Oleh : Fajar Kurnianto
Majalah GATRA, No. 8 Tahun XVII, 29 Desember 2010 – 5 Januari 2011
Judul : Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis
Penulis : Sutiyono
Penerbit : Kompas, Jakarta, November 2010, vi+362 halaman
Dakwah Islam di dua kawasan di Klaten telah mengubah model kehidupan sosial-keagamaan masyarakatnya dari sinkretis menjadi puritan. Yang puritan pun ada yang bersikap moderat
Dalam sejarahnya, sebelum kedatangan Islam, Jawa sudah lebih dahulu berkenalan dengan Hindu dan Budha. Sebelum dua agama ini datang, seperti daerah-daerah lainnya, Jawa lekat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.
Ketika pamor Hindu dan Budha surut seiring dengan meredupnya kerajaan Majapahit, Islam datang dan berkembang sangat cepat, terutama di wilayah pesisir. Majapahit runtuh, muncullah Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Kekuatan Mataram—kerajaan Islam lainnya—kemudian muncul di pedalaman, membuat Demak meredup. Peralihan perkembanga Islam pun terjadi: dari pesisir ke pedalaman.
Dakwah Islam yang sifatnya ekspansif membuatnya harus berbenturan dengan tradisi atau budaya lokal. Benturan ini tidak hanya terjadi di Jawa, bahkan di hampir semua wilayah yang didatangi Islam. Benturan itu ada yang mengambil bentuk konflik, ada pula yang mengambil bentuk akomodatif-adaptif. Bentuk yang terakhir inilah yang dikenal dengan sinkretisme: percampuran antara dua tradisi atau lebih, sebagai bentuk adopsi atas kepercayaan baru tanpa meninggalkan kepercayaan lama (John R Bowen, 2002).
Buku Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis karya Sutiyono ini mencoba melihat benturan budaya antara Islam puritan dan Islam sinkretis. Islam puritan yang dimaksud adalah masyarakat Islam petani yang masuk ke Muhammadiyah, organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan (1912). Sementara Islam sinkretis di sini adalah masyarakat Islam yang memadukan antara ajaran Islam dengan tradisi lama warisan Hindu, Buddha, dan animisme yang dipegang kuat.
Muhammadiyah sangat terkait dengan gerakan Wahabi yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab, meskipun dalam tingkat tertentu tidak menggunakan cara kekerasan dan jangkauan politik seperti di Arab Saudi. Inti dari gerakan Wahabi adalah kembali kepada Alquran dan hadis Rasulullah dengan menghilangkan praktek-praktek seperti bidah dan syirik.
Buku ini merupakan hasil riset Sutiyono di daerah Klaten, khususnya di Mojokuto dan Senjakarta. Dua kawasan ini dikenal menjadi pusat kaum sinkretis dan pada saat yang sama menjadi lahan dakwah penyebaran Islam puritan sejak sekitar abad ke-14 hingga saat ini. Berbagai tradisi seperti slametan perkawinan, slametan kematian, slametan alam (mboyong Mbok Sri), ziarah kubur, ngalap berkah, hingga saat ini masih bertahan.
Islam yang didakwahkan Muhammadiyah di daerah ini disikapi masyarakat setempat secara beragam. Ada yang benar-benar meninggalkan sinkretisme, kemudian berbalik haluan melawan praktek-praktek sinkretisme. Ada pula yang tetap dengan sinkretismenya. Beberapa orang sinkretis yang kemudian masuk Muhammadiyah pun ada yang tidak sepenuhnya meninggalkan tradisinya.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah juga tidak seragam dalam menyikapi budaya lokal yang sinkretis. KH Ahmad Dahlan, misalnya, meski belajar Islam di lingkungan Islam puritan Mekkah (Wahabi), sikapnya berbeda dari Haji Rasul (ayah Hamka) di Minangkabau yang bersikap keras terhadap tradisi sinkretis.
Hasil riset Sutiyono ini menunjukkan, telah terjadi perubahan sosial-keagamaan di wilayah itu, dari masyarakat sinkretis menjadi puritan. Masyarakat yang telah berubah menjadi puritan ini pun terbagi menjadi dua: yang radikal dan moderat. Yang moderat tidak menjadi soal karena tetap menjadi bagian dari masyarakat setempat dan untuk sebagian tidak meninggalkan tradisi sinkretis. Sedangkan yang radikal seringkali berbenturan, bahkan tidak jarang terjadi kontak fisik dan perusakan tempat-tempat kaum sinkretis, mirip dengan yang dilakukan kaum Wahabi.
Salah satu poin penting buku ini: puritanisme di daerah Klaten tidaklah seragam. Ada yang radikal dan moderat. Dengan demikian, sikap puritan yang selama ini dijadikan label terhadap gerakan Muhammadiyah ternyata tidak tunggal. Ini berbeda dari yang ada di Kotagede (Nakamura, 1983), Yogyakarta (Beck, 1995), Banyuwangi (Beatty, 2001), dan Lamongan (Chamin, 2003).
Sebagai hasil riset lapangan, buku ini cukup komprehensif, sesuai dengan tema besar riset yang diusungnya: benturan antara Islam puritan dan Islam sinkretis. Buku ini dapat menjadi pemancing untuk riset-riset bertema sama di daerah lain.