Mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep. Masyarakat mengenalnya
dengan penganut ajaran Samin. Yang luar biasa Logika Pemaknaan Bahasa
dijadikan alat perjuangan tanpa kekerasan.
PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing)
ke Kabupaten Pati Jawa Tengah sekitar pertengahan 2008. Pabrik besar
akan didirikan tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah yang merupakan kawasan pertanian.
Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya
dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya
menolak. Konon, penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah
pandangan hidup yang kita kenal dengan AJARAN SAMIN. Penolakan warga ini
berbuntut panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi VII
DPR.
Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang
penolakan tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan
dialog dengan Komunitas Samin atau dikenal sebagai para Sedulur Sikep
dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung
pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa Kedumulyo,
Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung.
Singkatnya, pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah
Tarno yang usianya sudah mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan
Sukolilo, 27 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati,
Minggu, 7 September 2008 lalu.
Hasil pertemuan itu adalah: Sonny Keraf meminta kepada Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Negara Lingkungan Hidup
menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui
serta menyelami inspirasi warga setempat.
Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan
keinginan warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah
termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun termasuk
keseimbangan ekologis yang sudah terjaga.
Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno saat diwawancarai harian Kompas
(9/7), mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang
pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. ”Dadi opo
anak putuku kabeh setuju yen ono pembangunan pabrik semen (Jadi apa
keturunanku semua setuju kalau ada pembangunan pabrik semen)?” kata Mbah
Tarno. ”Mboten setuju banget (Sangat tidak setuju),” teriak warga yang
memenuhi rumahnya.
Itulah gambaran singkat bagaimana warga Sedulur Sikep. Masih banyak
keunikan lain apabila kita menyelami pola pikir dan pandangan hidup
mereka. Dulu, jaman kolonial, para Sedulur Sikep dicap sebagai SUBVERSIF
oleh Pemerintah Kolonial karena menolak membayar pajak dan sistem
pendidikan Belanda. Mereka mengembangkan siasat linguistik yang khas
untuk melawan sehingga diolok-olok dengan julukan “Wong Samin”. Kini
oleh para PEMODAL SEMEN GRESIK para Sedulur Sikep ini difitnah dan dicap
sebagai PROVOKATOR karena menolak pembangunan pabrik semen. Padahal,
para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini adalah perintis siasat perlawanan
ACTIVE NON VIOLENCE orisinil yang khas indonesia melawan PENJAJAHAN.
Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi
didirikan di wilayahnya, maka akan muncul dampak lingkungan yang
mengancam kawasan Gunung Kendeng yang selama ini menjadi sumber ekologi
(air, gua, hewan, tanaman) serta mengancam mata pencaharian bertani.
Selain itu pegunungan kapur tersebut juga memiliki MAKNA BUDAYA DAN
SEJARAH BAGI MASYARAKAT SEDULUR SIKEP YANG MEMILIKI EKOLOGI KULTURAL NYA
SANGAT BERELASI DENGAN LINGKUNGAN (GUNUNG).
Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan
masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan
kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang
banyak terdapat di pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di
wilayah Sukolilo yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya
WATU PAYUNG yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi
Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan
dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng.
Di sekitar situs watu payung juga terdapat banyak narasi yang
berhubungan dengan kisah pewangan seperti kisah tentang cakar kuku bima,
dan lain sebainya. Kemudian di sekitar Watu Payung di pegunungan
Kendeng juga terdapat WATU KEMBAR yang berisikan tentang kisah Hanoman
yang sedang menaiki puncak gunung sambil bermain bintang dilangit,
kemudian dewa marah lalu pindahkannya puncak gunung dan kemudian
runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar.
Selain kisah pewayangan juga terdapat situs yang memiliki kaitannya
dengan ANGLING DHARMA di sekitar lereng pegunungan Kendeng Sukolilo,
kemudian ada GUA JOLOTUNDO yang memiliki korelasi dengan kisah Laut
Selatan Jawa. Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam SYEH JANGKUNG
yang dianggap sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat
lokal di wilayah Pati.
Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih
diyakini oleh para penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya,
hal ini terlihat masih banyak peziarah atau para pengunjung yang datang
sebagai bagian dari bentuk kesadaran kultural dan spiritualitas.
Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di wilayah pegunungan
Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo Pati, hal
ini terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjungan yang hadir di
beberapa situs Watu Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah
Demak, Jepara, dan sekitarnya.
Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material
pada wilayah pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses
antara yang natural dengan yang kultural, mitologi lokal ini memang
berasal dari tradisi tutur (lisan) yang memiliki kekuatan identitas bagi
banyak entitas masyarakat. Dalam prespektif ekologi sosial, MITOLOGI
LOKAL TERSEBUT MEREDUKSI ALAM MENJADI BAHASA MASYARAKAT (KEBUDAYAAN)
YANG BERBASIS LOKALITAS. SEHINGGA MENJADIKAN LINGKUNGAN (PEGUNUNGAN)
BUKAN SAJA MEMILIKI KEKUATAN EKOLOGI PERTANIAN (MATA PENCAHARIAN), NAMUN
JUGA TERDAPAT KEKUATAN BUDAYA YANG MENYATU DENGAN KEHIDUPAN MASYARAKAT.
Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti “Sahabat Sikep” adalah
kelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari
sesuai dengan ajaran Samin. Komunitas masyarakat yang disebut Sedulur
Sikep ini terbanyak ditemukan di daerah daerah dan kota antara Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
@@@@@
SAMIN SUROSENTIKO adalah pencetus gerakan sosial ini. Dia lahir pada
1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung
Kabupaten Blora Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin
Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah
sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Samin Surosentiko masih
mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan
Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi
daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826. Samin wafat
dalam pengasingan (ia diasingkan oleh Belanda) di kota Padang, Sumatra
Barat pada tahun 1914.
Kyai Samin sejak dini gemar bertapa brata, prihatin, suka mengalah
dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas
banyaknya nasib rakyat yang sengsara akibat kebijakan Belanda melakukan
privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Kyai
keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil dengan sebutan
Kyai Samin yang berasal dari kata “SAMI-SAMI AMIN” yang artinya rakyat
sama-sama setuju ketika dia melakukan langkah yang berani untuk
membiayai masyarakat miskin dengan caranya sendiri.
Bisa disimpulkan, gerakan sosial ini muncul sebagai akibat atau
reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan
dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap
segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap
Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang
menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Komunitas Sedulur Sikep memiliki tiga unsur gerakan; PERTAMA, gerakan
mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan
kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; Kedua, gerakan tanpa
perlawanan fisik yang mencolok; dan KETIGA, gerakan yang berdiam diri
dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk
negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri
sebagai dewa suci.
Menurut Sejarahwan Sartono Kartodirjo, Gerakan Samin adalah sebuah
epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu
babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang
kekuasaan kulit putih.
Pengikut gerakan sosial Samin awalnya memegang lima prinsip
perjuangan untuk meneguhkan identitas melawan kolonial: TIDAK BERSEKOLAH
(sekolah kolonial), TIDAK MEMAKAI PECI, TAPI MEMAKAI “IKET”, YAITU
SEMACAM KAIN YANG DIIKATKAN DI KEPALA MIRIP ORANG JAWA DAHULU, TIDAK
BERPOLIGAMI, TIDAK MEMAKAI CELANA PANJANG, DAN HANYA PAKAI CELANA
SELUTUT, TIDAK BERDAGANG DAN PENOLAKAN TERHADAP KAPITALISME. Seiring
dengan perubahan jaman, lima prinsip ini mengalami penyesuaian, seperti
saat ini warga memiliki kesadaran untuk menuntut ilmu dengan sekolah
yang setinggi-tingginya.
Pandangan hidup Samin bersumber dari berbagai keyakinan seperti
Hidhu-Dharma dan Syiwa-Budha. Juga dipengaruhi oleh ajaran Islam yang
berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa yaitu Ki Ageng Pengging
sehingga mereka merupakan bagian masyarakat yang berbudaya tinggi dan
religius.
Daerah persebaran ajaran Komunitas Samin diantaranya di Tapelan
(bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus),
Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan) dan
lainnya. Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah GERAKAN MEDITASI
DAN MENGERAHKAN KEKUATAN BATINIAH GUNA MENGUASAI HAWA NAFSU.
Pandangan Sedulur Sikep terhadap para leluhur yaitu Kyai Samin moksa
ke kaswargan. Pada momentum perayaan upacara mauludan juga ajang untuk
mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat berpegangan
sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan,
petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan
antarwarga.
Bahasa yang digunakan oleh para Sedulur Sikep yaitu bahasa kawi yang
ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa Jawi Ngoko. Mereka
memiliki kepribadian yang polos dan jujur, selalu menyuguhkan makanan
dan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan mereka
terhadap ritus perkawinan sangat unik. Para Sedulur Sikep menganggap
bahwa dengan melalui ritus perkawinan, mereka dapat belajar ILMU
KASUNYATAN yang selalu menekankan pada dalih KEMANUSIAAN, RASA SOSIAL
DAN KEKELUARGAAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL.
Ritus perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang
seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” atau anak yang mulia.
Pengantin pria mengucapkan kalimat: “Sejak Nabi Adam pekerjaan saya
memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya
berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa hal yang diajarkan Samin Surosentiko pada
pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi. Perkawinan sudah
dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Ajaran
perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai
berikut (dalam Bahasa Jawa):
“SAHA MALIH DADYA GARAN, (Maka yang dijadikan pedoman), ANGGEGULANG
GELUNGANING PEMBUDI, (untuk melatih budi yang ditata), PALAKRAMA NGUWOH
MANGUN, (pernikahan yang berhasilkan bentuk), MEMANGUN TRAPING WIDYA
(membangun penerapan ilmu), KASAMPAR KASANDHUNG DUGI PRAYOGÂNTUK,
(terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai), AMBUDYA ATMAJA
‘TAMA (bercita-cita menjadi anak yang mulia), MUGI-MUGI DADI KANTHI
(mudah-mudahan menjadi tuntunan).
Kemajuan harus berorientasi pada PROSES yang memakan waktu, tidak
serta merta berorientasi pada HASIL. Hal ini dapat dilihat dengan
perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian
yang digunakan adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang
terbuat dari kain kasar.
Kepercayaan dan tata cara hidup juga mengalami perkembangan. Kawasan
daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan gerakan sosial yang disebut
Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tata cara hidup Samin
dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan
Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi
kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni
Budha-Dharma.
Beberapa pandangan hidup Komunitas Samin diantaranya; menguasai
adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih
terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang
dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin
dikalangan antar warga. Gerakan sosial Samin dengan jelas
mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur
tangan kolonialisme, tiada dominasi dunia barat. Ajaran politiknya yaitu
cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat
akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani,
hormat dan setia pada dunia intelektual.
Referensi gerakan sosial Samin yang menjadi panduan perilaku adalah
SERAT JAMUS KALIMASADA yang terdiri atas beberapa buku, antara lain
SERAT PUNJER KAWITAN, SERAT PIKUKUH KASAJATEN, SERAT URI-URI PAMBUDI,
SERAT JATI SAWIT, SERAT LAMPAHING URIP, dan merupakan nama-nama serat
yang diugemi.
Dengan mempedomani kitab itulah, gerakan sosial/sikap Samin hendak
membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap DRENGKI SREI, TUKAR
PADU, DAHPEN KEMEREN. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah
“LAKONANA SABAR TROKAL. SABARE DIELING-ELING. TROKALI DILAKONI.”
@@@@
Menurut Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya THE SAMIN
MOVEMENT (1960), ajaran Samin tumbuh tahun 1890-an dan berakar di
Randublatung, sebuah kota kecamatan kecil yang dikelilingi lebat hutan
jati 25 kilometer sebelah tenggara kota Blora. Pengikut Samin meyakini
bahwa jauh sebelum kedatangan orang-orang asing, dari Cina, India, Arab
dan Eropa, dengan membawa ajaran agama masing-masing, di Jawa sudah
terdapat agama tersendiri. “Ya agama Jawa itu. Agama Adam,” ujar Mbah
Karmidi menerangkan.
Keyakinan ini menekankan perlunya dua nilai utama dalam kehidupan,
yakni kejujuran dan kebenaran. Inti ajaran Samin yang mengatur tata laku
keseharian diabstraksikan dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup)
yang mencakup “ANGGER-ANGGER PRATIKEL” (hukum tindak tanduk),
“ANGGER-ANGGER PENGUCAP“ (hukum berbicara), serta “ANGGER-ANGGER
LAKONANA” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan). Hukum yang
pertama berbunyi “AJA DENGKI SREI, TUKAR PADU, DAHPEN KEMEREN, AJA KUTIL
JUMPUT, MBEDOG COLONG.” Maksudnya, warga dilarang berhati jahat,
berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik
orang.
Hukum ke dua berbunyi “PANGUCAP SAKA LIMA BUNDHELANE ANA PITU LAN
PENGUCAP SAKA SANGA BUNDHELANE ANA PITU.” Maknanya, orang harus
meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan.
Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus
memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau
kata-kata yang menyakitkan orang lain yang mengakibatkan hidup manusia
ini tidak sempurna. Hukum yang paling akhir berbunyi “LAKONANA SABAR
TROKAL. SABARE DIELING-ELING. TROKALE DILAKONI.” Warga senantiasa
diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam
hidup”.
Adapun yang menarik ialah logika berpikir yang bisa terlihat dari
pemaknaan bahasanya. Misalnya pengikut gerakan Samin ditanya “umur kakek
berapa?” Ia akan menjawab “Satu untuk selamanya”. Artinya umur manusia
itu satu. Umur adalah hidup dan hidup adalah nyawa. Manusia hanya punya
satu umur dan nyawa. Juga dalam tradisi bertamu, mereka tidak mengenal
kata MONGGO (kata yang mempersilahkan tamu untuk duduk atau masuk),
karena menurutnya mereka jika SESEORANG INGIN DUDUK, YAH DUDUK SAJA.
Juga tidak tak perlu menyatakan terimakasih (matur nuwun dalam bahasa
Jawanya) karena pihak pemberi memberikan sesuatu berdasarkan kemauannya
sendiri, bukan berdasarkan permintaan dari seseorang lainnya.
LOGIKA PEMAKNAAN BAHASA YANG LUGAS INILAH YANG MEMBAWA GERAKAN SOSIAL
INI MENJADI SEBENTUK PERLAWANAN PADA KESEWANG-WENANGAN. Sebagai contoh
seorang aparat desa di masa tahun 1900-an meminta agar warga membayar
pajak sewa tanah yang digarapnya. Lalu warga menggali tanahnya serta
memasukkan uang ke lubang dan menutupnya. “mengapa kamu menguburkan uang
di dalam tanah?” tanya aparat desa itu. Para pengikut Samin itu
menjawab “tanah itu milik bumi, jadi saya harus bayar sewa tanah pada
bumi, bukan pada penjajah”.
Seorang wartawan yang berkunjung ke Rembang pada Desember 1914 (dalam
Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya THE SAMIN MOVEMENT),
mencatat peristiwa seorang patih yang sedang memeriksa seorang Samin di
pengadilan karena dirinya tak mau membayar pajak.
+ “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara”
- saya tak hutang kepada negara”
+ “Tapi kamu mesti bayar pajak.”
- “Wong Sikep (warga pengikut Samin) tak kenal pajak
+ “Apa kamu gila atau pura-pura gila? “
- “Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila”
+ “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
- Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”
+ Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak
cukup uang, tak mungkin merawat jalan-jalan dengan baik.”
- “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu menganggu kami, kami akan membetulkannya sendiri.”
+ Jadi kamu tak mau bayar pajak?”
- Wong Sikep tak kenal pajak.”
Mencermati sejarah gerakan para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini,
rakyat Indonesia harusnya berguru kepada mereka. Ternyata BAHASA mampu
menjadi alat untuk melakukan sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih
baik. CARA-CARA YANG SANTUN TANPA KEKERASAN dalam berjuang ini
mengingatkan kita pada gerakan sosial Mahatma Gandhi di India yang
fenomenal itu. SEMOGA SAUDARA SEDULUR SIKEP SELALU DIBERIKAN KEKUATAN
OLEH TUHAN UNTUK TETAP MENGEMBANGKAN MODEL PERJUANGAN YANG SANTUN,
SALING ASAH ASIH DAN ASUH YANG TELAH DICONTOHKAN PARA PENDAHULU MEREKA
YANG KINI TELAH MOKSA.
Wong Alus
–Artikel ini hasil interpretasi yang bersumber dari
literatur-literatur skunder. Monggo dikoreksi bersama bila salah dan
mohon maaf bila kurang berkenan.
Retrieved from: http://wongalus.wordpress.com/2009/06/28/komunitas-samin-perintis-siasat-perlawanan-tanpa-kekerasan-orisinil-khas-indonesia/