Saturday, March 17, 2012

Ragam Pandangan Aliran Sempalan

Judul Buku : Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia
Editor : Haidlor Ali Ahmad
Penerbit : Badan Litbang & Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI
Tahun Terbit : 2007
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : 207 hlm

RAGAM SUDUT PANDANG ALIRAN SEMPALAN
Oleh: Nurun Nisa'

Di sebuah SMU di Banjarmasin, seorang siswi mesti menghadap kepala sekolahnya. Bukan karena tidak disiplin. Tetapi disebabkan oleh aliran Ahmadiyah yang dianutnya dan orang tuanya. Sementara siswa lain adalah pengikut aliran yang familiar; NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan al-Wathaniyah. Ia disuruh pindah aliran karena dinilai sesat, tapi ia tak mau.
Kesesatan Ahmadiyah—seperti difatwakan oleh MUI—membuat pimpinan sekolah itu ketar-ketir. Akhirnya, sebuah makalah dibuat oleh pihak sekolah untuk menjelaskan kesesatan Ahmadiyah lalu diperbanyak dan disebarkan kepada guru, murid, dan orang tua/wali murid. Tak terima, pengurus Ahmadiyah setempat membuat makalah tandingan. Timbullah masalah sehingga kepala Departemen Agama Kalimantan Selatan mesti turun tangan.
Kasus ini merupakan potret kehidupan keberagamaan di negeri ini. Pemicunya banyak hal. Antara lain, karena pemahaman atau pengetahuan terhadap aliran Ahmadiyah yang terdistorsi—entah disengaja atau tidak. Pada tahap akut, distorsi ini dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Agar tidak berulang, perlu kiranya penjelasan soal aliran ini dan berbagai aliran sempalan lainnya yang berbeda dari main-stream secara komprehensif dan cover both side (baca: netral).
Di sinilah, signifikansi dari kehadiran buku yang bertajuk "Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia" yang diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI. Buku ini merupakan laporan hasil serangkaian penelitian lapangan yang dilakukan sepanjang 2006 yang ditujukan untuk menelaah respon pemerintah, ormas, dan masyarakat terhadap fenomena aliran sempalan yang muncul dan merebak di mana-mana yang seringkali memunculkan persoalan baru dalam masyarakat.
Penelitian dilakukan di enam daerah dengan lima aliran sempalan sebagai sasaran penelitiannya. Yakni Jamaah Tabligh dan Ahmadiyah di Banjarmasin oleh Zaenal Abidin, Imam Syaukani, dan Antung Norhasanah. LDII dan Jamaah Tabligh di Samarinda oleh Abdul Aziz, Ahsanul Khalikin, dan Sri Sulastri. Tiga organisasi ini juga diteliti oleh Ridwan Lubis, Mursyid Ali, dan Akmal Salim Ruhana di Palembang dan Bashori A. Hakim, Eko Aliroso & Fakhruddin M. di Tanjung Pinang. LDII dan Saksi-saksi Yehowa di Manado diteliti oleh Nuhrison M. Nuh, Asmawati, dan Sri Haryati. Muh. Nahar Nahrawi, Wakhid Sugiyarto, dan Reza Perwira meneliti Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Medan. Daerah ini dipilih karena tingkat perubahan sosialnya tinggi. Pada kondisi ini, masuknya berbagai aliran sempalan akan cepat mendapat respon dari berbagai kalangan karena—disadari atau tidak—mempengaruhi struktur sosial-politis di tempat tersebut.
Lima aliran ini dianggap sempalan karena memiliki karakteristik unik yang membedakannya dengan (agama) induk yang dipahami oleh main-stream. Perbedaan ini amat kuat sehingga nampak jauh dari aslinya—disebutlah sebagai cabang atau sempalan.
Jamaah Tabligh, misalnya, memiliki ajaran khuruj. Ajaran ini menugaskan para penganutnya untuk berdakwah dalam kurun waktu tertentu ke tempat tertentu dengan meninggalkan segala tanggungannya, termasuk istri dan keluarganya guna menyebarkan ajaran Islam. Cara dakwah seperti itu, bagi mayoritas Islam, adalah keliru sebab Nabi tak pernah melakukannya. Ahmadiyah dinilai lain karena telah menahbiskan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi. Sementara, kebanyakan orang Islam memiliki keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan yang pungkasan.
LDII pernah dicap ingkar sunnah atau mengingkari hadits sebagai landasan keagamannya. Padahal, NU dan Muhammadiyah memegang teguh al-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman agama. Saksi-saksi Yehowa tidak mengakui Trinitas yang menjadi asas ketuhanan Kristen pada umumnya. Sementara itu Hindu Tamil tak merayakan Nyepi, Galungan, dan Kuningan seperti halnya pemeluk Hindu Bali.

****
Perbedaan penafsiran keagamaan di atas menimbulkan respon beragam. Ormas, masyarakat, dan pemerintah memiliki sikap beragam; mulai dari apreasiasi positif, menentang bahkan acuh tak acuh terhadap fenomena aliran sempalan ini. Perbedaan ini karena memang dilatari ketidaksamaan pola pikir dan setting sosial budaya masing-masing. Belum lagi soal pembedaan kategorisasi penilaian: aspek aqidah dan aspek muamalah. Aspek aqidah biasanya tegas dan cenderung nomatif. Aspek ini mendapat sorotan tajam, dan bahkan perlakuan ekstrim seperti penyerangan, oleh masyarakat yang tidak setuju terhadap keberadaan mereka.
Ahmadiyah di Banjarmasin misalnya. Markasnya hampir-hampir diserang seperti halnya Ahmadiyah di Bogor karena dicap sebagai aliran sempalan yang sesat. Demikian pula Saksi-saksi Yehowa di Medan. Aliran yang berpusat di New York ini ditentang "habis-habisan" oleh Gereja Masehi Injili Manado (GMIM) karena penolakannya atas doktrin Trinitas. Sayangnya, peneliti yang bersangkutan tidak menjelaskan term "habis-habisan" tersebut secara komprehensif. Di Samarinda, beberapa tokoh agama merekomendasikan agar LDII ditindak tegas sebelum konflik meletus. Hal ini didasari adanya beberapa kejanggalan tak terjelaskan—semisal penggunaan sandi 3-1-3 dan 3-5-4 di kalangan warga LDII yang hanya dapat dipahami pihak intern LDII—yang didapat dari hasil penelitian mereka sendiri terhadap ajaran LDII.
Aspek muamalah biasanya menyangkut teknik dakwah, cara bergaul, dan cara hidup. Titik tolaknya adalah keterbukaan atau inklusivitas dalam bermasyarakat. Sanksinya, dikucilkan secara sosial. Persoalan Jamaah Tabligh, LDII, dan Hindu Tamil berkutat pada masalah ini. Jamaah Tabligh di semua sasaran penelitian mendapat respon negatif karena sikapnya yang jorok padahal aktivitas mereka berpusat di masjid. Di Tanjung Pinang, pengurus NU mengeluhkan gaya dakwah aliran yang diidentikan dengan Nurhasan al-Ubaidah ini yang merasa (paling) benar sendiri. Pengurus Muhammadiyah di sana juga mengeluhkan sikap anggota LDII yang cenderung memaksakan kehendak. Selain itu, hampir di semua daerah penelitian, LDII dianggap kurang bergaul sehingga kurang disenangi masyarakat sekitar.
Tetapi bukan berarti tidak ada kesan positif dari tiga aliran sempalan ini. Jamaah Tabligh, sebagai contoh, dianggap menyebarkan kebiasaan baik—bahkan dinilai meningkatkan gairah keagamaan yang cenderung meredup akhir-akhir ini semisal sholat berjamaah. Karena itu, keberadaan aliran yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi ini didukung. Bahkan, pengurus Muhammadiyah di Palembang menjadi anggota aliran yang diimpor dari India ini karena didasari motif tersebut. Hindu Tamil di Medan beradaptasi dengan baik, meski pernah timbul masalah disebabkan perbedaan hari besar keagamaan, terhadap saudaranya; pemeluk Hindu Bali. Kondisi ini juga didorong oleh tingkat perekonomian dan pendidikan yang cukup tinggi di sana.
Di luar itu, beberapa dari warga masyarakat memilih sikap acuh tak acuh karena kehadiran semua aliran hampir-hampir tidak memiliki pengaruh—jika tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali—terhadap kehidupan mereka.
Yang menarik adalah respon dari MUI yang posisinya ganda—sebagai ormas dan (kadang-kadang) sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sikap MUI di daerah penelitian menunjukkan kecenderungan yang berbeda, meski sandaran hukum mereka menyikapi aliran-aliran sempalan tetap saja fatwa dari Komisi Fatwa MUI Pusat. Ini terlihat dalam tindakan atau pendekatan yang diambil terutama menyangkut keberadaan LDII dan Ahmadiyah yang secara resmi dicap sesat oleh MUI. Citra yang lebih menonjol adalah MUI daerah justru menjadi penyerap aspirasi masyarakat.
Dalam penelitian di Samarinda, MUI menerima kritik dari masyarakat. Akan tetapi karena LDII bersedia beradaptasi dengan tradisi setempat, maka MUI hanya memberi teguran saja. Tidak ada larangan khusus. Sikap yang hampir senada diambil oleh MUI di Banjarmasin. MUI Palembang mengeluhkan fanatisme LDII yang dapat menimbulkan rasa curiga dan salah faham antar warga dan antar kelompok sesama Muslim. Tetapi sebatas itu saja. MUI Manado menekankan bahwa secara kelembagaan, LDII memang ditolak. Tetapi bukan berarti harus dikebiri perkembangannya. Asalkan, mereka tidak ekspansif. Kalau ini dijalankan, tidak akan ada masalah.
Di Banjarmasin, MUI mengakui fatwa sesat buat Ahmadiyah. Tetapi, sang ketua, menenkankan bahwa yang demikian bukan pembenar terjadinya kekerasan. Karena itulah, ia memilih pendekatan persuasif—bukan represif—terhadap aliran ini. Tidak ada keterangan tentang respon Ahmadiyah di Medan. Hanya saja, peneliti mengungkapkan bahwa Medan merupakan daerah multi-etnis dan multi-agama. Kondisi masyarakat dengan tipikal ini, membuat masyarakatnya telah lama belajar berbeda dalam memeluk agama. Meskipun, potensi konflik antar kelompok cukup besar, namun sampai penelitian tersebut selesai ditulis, belum pernah terjadi konflik. Mungkin, dugaan penulis, Ahmadiyah mengalami perlakuan serupa; tidak ada soal di sana meski sudah dianggap sesat.
****
Buku ini berbeda dengan buku penelitian sejenis. Bila penelitian biasanya cukup diakhiri kesimpulan, ia menambahkan rekomendasi di penutup laporan penelitiannya. Di sini, beberapa rekomendasi diajukan khusus kepada para aparat berwenang sehingga terkesan "struktural". Misalnya saja, adanya rekomendasi berbentuk tuntutan dan ekspektasi yang besar atas keterlibatan aparat Departemen Agama atau Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam konflik akibat perbedaan tafsir keagamaan. Ini cukup wajar. Sebab tujuan buku ini memang untuk dijadikan rujukan dasar atau masukan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya membangun kerukunan kehidupan keagamaan di negeri ini—khususnya ketika aliran sempalan mulai meruyak di mana-mana. Sebagaimana kita ketahui, kerukunan menjadi barang mahal ketika aliran sempalan itu hadir karena dipicu berbagai macam sebab.
Namun, rekomendasi yang diajukan para peneliti ini bukan berarti tak menyimpan persoalan. Tuntutan inklusivitas LDII di Samarinda misalnya tampak berlebihan. Dalam segi kemasyarakatan, inklusivitas ini sangat mungkin diwujudkan. Penulis sepakat penuh atas inklusivitas secara sosial—ia dapat menjadi jurus ampuh mendamaikan berbagai perbedaan teologis di masyarakat.
Akan tetapi, ini menjadi lain ceritanya jika inklusivitas yang dimaksud dilaksanakan dalam taraf peribadatan. Mengganti imam masjid dari yang bukan golongan LDII, bagi penulis, serasa memangkas perbedaan (teologis) yang mestinya kita hormati. Secara real, kita dapat menyaksikan betapa ormas terbesar di negeri ini (baca: NU dan Muhammadiyah), agak mengalami kesulitan jika mesti melakukan "inklusivitas masjid" ini. Sebagai organisasi yang dicap sesat, bila rekomendasi ini benar-benar dilaksanakan, nampaknya para penganut LDII akan memperoleh kesulitan yang berganda.
Selain itu, jaminan kebebasan keberagamaan di buku ini kurang mendapat penekanan. Editor sempat menyebut hal itu dalam pengantarnya tetapi detailnya tidak dijabarkan. Pasal 28 E UUD 1945 Amandemen IV, Konvensi Hak Sipil Politik PBB, dan peraturan terkait lainnya sepertinya perlu ditambahkan. Ini penting. Karena, di sinilah sesungguhnya perbedaan tafsir keagamaan yang ujungnya adalah berbagai aliran sempalan di atas akan menemu konteksnya. Mereka, yang berbeda dari main-stream, berhak mengekspresikan keyakinannya dan masyarakat memiliki sandaran hukum untuk menghormatinya. Ketika dua sikap telah ada, kerukunan akan muncul dengan sendirinya.

Di atas itu semua, buku ini berguna sekali kehadirannya. Paling tidak, buku ini mampu merangkum berbagai respon yang ada dalam masyarakat. Melalui buku ini, kita tahu bahwa perbedaan pandangan keagamaan di daerah penelitian tidak sampai kepada penganiayaan fisik seperti halnya tragedi penyerbuan kampus Ahmadiyah di Parung beberapa waktu lalu. Ketidaksetujuan terhadap keberadaan aliran sempalan, sebagian besar, diekspresikan hanya secara verbal. Namun, bukan berarti bahwa persoalan ini tidak akan berkembang menjadi lebih besar sehingga harus segera diselesaikan. Tentu saja, dialog dan keterbukaan dari kedua belak pihak menjadi prasyarat utama. Semua pihak wajib terlibat, termasuk pemerintah. Wallahu A'lam bish Shawab
 
Retrieved from: http://nurunnisa2007.blogspot.com/2008_05_02_archive.html#3242998102677168625

Wednesday, February 1, 2012

Wetu Telu, Kearifan Tradisional di Lereng Utara Rinjani

Menginjakkan kaki di Pulau Lombok takkan lengkap rasanya jika sekedar mendaki Gunung Rinjani, observasi budaya etnis Sasak menjadi cara tercepat untuk benar-benar memahami budaya asli penduduk P. Lombok. Kegiatan 29 Bali Lombok Adventure Team IMPALA UNIBRAW yang dilaksanakan pada tanggal 12-21 Agustus 2006 selain Arung Jeram Sungai Ayung dan Unda di Bali, Pendakian Gunung Rinjani (3726 mdpl) juga disertai kegiatan observasi masyarakat tradisional Sasak penganut Wetu Telu.

Orang Sasak asli (original) yaitu etnis yang mendominasi P. Lombok bermukim di Bayan Kabupaten Lombok Barat atau biasa disebut orang Dayan Gunung (utara G. Rinjani). Kecamatan Bayan seluas 356,75 Km2 dengan jumlah penduduk 42.741 jiwa berjarak 80 Km (3 jam) dari Mataram. Apabila melakukan pendakian ke G. Rinjani melalui jalur Senaru akan melewati Kecamatan Bayan. Dalam kecamatan tersebut ada suatu wilayah yang disebut sebagai “Bayan Beleq” (dalam bahasa Sasak, Beleq = besar), dimana wilayah tersebut memiliki institusi penting berupa cagar budaya Masjid Kuno Wetu Telu.

Observasi pertama, kami pergi ke Masjid Adat Wetu Telu, sebuah Masjid dengan nilai historis yang sangat tinggi sebagai bukti awal berkembangnya agama Islam di Pulau Lombok. Dengan ramah Juru Kunci Masjid tersebut menerima kami, namun sayang hari itu kami dilarang masuk kedalam masjid. Masjid Adat ini memang hanya dibuka saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Sholat Mayit, dan Lebaran Topat (Idul Fitri) dan Haji (Idul Adha).

Untuk masuk kedalam masjid tersebut kita juga tidak dapat sembarang berpakaian, harus menggunakan pakaian adat berupa sarung putih dan kemeja putih. Masjid yang dindingnya terdiri dari anyaman bambu dan sama sekali tidak menggunakan paku ini dibangun pada abad 17. Masjid Kuno Wetu Telu mempunyai kompleks pemakaman leluhur yang dikeramatkan.

Makam-makam tersebut dinaungi rumah bambu dan beratap jerami (sirap) layaknya rumah adat. Salah satu leluhur yang dimakamkan di Masjid kuno ini adalah Lebai Antasalam yaitu salah satu penyebar agama Islam pertama di P. Lombok. Konon Lebai Antasalam lenyap secara misterius ketika melakukan sholat di masjid Kuno sehingga tempat ia lenyap ditandai dengan sebuah batu.

Masyarakat seringkali menafsirkan bahwa Wetu Telu adalah salah satu ajaran Islam yang dianut sebagian masyarakat Sasak. Umumnya orang Bayan menyangkal disebut sebagai penganut Islam Wetu Telu, karena sering disalah artikan bahwa Wetu berarti waktu, Telu sebagai tiga dan memaknainya sebagai keseluruhan ibadah dalam agama Islam. Kuatnya arus pelurusan Islam secara syariah membuat mereka semakin menutup diri pada kebudayaan Wetu Telu, hal tersebut dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan keterangan tentang apa sebenarnya ajaran Wetu Telu hanya seorang Pemangku Adat yang berhak angkat bicara.

Pemangku Adat menjelaskan pada kami bahwa Kebudayaan Wetu Telu yang diwariskan oleh leluhur mereka adalah nilai-nilai tradisi dalam menata hidup agar selalu mendapatkan keselamatan. Kebudayaan Wetu Telu memang masih banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu Bali yang sebelumnya menduduki P.Lombok. Makna sederhana Wetu Telu adalah budaya nenek moyang yang mengajarkan kepercayaan bahwa proses kehidupan di alam ini tidak terlepas dari tiga hal utama yaitu melahirkan (manganak), bertelur (menteluk) dan berbiji (mentiuk). Orang Bayan Wetu Telu memiliki konsep kosmologi dan pemikiran tersendiri tentang dunianya dimana manusia harus melestarikan Sumber Daya Alam sebagai bentuk ketergantungan kehidupan.

Tiga sistem reproduksi tersebut digambarkan didalam Masjid Kuno Bayan dalam sebuah patung kayu atau disebut Paksi Bayan. Permukaan Paksi Bayan terdapat pahatan Kijang yang malambangkan kelahiran; padi, kapas dan kelapa melambangkan perkembangbiakan dari biji dan pahatan unggas yang melambangkan perkembangbiakan dari telur. Ukuran dinding bangunan hanya 125 cm, dapat kita bayangkan bahwa untuk masuk dalam masjid kita tidak mungkin dapat berdiri tegap, melainkan harus merunduk. Pemangku adat Bayan Timur menjelaskan pada penulis bahwa esensi dari rendahnya bangunan masjid ini adalah untuk memberikan penghormatan pada bangunan suci, sehingga manusia sebagai makhluk yang rendah harus merunduk (menghormat).

Pada bagian atas masjid juga terdapat hiasan kayu yang berbentuk Ikan dan Burung. Juru Kunci Masjid menjelaskan pada kami bahwa Ikan melambangkan dunia bawah, maksudnya kehidupan duniawi. Sedangkan burung adalah binatang yang terbang melambangkan dunia atas, yaitu kehidupan manusia di akhirat. Sehingga manusia hendaknya selalu menjaga keseimbangan antara kehiduan dunia dan di akhirat.
Budaya Wetu Telu mengatur kehidupan orang Bayan dalam bertindak tanduk. Mereka mempercayai bahwa dalam hidup manusia bersiklus melalui dilahirkan, beranak pinak lalu mati. Siklus tersebut harus ditandai dengan proses ritual dalam mencapai status yang lebih tinggi untuk menghindarkan individu dari gangguan-gangguan dalam hidup.

Memasuki wilayah Bayan Beleq yang terdiri dari dusun Bayan Timur, Bayan Barat, Karang Salah dan Karang Bajo sangat menarik. Khususnya di dusun Karang Bajo, sebagian besar penduduknya tinggal dirumah adat Sasak yang berdinding bambu, tanpa ventilasi jendela dan pintu hanya setinggi 1 meter. Umumnya di tiap rumah memiliki sebuah Berugak yaitu bangunan setinggi 0,5 meter dari permukaan tanah beratap rumbai dan disangga dengan enam (sakanem) atau empat (sakepat) tonggak. Berugak ini berfungsi untuk menerima tamu, atau upacara tertentu. Kami mengunjungi rumah Kepala Desa Bayan yang berugaknya sudah modern, memakai atap seng. Yang menarik semua berugak di Bayan menghadap kearah yang sama yaitu arah selatan, setelah kami gali ternyata orang Sasak percaya bahwa angin yang bertiup di Lombok sering datang dari arah Selatan.

Penganut Wetu Telu ini ini percaya bahwa sangat tabu melupakan para leluhur karena akan ada bencana yang akan mereka alami seperti sakit, kematian, atau bencana alam. Sehingga hal ini mendorong mereka untuk tetap memelihara warisan leluhur, seperti rumah, tanah maupun benda pusaka lainnya. Mereka mendokumentasikan garis silsilah keluarga pada lembaran lontar dengan huruf Jawa Kuno yang hanya boleh dibaca oleh tokoh adat dan hanya dibacakan pada saat-saat tertentu.

Mereka sangat percaya adanya kehidupan lain yang menempati alam ini selain manusia. Sehingga mereka melaksanakan ritual “meminta ijin” ketika akan memanfaatkan air sungai sebagai irigasi yang biasa disebut selametan subak ataupun membangar apabila akan bercocok tanam yang bertujuan untuk meminta ijin menggunakan tempat-tempat yang diyakini dikuasai oleh makhluk lain tersebut. Upacara tersebut dilakukan di tepi sungai, secara tidak langsung adanya upacara ini berdampak positif dalam memelihara ikatan antar pengguna air sungai (subak).

Upacara –upacara yang dilakukan dalam rangka kegiatan bertani sangat banyak, mengingat 90% mata pencaharian masyarakat Bayan adalah petani. Umumnya ritual Siklus Padi (Adat Bonga Padi) dilaksanakan secara besar-besaran. Masyarakat Wetu Telu di Bayan berharap dengan melakukan ritual-ritual dalam bertani akan membawa hasil panen yang berlimpah. Pada musim bercocok tanam mereka melaksanakan ngaji makam turun bibit, pada saat panen dilakukan ngaji makam ngaturang ulak kaya. Saat melakukan pemupukan ataupun pemberantasan hama mereka melakukan ngaji makam tunas setamba. Upacara tersebut dilakukan di dalam kampu penghulu berisi ritual mengosap yaitu membersihkan makam leluhur, mas doa yaitu mengumpulkan berkah arwah leluhur, menyembek menerima berkah arwah leluhur. Selain itu secara individu mereka menyelenggarakan rowah sambi sebelum menyimpan padi dalam lumbung yang biasa disebut sambi. Upacara ini bertujuan agar padi yang mereka simpan dalam Sambi akan cukup untuk konsumsi sehari-hari. Sambi ini juga sebagai identitas sosial, dimana semakin banyak memiliki Sambi maka semakin tinggi status sosialnya.

Kepemimpinan tradisional sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Wetu Telu. Pimpinan adapt tertinggi dipegang oleh seorang Pemangku yang tinggal dalam sebuah Kampu yaitu sebuah kompleks pemukiman para tokoh adat mulai jaman dahulu. Tradisi menjaga makam leluhur dan hutan disekitar makam dilakukan seorang Perumbak. Hutan disekitar makam leluhur dianggap keramat sehingga dilarang menebang pohon, bercocok tanam maupun bertempat tinggal disana. Selain itu ada Dewan tetua yang disebut Toaq Lokaq yang terdiri dari anggota-anggota tertua komunitas desa yang sangat paham dengan nilai-nilai tradisi leluhur. Dan ada Penghulu (Kiai) yang bertugas membacakan doa dalam setiap ritual adat.

Masyarakat Wetu Telu di Bayan berpandangan bahwa nilai cultural tanah melebihi nilai ekonomisnya. Mereka benar-benar menjaga tanah situs yaitu tanah dimana semua bangunan suci berada seperti rumah pemakaman keramat, kompleks masjid kuno Wetu Telu, maupun hutan yang terdapat sumber mata air di dalamnya. Mereka melestarikan hutan karena disana terdapat mata air dan sungai kecil yang mengairi sawah-sawah. Hutan tersebut dilindungi dan dinamakan hutan tabu yang tak seorangpun berhak menebang pohon maupun mengusik satwa yang ada di dalamnya. Mereka percaya pada kebendon yaitu kutukan apabila mengusik hutan-hutan itu. Begitu pula dalam mengambil kayu di hutan untuk kepentingan adat sudah ditentukan hari baiknya. Pemotongan kayu untuk memperbaiki Masjid Adat misalnya harus dilakukan pada tahun Alip yang datangnya dalam satu windu (8 tahun) sekali.

Peran aparat pemerintahan khususnya Kepala Desa sangat penting dalam menjaga nilai- nilai kearifan mereka. Seperti dijelaskan Kepala Desa Bayan ketika ditemui di rumahnya daerah Bayan Timur “Masyarakat Bayan memegang tiga sumber hukum dalam kehidupannya yaitu agama, adat dan pemerintah, sehingga tiga elemen ini harus saling mendukung satu sama lain agar sinergis” ujar Bapak 1 putri yang beberapa saat lalu berkunjung ke Malang ini.

Ajaran “Waktu Telu” di Lombok sebenarnya secara formal sudah tidak ada sejak 68, karena waktu itu para tokohnya sudah menyatakan diri untuk meninggalkan ajaran yang selama ini dianutnya, dan menyatu dengan pemeluk agama Islam pada umumnya (Sejarah NTB, 1988, halaman 224). Namun kebudayaan Wetu Telu merupakan warisan leluhur masyarakat Bayan yang melekat pada kondisi sosial budaya mereka, sehingga bukan hal mudah untuk merubah nilai-nilai tersebut. Tanpa bermaksud mendikotomi, hal itu membuktikan bahwa nilai-nilai kearifan mereka membawa dampak positif dalam mempertahankan kondisi lingkungan. Konsistensi bahwa mereka sangat bergantung pada alam menjadikan individu yang bijaksana dalam memanfaatkannya.

* Penulis adalah salah satu Tim 29 Bali Lombok Adventure Team
di ambil dari IMPALAUNIBRAW

Retrieved from http://oregade.wordpress.com/2007/06/10/wetu-telu-kearifan-tradisional-di-lereng-utara-rinjani/

Tuesday, January 3, 2012

Agama dan Kekerasan

Jalaluddin Rakhmat - detikNews
Rabu, 04/01/2012 08:35 WIB  
Jakarta - "Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama," tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism.

"Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi -masih kata Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason - "karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu".

Romo Magnis pernah mengatakan kepadaku bahwa orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan.

Alkisah, ada seorang Inggris yang sangat religius. Kalau bukan orang yang tekun ibadat, ia orang yang rajin 'mencoba' berbagai agama. Ia dibesarkan sebagai Anglikan, dididik sebagai Methodist, berpindah kepada Greek Orthodoxy karena perkawinan, dan dikawinkan kembali oleh seorang rabbi Yahudi.

Sebagai wartawan, ia mengembara secara geografis dan intelektual. Ia mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan semua agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Hasil pengembaraan 'spiritualnya' membuahkan buku: god (dengan huruf kecil) is not Great. Ia menuliskan namanya dengan setiap huruf pertamanya huruf besar: Christopher Hitchens. Ia membagi bab-bab dalam bukunya berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman. Seumur hidupnya, ia menjadi pendakwah ateis yang efektif, terutama terhadap orang-orang yang menjadi korban kekejaman agama.

Setelah Hitchens, Dan Baker menulis buku dengan judul yang ditulis dengan huruf kecil dan subjudul dengan huruf besar semua: godless, How an Evangelical Preacher Became One of America’s Leading Atheists. Jawab: Karena tindakan kekerasan umat beragama.

Ayaan Hirsi Ali untuk Islam sama dengan Hitch dan Dan Baker untuk Kristen. Ia lahir di Somalia, dari keluarga bangsawan Muslim. Waktu remaja, ia masuk sekolah muslimah yang berbahasa Inggris dan didanai Saudi. Guru-gurunya keluaran Saudi. Dengan semangat ia berpindah dari mazhab Syafii yang toleran kepada mazhab baru yang sangat keras. Hidup dengan aliran keras ini tidak membahagiakannya. Ia menyaksikan berbagai tindakan kekerasan, terutama kepada perempuan, atas nama agama.

Ia mengungsi ke negeri Belanda. Di sini, ia mendapat perlakuan yang tidak enak dari sesama Muslim. Setelah kecewa dengan peristiwa 11 September, setelah membaca Manifesto Atheis dari Herman Philipse, secara resmi ia meninggalkan Islam dan menyatakan diri Atheis.

Pada 2004, Ayaan, yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda, menulis naskah dan menyediakan suara untuk film pendek Submission. Seorang aktris, berpakaian chador yang tembus pandang, mengisahkan penderitaan empat tokoh perempuan yang ditindas atas nama Islam.

Melalui chador yang transparan, penonton melihat tubuh telanjang yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran. Film ini tentu saja menimbulkan kemarahan hatta di negeri Belanda sekalipun. Produsernya, Theo van Gogh, dibunuh di jalan di Amsterdam. Di atas jenazahnya diselipkan surat dan pisau yang berisi ancaman kepada Ayaan. Ia ditunjuk Time sebagai 100 most influential people in the world. "This woman is a major hero of our time," kata Richard Dawkins, anggota trinitas Atheis. Hirsi Ali menjadi dewi ateis sedunia.

Walhasil, kenapa orang menjadi atheis? Karena mereka menyaksikan atau mengalami sendiri tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agamanya sendiri sebetulnya hanya menjadi kambing hitam. Bisa saja orang menyulut konflik karena motif-motif sekular –misalnya, ekonomi, politik, rasialisme - tetapi mereka menyelimuti nya dengan jubah agama.

Jika kita belajar sejarah, kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22,9 persen ateis, 21 persen sekular dan sisanya menganut agama Yahudi dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen); bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609; bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci; bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak).

Bagaimana dengan konflik Sunnah dan Syiah di berbagai tempat di Jawa Timur, termasuk Sampang? "Bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena perbedaan pendapatan," kata petinggi NU masih dari daerah yang sama. Rois dan Tajul, kakak-beradik, dilantik sebagai pengurus Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlil Bait Indonesia) pada 2007. Pada 2009, mereka terlibat konflik keluarga, antara lain karena masalah santri perempuan di pesantren Tajul.

Karena persoalan pendapatan, Rois meninggalkan paham Syiah dan beralih pendapat. Katanya, "Saya kembali ke Nahdhiyin, karena banyaknya penyimpangan dalam ajaran Syiah". Pada pengujung 2011, Rois –menurut pengakuannya sendiri- membiarkan orang-orang yang sependapat dengan dia menghancurkan teritori dan massa pengikut saudaranya. Media melaporkan, "Roisul Hukama memimpin massa Ahli Sunnah untuk menyerang perkampungan dan pesantren Tajul Muluk, yang berpaham Syiah". Para tokoh Islam, dengan pendapatan yang lebih besar, kemudian menabuh genderang perang. Atas nama agama!

Siapakah yang beruntung? Tidak satu pihak pun. Tidak Rois dan tidak Tajul. Siapakah yang menang? Kaum ateis. Mereka punya amunisi baru. Mereka akan menisbahkan tindakan kekerasan dan kekejian kepada agama. Tidak jadi soal apakah penyebab yang sebenarnya itu berasal dari masalah ekonomis, politis, ideologis, ethnis, atau sekedar pertikaian di antara keluarga miskin di kampung yang miskin!

*) Jalaluddin Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia.

Retrieved from: http://us.detiknews.com/read/2012/01/04/083526/1806073/103/agama-dan-kekerasan

Sunday, January 1, 2012

My Academic Works on Indonesian Islam

  1. Burhani, Ahmad Najib. 2018. “Islam Nusantara as a Promising Response to Religious Intolerance and Radicalism”. Trends in Southeast Asia No. 21, pp. 1-29. Singapore: ISEAS.   
  2. Burhani, Ahmad Najib. 2018. "Plural Islam and Contestation of Religious Authority in Indonesia". in Islam in Southeast Asia: Negotiating Modernity, ed. Norshahril Saat. Singapore: ISEAS. pp. 140-163.
  3. Burhani, Ahmad Najib. 2017. "Geertz’s Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi: Controversy and Continuity". Journal of Indonesian Islam, 11 (2): ? - ?. 
  4. Burhani, Ahmad Najib and HUI Yew-Foong. 2017. "The hijab in Indonesia: From oppression to high fashion". TODAY, Singapore, 13 Sep.
  5. Burhani, Ahmad Najib. 2017. "Menegosiasikan Keindonesiaan dan Keislaman". Jurnal Maarif, Vol 12, No. 1 - Juni 2017, hal. 12-21.
  6. Burhani, Ahmad Najib. 2017. "Ethnic Minority Politics in Jakarta’s Gubernatorial Election". ISEAS Perspective, No. 39, June.
  7. Burhani, Ahmad Najib. 2016. “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan”. Jurnal Maarif, 11 (December/2): 15-29.
  8. Burhani, Ahmad Najib. 2014. “The Reformasi ’98 and the Arab Spring: A Comparative Study of Popular Uprisings in Indonesia and Tunisia,” Asian Politics & Policy (Wiley-Blackwell), 6 (2): 199-215.
  9. Burhani, Ahmad Najib. 2012. "Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia." Jurnal MAARIF, 7 (1/Oktober): ?-?.
  10. Burhani, Ahmad Najib. 2012. “Defining Indonesian Islam: An Examination of the Construction of National Islamic Identity of Traditionalist and Modernist Muslims” in Islam in Indonesian: Contrasting Images and Interpretations, edited by Jajat Burhanuddin and C. van Dijk (Amsterdam: Amsterdam University Press and ICAS, in print). Also available at Amazon.
  11. Burhani, Ahmad Najib. 2006. Buret: Studi tentang agama dan pandangan hidup di Tulungagung Jawa Timur." In Agama, religi & kepercayaan lokal: penelitian di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. ed. Abdul Rachman Patji, 55-85. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2006.
  12. Burhani, Ahmad Najib. 2005. "Delimited Pluralisme: Kajian Sikap Pemerintah danMasyarakat terhadap Agama Lokal di Indonesia." Jurnal Character Building, Vol. 2, No. 1, Juli 2005. 
  13.  Burhani, Ahmad Najib. 2001. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu. Jakarta: Kompas, 2001. Available at Amazon.

Public Lecture at Kyoto University, Japan, 21 April 2016. Title of presentation: Islam in Southeast Asia: Orthodoxy and Distinctiveness. Organized by the Department of International Relations. Attended by more than 70 students.

Kajian TITIK-TEMU ke-39 tentang "Keindonesiaan dan Keislaman". Bersama Prof. Dr. Masykuri Abdillah (Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta) dan Ahmad Najib Burhani, Ph.D (Peneliti Senior LIPI). Moderator Ahmad Gaus Ahmad AF. Rabu, 1 Maret 2017, Jam 18.30 s.d 21.30 @Grha STR, Lantai 4, Jl. Ampera Raya No. 11 Jakarta Selatan

Thursday, December 1, 2011

Harakat al-Tawa'if al-Batiniyyah al-Indunisiyyah qabla Indiwa'iha tahta Ri'ayati Wizarati al-Tarbiyah wa al-Thaqafah

 Studia Islamika, Volume 2, Number 2, 1995: 147-163
Oleh. Muhammad Ghufron Zainul Alim



Abstraks. Tidak dapat dihindari bahwa kehadiran Islam di kepulauan Nusantara sedikit banyak memicu konflik keagamaan di wilayah ini. Masyarakat setempat telah terbiasa hidup dalam sistem ajaran Hindu-Buddha selama berabad-abad. Pengaruh kedua agama ini tidak hanya berkisar pada urusan ritual, melainkan telah berakar dalam pelbagai aspek kehidupan. Kemapanan ini kemudian goyah ketika Islam hadir dengan menawarkan suatu konsep kehidupan yang berbeda. Melalui data sejarah dapat dilihat bagaimana kerajaan Majapahit harus tunduk di bawah kerajaan Demak yang dipegang oleh kaum Muslim. Tentu saja tidak semua konflik muncul dalam bentuk pertikaian politik. Konflik antara Hindu-Buddha dan Islam dapat pula muncul dalam ekspresi sastra. Pada masa-masa itu, misalnya muncul tulisan-tulisan seperti Serat Gatoloco atau Serat Darmogandul, yang jelas menunjukkan adanya ketegangan atau konflik keagamaan. Kata "Allah" misalnya, diplesetkan ke dalam bahasa Jawa "olo" yang berarti jelek. "Rasulullah" (utusan Allah) diubah menjadi "rasa salah"; dan Muhammad disamakan artinya dengan istilah Jawa "makam" yang berarti kuburan.

Konsekuensi lain dari kehadiran Islam adalah lahirnya ajaran sinkretik. Ia muncul sebagai bagian dari sikap akomodatif sebagian masyarakat Nusantara terhadap pola-pola budaya besar yang masuk ke dalam wilayah ini. Model ajaran tersebut pada mulanya tersebar di pelbagai wilayah Nusantara dan merupakan gerakan-gerakan yang tidak terlembagakan. Namun demikian, pada masa kemerdekaan Indonesia, kelompok ini mengalami masa kebangkitan dalam gerakan keagamaan yang lazim disebut Aliran Kebatinan atau Aliran Kepercayaan dan mulai dilembagakan pada 1954. Kelompok ini berusaha memisahkan diri dari agama yang ada, khususnya Islam, dan menuntut untuk diakui sebagai agama tersendiri. Usaha ini tampak, misalnya, dari kongres mereka di Yogyakarta pada September 1970, di mana mereka meminta pemerintah mengakui Aliran Kebatinan sebagai agama. Kelompok ini berkeyakinan bahwa tuntutan mereka sesuai UUD 1945, khususnya pasa 29, yang memuat: (a) negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa; dan (b) negara menjamin kebebasan beragama.

Tuntutan kelompok Aliran Kebatinan ini memicu polemik yang berkepanjangan. Para tokoh agama di Indonesia, khususnya Islam, memberi perhatian yang besar dalam menanggapi tuntutan kelompok ini. Hampir semua tokoh agama menentang keras tuntutan diakuinya Aliran Kebatinan sebagai agama. Prof. Muhammad Rasjidi menulis buku Islam dan Kebatinan untuk membongkar warisan kebudayaan Jawa yang banyak bertentangan dengan Islam, seperti dicontohkan dalam kasus Serat Gatoloco di atas. Selain buku ini Kitab Sasangka Jati, rujukan Aliran Pangestu, salah satu anggota Aliran Kebatinan, juga dipandang mengandung ajaran yang menyimpang. Kitab ini memuat ajaran-ajaran yang mencampuradukkan sistem ajaran Islam dan Kristen. Misalnya, kitab ini memandang kedudukan Allah, Rasul, dan Muhammad sebagai satu kesatuan sebagaimana halnya dengan Tuhan, Jesus dan Roh Kudus dalam Kristen.


Download

Wednesday, November 30, 2011

A Muslim model: What Indonesia can teach the world

The Boston Globe
 
By Joshua Kurlantzick
Globe Correspondent / September 13, 2009  

At times this summer, much of the Muslim world seemed at war with itself. In Iran, protesters furious over what they viewed as a stolen election spilled into the streets and were met with a brutal security crackdown. In Pakistan, powerful Taliban-type militant groups battled the army. In neighboring Afghanistan, opposition leader Abdullah Abdullah and local tribal leaders accused President Hamid Karzai of stealing the national election.
Farther south, the world’s largest Muslim nation, Indonesia, received far less attention. Yet what happened there in July ultimately could prove far more important than the meltdowns in Afghanistan or Pakistan or Iran. Some 100 million Indonesians, spread across a vast archipelago, went to the polls, and in a free and fair vote, they reelected president Susilo Bambang Yudhoyono, leader of the secular Democrat Party. Hard-line Islamic parties fielded candidates as well, but they barely registered at the polls, gaining less of the vote than they had in the previous national election five years ago.

Yudhoyono’s reelection was only the capstone of a triumphant decade for Indonesia. Despite its vast size and remote terrain - it is the world’s fourth-largest nation by population, its 240 million people spread across thousands of islands between the Indian Ocean and the Pacific - Indonesia has become a rock of political stability in a turbulent region. After decades of military dictatorship, and the threat of Islamism in the late 1990s, Indonesia is today ruled by a coalition that mixes secular and moderate Islamic parties and protects minority rights. And at a time when countries from Japan to Singapore are struggling, Indonesia posted some of the strongest growth in Asia this year. The nation’s occasional terrorist attacks haven’t succeeded in destabilizing the government, which has steadily built a reputation for good governance and an effective battle against militant groups.

“If you want to know whether Islam, democracy, modernity and women’s rights can coexist, go to Indonesia,” Secretary of State Hillary Clinton said on a trip to Southeast Asia earlier this year.
Though Indonesian leaders themselves are hesitant to lecture other countries, their model could offer lessons for nations from Pakistan to Morocco. It has managed to create a stable political system without using its military to guarantee secular rule, as does Turkey. The militant Islamic groups that once seemed to threaten the country’s future have been crushed or co-opted. And it has adopted modern anti-terrorism techniques that appear to be working. In its success, Indonesia also offers the United States, constantly seeking ways to help build stable societies in the Arab-Muslim world, a model for cooperation and moderation.

Just a decade ago, few would have seen Indonesia as a model of any kind. The country was an economic and political basket case, riddled with graft from the era of its longtime dictator Suharto. Its heavily export-dependent economy collapsed in the Asian financial crisis of the late 1990s, plunging the country into political chaos.Continued...
 
 http://www.boston.com/bostonglobe/ideas/articles/2009/09/13/a_muslim_model_what_indonesia_can_teach_the_world/?page=1
Page 2 of 4 --
Riots constantly blocked the streets of Jakarta, with many protests targeting the ethnic Chinese community. Warfare erupted in outlying provinces like Aceh, which long had wanted to secede. Hard-line Islamist groups preyed upon this unrest, promising cleaner government against the corruption of Indonesia’s traditional political parties. Islamic schools, known as pesantrens and similar to madrasas, expanded to fill the void left by underfunded public schools. Some of these became notorious for promoting militant Islam, according to an analysis by the International Crisis Group, developing into feeders for the terrorist organization Jemaah Islamiah.

In the late 1990s and early 2000s, this and other expanding militant groups seemed on the verge of threatening the government’s control of parts of the country, a situation similar to Afghanistan or Yemen today. In 2002, Jemaah Islamiah masterminded a bombing in Bali that killed over 200 people, and then allegedly bombed the JW Marriott hotel and the Australian embassy in Jakarta, among other sites. Indonesia seemed on the verge of disintegrating, torn apart by separatist movements and inter-ethnic battles.
By the time of Yudhoyono’s reelection, this past summer, many of these fears had vanished. The economy had recovered, the archipelago no longer appeared on the verge of fragmenting politically, and terror groups had been prosecuted and weakened. The country had held three successive free elections.

How did Indonesia develop into a success, while countries such as Egypt, Pakistan, and Saudi Arabia still struggle just to build the fundamentals of democracy? For one, Indonesia’s presidents have not allowed sharia law, the religiously derived legal system that prevails in numerous Muslim countries, to gain a foothold, except in a few isolated regions. Neighboring Malaysia, by contrast, allows several of its states to apply sharia to many issues of family law and other civil cases - a system that can alienate non-Muslim minorities, undermining the principle that democracy protects minority rights. (Recently, the Malaysian blogosphere has been fixated on the case of an Indian Hindu woman who, under sharia law, has been sentenced to caning for drinking beer.) In Indonesia, where an ethnic Chinese minority coexists warily with an ethnic Malay majority, the assurance of minority rights is critical to preventing the kind of internal violence that has racked other Muslim nations, from Pakistan (Shia vs. Sunni) to Yemen (northernerns vs. southerners). Assurance of minority rights boosts the economy, too, since the ethnic Chinese, though a minority, control an outsized percentage of powerful companies in Indonesia.

Unlike many other Muslim countries, Indonesia’s leaders have also resisted the temptation to use the national treasury to promote their preferred version of Islam. Yudhoyono and his two predecessors, Megawati Sukarnoputri and Abdurrahman Wahid, took pains to emphasize that there was no state-preferred mosque or spiritual leader. This strategy stands in sharp contrast to Saudi Arabia, where the government plays a major role in overseeing clerics - or even to Pakistan, where former president Mohammad Zia ul-Haq used the power and the purse of the state to institute laws consistent with sharia and pack the courts with Muslim scholars he considered allies.Continued...
http://www.boston.com/bostonglobe/ideas/articles/2009/09/13/a_muslim_model_what_indonesia_can_teach_the_world/?page=2
Page 3 of 4 --
Even more important, the Indonesian government has also set out to undercut the popular appeal of militancy. Rather than letting Islamic parties run on promises to improve the lives of the poor, Yudhoyono has overseen a massive national anti-poverty program, increasing direct cash transfers and rice subsidies to the poor. Besides winning hearts and votes, these handouts sparked consumer spending, critical at a time when exports to the West are lagging. They also reduced poor families’ dependence on Islamic boarding schools for a decent education, a point not grasped in, say, Pakistan, where politicians frequently vow to reform madrasas but spend little time investing in public education to give families other options.

Under Yudhoyono the Indonesian government also has allowed some of its power to devolve to provinces and cities throughout the archipelago, giving them greater shares of the national budget, more control over local natural resources and more money back from direct investment in their area. Devolution takes guts, especially in regions of the world accustomed to a strong, centralized government. But it also pays several rewards, reducing separatist tensions and giving average people more personal investment in the democratic process. Devolution also encourages provinces and cities to become more economically competitive.

Yudhoyono’s government has also denied the Islamists another of their biggest recruiting tools: public anger at corruption. The president has backed the national counter-corruption agency, and unlike his predecessors, has stayed out of the courts’ way. Last spring, just before the presidential election, a close relative and former governor of the Bank of Indonesia was convicted of embezzlement and sentenced to jail time, shocking many Indonesians who were accustomed to seeing the powerful protect their relatives and inner circle.

Indonesia also has pursued a novel strategy against militant groups. The president has made a strong public case that terrorists threaten average Indonesians, not just the West. By pressing this theme, Yudhoyono has managed to turn opinion against militants while deflecting claims that he was just serving the interests of the United States. (In one poll of Indonesians by the organization Terror Free Tomorrow, 74 percent said that terrorist attacks are “never justified.”) The country also has a cutting-edge “deradicalization” policy to stem the growth of militancy. Former terrorists appear on national television to describe the brutality of their crimes and express remorse for killing fellow Indonesians; former militants also approach convicted terrorists in prison, using religious arguments, compassion, and other softer tactics to win them over.

Plenty of problems remain. Conflict still erupts among Indonesia’s many ethnic groups; in the province of West Papua, separatists attacked foreign workers over the summer. Despite Yudhoyono’s poverty programs, much of Indonesia’s population lives below the poverty line. And its military can still make trouble.Continued...


http://www.boston.com/bostonglobe/ideas/articles/2009/09/13/a_muslim_model_what_indonesia_can_teach_the_world/?page=3

Page 4 of 4 --
Even where they have been successful, many Indonesian leaders are reluctant to be seen as an example to other nations, especially in the Middle East. Indonesia isn’t Arab, and many Arab leaders regard it as a kind of backwater in Islam, making them loath to take lessons from Jakarta. The archipelago also historically practiced a more moderate version of Islam, a religion brought by traders and mixed with local folk practices. The country’s major religious organizations, with tens of millions of members, have been run by leaders committed to the separation of mosque and state.

Still, other Muslim nations are beginning to look at what Indonesia has done right. Saudi Arabia, Yemen, Egypt, and other nations have adopted deradicalization programs of their own. Clerics from across the Muslim world have descended on Indonesia to study its religious organizations and their role in society.
Indonesia’s success offers lessons for the United States as well. Most importantly, it shows that Islam and democracy can mix easily, provided the government can separate mosque and state, and religious leaders are willing to go along. The resulting stability leaves far less room for militant groups, and reduces the need for the US to throw its weight behind iron-fisted military leaders like Pakistan’s Pervez Musharraf just to keep militant Islam from expanding.

In addition, the example of Indonesia suggests that in many cases, America would be wise to intervene less. President Yudhoyono’s counterterrorism policy succeeds in part because local people perceive the policy as run by their president, not pushed on him by any foreign powers. The US, meanwhile, has pitched in by quietly helping fund and train Indonesia’s elite counterterrorism force, known as Detachment 88. But unlike in Pakistan or Yemen or the Philippines, American assistance isn’t prominently covered in the press, or a flashpoint for public anger. It doesn’t hurt that President Obama spent some of his childhood in the country, and today his administration is hugely popular in Indonesia. Almost as popular, that is, as Yudhoyono’s.
Joshua Kurlantzick is a fellow for Southeast Asia at the Council on Foreign Relations. Contact him at jkurlant1@hotmail.com.

http://www.boston.com/bostonglobe/ideas/articles/2009/09/13/a_muslim_model_what_indonesia_can_teach_the_world/?page=4

Tuesday, November 29, 2011

Menengok Perkampungan Jamaah An Nadzir di Sulsel

Detik.com, Selasa, 09/09/2008 11:11 WIB
Muhammad Nur Abdurrahman - detikRamadan
 
Gowa - Pada tahun 1998, KH Syamsuri Abdul Majid ber-Tabligh Akbar di beberapa penjuru nusantara. Ia datang dari Banjarmasin dan sempat mendirikan pondok pesantren Rabiatul Al Adawiyah di Dumai, Kepulauan Riau. Saat melakukan tabligh akbar di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, Kyai Syamsuri mendapat banyak simpati dan pengikut. Di antaranya adalah ustadz Lukman dan ustadz Rangka.

Kyai Syamsuri pun menetap di Sulsel dan mendirikan Majelis Jundullah. Namun tak lama berdiri, nama Majelis Jundullah dikomplain oleh Laskar Jundullah pimpinan Agus Dwikarna. Agus yang sekarang masih dipenjara pemerintah Filipina, merasa bahwa kata Jundullah sudah lama identik dengan nama laskarnya. Sebab itu, Kyai Syamsuri dan beberapa pengikutnya memilih mengubah nama Majelis Jundullah menjadi Jamaah An Nadzir.

Secara harfiah, menurut ustadz Lukman yang ditemui detikcom di perkampungan An Nadzir Kampung Mawang, kata An Nadzir dari bahasa Arab yang berarti pemberi peringatan. Lukman merincikan, obyek yang diberi peringatan secara langsung adalah pengikut jamaah An Nadzir yang tinggal di kampung Mawang. Sementara secara tidak langsung, memberi peringatan pada umat Islam pada umumnya.

Jumlah pengikut An Nadzir saat ini, menurut Lukman, yang tersebar se-Nusantara berjumlah sekitar 10 ribu anggota. Belum termasuk yang ada di Singapura dan Malaysia. Sedangkan yang ada di Kampung Mawang, Kec. Bontomarannu, Gowa-Sulsel, berjumlah sekitar 900 anggota atau sebanyak 140 kepala keluarga. Jamaah An Nadzir pun punya badan hukum berupa yayasan yang berpusat di Jakarta, yang diketuai oleh Ir Lazuardi.

Sepeninggal Kyai Syamsuri di tahun 2006, Ustadz Rangka berinisiatif membentuk perkampungan An Nadzir di Kampung Mawang. Dibandingkan jamaah An Nadzir yang ada di tempat lain, di kampung Mawang adalah format perkampungan yang paling lengkap se-Indonesia. Di perkampungan ini, mereka tinggal di rumah pondok yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Sebagian besar pengikut An Nadzir menggantungkan hidup dengan bertani dan memelihara ikan mas, dengan luas lahan garapan mencapai 8 hektar. "Hasil pertanian dan perikanan kemudian dikumpulkan di Baitul Maal yang keuntungannya akan dibagikan pada setiap anggota jamaah," ungkap ustadz Lukman.

Mereka memilih membentuk perkampungan yang jauh dari keramaian kota tidak lain untuk lebih leluasa dan tenang melaksanakan perintah Allah dan menjadi ahlulbait Nabi Muhammad. Mereka meyakini tanda-tanda akhir zaman akan segera tiba. Di antara tanda akhir zaman yang disebut oleh Rasulullah, adalah dengan umatnya akan terasing dari umat manusia lainnya. "Dalam hadist nabi, dijelaskan kemunculan 313 orang yang memurnikan Islam dari belahan timur." tutur Lukman.

Yang khas dari kaum pria jamaah An Nadzir ini adalah kostum jubah sepaket sorban, dan rambut yang dipanjangkan serta diwarnai. Tak ketinggalan, mereka juga memakai celak. Sedang kaum muslimah An Nadzir menggunakan jilbab besar disertai kain cadar penutup muka. Ustadz Lukman menegaskan bahwa memanjangkan rambut dan diberi pewarna sesuai dengan beberapa referensi hadist Rasulullah. "Untuk menjadi ahlulbait Rasulullah harus mengikuti hidup rasulullah secara keseluruhan." tutur Lukman.

Selain itu, perbedaan yang mencolok adalah penetapan waktu shalat. Jamaah An Nadzir menggunakan alat pengukur bayangan matahari yang diberi waterpass untuk menentukan jadwal Shalat. "Jam hanya dipakai pada saat langit mendung atau musim hujan," pungkas Lukman. Mereka percaya, shalat lima waktu yang diterima oleh Allah adalah shalat Dzuhur di akhir waktu yakni sekitar pukul 15.00 WIB, Shalat Ashar pukul 15.30 WIB, Magrib saat senja tenggelam dan langit yang gelap. Sedangkan shalat Isya mereka juga laksanakan di akhir waktu, yakni pukul 04.00 WIB dini hari, menjelang shalat Subuh.

Pada masa awal berdirinya perkampungan An Nadzir, kelompok ini sempat diintai dan didatangi oleh anggota intelijen Polda Sulsel dan Kodam VII Wirabuana. Mereka dicurigai membentuk kamp pelatihan terorisme. Ternyata mereka tak satupun mendapatkan apa yang mereka kira.

Pernah pula mereka dicurigai sebagai ajaran Islam yang menyimpang. Setelah perwakilan staf Bimas Islam Dep. Agama, Baihaqim yang mewakili menteri agama mengklarifikasi anggapan jamaah An Nadzir menyebarkan kesesatan. Menurut kutipan ustadz Lukman, Baihaqim berkesimpulan tidak ada masalah dalam persoalan akidah. Sedangkan, perbedaan menjalankan syariat itu lumrah bagi pemeluk Islam.
( mna / tbs )