Kamis, 18 Februari 2016, 06:00 WIB
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID, Pemikiran Islam Indonesia kontemporer sedikit banyak memiliki kontinuitas dengan intelektualisme masa sebelumnya. Pemikiran Islam Indonesia yang pernah disebut sebagai "tradisional"--sering juga disebut sebagai "tradisionalisme Islam"--dalam batas tertentu kian memudar. Pada saat yang sama, corak pemikiran ini juga mengadopsi aspek intelektualisme yang lazim dinisbahkan pada pemikiran "modernis".
Pada sisi lain, pemikiran Islam yang disebut sebagai "modernisme Islam" juga mengalami perubahan. Perubahan itu banyak terkait dengan kegagalan proyek modernisme di lingkungan masyarakat Muslim tertentu, dan juga dengan kebangkitan agama (religious revival) di berbagai lingkungan komunitas di dalam dan luar negeri. Karena itu, "modernisme Islam" kian memberikan apresiasi lebih besar pada warisan Islam (al-turats al-Islamiyyah) dalam aspek pemikiran ataupun kelembagaan.
Dalam konteks itu, jelas dinamika pemikiran Islam Indonesia sangat terkait dengan dinamika masyarakat di ranah domestik ataupun global. Kontekstualisasi dan indigenisasi Islam, seperti pernah dianjurkan para pemikir sebelumnya, semacam Cak Nur, Gus Dur, atau Munawir Sjadzali, terus menjadi paradigma pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Namun, pada saat yang sama, konteks transregional dan internasional--dari dunia Muslim sendiri dan dunia internasional lebih luas terus pula kian meningkat memasuki ranah pemikiran Islam Indonesia. Globalisasi memberi dampak lebih luas daripada masa sebelumnya karena kemajuan telekomunikasi instan melalui berbagai media dan jaringan yang tidak pernah ada presedennya di masa silam.
Karena itu, seperti disarankan Carol Kersten dalam karyanya, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (London; 2015), pemikiran Islam Indonesia kontemporer dapat disebut sebagai berada pada tahap post-modernism. Namun, dia menegaskan tahap-tahap sejarah pemikiran Islam tidak harus selalu bersifat sekuensial atau sambung menyambung (successive), seperti tradisional, modern, dan pascamodernisme.
Kontestasi pemikiran Islam kontemporer, menurut dia, jika dikategorisasikan, terutama menyangkut pemahaman berbeda tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ketiga subjek yang menjadi perdebatan dan kontestasi muncul sebagai motif pokok dalam uji daya tahan Indonesia dalam proses demokratisasi yang kini sudah memasuki tahap konsolidasi.
Perdebatan mengenai subjek-subjek ini selain terjadi di antara intelektual dan lembaga Muslim, juga melibatkan kalangan non-Muslim. Hal ini tidak lain karena subjek pluralisme, misalnya, memiliki reperkusi dan konsekuensi terhadap kebebasan beragama, toleransi, dan selanjutnya juga hak asasi manusia (HAM).
Sebab itu, kontestasi pemikiran Islam kontemporer untuk hegemoni terhadap masyarakat, gagasan, dan nilai terlihat jelas dalam banyak tulisan para pemikir Islam masa ini. Mereka berusaha mengonseptualisasi dan merumuskan berbagai wacana. Sementara itu, para aktivis mencoba mencarikan jalan untuk artikulasi dan implementasi konkret gagasan yang ada.
Pemikiran dan langkah berbeda membuat kontestasi di antara para pemikir beserta aktivis yang mewakili kecenderungan pemikiran berbeda menghasilkan perdebatan hangat dan bahkan diwarnai "konfrontasi". Di sini, Kersten meminjam ungkapan mantan menhan AS Donald Rumsfeld tentang "perang gagasan" atau apa yang disebut kalangan Islamis sebagai ghazwul fikri atau "invasi intelektual".
Sekali lagi, intelektualisme Islam Indonesia tidak bisa dibahas dan dipahami secara isolasi tanpa mempertimbangkan berbagai faktor domestik dan konteks internasional sehingga membentuk apa yang disebut sebagai "formasi diskursif". Hasilnya, seperti dikemukakan John Bowen, antropolog-cum-Indonesianis-Islamisis, "menjadikan Indonesia sebagai salah satu situs utama di muka bumi ini untuk mengkaji keragaman sosial, gagasan politik, dan komitmen keagamaan".
Kersten mengikuti kerangka Bowen. Ia melihat "Indonesia sebagai situs yang secara khas ditandai pergumulan untuk menyatukan norma-norma dan nilai-nilai yang bersumber dari Islam, budaya lokal, dan kehidupan publik internasional".
Menurut Kersten, lingkungan Indonesia ditandai keragaman yang sangat bergairah (vibrant). Karena itulah, lanskap intelektual yang berkembang memunculkan berbagai figur dan lembaga dengan pemikiran Islam Indonesia yang progresif. Pada pihak lain, juga ada figur atau lembaga yang memunculkan "kontrawacana" yang oleh kalangan Indonesianis lain semacam Martin van Bruinessen disebut sebagai "gelombang konservatif" (conservative tide).
Tarik menarik, pergumulan, dan kontestasi dalam pemikiran Islam Indonesia pasti terus berlanjut pada masa depan. Merupakan tradisi yang sehat jika pergumulan tidak didasari prasangka dan permusuhan, tetapi sebaliknya tetap dengan saling menghargai--meski tidak setuju dengan suatu corak pemikiran tertentu.
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/02/18/o2p2dd319-kontestasi-islam-indonesia-kontemporer-3
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID, Pemikiran Islam Indonesia kontemporer sedikit banyak memiliki kontinuitas dengan intelektualisme masa sebelumnya. Pemikiran Islam Indonesia yang pernah disebut sebagai "tradisional"--sering juga disebut sebagai "tradisionalisme Islam"--dalam batas tertentu kian memudar. Pada saat yang sama, corak pemikiran ini juga mengadopsi aspek intelektualisme yang lazim dinisbahkan pada pemikiran "modernis".
Pada sisi lain, pemikiran Islam yang disebut sebagai "modernisme Islam" juga mengalami perubahan. Perubahan itu banyak terkait dengan kegagalan proyek modernisme di lingkungan masyarakat Muslim tertentu, dan juga dengan kebangkitan agama (religious revival) di berbagai lingkungan komunitas di dalam dan luar negeri. Karena itu, "modernisme Islam" kian memberikan apresiasi lebih besar pada warisan Islam (al-turats al-Islamiyyah) dalam aspek pemikiran ataupun kelembagaan.
Dalam konteks itu, jelas dinamika pemikiran Islam Indonesia sangat terkait dengan dinamika masyarakat di ranah domestik ataupun global. Kontekstualisasi dan indigenisasi Islam, seperti pernah dianjurkan para pemikir sebelumnya, semacam Cak Nur, Gus Dur, atau Munawir Sjadzali, terus menjadi paradigma pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Namun, pada saat yang sama, konteks transregional dan internasional--dari dunia Muslim sendiri dan dunia internasional lebih luas terus pula kian meningkat memasuki ranah pemikiran Islam Indonesia. Globalisasi memberi dampak lebih luas daripada masa sebelumnya karena kemajuan telekomunikasi instan melalui berbagai media dan jaringan yang tidak pernah ada presedennya di masa silam.
Karena itu, seperti disarankan Carol Kersten dalam karyanya, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (London; 2015), pemikiran Islam Indonesia kontemporer dapat disebut sebagai berada pada tahap post-modernism. Namun, dia menegaskan tahap-tahap sejarah pemikiran Islam tidak harus selalu bersifat sekuensial atau sambung menyambung (successive), seperti tradisional, modern, dan pascamodernisme.
Kontestasi pemikiran Islam kontemporer, menurut dia, jika dikategorisasikan, terutama menyangkut pemahaman berbeda tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ketiga subjek yang menjadi perdebatan dan kontestasi muncul sebagai motif pokok dalam uji daya tahan Indonesia dalam proses demokratisasi yang kini sudah memasuki tahap konsolidasi.
Perdebatan mengenai subjek-subjek ini selain terjadi di antara intelektual dan lembaga Muslim, juga melibatkan kalangan non-Muslim. Hal ini tidak lain karena subjek pluralisme, misalnya, memiliki reperkusi dan konsekuensi terhadap kebebasan beragama, toleransi, dan selanjutnya juga hak asasi manusia (HAM).
Sebab itu, kontestasi pemikiran Islam kontemporer untuk hegemoni terhadap masyarakat, gagasan, dan nilai terlihat jelas dalam banyak tulisan para pemikir Islam masa ini. Mereka berusaha mengonseptualisasi dan merumuskan berbagai wacana. Sementara itu, para aktivis mencoba mencarikan jalan untuk artikulasi dan implementasi konkret gagasan yang ada.
Pemikiran dan langkah berbeda membuat kontestasi di antara para pemikir beserta aktivis yang mewakili kecenderungan pemikiran berbeda menghasilkan perdebatan hangat dan bahkan diwarnai "konfrontasi". Di sini, Kersten meminjam ungkapan mantan menhan AS Donald Rumsfeld tentang "perang gagasan" atau apa yang disebut kalangan Islamis sebagai ghazwul fikri atau "invasi intelektual".
Sekali lagi, intelektualisme Islam Indonesia tidak bisa dibahas dan dipahami secara isolasi tanpa mempertimbangkan berbagai faktor domestik dan konteks internasional sehingga membentuk apa yang disebut sebagai "formasi diskursif". Hasilnya, seperti dikemukakan John Bowen, antropolog-cum-Indonesianis-Islamisis, "menjadikan Indonesia sebagai salah satu situs utama di muka bumi ini untuk mengkaji keragaman sosial, gagasan politik, dan komitmen keagamaan".
Kersten mengikuti kerangka Bowen. Ia melihat "Indonesia sebagai situs yang secara khas ditandai pergumulan untuk menyatukan norma-norma dan nilai-nilai yang bersumber dari Islam, budaya lokal, dan kehidupan publik internasional".
Menurut Kersten, lingkungan Indonesia ditandai keragaman yang sangat bergairah (vibrant). Karena itulah, lanskap intelektual yang berkembang memunculkan berbagai figur dan lembaga dengan pemikiran Islam Indonesia yang progresif. Pada pihak lain, juga ada figur atau lembaga yang memunculkan "kontrawacana" yang oleh kalangan Indonesianis lain semacam Martin van Bruinessen disebut sebagai "gelombang konservatif" (conservative tide).
Tarik menarik, pergumulan, dan kontestasi dalam pemikiran Islam Indonesia pasti terus berlanjut pada masa depan. Merupakan tradisi yang sehat jika pergumulan tidak didasari prasangka dan permusuhan, tetapi sebaliknya tetap dengan saling menghargai--meski tidak setuju dengan suatu corak pemikiran tertentu.
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/02/18/o2p2dd319-kontestasi-islam-indonesia-kontemporer-3