Oleh Oman Fathurrahman
-------
Disampaikan dalam saresehan “Penguatan Kajian Islam Nusantara” di Lakpesdam PCINU, Kairo, Mesir, Kamis 21 Juli 2011
------
“…It is works such as these that the Muslim elite wrote for themselves and each other. It is from a study of such works in their regional settings that a clearer and perhaps more worthy understanding of Islam in Southeast Asia may be won…” (Johns 1976: 55).
Mempertimbangkan perkembangan kajian-kajian Islam Nusantara, hingga kini ada bidang kajian yang sesungguhnya potensial dan menarik tetapi belum mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi kajian Islam (Islamic studies). Bidang tersebut adalah kajian Islam yang berbasiskan pada manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Yang dimaksud dengan manuskrip di sini adalah semua rekaman informasi yang ditulis tangan oleh seseorang tiga sampai empat ratus tahun yang lalu. Pengertian ‘manuskrip’ dalam konteks ini merupakan lawan kata dokumen yang diproduksi melalui mesin cetak atau alat sejenis.
Berdasarkan penelitian awal atas sejumlah koleksi, manuskrip Islam Nusantara memang dijumpai dalam jumlah besar, dan ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya, selain tentu saja manuskrip berbahasa Arab. Umumnya, secara fisik manuskrip-manuskrip tersebut kini dalam kondisi memprihatinkan dan sangat rentan mengalami kemusnahan, baik karena faktor alam maupun akibat kecerobohan manusia.
Kajian terhadap manuskrip-manuskrip Islam Nusantara mempunyai beberapa keuntungan strategis sekaligus:
Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat Muslim lokal, karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab, ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makasar-Mandar, Jawa & Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuna, Ternate, Wolio, Bahasa-bahasa Indonesia Timur, Bahasa-bahasa Kalimantan, dan Bahasa-bahasa Sumatra Selatan, sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam ‘jalan pintas’ untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal di Nusantara, yang tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.
Kedua, kajian atas manuskrip-manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian (preservation) benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan, kebangsaan, dan menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.
Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Nusantara bukanlah wilayah pinggiran (peripheral part), melainkan bagian tak terpisahkan (integral part), dari dunia Islam secara keseluruhan.
Sejarah Kebudayaan Indonesia selama berabad-abad telah mewariskan khazanah tertulis berupa manuskrip-manuskrip Nusantara yang jumlahnya sangat berlimpah. Merujuk pada Undang-undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, sebuah manuskrip tulisan tangan dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya bila telah berusia minimal 50 (lima puluh) tahun, serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
Kandungan isi manuskrip Nusantara sendiri memang sangat luas dan tidak terbatas pada kesusastraan saja, tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, politik kesultanan, resolusi konflik, adat istiadat, obat-obatan, teknik, dan lain-lain, sehingga akan sangat relevan sebagai bahan pengetahuan umum dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sejumlah upaya inventarisasi dan katalogisasi berkaitan dengan dunia pernaskahan Nusantara yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa kategori manuskrip keagamaan Islam (Islamic manusripts) terdapat dalam jumlah besar, dan dijumpai dalam berbagai bidang keilmuan Islam, seperti tafsir, hadis, tauhid, fikih, tasawuf, kalam, dan lain-lain.
Terbukti pula bahwa jaringan lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti surau di Minangkabau, dayah di Aceh, dan pesantren di Jawa, ternyata juga menyimpan khasanah manuskrip keagamaan Islam tersebut dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan bahasa-bahasa lokal Indonesia lainnya.
Dalam konteks masyarakat akademik internasional, manuskrip Islam telah mendapatkan perhatian besar, baik untuk bidang pelestariannya sebagai benda cagar budaya, maupun sebagai sumber primer penelitian dan kajian. The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang bermarkas di Cambridge University, UK, misalnya, merupakan salah satu asosiasi akademik terkemuka yang mendapatkan dukungan finansial penuh dari the Prince Alwaleed Bin Talal Centre of Islamic Studies untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas akademik, seperti konferensi internasional, scholarship, grant, penelitian, penerbitan, dan berbagai aktifitas lainnya.
Sayangnya, cakupan aktifitas TIMA tampaknya belum menjangkau khazanah manuskrip Islam Nusantara, yang sesungguhnya diakibatkan oleh kurangnya informasi dan publikasi internasional berkaitan dengan kekayaan warisan peradaban Islam Nusantara tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengapa informasi tentang kekayaan khasanah manuskrip Islam Nusantara ini belum banyak diketahui:
Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam tentang kekayaan khazanah manuskrip Islam Nusantara oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri yang sesungguhnya memiliki pengetahuan memadai, baik berkaitan dengan bahasa lokal yang digunakan maupun substansi keilmuan di dalamnya;
Kedua, mungkin saja sudah ada sejumlah kajian yang telah dilakukan, namun hasil kajian tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikasikan menggunakan bahasa dunia akademik internasional;
Ketiga, belum adanya sebuah pusat kajian Islam yang memberikan perhatian pada kajian manuskrip Islam Nusantara secara komprehensif, dikelola secara profesional, serta melakukan kajian terus menerus, dan akhirnya dapat dijadikan sebagai rujukan para sarjana dalam mengkaji manuskrip Islam Nusantara;
Keempat, masih minimnya dukungan finansial untuk upaya-upaya pelestarian khasanah manuskrip Islam Nusantara semacam ini, sehingga minat masyarakat akademik untuk menekuninya pun sangat rendah dan mengalami kendala.
Dalam hal ini, banyak sarjana Muslim Nusantara yang sesungguhnya memiliki potensi untuk masuk dalam kajian Islam Nusantara yang berbasiskan pada manuskrip tersebut, setidaknya karena dua alasan:
Pertama, para sarjana Muslim Nusantara merupakan sumber daya manusia (human resources) yang memiliki potensi besar dalam memadukan kajian bidang-bidang keislaman dengan bidang umum termasuk Budaya dan Humaniora. Potensi tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa sebagian mereka berasal dari sebuah komunitas yang memiliki akar keilmuan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah, sehingga sangat menguasai topik-topik yang dibahas dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Kedua, banyak sarjana Muslim Nusantara memiliki kemampuan bahasa yang banyak digunakan dalam manuskrip, yakni bahasa Arab. Apalagi berbagai manuskrip dalam bahasa daerah pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (Jawi dan Pegon), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat penting. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas manuskrip-manuskrip Islam tersebut, sehingga tidak mengherankan jika puluhan ribu manuskrip Nusantara berbahasa Arab lebih banyak “ditelantarkan”.
Karenanya, melalui refleksi ini, sangat besar harapan bahwa di masa mendatang, berbagai hasil inventarisasi yang terbukti berhasil menunjukkan peradaban tinggi Islam Nusantara, dapat memicu dilakukannya berbagai kajian Islam Nusantara melalui manuskrip dan kitab yang pernah ditulis oleh para pengarang masa lalu, sehingga para sarjana pribumi dapat mengembangkan sendiri kesarjanaan berstandar internasional di bidang kajian manuskrip Islam Nusantara tersebut. Semoga!
Retrieved from: http://naskahkuno.blogspot.com/2011/08/memahami-islam-nusantara-melalui.html
-------
Disampaikan dalam saresehan “Penguatan Kajian Islam Nusantara” di Lakpesdam PCINU, Kairo, Mesir, Kamis 21 Juli 2011
------
“…It is works such as these that the Muslim elite wrote for themselves and each other. It is from a study of such works in their regional settings that a clearer and perhaps more worthy understanding of Islam in Southeast Asia may be won…” (Johns 1976: 55).
Mempertimbangkan perkembangan kajian-kajian Islam Nusantara, hingga kini ada bidang kajian yang sesungguhnya potensial dan menarik tetapi belum mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi kajian Islam (Islamic studies). Bidang tersebut adalah kajian Islam yang berbasiskan pada manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Yang dimaksud dengan manuskrip di sini adalah semua rekaman informasi yang ditulis tangan oleh seseorang tiga sampai empat ratus tahun yang lalu. Pengertian ‘manuskrip’ dalam konteks ini merupakan lawan kata dokumen yang diproduksi melalui mesin cetak atau alat sejenis.
Berdasarkan penelitian awal atas sejumlah koleksi, manuskrip Islam Nusantara memang dijumpai dalam jumlah besar, dan ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya, selain tentu saja manuskrip berbahasa Arab. Umumnya, secara fisik manuskrip-manuskrip tersebut kini dalam kondisi memprihatinkan dan sangat rentan mengalami kemusnahan, baik karena faktor alam maupun akibat kecerobohan manusia.
Kajian terhadap manuskrip-manuskrip Islam Nusantara mempunyai beberapa keuntungan strategis sekaligus:
Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat Muslim lokal, karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab, ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makasar-Mandar, Jawa & Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuna, Ternate, Wolio, Bahasa-bahasa Indonesia Timur, Bahasa-bahasa Kalimantan, dan Bahasa-bahasa Sumatra Selatan, sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam ‘jalan pintas’ untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal di Nusantara, yang tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.
Kedua, kajian atas manuskrip-manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian (preservation) benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan, kebangsaan, dan menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.
Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Nusantara bukanlah wilayah pinggiran (peripheral part), melainkan bagian tak terpisahkan (integral part), dari dunia Islam secara keseluruhan.
Sejarah Kebudayaan Indonesia selama berabad-abad telah mewariskan khazanah tertulis berupa manuskrip-manuskrip Nusantara yang jumlahnya sangat berlimpah. Merujuk pada Undang-undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, sebuah manuskrip tulisan tangan dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya bila telah berusia minimal 50 (lima puluh) tahun, serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
Kandungan isi manuskrip Nusantara sendiri memang sangat luas dan tidak terbatas pada kesusastraan saja, tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, politik kesultanan, resolusi konflik, adat istiadat, obat-obatan, teknik, dan lain-lain, sehingga akan sangat relevan sebagai bahan pengetahuan umum dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sejumlah upaya inventarisasi dan katalogisasi berkaitan dengan dunia pernaskahan Nusantara yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa kategori manuskrip keagamaan Islam (Islamic manusripts) terdapat dalam jumlah besar, dan dijumpai dalam berbagai bidang keilmuan Islam, seperti tafsir, hadis, tauhid, fikih, tasawuf, kalam, dan lain-lain.
Terbukti pula bahwa jaringan lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti surau di Minangkabau, dayah di Aceh, dan pesantren di Jawa, ternyata juga menyimpan khasanah manuskrip keagamaan Islam tersebut dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan bahasa-bahasa lokal Indonesia lainnya.
Dalam konteks masyarakat akademik internasional, manuskrip Islam telah mendapatkan perhatian besar, baik untuk bidang pelestariannya sebagai benda cagar budaya, maupun sebagai sumber primer penelitian dan kajian. The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang bermarkas di Cambridge University, UK, misalnya, merupakan salah satu asosiasi akademik terkemuka yang mendapatkan dukungan finansial penuh dari the Prince Alwaleed Bin Talal Centre of Islamic Studies untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas akademik, seperti konferensi internasional, scholarship, grant, penelitian, penerbitan, dan berbagai aktifitas lainnya.
Sayangnya, cakupan aktifitas TIMA tampaknya belum menjangkau khazanah manuskrip Islam Nusantara, yang sesungguhnya diakibatkan oleh kurangnya informasi dan publikasi internasional berkaitan dengan kekayaan warisan peradaban Islam Nusantara tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengapa informasi tentang kekayaan khasanah manuskrip Islam Nusantara ini belum banyak diketahui:
Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam tentang kekayaan khazanah manuskrip Islam Nusantara oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri yang sesungguhnya memiliki pengetahuan memadai, baik berkaitan dengan bahasa lokal yang digunakan maupun substansi keilmuan di dalamnya;
Kedua, mungkin saja sudah ada sejumlah kajian yang telah dilakukan, namun hasil kajian tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikasikan menggunakan bahasa dunia akademik internasional;
Ketiga, belum adanya sebuah pusat kajian Islam yang memberikan perhatian pada kajian manuskrip Islam Nusantara secara komprehensif, dikelola secara profesional, serta melakukan kajian terus menerus, dan akhirnya dapat dijadikan sebagai rujukan para sarjana dalam mengkaji manuskrip Islam Nusantara;
Keempat, masih minimnya dukungan finansial untuk upaya-upaya pelestarian khasanah manuskrip Islam Nusantara semacam ini, sehingga minat masyarakat akademik untuk menekuninya pun sangat rendah dan mengalami kendala.
Dalam hal ini, banyak sarjana Muslim Nusantara yang sesungguhnya memiliki potensi untuk masuk dalam kajian Islam Nusantara yang berbasiskan pada manuskrip tersebut, setidaknya karena dua alasan:
Pertama, para sarjana Muslim Nusantara merupakan sumber daya manusia (human resources) yang memiliki potensi besar dalam memadukan kajian bidang-bidang keislaman dengan bidang umum termasuk Budaya dan Humaniora. Potensi tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa sebagian mereka berasal dari sebuah komunitas yang memiliki akar keilmuan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah, sehingga sangat menguasai topik-topik yang dibahas dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Kedua, banyak sarjana Muslim Nusantara memiliki kemampuan bahasa yang banyak digunakan dalam manuskrip, yakni bahasa Arab. Apalagi berbagai manuskrip dalam bahasa daerah pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (Jawi dan Pegon), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat penting. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas manuskrip-manuskrip Islam tersebut, sehingga tidak mengherankan jika puluhan ribu manuskrip Nusantara berbahasa Arab lebih banyak “ditelantarkan”.
Karenanya, melalui refleksi ini, sangat besar harapan bahwa di masa mendatang, berbagai hasil inventarisasi yang terbukti berhasil menunjukkan peradaban tinggi Islam Nusantara, dapat memicu dilakukannya berbagai kajian Islam Nusantara melalui manuskrip dan kitab yang pernah ditulis oleh para pengarang masa lalu, sehingga para sarjana pribumi dapat mengembangkan sendiri kesarjanaan berstandar internasional di bidang kajian manuskrip Islam Nusantara tersebut. Semoga!
Retrieved from: http://naskahkuno.blogspot.com/2011/08/memahami-islam-nusantara-melalui.html