enem-loro) atau Do-Nem-Ro (Ramadhan-enem-loro) yang dihitung dari hari pertama tahun Dal, yakni Sabtu Legi.

"Berdasarkan Sa-Nem-Ro atau Do-Nem-Ro tersebut diketahui awal puasa atau tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari keenam (enem) dan pasaran kedua (loro), yakni Kamis Pahing atau 12 Agustus 2010. Itu semua karena hari pertama tahun Dal jatuh pada Sabtu Legi sehingga hari keenamnya jatuh pada hari Kamis dan pasaran keduanya adalah Pahing," jelasnya.
[Antara News/wbw-wbw.blogspot.com]  Gambar : .jakartapress.com
 
Retrieved from: http://www.duniaunik.info/2010/08/mengenal-islam-aliran-aboge-dan-sistem.html

Saturday, September 3, 2011

Islam Aboge, Ajaran Warisan Raden Rasid Sayid Kuning

KOMPAS/MUHAMAD BURHANUDIN

Jemaah Islam Aboge di Desa Sawangan, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, saat menggelar kenduri seusai Salat Id tahun 2010.

Kompas, Kamis, 1 September 2011 | 09:10 WIB

KOMPAS.com - Hari ini, Kamis (1/9/2011), penganut Islam Aboge baru merayakan Hari Raya Idul Fitri 1432 H. Ratusan orang menggelar Salat Id di sejumlah masjid di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Di Kabupaten Banyumas terdapat ratusan penganut Islam Aboge yang tersebar di sejumlah desa, antara lain Desa Cibangkong (Kecamatan Pekuncen), Desa Kracak (Ajibarang), Desa Cikakak (Wangon), dan Desa Tambaknegara (Rawalo). Selain itu, di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, juga terdapat ratusan penganut Islam Aboge.

Penganut Islam Aboge atau Alif-Rebo-Wage (A-bo-ge) merupakan penganut aliran yang diajarkan Raden Rasid Sayid Kuning. Perhitungan yang dipakai aliran Aboge telah digunakan para wali sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh ulama Raden Rasid Sayid Kuning dari Pajang.

Para penganut Islam Aboge meyakini, dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim Akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.

Dalam hal ini, hari dan pasaran pertama pada tahun Alif jatuh pada Rabu Wage (Aboge), tahun Ha pada Ahad/Minggu Pon (Hakadpon), tahun Jim Awal pada Jumat Pon (Jimatpon), tahun Za pada Selasa Pahing (Zasahing), tahun Dal pada Sabtu Legi (Daltugi), tahun Ba/Be pada Kamis Legi (Bemisgi), tahun Wawu pada Senin Kliwon (Waninwon), dan tahun Jim Akhir pada Jumat Wage (Jimatge).

Terkait penetapan 1 Syawal 1432 H, tokoh masyarakat Islam Aboge, Sulam, Kamis (1/9/2011), mengatakan, hal itu berdasarkan cara perhitungan yang telah diyakini sejak ratusan tahun silam.

Menurutnya, penganut aliran Aboge meyakini jika tahun 1432 H merupakan tahun Ba/Be dengan tanggal 1 Muharam jatuh pada hari Kamis pasaran Legi sehingga muncul hitungan Bemisgi (tahun Be-Kemis/Kamis-Legi).

Menurut dia, hitungan Bemisgi tersebut selanjutnya menjadi patokan perhitungan untuk menentukan hari-hari penting lainnya di tahun Be ini. "Kamis merupakan hari pertama di tahun Be. Demikian pula Legi merupakan pasaran pertama di tahun Be," katanya.

Untuk menetapkan 1 Syawal, kata dia, penganut Aboge menggunakan rumusan Waljiro (Syawal-Siji-Loro) yang berarti 1 Syawal pada hari pertama dengan hari pasaran kedua yang diturunkan dari hitungan Bemisgi. Dengan demikian, kata dia, 1 Syawal 1432 H bagi penganut Islam Aboge jatuh pada hari Kamis Legi, 1 September 2011.

Dari hitungan tersebut, penganut Islam Aboge juga sudah menetapkan, 1 Syawal 1433 H bagi penganut Islam Aboge akan jatuh pada hari Senin Legi, 20 Agustus 2012.

Hari ini Sulam baru pertama kali menjadi imam dalam Salat Id di Masjid Saka Tunggal menggantikan ayahnya yang telah lanjut usia, yakni Kiai Sopani. "Kami, para penganut Islam Aboge saat ini hanya berusaha meneruskan ajaran dari leluhur," katanya.

Ia menuturkan, hanya sebagian generasi muda Islam Aboge yang masih mempertahankan tradisi leluhur. Kata dia, para generasi muda komunitas Islam Aboge sedang berada dalam persimpangan jalan, yakni meneruskan ajaran leluhur atau mengikuti ajaran Islam yang berkembang di masyarakat secara umum.

http://regional.kompas.com/read/2011/09/01/09100193/Islam.Aboge...Ajaran.Warisan.Raden.Rasid.Sayid.Kuning

Friday, September 2, 2011

Kudi Pacul, Ritual Lebaran Islam Aboge

Taufik Budi - SUN TV
OkeZone.com, Jum'at, 2 September 2011 00:05 wib
detail berita
Yatbani bersama Istri melakukan ritual Kudi Pacul. (Foto: Taufik Budi/SunTV )

BLORA - Warga Islam aliran Aboge di Blora, Jawa Tengah, mempunyai cara tersendiri untuk merayakan Lebaran Idul Fitri yang baru jatuh pada hari ini. Mereka menggelar selamatan dan ritual Kudi Pacul, yakni menjamas alat-alat pertanian.

Ritual dilakukan dengan mengumpulkan satu per satu alat-alat pertanian, berupa sabit, parang, linggis, dan cangkul, yang ditumpuk di atas keranjang bambu yang terbalik. Selain itu benda pusaka, seperti keris dan tombak, juga berada di atas keranjang tersebut.

Seperti yang dilakukan oleh seorang penganut Islam Aboge, Sastro Wijoyo Yatbani, warga Dukuh Jagong, Desa Pengkoljagong, Kecamatan Doplang.

Saat ditemui, Kamis (1/9/2011), lelaki berusia 90 tahun ini sedang melakukan ritual tersebut. Menyan, kembang tujuh rupa dibakarnya di atas tumpukan alat pertanian, dan benda pusaka.

Untuk menyempurnakan ritual Kudi Pacul, Yatbani juga menggelar selamatan berupa nasi tumpeng. Nasi tumpeng itu sebagai perlambang wujud syukur kepada Tuhan.

Dituturkan Yatbani, Kudi Pacul merupakan cara warga Islam Aboge merayakan Idul Fitri. Ritual ini dilakukan warga Islam Aboge secara turun temurun.

Kudi Pacul, merupakan bentuk penghargaan, tidak hanya kepada manusia, namun juga kepada mahluk lain. Warga Islam Aboge meyakini, kehidupan manusia di dunia tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan mahluk lain yang gaib.

Agar tidak mengganggu kehidupan manusia, Warga Aboge juga melakukan tabur bunga di lahan pertanian maupun tempat lain yang dianggap menjadi tempat tinggal mahluk gaib.

Warga Islam Aboge berpandangan, ritual Kudi Pacul dapat mendatangkan berkah keselamatan. (hri)