Kamis, 11 Februari 2016, 06:00 WIB
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah dan dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer--masa yang tengah berlangsung sekarang--jelas terkait erat dan mengandung kontinuitas sekaligus perubahan dengan intelektualisme yang bertumbuh dalam masa-masa sebelumnya. Kenyataan ini bisa dilihat dari subjek dan tema yang menjadi wacana dan perdebatan di antara para pemikir dan intelektual Islam Indonesia.
Jika disederhanakan, setidaknya ada tiga periodisasi intelektualisme Islam sejak awal abad ke-20. Pertama, periode prakemerdekaan dengan tokoh intelektual, seperti Mohammad Natsir, Agus Salim, dan generasinya yang banyak bergulat tentang tema seputar hubungan Islam dengan nasionalisme atau Islam dan negara.
Kedua, generasi pertama pascakemerdekaan yang mencakup tokoh pemikir dan intelektual semacam Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif dengan generasinya; sebagian sudah almarhum dan ada pula yang masih aktif. Mereka juga masih terlibat dalam subjek tentang Islam dan negara, Islam dan politik, juga Islam dan modernisasi.
Ketiga, generasi yang betul-betul kontemporer yang aktif berkiprah dan mencapai prominensi sejak masa pasca-Soeharto. Generasi ini hidup di masa pasca-Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahid yang ditandai dengan liberalisasi politik dan demokrasi yang memberikan peluang besar bagi setiap orang atau kelompok mengembangkan aspirasi, gagasan, dan nilai yang sering bertolak belakang dan terlibat kontestasi satu sama lain.
Kontestasi gagasan dan nilai untuk memenangkan pengaruh dalam masyarakat yang menampilkan kecenderungan intelektual berbeda disuarakan beragam individu yang terkait dengan lembaga, organisasi, atau kelompok tertentu. Carool Kersten dalam karyanya, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (London; 2015), berusaha memetakan berbagai kecenderungan pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Salah satu kecenderungan intelektualisme Islam Indonesia kontemporer, menurut Kersten, adalah absennya figur intelektual yang benar-benar menjadi primadona untuk generasinya. Figur-figur intelektual terpencar ke dalam berbagai lembaga dan kelompok--tidak lagi terpusat pada figur-figur tertentu.
Kersten mengkaji dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer dengan meneliti kelompok-kelompok yang terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme intelektual. Pendekatan dia ini berbeda dengan Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia (2000) yang menekankan pentingnya peran individu dalam dinamika intelektualisme Islam Indonesia pada masa generasi Cak Nur.
Penekanan pada peran figur intelektual daripada lembaga sebagai aktor intelektualisme Islam Indonesia kontemporer mendapat kritik dari sarjana lain semacam John T Sidel (2001). Yang terakhir ini justru menekankan peran madrasah sebagai sumber awal dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Namun, Johan Meuleman, guru besar asal Belanda yang lama bertugas di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengkritik penekanan Siedel yang ia pandang berlebihan tentang peran madrasah dalam masyarakat Indonesia umumnya dan dalam perkembangan pemikiran reformis atau kelas menengah Muslim khususnya.
Sebaliknya, Meuleman mengingatkan agar orang tidak mengabaikan atau meremehkan peran dan kontribusi pesantren dan IAIN (juga UIN dan STAIN) beserta banyak institusi yang menyertainya, seperti lembaga riset, kelompok diskusi dan belajar. Mereka ini berperan besar dalam emansipasi kelompok besar Muslim dan juga dalam perkembangan gagasan pluralis dan demokratis.
Kersten tampaknya mengikuti Meuleman dengan menekankan peran lembaga dan kelompok intelektual melalui pendekatan jaringan (network approach). Pertumbuhan lembaga dan kelompok intelektual terkait banyak dengan pertumbuhan eksplosif kelas menengah terdidik Muslim--baik dalam jumlah absolut maupun proporsi dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Dengan tetap mempertimbangkan relevansi konteks dimensi struktural politik, sosial, dan kultural, kajian Kersten memiliki ambisi menjadikan investigasinya sebagai kajian pertama tentang sejarah intelektual substantif. Kajiannya adalah sejarah gagasan dengan mengungkapkan riwayat mereka yang mengonseptualisasi dan memformulasi cara baru berpikir tentang agama dan menerjemahkannya menjadi agenda pembaruan guna merespons tantangan serius yang dihadapi Indonesia dewasa ini.
Masalahnya kemudian sudah banyak diketahui. Dalam ungkapan Kersten, tantangan berat dalam upaya mengungkapkan pemikiran Islam Indonesia kontemporer adalah absennya meta-narrative yang sistematis. Para intelektual Indonesia jarang menulis buku utuh; sebaliknya lebih banyak menulis makalah, esai, dan kolom--dan kemudian juga blog di dunia maya. Karena itu, peneliti harus meneliti banyak literatur yang tentu saja menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/02/11/o2c5tv319-kontestasi-islam-indonesia-kontemporer-2
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah dan dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer--masa yang tengah berlangsung sekarang--jelas terkait erat dan mengandung kontinuitas sekaligus perubahan dengan intelektualisme yang bertumbuh dalam masa-masa sebelumnya. Kenyataan ini bisa dilihat dari subjek dan tema yang menjadi wacana dan perdebatan di antara para pemikir dan intelektual Islam Indonesia.
Jika disederhanakan, setidaknya ada tiga periodisasi intelektualisme Islam sejak awal abad ke-20. Pertama, periode prakemerdekaan dengan tokoh intelektual, seperti Mohammad Natsir, Agus Salim, dan generasinya yang banyak bergulat tentang tema seputar hubungan Islam dengan nasionalisme atau Islam dan negara.
Kedua, generasi pertama pascakemerdekaan yang mencakup tokoh pemikir dan intelektual semacam Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif dengan generasinya; sebagian sudah almarhum dan ada pula yang masih aktif. Mereka juga masih terlibat dalam subjek tentang Islam dan negara, Islam dan politik, juga Islam dan modernisasi.
Ketiga, generasi yang betul-betul kontemporer yang aktif berkiprah dan mencapai prominensi sejak masa pasca-Soeharto. Generasi ini hidup di masa pasca-Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahid yang ditandai dengan liberalisasi politik dan demokrasi yang memberikan peluang besar bagi setiap orang atau kelompok mengembangkan aspirasi, gagasan, dan nilai yang sering bertolak belakang dan terlibat kontestasi satu sama lain.
Kontestasi gagasan dan nilai untuk memenangkan pengaruh dalam masyarakat yang menampilkan kecenderungan intelektual berbeda disuarakan beragam individu yang terkait dengan lembaga, organisasi, atau kelompok tertentu. Carool Kersten dalam karyanya, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (London; 2015), berusaha memetakan berbagai kecenderungan pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Salah satu kecenderungan intelektualisme Islam Indonesia kontemporer, menurut Kersten, adalah absennya figur intelektual yang benar-benar menjadi primadona untuk generasinya. Figur-figur intelektual terpencar ke dalam berbagai lembaga dan kelompok--tidak lagi terpusat pada figur-figur tertentu.
Kersten mengkaji dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer dengan meneliti kelompok-kelompok yang terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme intelektual. Pendekatan dia ini berbeda dengan Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia (2000) yang menekankan pentingnya peran individu dalam dinamika intelektualisme Islam Indonesia pada masa generasi Cak Nur.
Penekanan pada peran figur intelektual daripada lembaga sebagai aktor intelektualisme Islam Indonesia kontemporer mendapat kritik dari sarjana lain semacam John T Sidel (2001). Yang terakhir ini justru menekankan peran madrasah sebagai sumber awal dinamika pemikiran Islam Indonesia kontemporer.
Namun, Johan Meuleman, guru besar asal Belanda yang lama bertugas di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengkritik penekanan Siedel yang ia pandang berlebihan tentang peran madrasah dalam masyarakat Indonesia umumnya dan dalam perkembangan pemikiran reformis atau kelas menengah Muslim khususnya.
Sebaliknya, Meuleman mengingatkan agar orang tidak mengabaikan atau meremehkan peran dan kontribusi pesantren dan IAIN (juga UIN dan STAIN) beserta banyak institusi yang menyertainya, seperti lembaga riset, kelompok diskusi dan belajar. Mereka ini berperan besar dalam emansipasi kelompok besar Muslim dan juga dalam perkembangan gagasan pluralis dan demokratis.
Kersten tampaknya mengikuti Meuleman dengan menekankan peran lembaga dan kelompok intelektual melalui pendekatan jaringan (network approach). Pertumbuhan lembaga dan kelompok intelektual terkait banyak dengan pertumbuhan eksplosif kelas menengah terdidik Muslim--baik dalam jumlah absolut maupun proporsi dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Dengan tetap mempertimbangkan relevansi konteks dimensi struktural politik, sosial, dan kultural, kajian Kersten memiliki ambisi menjadikan investigasinya sebagai kajian pertama tentang sejarah intelektual substantif. Kajiannya adalah sejarah gagasan dengan mengungkapkan riwayat mereka yang mengonseptualisasi dan memformulasi cara baru berpikir tentang agama dan menerjemahkannya menjadi agenda pembaruan guna merespons tantangan serius yang dihadapi Indonesia dewasa ini.
Masalahnya kemudian sudah banyak diketahui. Dalam ungkapan Kersten, tantangan berat dalam upaya mengungkapkan pemikiran Islam Indonesia kontemporer adalah absennya meta-narrative yang sistematis. Para intelektual Indonesia jarang menulis buku utuh; sebaliknya lebih banyak menulis makalah, esai, dan kolom--dan kemudian juga blog di dunia maya. Karena itu, peneliti harus meneliti banyak literatur yang tentu saja menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/02/11/o2c5tv319-kontestasi-islam-indonesia-kontemporer-2
No comments:
Post a Comment